Alisha merasakan dadanya terbakar, amarah yang ia tahan perlahan-lahan mengalir seperti lava yang mencari celah untuk keluar.Astaga! gumamnya dalam hati, rahangnya terkatup begitu keras hingga nyaris bergetar. Jesselyn benar, pikirnya, Rean telah menjadi tawanan sepenuhnya oleh Gea."Sudah selesai?" tanyanya dengan nada yang begitu dingin hingga seolah-olah dapat membekukan udara di ruangan itu."Apa maksudmu?""Apa kau sudah selesai memarahiku? Apa pun yang kau katakan, sikapku pada Gea dan juga pada karyawanku tidak akan berubah. Omong kosongmu itu tidak akan kudengarkan.""Apa? Omong kosong? Kau mulai membantah perkataan suamimu?" suara Rean menggema di seberang sana, penuh dengan nada kejantanan yang berlebihan, seolah-olah posisinya sebagai suami membuatnya tak terbantahkan.Rahang Alisha mengeras, suaranya kini bergetar penuh amarah yang nyaris tak terkendali. "Suami? Seharusnya seorang suami membela istrinya, bukan membela wanita lain, Rean.""Apa lagi ini? Kenapa kau malah me
Rean tidak pulang malam ini.Bayangan malam menyelimuti rumah mereka dengan hening yang terasa lebih menusuk daripada sekadar sunyi.Alisha melirik ke arah jam dinding di kamarnya sekali lagi, detak jarumnya terdengar seperti detak jantung seekor binatang kecil yang ketakutan.Sudah hampir dini hari, dan kegelapan seakan menggeliat semakin pekat, seiring dengan absennya suara langkah kaki Rean yang seharusnya memecah keheningan ini.Matanya yang berat oleh kelelahan tak juga dihinggapi kantuk. Di atas ranjang yang dingin, ia terjebak dalam labirin pikirannya sendiri, setiap detik terasa seperti pisau tajam yang perlahan-lahan mengiris kesadarannya. Rean tidak di sini.Dan lebih dari sekadar ketidakhadirannya, Alisha merasa bahwa kehangatan di antara mereka, yang pernah seperti api unggun di malam dingin, kini telah padam menjadi abu.Air matanya jatuh, mengalir seperti hujan kecil yang menghujani padang gersang di hatinya. Setetes, lalu dua tetes, menjadi aliran tak berujung yang berc
Sementara itu, di tempat lain, Rean tersentak bangun. Matanya terbuka lebar, dan seketika ia disergap oleh perasaan panik.Cahaya redup menyelinap melalui jendela, menandakan bahwa pagi hampir tiba. Ia memandang sekeliling dengan bingung sebelum pandangannya jatuh pada ponsel di atas nakas.Matanya melebar sempurna. Pukul lima.Astaga. Ini sudah hampir pagi. Kenapa ia masih berada di kediaman Gea? Jantungnya berdegup kencang, seperti palu yang memukul-mukul keras dalam dadanya.Ia mengacak rambutnya dengan kasar, frustrasi dengan kebodohan dan kecerobohannya sendiri. Apa yang ia pikirkan? Kenapa ia membiarkan dirinya bermalam di sini?Rean segera bangkit, tubuhnya terasa berat seperti dipaksa melawan gravitasi yang jauh lebih kuat dari biasanya.Dengan langkah terburu-buru, ia berjalan menuju kamar mandi, niatnya hanya satu: membersihkan diri dan kembali ke rumah sebelum Alisha menyadari bahwa ia tidak pulang semalam."Sayang? Sudah bangun? Mau ke mana?"Suara lembut Gea mengalun dari
