Kamu tim Angga atau tim Erlan? Komen di bawah ya! Vote juga boleh
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
“Aku bisa melunasi semua utangmu, tapi sebagai gantinya jadilah milikku.” Lelaki bernama Angga Alvian itu, mantan kekasih yang pernah Selina campakkan, tampaknya tahu kapan waktu yang tepat untuk balas dendam. Ya, sekarang! Setelah Selina jatuh miskin dan terlilit utang. Padahal, rasanya baru kemarin hidup Selina begitu cemerlang dan penuh kebahagiaan. Namun kini, dalam sekejap semuanya hilang. Ibunya selingkuh dan pergi entah ke mana, perusahaan milik keluarganya bangkrut, asetnya habis terjual untuk membayar utang judi yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal. Itupun belum cukup, Selina masih harus mencari pinjaman ke mana-mana, bahkan rela melakukan pekerjaan paruh waktu hanya untuk menyambung hidup. Bagi Selina yang biasa hidup bergelimang harta, tiba-tiba jatuh miskin terasa sangat menyiksa. Belum lagi setiap hari gerak-geriknya diawasi rentenir, sungguh menambah keresahan dan kecemasan. Takut kalau suatu hari nanti dirinya dijual karena tidak bisa melunasi utang. Hingga a
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya