Sementara itu, John, yang berdiri di dekat pintu, hanya menggelengkan kepala pelan, seolah tak habis pikir dengan tingkah Neuro. "Kenapa kau membantunya?" tanyanya, suaranya terdengar skeptis.Neuro menoleh ke arahnya, ekspresi cerah menghiasi wajahnya yang tampan. "Apa? Kau bilang sesuatu, John?"John mendesah, frustrasi yang bercampur geli tergambar di wajahnya. "Neuro, kau mendengarku?""Hah?" Neuro mengangkat alis, berpura-pura tak mengerti.John hanya menggelengkan kepala sekali lagi, menahan tawa kecil. Pria itu tahu, semenjak Neuro bertemu Alisha, ada sesuatu yang berbeda.Senyum itu—senyum merekah yang tak pernah hilang dari wajahnya—adalah bukti bahwa Alisha telah menjadi pusat perhatian yang sulit dilepaskan."Kau menyukainya, bukan?" suara John memecah keheningan, nadanya tenang namun mengandung desakan halus.Neuro mengerutkan kening, mencoba menghindar dari makna di balik pertanyaan itu. "Apa maksudmu, John?" tanyanya, berpura-pura tidak paham."Istri dari pemilik perusah
Alisha kembali termenung, pikirannya terperangkap dalam pertanyaan yang dilontarkan Jesselyn. Apa?Memangnya apa yang bisa ia lakukan jika Neuro benar-benar menyukainya?Rumah tangganya kini bagai kapal yang nyaris karam di tengah badai, ia bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan pria lain, apalagi seorang Neuro."Tidak ada," jawabnya, suaranya lirih namun penuh kejujuran.Jesselyn tertegun, mata lebarnya menatap Alisha dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kekesalan. "Apa maksudmu dengan tidak ada?" serunya, nyaris berteriak.Alisha hanya mengangkat bahu, gerakannya lesu namun tegas. "Aku hanya bersikap jujur. Memangnya apa yang harus aku lakukan? Satu pria saja sudah cukup menyulitkan hidupku," gumamnya dengan nada setengah menggerutu, tatapannya jatuh pada tumpukan dokumen di mejanya.Jesselyn mendesah dramatis, tangannya terangkat seperti hendak memohon pada langit."Wah, aku tidak percaya ini! Hatimu bahkan tidak tergerak oleh pria rupawan seperti Neuro. Rupanya Rean s
Kata-kata Gea meluncur seperti bensin yang disiramkan pada api yang sudah berkobar. Rean semakin panas, hatinya membara seperti gunung yang siap meletus.Benar, Alisha tidak tahu diuntung! Ia menggertakkan gigi hingga terdengar gemeretak, seolah seluruh tubuhnya dipenuhi oleh amarah."Akan kutelepon lagi nanti, Gea. Aku harus memberikan pelajaran pada Alisha," ucapnya singkat, nadanya penuh tekad dingin yang mematikan.Gea menambahkan dengan suara pelan namun tajam, seperti pisau kecil yang menusuk tanpa belas kasih. "Iya Kak, kalau perlu ceraikan saja istri seperti itu."Namun Rean tidak lagi memedulikan ucapan terakhir Gea. Ia memutus panggilan tanpa berkata apa-apa, jari-jarinya bergerak cepat menghubungi nomor Alisha.Tapi sial, panggilan itu tidak dijawab. Pikirannya semakin kacau, api cemburu dan penghinaan menutupi semua logika.Apa-apaan ini, Alisha? Jadi benar dia berselingkuh? Apakah dia sengaja menghindari teleponnya karena takut kedoknya terbongkar?Rean mencoba berkali-ka
Keramahtamahan Rean seketika menghilang, tergantikan oleh amarah yang meledak-ledak.Meski Neuro adalah putra koleganya yang dihormati, ia tidak peduli. Harga dirinya sebagai suami tengah dipertaruhkan di sini.Alisha adalah miliknya, dan tidak ada satu orang pun yang berhak menyentuhnya, apalagi seorang Neuro.Namun, Neuro hanya mengangkat bahu, seolah ucapan Rean tidak lebih dari sekadar angin lalu."Jadi Anda juga termakan berita itu. Media memang ahli dalam melebih-lebihkan sesuatu. Anda tidak perlu seheboh ini. Anda tahu sendiri bagaimana wartawan bekerja," katanya ringan, sambil menyilangkan kakinya dengan santai.Berbeda dengan Rean yang amarahnya terlihat bergejolak seperti gelombang badai yang siap menghancurkan segalanya, Neuro tetap duduk dengan santai, wajahnya memancarkan ketenangan dingin yang justru terasa seperti penghinaan.Seringai kecil yang menghiasi bibir Neuro seperti bara yang dilemparkan ke dalam api amarah Rean, membuat pria itu kehilangan kendali.Dengan gera
Kalimat itu bagai palu godam yang menghantam ego Rean, memecah sisa kesabaran yang sudah hampir habis. Rahangnya mengeras, otot-otot wajahnya menegang.Ia berbalik, menatap Neuro dengan mata penuh amarah yang berkilat-kilat, seperti api yang siap melahap habis lawannya.Berani sekali pria itu, pikir Rean dengan dada yang sesak. Kata-kata Neuro seperti duri yang menancap dalam, menusuk martabatnya sebagai seorang suami.Ia tak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Neuro baru saja mengundang perang, dan Rean tak akan mundur.Tanpa sepatah kata lagi, Rean meninggalkan ruangan itu dengan langkah berat, namun hatinya dipenuhi dendam yang membara.Setibanya di luar, ia segera meraih ponselnya, menekan nomor dengan gerakan cepat. Suaranya terdengar tajam dan penuh kendali saat berbicara."Halo, Pak Robert. Ya, itu benar. Bagaimana jika kita bertemu? Saya ingin membicarakan masalah Tuan Neuro," katanya.Begitu panggilan berakhir, ia menatap ponselnya untuk sesaat sebelum memasukkannya kemb
Di sisi lain, John berdiri di ujung koridor dengan wajah yang memucat. Suara langkah sepatu Robert terdengar nyaring di lantai marmer, semakin mendekat.Saat Robert muncul di hadapannya, tatapan tajam pria itu menghujamnya seperti pedang yang siap menembus pertahanan terakhirnya."Mana Neuro?" tanya Robert dengan nada rendah yang berbahaya, namun penuh dengan kemarahan yang mendidih di bawah permukaan.Wajahnya memerah, dan urat-urat di pelipisnya tampak menonjol seperti akar pohon tua yang meronta dari tanah.John bergidik, punggungnya terasa dingin seperti ditimpa embun beku. Ia tahu kemarahan Robert tidak pernah bisa dianggap remeh.Dengan suara yang sedikit gemetar, ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah ruangan Neuro. "Dia ada di ruangannya, Tuan," jawab John, berusaha menjaga nada sopan meski nyalinya sudah ciut.Robert tidak segera bergerak, namun matanya menatap John dengan penuh penilaian. Tatapan itu seperti menyayat setiap inci
Neuro menyembunyikan senyumnya di balik ekspresi tenang. Ia tahu ini adalah momen kemenangannya. Konflik kecil ini berhasil ia ubah menjadi keuntungan besar untuk dirinya sendiri.Robert melemparkan pandangannya pada salah satu halaman berkas. "Lalu ini apa? Produk baru Alisha's Beautyshop?" tanyanya dengan nada bingung.Neuro berdiri dari kursinya, mendekati ayahnya. "Ya. Mereka mempunyai produk baru yang ku rasa bagus. Ini bisa laku di pasaran, Ayah. Bahkan menurutku produk ini lebih menjanjikan daripada produk yang dimiliki Joy Deluxe."Robert termenung sejenak, matanya menyipit seolah mencoba menimbang peluang di balik ucapan Neuro. "Ya, kau benar," gumamnya. "Tapi perusahaan ini tidak terlalu dikenal oleh kalangan masyarakat, Neuro.""Kalau begitu, kita yang akan mengenalkannya. Produk ini bagus sekali, sayang jika dilewatkan."Robert memiringkan kepala, menatap Neuro dengan mata yang menyelidik. "Jadi, apa maksudmu memberikan ini padaku?"
Alisha menghela napas panjang, mencoba meredam gelombang emosi yang membuncah di dadanya.Pandangannya jatuh pada sosok Rean yang berdiri di depannya, pria yang dulu pernah ia cintai sepenuh hati, kini berubah menjadi sosok yang tak ia kenali lagi.Semua karena sebuah berita, sebuah rumor murahan yang membuatnya datang mengamuk seperti badai mengguncang lautan.Neuro benar. Rencana pertemuan mereka di hotel telah membuat Rean seperti singa yang kehilangan mangsanya, mengaum tanpa kendali, melampiaskan kemarahannya tanpa memikirkan akibat.Alisha perlahan bangkit dari kursinya, kedua matanya menyala dengan api perlawanan. Ia menegakkan tubuhnya, membalas tatapan Rean dengan sorot yang tak gentar.Suara napasnya terdengar tenang, namun di baliknya tersembunyi badai yang siap meledak kapan saja."Ini kantor, Rean," suaranya keluar lirih, namun tajam seperti belati."Apa kau tidak mendengar dari Jesselyn? Aku sedang bekerja. Banyak urusan yang harus kuselesaikan hari ini. Aku bahkan tidak
Gea mengangguk-angguk kecil, berpura-pura menyetujui, meskipun Alisha bisa melihat dengan jelas bahwa hatinya sedang membara. "Aku ikut senang," ucapnya dengan senyum yang jelas dipaksakan."Sayang, kalau begitu aku pamit ke kantor kembali," ujar Rean, bersiap untuk berlalu dari tempat itu.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Alisha kembali memanggilnya. "Sayang?"Rean berbalik, alisnya sedikit terangkat melihat Alisha yang tiba-tiba mendekat. Wanita itu tersenyum samar, lalu dengan gerakan anggun, ia membenarkan dasi di leher suaminya.Jemarinya yang halus menyentuh leher kemeja Rean, memperbaikinya dengan gerakan yang terlihat begitu akrab, begitu intim.Rean dapat merasakan tatapan penuh kebingungan yang dilemparkan padanya. Tentu saja, sedetik lalu Alisha masih enggan disentuh olehnya, tapi sekarang ia justru sengaja bermesraan terang-terangan. Dan lebih dari itu—ia melakukannya di depan Gea.Alisha melirik sekilas ke arah Gea, menangkap bagaimana mata perempuan itu menajam, rahan
Rean hanya bisa terpaku saat Alisha memilih melangkahkan kakinya, enggan mendengar perkataannya lebih jauh.Ia tetap diam, hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh, membawa serta harapan yang kian meredup.Pembicaraan mereka belum selesai, tetapi Alisha sepertinya tidak ingin mendengar apa pun lagi hari ini. Rean hanya bisa mendesah, merutuki kesalahannya sendiri.Sial, apa yang bisa ia lakukan agar Alisha memaafkannya kali ini?Di dalam kamar, Alisha menatap kosong ke arah bunga mawar yang tersimpan di atas meja riasnya.Kelopak merahnya terlihat mulai layu, seolah mencerminkan hatinya yang mulai kehilangan semangat.Namun, sesuatu menarik perhatiannya—secarik nota kecil yang menempel pada tangkai bunga itu.Alisha menariknya perlahan, jari-jarinya sedikit gemetar saat membacanya. Huruf-huruf itu terukir dalam tulisan tangan yang begitu ia kenal. Tidak salah lagi, ini dari Rean.Matanya menyapu baris demi baris kata-kata yang tertera di sana, dan untuk sesaat, ia mem
