Sambil berjalan pergi meninggalkan kediaman Angga yang bak istana, air mata Selina jatuh. “Hiks, gagal lagi. Ke mana sekarang aku harus pergi?”
Kerabatnya, meskipun berpunya tapi tidak ada yang sudi meminjamkan sepeser pun uang untuk Selina. Teman-temannya juga tidak bisa diharapkan, semua mendadak menghilang setelah tahu keluarga Selina runtuh dari kejayaan. Pacarnya apalagi, sangat tidak mungkin dimintai bantuan karena keadaannya sama sulitnya dengan Selina. Tapi satu hal yang selalu Selina syukuri, meski tidak dapat membantu secara finansial, setidaknya kekasihnya masih bisa dijadikan tempat pulang.Akhirnya, Selina memutuskan untuk mampir ke rumah kekasihnya, Erlan.“Sayang …,” panggil Selina dengan nada sendu.“Hei, ada apa?” Erlan baru selesai menggoreng keripik pisang saat Selina datang dan langsung memeluknya dari belakang. Kekasih Selina itu memiliki bahu yang lebar dan pinggang ramping sehingga siapa pun yang memeluknya akan merasa nyaman.“Pertemuanku dengan Angga nggak berjalan baik,” jawab Selina. “Aku marah karena dia cuma mau membantuku kalau aku mau menuruti syarat anehnya.”Erlan tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan teh.”“Aku maunya susu.”“Baiklah.” Erlan tersenyum, kemudian bergegas membuatkan segelas susu putih untuk pacarnya. “Minumlah.”“Makasih.”Selina sudah duduk di sofa hijau yang tampak usang. Di depannya terdapat sebuah meja kayu berwarna hitam yang keempat sudutnya mulai lapuk, meski begitu masih cukup kokoh untuk ditumpangi segelas susu buatan Erlan dan setoples keripik pisang.Erlan duduk di sebelah Selina, tangannya menyentuh tangan wanita itu dengan lembut seraya berkata, “Selina, apa pun keputusanmu aku akan mendukungnya.”“Apa maksudmu?” Selina tidak mengerti.“Tentang syarat Angga.” Lelaki itu menatap Selina dalam-dalam. “Kalau itu nggak terlalu menyulitkanmu, terimalah, jangan hiraukan perasaanku. Meskipun mungkin kamu harus berurusan dengan dia dalam waktu yang lama, aku akan baik-baik saja.”Hati Selina perih mendengarnya. Tujuannya menemui Erlan adalah supaya hatinya yang kacau usai menemui Angga jadi kembali tenang, tapi lelaki itu malah mendorongnya untuk terus berurusan dengan Angga tanpa tahu apa-apa.Dengan kesal Selina berkata, “Kamu nggak tahu se-nggak masuk akal apa bantuan yang dia tawarkan! Udahlah, aku nggak mau bahas soal ini, aku mau pulang!”Selepas kepergian Selina, Erlan terpuruk di dapur rumahnya. Dia menangis. Mengingat cerita Selina tempo hari tentang siapa Angga dan bagaimana dulu lelaki itu mencintainya, Erlan jadi berpikir mungkin saja Angga masih mengharapkan Selina. Dan jika benar, Erlan tidak bisa berbuat apa-apa karena bila disandingkan dengan Selina, dia sama sekali tidak pantas. Dia tidak punya apa-apa selain cinta, sedangkan Angga punya segalanya, termasuk uang yang bisa membebaskan Selina dari lilitan utang yang kian membengkak.Lelaki miskin sepertinya mana mungkin bersikap egois. Daripada menahan Selina dalam kemiskinan, lebih baik melepasnya.***Satu hal yang Selina sesali setelah akhirnya jatuh miskin adalah tidak mengejar pendidikan setinggi mungkin selagi ada kesempatan. Hidupnya selama ini terlalu santai karena berpikir kekayaan yang dimiliki ayahnya takkan habis.Tapi sekarang, saat akhirnya jadi orang tak punya, Selina menyadari dirinya benar-benar tertinggal. Minimnya pengalaman dan ijazah yang rendah tidak bisa membawanya bekerja di tempat dengan gaji tinggi. Satu-satunya tempat yang mau menerima Selina bekerja hanyalah kios pulsa yang tutupnya hingga larut malam.“Heuhh … capeknya.” Selina meregangkan tubuh saat akhirnya jam kerja selesai.Biasanya, setengah jam sebelum kios tutup Erlan sudah datang menjemput, tapi setelah perselisihan waktu itu Selina bersikeras ingin pulang sendiri. Walau harus melewati jalanan sepi, setidaknya Selina tidak perlu mendengarkan bujukan Erlan untuk mempertimbangkan tawaran bantuan dari Angga.“Di sini kau rupanya!”Langkah Selina tiba-tiba terhenti saat dua orang pria berwajah garang menghadangnya. “S-siapa kalian?”Bukannya menjawab, kedua pria itu langsung membekap mulut Selina dan membungkus kepala wanita itu dengan sebuah karung. Selanjutnya, Selina tidak tahu apa yang terjadi karena salah satu dari mereka memukulinya hingga pingsan karena melawan.Saat membuka mata, Selina sudah berada di sebuah kamar yang luas dan tampak seorang lelaki berbadan tinggi tegap tengah menatap ke arahnya dari ambang pintu.“Udah bangun?” Lelaki itu berjalan mendekat.Selina mengerjapkan mata. “Angga? Sialan! Apa maumu sampai harus melakukan ini?!”“Melakukan apa?”“Menculikku!” tegas Selina. Dia buru-buru bangun dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Bukan aku, itu rentenir,” jawab Angga, lelaki itu duduk di pinggir kasur tepat di sebelah Selina. Mereka saling menatap. “Kudengar kamu udah tiga bulan nggak bayar utang, jadi mereka nggak punya pilihan lain selain membawamu.”Selina terdiam.Itu benar, sudah tiga bulan dia menunggak karena tidak punya uang.“Apa kamu tahu risiko berutang pada lintah darat seperti mereka? Mereka itu kejam, kalau nggak mampu bayar kamu bisa dijual.” Angga memperingatkan dengan nada bicara yang tegas. Selina menggigit bibir bawahnya, agak perih karena ada yang luka. “Sekarang utangmu udah lunas. Ke depannya, jangan sampai berurusan lagi dengan mereka.”“Kamu membayarnya?!” Bibir Selina terbuka, wujud dari keterkejutannya.“Iya,” jawab Angga.“Kenapa?!”“Bukankah seharusnya kamu berterima kasih?” Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya.“Tapi, kan, aku udah bilang kalau aku nggak mau jadi milikmu! Aku juga nggak bisa mengembalikan uangmu dalam waktu dekat!”Angga tersenyum, masih punya segudang kesabaran untuk menghadapi Selina yang pemarah. “Kamu bisa bayar pelan-pelan. Sebagai jaminan, tinggallah di rumahku.”“Apa? Bagaimana dengan pekerjaanku?” Kios pulsa tempat Selina bekerja jaraknya cukup jauh dari rumah Angga. Kalau harus pulang-pergi setiap hari bisa-bisa gajinya yang tak seberapa habis hanya untuk biaya transportasi.“Berhentilah.” Angga menyarankan. “Aku akan memberimu pekerjaan.”“Benarkah?”“Ya.”“Berapa kamu akan membayarku?” tanya Selina.“Itu tergantung bagaimana sikapmu padaku.”Selina memicing curiga. “Kamu nggak berencana memberiku pekerjaan yang aneh-aneh, kan?”Angga menyeringai sebelum akhirnya berdiri dari tempat tidur Selina. “Kita akan tahu besok, sekarang tidurlah.”***Selina bangun pagi-pagi sekali dan langsung membersihkan diri. Semalam, pembantu Angga memberikan setumpuk pakaian yang salah satunya kini Selina kenakan. Gaun floral panjang yang didominasi warna sand dengan sedikit renda di lengannya, entah bagaimana bisa sangat pas di tubuh Selina.“Untuk ukuran laki-laki brengsek, selera fesyenmu sopan juga ya ternyata,” komentarnya sambil bercermin.Karena belum terdengar aktivitas apa pun di rumah ini, Selina yang belum tahu apa pekerjaannya hanya berdiam diri di dalam kamar sampai tiba waktunya sarapan. Pembantu Angga yang kemarin mengantarkan pakaian ke kamar Selina memanggilnya untuk bergabung ke meja makan. Di ujung meja, Angga sudah menunggu.“Cuma kita berdua?” tanya Selina.“Iya.”Selina langsung duduk di depan piringnya yang sudah disiapkan di ujung meja, berhadapan dengan Angga dalam jarak yang cukup jauh karena meja makan berbentuk persegi panjang itu lumayan besar. Meja tersebut dan dua kursi yang menjadi pasangannya dicat serbaputih. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan untukmu?”“Pertama,” Angga menatap Selina lekat-lekat, “temani aku makan setiap hari.”Selina tertawa. “Apa kamu kesepian sampai minta ditemani makan?”“Begitulah.” Angga mengakui.