Rean memandang rumahnya dari luar, rumah megah yang tampak seperti istana kecil di bawah cahaya fajar yang redup.Kesunyian yang menyelimuti halaman rumahnya terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah menyimpan rahasia yang enggan terungkap.Langkah kakinya di jalan berbatu terasa hampa, seakan menyatu dengan kehampaan yang mulai menggerogoti hatinya.Bi Narti, asisten rumah tangganya, terlihat tergopoh-gopoh membuka pintu dengan wajah penuh kantuk. Tangannya sedikit gemetar saat memutar kenop pintu, seolah tahu ada badai kecil yang sedang menunggu di dalam.Rean menghela napas lega begitu memastikan tidak ada tanda-tanda Alisha di sana. "Ibu belum bangun?" tanyanya, berusaha terdengar biasa saja, meskipun nadanya sedikit menuntut.Bi Narti, dengan ragu, mengangguk. "Sepertinya begitu, Pak."Senyum tipis tersungging di bibir Rean, penuh kemenangan kecil yang ia nikmati terlalu cepat. "Bagus," gumamnya lirih, hampir tidak terdengar.Ia melangkah masuk dengan hati yang mulai ringan,
"Itu kejutan. Aku akan mengirimkan lokasinya nanti," jawabnya dengan nada misterius yang membuat Alisha mendesah kesal."Baiklah, terserah," balasnya acuh tak acuh sebelum menutup telepon. Ia tidak ingin mendengar celoteh Neuro lebih lama.Tekadnya sudah bulat, seperti api yang berkobar di tengah malam gelap. Lihat saja, Rean. Jika ia berpikir bisa mengelabuinya, maka ia salah besar. Alisha akan membalas sakit hatinya dengan cara apa pun yang diperlukan.Ketika tiba di lokasi yang dimaksud Neuro, Alisha terkejut mendapati tempat itu. Sebuah lapangan parkir kecil yang remang-remang, diapit oleh bangunan tua dengan dinding kusam.Neuro berdiri di sana, bersandar pada mobilnya dengan gaya santai yang terkesan arogan. Kacamata hitam menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya terlihat seperti aktor dalam film murahan yang berusaha tampil keren."Kenapa kita ke hotel?" suara Alisha terdengar dingin, hampir seperti bilah es yang menghujam angin malam.Tatapannya tajam, penuh dengan rasa ti
Deru napas Neuro terasa begitu dekat di lehernya, membuat bulu kuduk Alisha berdiri. Ia memejamkan matanya sesaat, mencoba mengendalikan diri dari badai sensasi yang tiba-tiba menyerangnya.Aroma tubuh Neuro, maskulin dan tajam, seolah-olah membungkusnya dalam pelukan yang tidak diinginkannya tetapi sulit untuk diabaikan. Kendalikan dirimu, Alisha. Jangan biarkan dirimu terjebak.Dengan sekuat tenaga, ia mendorong tubuh Neuro menjauh. Pria itu terhuyung beberapa langkah ke belakang, tetapi malah tertawa keras, tawanya memenuhi ruangan dengan nada ejekan yang membakar telinga Alisha."Kau pikir ini lucu?" gertaknya, suaranya terdengar tajam seperti bilah pisau."Tentu saja," jawab Neuro ringan, wajahnya masih dihiasi seringai menggoda. "Lihat saja wajahmu yang merah itu, Nona. Kau benar-benar menarik."Wajah Alisha semakin memanas. Ia membuang pandangan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa kesal yang bercampur malu.Dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan h
Apa? Apa ia tidak salah dengar? Telinga Alisha seperti mendengar sesuatu yang luar biasa gila.Apa tadi Neuro benar-benar bilang dia bisa menggantikan produk perusahaan Joy Deluxe?Matanya membelalak, penuh keterkejutan, menatap Neuro Edenvile yang masih berdiri dengan senyuman percaya diri yang memancar seperti sinar matahari terik di tengah badai pikiran Alisha."Jangan gila! Mana mungkin produk perusahaan menengah sepertiku dapat menyaingi perusahaan Rean?" sanggah Alisha cepat, suaranya nyaring, hampir seperti bisikan ketakutan yang terungkap tanpa filter.Ia menggelengkan kepala kuat-kuat, rambutnya yang tergerai berayun liar seperti ingin menepis gagasan yang baru saja Neuro lontarkan.Tidak, ini terlalu jauh. Dulu, saat Neuro berkata akan menggagalkan kesepakatan Rean dengan Tuan Robert, itu terdengar masuk akal—sebuah langkah berani, tetapi masih dalam batas logika.Namun, menggantikan produk Rean di pasar internasional? Itu seperti meminta seekor burung pipit untuk melawan el
Sementara itu, John, yang berdiri di dekat pintu, hanya menggelengkan kepala pelan, seolah tak habis pikir dengan tingkah Neuro. "Kenapa kau membantunya?" tanyanya, suaranya terdengar skeptis.Neuro menoleh ke arahnya, ekspresi cerah menghiasi wajahnya yang tampan. "Apa? Kau bilang sesuatu, John?"John mendesah, frustrasi yang bercampur geli tergambar di wajahnya. "Neuro, kau mendengarku?""Hah?" Neuro mengangkat alis, berpura-pura tak mengerti.John hanya menggelengkan kepala sekali lagi, menahan tawa kecil. Pria itu tahu, semenjak Neuro bertemu Alisha, ada sesuatu yang berbeda.Senyum itu—senyum merekah yang tak pernah hilang dari wajahnya—adalah bukti bahwa Alisha telah menjadi pusat perhatian yang sulit dilepaskan."Kau menyukainya, bukan?" suara John memecah keheningan, nadanya tenang namun mengandung desakan halus.Neuro mengerutkan kening, mencoba menghindar dari makna di balik pertanyaan itu. "Apa maksudmu, John?" tanyanya, berpura-pura tidak paham."Istri dari pemilik perusah
Kelly hanya bisa meremas foto-foto itu dengan kesal. Mustahil, bagaimana bisa Alisha menemukan jejak dirinya saat menjadi wanita penghibur beberapa tahun yang lalu.Hanya sebentar ia berada disana untuk bekerja, bagaimana mungkin Alisha bisa menemukan jejaknya?Apa Alisha memiliki orang handal yang pintar mencari informasi? Tidak mungkin. Perusahaan Alisha bukanlah perusahaan besar yang memiliki sumber daya manusia yang luar biasa."Bagaimana Kelly? Kau ingin aku mengirimnya pada Andrew?" ujar Alisha dengan senyuman miring."Atau bagaimana jika aku membeberkan hal ini ke media? Beritamu pasti akan besar seperti halnya beritaku. Bahkan aku bisa membuatnya lebih besar lagi," sambung Alisha kembali.Kelly mulai terlihat pucat pasi mendengar ucapan Alisha. Rahangnya bergemretak menahan amarah melihat Alisha yang tersenyum penuh arti. "Apa maumu?""Ha, tidak seru! Kenapa kau masih saja searogan itu saat kartu matimu ada di tanganku. Memohonlah padaku, Kelly Anderson! Baru aku akan memperca
Awalnya Alisha pikir Gea akan terbawa amarah saat ia lagi-lagi kalah darinya. Namun kali ini berbeda, Alisha terperangah saat melihat Gea malah mengangkat bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik nan berbahaya. Kedua tangannya ia lipat di depan lalu berkata, "Tidak apa-apa, Kelly. Aku memang sengaja kalah dari Kak Lisha,"Alisha mengangkat alis mendengar ucapan ambigu yang dilontarkan oleh Gea. Apa yang jalang ini maksud sebenarnya?"Sengaja kalah? Kenapa memangnya, Gea?" Kelly terlihat mulai memancing.Semua orang terlihat mencondongkan tubuh mereka, sama-sama ingin tahu jawaban yang akan Gea utarakan."Aku sudah mengambil semuanya dari Kak Lisha, hal ini tidak seberapa dengan pengorbanannya untukku. Dia sungguh berhati mulia mau memberikan suami tercintanya.”"Astaga, malangnya.""Kasihan sekali.""Dia tidak pandai menjaga suaminya."Alisha hanya bisa ternganga mendengar jawaban Gea. Semua orang kembali terkikik geli. Sialan, mereka sengaja menjadikan aib rumah tanggany
Alisha mengangkat wajahnya melihat ke arah depan. Matanya melebar sempurna melihat bayangan wanita itu. Raut wajah Alisha seketika mengeras melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar. Gea melangkahkan kakinya ke arah meja mereka dengan langkah mengayun. Alisha hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat melihat penampilan Gea yang mewah malam ini. Sedang apa wanita jalang ini di sini?"Selamat malam, Kak Lisha. Akhirnya kita bertemu lagi hari ini."Melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar membuat amarah Alisha seketika bangkit. la refleks berdiri, menatap tajam ke arah Gea yang masih memasang senyum lebarnya."Apa-apaan ini, Kelly? Kenapa jalang ini ada di sini?" ujar Alisha sinis.Kelly terlihat mengangkat bahu. "Maafkan aku Alisha Sayang, tapi aku menerima semua orang yang menurutku memiliki derajat tinggi. Sekarang Gea adalah istri Rean Hadiyatma, salah satu perusahaan besar di kota ini,""Apa kalian tahu siapa dia?" Tanya Alisha sambil menunjuk Gea dengan telunjuknya."T
Dalam hati Gea bersorak mendengar ucapan Riana. Rencananya lebih lancar dari yang seharusnya berjalan. Kematian Hendriawan benar-benar menguntungkan baginya. Lihat orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu jika ia telah menyuntikan racun ke dalam infusan Hendriawan. Sebenarnya langkahnya untuk melenyapkan bukan bagian dari rencana, hanya saja mengingat pria tua itu bisa menjadi batu sandungan untuknya, Gea terpaksa melakukannya.Racun yang ia suntikan memang tidak dapat terdeteksi sebagai penyebab kematian, siapa yang menyangka jika pekerjaan ayahnya sebagai anggota preman cukup membantunya mengetahui informasi ini. Gea mengulas senyuman tipis. Kebencian Riana terhadap Alisha semakin membesar karena satu dua kebohongan yang ia lontarkan. la akan menjadikan Riana sebagai alat untuk menghancurkan Alisha. Tidak ada senjata yang lebih baik dibanding dari mereka yang dipenuhi dendam dan juga amarah.Dengan penuh yakin Gea mengangguk, menuruti apapun arahan Riana selanjutnya."Baik Ma, G
Suasana duka menyelimuti kediaman rumah Keluarga Hadiyatma ketika Alisha menginjakkan kakinya di sini.Semua orang berpakaian penuh hitam ikut menggambarkan betapa kelamnya hari panjang ini bagi mereka.Alisha hanya bisa menatap rumah duka itu dengan tatapan nanar. Suasana hatinya tak jua berbeda dengan suasana hati yang ditujukkan Rean dan Riana hari ini. Sedih dan putus asa.Riana terlihat masih menjerit histeris menggoncang tubuh suaminya yang terbujur kaku sementara Rean terlihat menahan lengan sang ibu untuk menguatkan hatinya yang ditinggal belahan jiwanya.Pemandangan ini sungguh memilukan membuat beberapa pelayat ikut menutup wajah, menyembunyikan tangisnya.Kedatangan Alisha dan raut wajah sedihnya nyatanya tak dapat menyentuh hati Riana sedikit pun.Melihat kedatangan Alisha yang tidak diharapkan membuat pandangan Riana berubah waspada.Wajah putus asanya seketika mengeras melihat Alisha menghampiri jasad Hendriawan. Berani sekali! Berani sekali orang yang menyebabkan kemala
Telinga Riana seolah berdenging mendengar ucapan dokter di depannya."Apa maksudnya dokter? Jangan main-main. Saya mau menemui suami saya, tadi dia masih baik-baik saja. Mana mungkin suami saya meninggal," ujar Riana menolak fakta yang baru saja dikatakan dokter di depannya."Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa suami Ibu tidak dapat kami selamatkan.”Tubuh Riana seketika melemas mendengar perkataan dokter di depannya. Tidak mungkin, tidak mungkin suaminya meninggalkannya sekarang.Dengan daya yang tersisa tinggal sedikit, Riana menghampiri ruangan Hendriawan.Tatapannya berubah nanar saat melihat tubuh kaku Hendriawan dengan wajahnya yang sudah memucat."Papa baik-baik saja kan, Pa? Papa pasti bohong kan sama Mama? Papa tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian, bukan?"Meski Riana sudah mengguncang tubuh Hendriawan berkali-kali dengan daya yang cukup keras, Hendriawan tetap tidak merespon apapun yang sudah ia lakukan."Papa jangan bercanda begini
Gea menarik nafasnya yang seketika menjadi berat lalu kembali memfokuskan pendengarannya saat Hendriawan kembali membuka suara.Hendriawan terlihat menarik tangan Alisha lembut. Melihat tatapan penuh makna yang diberikan mertuanya pada Alisha, Gea merasa ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan oleh Hendriawan."Papa punya permintaan untuk kamu, Alisha.”"Apa itu, Pa?”"Sayang, Papa ingin kamu membatalkan gugatan kamu pada Rean, Papa mohon Sayang, tetaplah jadi menantu Papa. Kamu mau kan?"Seketika jantung Gea berhenti mendengar permohonan Hendriawan pada Alisha. Apa ia tidak salah dengar? Apa Hendriawan baru saja melarang Alisha untuk bercerai dengan Rean?Tanpa sadar Gea mengepalkan tangannya hingga kuku jari jemarinya memutih. Emosinya seketika bangkit mendengar permintaan Hendriawan yang tidak masuk akal.Tidak cukup dengan mengabaikan kehadirannya sebagai istri Rean, Hendriawan sepertinya ingin mengembalikan keadaan pernikahan Rean dan Alisha kembali seperti semula.Nafas Gea
Alisha mengerjap mendengar permintaan Hendriawan yang mendadak kepadanya. la terdiam, terlalu bingung untuk memberi jawaban kepada Hendriawan.Sebenarnya Alisha mau saja, tapi mengingat ia harus sering bertemu dengan Riana dan Gea membuat Alisha merasa enggan."Sayang? Papa mohon, kamu mau ya?"Permohonan yang sangat yang diucapkan oleh Hendriawan membuat Alisha menjadi tidak tega. la melirik ke arah Rean yang sepertinya ikut menunggu jawaban darinya.Alisha menghela nafasnya berat lalu mengangguk. Meski ia enggan, tidak mungkin ia menolak permintaan Hendriawan secara terang-terangan seperti ini."Aku akan berusaha, Pa," jawabnya tidak yakin.Hendriawan mengulas senyuman kembali saat mendengar jawaban Alisha. Netra Hendriawan yang terlihat semakin sayu membuat Alisha memintanya untuk kembali beristirahat."Sebaiknya Papa istirahat sekarang. Jangan memikirkan banyak hal yang tidak perlu."Hendriawan mengangguk lalu mulai memejamkan mata. Alisha segera menarik selimutnya lalu menaikkann
Alisha terlonjak mendengar ucapan Rean. "Papa sakit? Tunggu, apa penyakitnya kambuh lagi?""Begitulah. Jadi Alisha, bisa kau bantu aku dan segera datang kemari? Kita lupakan sejenak permasalahan yang tengah kita hadapi. Alisha, Papa membutuhkan dukungan kita sekarang. Kau bisa melakukannya?"Alisha menghela nafasnya panjang mendengar permintaan Rean. Bagaimana bisa ia menolak permintaan Rean saat Hendriawan membutuhkannya? la memijat keningnya sejenak lalu kemudian mengangguk kecil. Benar, untuk sementara lupakan dulu permasalahannya dengan para manusia brengsek ini. la harus membantu Hendriawan pulih dari sakitnya."Baiklah, dimana Papa dirawat?" Tanya Alisha cepat, tidak ingin berbasa basi hal yang tidak perlu dengan Rean."Ah, Rumah Sakit Kencana, dekat rumah kita.”"Rumahmu dengan Gea," ralat Alisha cepat."Ya ya, terserah. Jadi kau bisa kemari? Kau mau aku jemput?"Kening Alisha berkerut tidak senang mendengar ucapan Rean, "Menurutmu setelah apa yang kau lakukan tadi aku masih i