Langkah Alisha terdengar nyaring saat ia pergi lebih dulu, derap sepatunya menggema, menciptakan irama kemarahan yang bahkan udara pun ikut merasakannya.Rean menatap Neuro tajam sebelum akhirnya mengikuti istrinya dari belakang, matanya menyimpan bara api yang enggan padam.Sepanjang perjalanan, keheningan menggantung di antara mereka seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan.Rean, dengan hati yang berdesir oleh ketidakpastian, mencoba memecah kesunyian.Namun, sebelum bibirnya sempat menyusun kalimat, Alisha telah lebih dulu memotongnya. "Sudah kubilang, kita akan bicara setelah sampai di rumah."Rean menghela napas, menelan kata-kata yang tak sempat diutarakan, membiarkan Alisha tenggelam dalam lautan kemarahannya sendiri.Setibanya di rumah, Alisha melempar tas tangannya dengan gerakan penuh emosi.Bunyi dentuman halusnya bagai tanda peringatan akan badai yang sebentar lagi akan melanda. Ia berbalik, menatap Rean dengan sorot mata yang menguliti."Apa yang sedang kau lakuk
Jesselyn menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu dengan ekspresi yang sarat dengan kejengkelan. Sorot matanya berkilat tajam, seolah menembus dinding pertahanan pria di depannya."Kau lagi?" suaranya bagaikan es yang mengiris udara di antara mereka. "Tidak cukupkah kemarin kau sudah menghancurkan hati Alisha?"Rean mendesah kasar, kepalanya sedikit menengadah sebelum memutar bola matanya. Sekretaris pribadi Alisha ini memang selalu bersikap menyebalkan.Entah karena terlalu setia atau sekadar ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.Menjengkelkan.Dalam hati, Rean sudah berjanji. Jika nanti ia dan Alisha berbaikan, wanita ini akan menjadi orang pertama yang ia pastikan untuk disingkirkan.Dengan nada setajam belati, ia menukas, "Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin bertemu istriku."Jesselyn tersenyum miring, bibirnya melengkung dengan kesan mengejek. "Alisha tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi sebelum membuatku muak.""Jangan bohong!" Rean menyergah keras, tidak perca
Neuro kemudian mengalihkan pandangannya kepada Alisha, ekspresinya berubah lebih lembut, hampir... menyesal."Saya juga ingin meminta maaf kepada Nona Alisha beserta keluarganya yang telah merasa terganggu akibat pemberitaan ini," ucapnya dengan nada penuh ketulusan.Alisha menundukkan kepalanya sedikit, memberikan jawaban diam untuk Neuro. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk berbicara.Ia melirik Neuro sekilas, memberi isyarat dengan matanya. Neuro, yang tampaknya sudah memahami keinginannya, menyerahkan pengeras suara dengan anggukan halus.Alisha menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya dalam satu hembusan kasar."Sekali lagi, saya tekankan bahwa saya tidak berselingkuh dengan Tuan Neuro Edenvile. Terima kasih," ucapnya tegas, suaranya tak bergetar sedikit pun.Tanpa membuang waktu, mereka turun dari podium. Kerumunan wartawan langsung bergerak maju, melontarkan berbagai pertanyaan dengan suara-suara yang beradu
Pagi datang dengan cahaya yang terlalu tajam, menusuk kelopak matanya yang masih berat. Layar ponselnya berkedip, memantulkan cahaya redup ke langit-langit kamarnya yang sepi. Suara yang teramat familiar memenuhi ruang sunyi."Kau mengirimkan pesan padaku tengah malam kemarin, Nona? Kenapa? Apa kau merindukanku?"Alisha mengangguk kecil, meski tahu Neuro tak akan melihatnya. Suaranya yang penuh antusiasme membuat pagi ini terasa kurang menyakitkan.Ia terkekeh pelan, seperti angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. "Bagaimana menurutmu?""Kau ingin aku menjemputmu sekarang? Kita bisa ke tempat konferensi pers bersama-sama."Alisha menatap langit biru di balik jendela kaca, perasaan aneh menggelitik hatinya. "Tidak perlu, aku bisa..."Tut... Tut... Tut...Alisnya bertaut, menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan panggilan berakhir. Apa? Neuro memutus panggilan mereka begitu saja? Tanpa sepatah kata pun?Alisha mengangkat bahu. Mungkin ini pertanda bahwa badai yang lebih
"Alisha!"Suara Riana menggelegar dari seberang telepon, mengguncang malam yang seharusnya tenang. Alisha tersentak, jantungnya berdetak tak beraturan.Matanya mengerjap dalam gelap, mencoba memahami apakah ini kenyataan atau sekadar mimpi buruk yang lain.Kilasan cahaya dari layar ponselnya menusuk kelopak matanya yang masih berat. Waktu menunjukkan pukul satu pagi.Dengan gerakan lamban, ia memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Kepalanya terasa bagai dihantam ribuan jarum tajam.Tuhan, ia baru saja terlelap setengah jam lalu setelah larut dalam kekacauan pikirannya, namun kini tidur pun tak sudi berpihak padanya."Ya, Ma? Mama baik?" sapanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Ada kelelahan, ada kejengkelan yang ia tahan sekuat tenaga.Namun, bukannya jawaban, yang ia terima justru tajamnya suara penuh kebencian dari Riana."Tidak usah berbasa-basi dengan Mama!"Nada itu menusuk seperti belati dingin yang mengiris kulitnya. Alisha menutup mata sejenak, menarik napas dalam se
Suara di ujung telepon membuat Rean terlonjak. Seketika kantuknya buyar, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengerjapkan matanya dengan susah payah. Suara ini..."Ma...?"Riana. Ibundanya.Ia menegakkan tubuhnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri akibat alkohol yang masih mengalir dalam sistemnya.Pantas saja ada yang meneleponnya di tengah malam seperti ini—di Amerika, waktu masih menunjukkan pukul satu siang."Ma, apa Mama lupa kalau di sini sudah hampir tengah malam?" keluhnya setengah kesal, suaranya serak akibat kantuk yang masih menggantung.Di seberang sana, Riana terdengar mendesah berat. "Ya, Mama tahu. Tapi ini penting," tukasnya terburu-buru, nada suaranya terdengar tegang.Rean menarik napas panjang, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut. Efek dari alkohol masih begitu kuat di tubuhnya, membuat kepalanya berputar.Saat perlahan-lahan kesadarannya kembali, ia menyadari sesuatu—ia tak lagi terbaring di lantai. Kini, tubuhnya berada di sofa ruang tamu.
Jadi, pria ini hancur karena berita perselingkuhan Alisha dengan Neuro? Matanya menatap wajah Rean dengan perasaan yang tak menentu. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Apa ini? Apa Rean masih mencintai Alisha hingga ia begitu terpukul seperti ini?"Sudahlah, Kak. Tidak usah dipikirkan, aku ada untukmu," ujar Gea, suaranya sarat dengan keyakinan yang dipaksakan.Rean mengerjap, lalu terkekeh kecil, seolah baru menyadari keberadaan Gea. "Ah... Gea! Benar, kau Gea!""Ya, aku. Tidak usah bersedih karena Kak Lisha. Aku ada untukmu, Kak Rean. Aku yang akan selalu menemanimu," lanjut Gea, suaranya bergetar oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar simpati.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Rean, pria itu mengangkat tangannya, menyentuh wajah Gea dengan kelembutan yang membuat dada Gea bergejolak. Jemari hangat itu membelai pipinya, namun di balik sentuhan itu, Gea bisa merasakan kehampaan."Kenapa kita harus bert