“Ck! Kasihan.”Mendengar komentar tersebut, pembantu Angga yang sedang menuangkan minum untuk Selina langsung mengerutkan dahi. Berani-beraninya wanita itu mengasihani Angga, padahal yang pantas dikasihani adalah dirinya sendiri karena tempo hari sudah memecahkan guci Angga dan sekarang malah punya segunung utang kepada lelaki itu.Untungnya, Angga tidak mempermasalahkan komentar tersebut. Daripada menanggapi, dia memilih lanjut menjelaskan pekerjaan apa yang akan Selina lakukan. “Kedua, kamu bisa berbagi pekerjaan rumah dengan Bik Lastri.”“Bik Lastri?” Selina mengerutkan dahi.“Saya, Non.” Pembantu Angga menyahut.“Oh, tapi aku mulai kerjanya besok aja, ya? Hari ini mau ambil barang-barang di kontrakan.”“Kamu perlu sopir?” Angga menawarkan.Namun Selina menolaknya. “Ada seseorang yang mau kutemui setelah ambil barang. Jadi, kayaknya mending naik ojek daripada ngerepotin sopirmu.”“Seseorang? Siapa?” Angga menaikkan sebelah alisnya.“Selina, kenapa kamu di sini?” Erlan baru pulang mengajar saat mendapati Selina duduk di teras rumahnya seorang diri. Di sebelah wanita itu tergeletak koper merah muda berukuran besar dan sebuah ransel berwarna ungu. Selina mendongak menatap Erlan. “Hei, apa yang terjadi?” tanya Erlan begitu menyadari bibir bawah Selina terluka. Dia lantas berlutut dengan sebelah kakinya di hadapan wanita itu untuk memeriksa. “Apa kamu jatuh?” Selina menggeleng. “Rentenir itu datang.” “Dan mereka memukulmu?!” Erlan menebak. Selina mengangguk. Saat itu juga api kemarahan terpancar jelas di mata Erlan, dibarengi dengan kedua tangan lelaki itu yang mengepal kuat-kuat. Menyadari kekasihnya murka, Selina segera menenangkan. “Tapi sekarang semua udah selesai. Angga datang dan melunasi semua utangku,” beri tahunya. “Angga?” “Iya.” Selina membenarkan. “Kamu nggak marah, kan?” “Mana mungkin aku marah,” jawabnya. Erlan memang tidak marah, hanya saja ada sesuatu yang tidak nyaman di dadanya, seperti … s
Tidak terasa satu minggu telah berlalu sejak Selina mulai bekerja di rumah Angga. Tapi hingga detik ini, Selina sama sekali tidak mengindahkan perintah Angga yang memintanya mengundang Erlan. Bukan karena Selina meremehkan Angga. Hanya saja, dia tidak mau Erlan dibawa-bawa dalam urusan mereka karena bisa saja Angga berbuat macam-macam. Apalagi semua orang tahu Angga punya reputasi buruk. Pekerjaannya adalah serendah-rendahnya pekerjaan yang ada di dunia ini, dan menghabisi nyawa orang sudah jadi kebiasaan. Kalaupun harus berurusan dengan lelaki seperti Angga, biar Selina saja, Erlan jangan. “Selina.” Bik Lastri memanggil. Selina yang sedang mengupas sekeranjang bawang bombai bersama dua pembantu lainnya langsung menoleh. “Ya?” “Tolong antar ini ke ruang kerja Tuan Angga,” ujar Bik Lastri sembari mengulurkan nampan berisi dua gelas teh dan beberapa kudapan di piring bermotif bunga berukuran sedang. “Oke.” Selina menerima nampan tersebut dan pergi meninggalkan dapur. Di antara keem
“I-itu … Angga,” jawab Selina merasa bersalah. [“Kalian berduaan di kamar? Di jam segini?”] Selina meraup wajahnya dengan panik. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, kok. Dia cuma minta tolong dan langsung pergi, udah.” [“Oh ….”] Sungguh di luar dugaan, hanya kata itu yang keluar dari mulut Erlan. Padahal, kalau Selina yang ada di posisi lelaki itu dia akan langsung murka. “Kamu nggak marah?” tanya Selina hati-hati. [“Nggak, aku percaya sama kamu,”] ujar Erlan, kemudian meminta Selina tidur sebelum akhirnya menutup panggilan. Meski bibirnya berkata tidak, di dalam hati sebetulnya Erlan benar-benar kesal. Dia cemburu. Wajahnya mengetat setiap kali membayangkan Selina berduaan dengan lelaki lain di dalam kamar, apalagi lelaki itu adalah Angga, mantan Selina. “Aarrgghh!” Sekuat tenaga Erlan mengarahkan tinjunya ke cermin yang menggantung di dinding kamar hingga buku-buku jarinya terluka. Namun hal itu tidak membuat amarahnya meredam. Erlan butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pik
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya