“I-itu … Angga,” jawab Selina merasa bersalah.
[“Kalian berduaan di kamar? Di jam segini?”]Selina meraup wajahnya dengan panik. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, kok. Dia cuma minta tolong dan langsung pergi, udah.”[“Oh ….”]Sungguh di luar dugaan, hanya kata itu yang keluar dari mulut Erlan. Padahal, kalau Selina yang ada di posisi lelaki itu dia akan langsung murka.“Kamu nggak marah?” tanya Selina hati-hati.[“Nggak, aku percaya sama kamu,”] ujar Erlan, kemudian meminta Selina tidur sebelum akhirnya menutup panggilan.Meski bibirnya berkata tidak, di dalam hati sebetulnya Erlan benar-benar kesal. Dia cemburu. Wajahnya mengetat setiap kali membayangkan Selina berduaan dengan lelaki lain di dalam kamar, apalagi lelaki itu adalah Angga, mantan Selina.“Aarrgghh!” Sekuat tenaga Erlan mengarahkan tinjunya ke cermin yang menggantung di dinding kamar hingga buku-buku jarinya terluka. Namun hal itu tidak membuat amarahnya meredam. Erlan butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari Selina dan Angga.Akhirnya, tanpa peduli dini hari telah tiba, dia mengambil jaket biru tuanya dan keluar rumah untuk berlari. Langkahnya begitu cepat, seolah ingin lari dari kenyataan walau hanya sebentar.“Aarrgghh!”Setelah tiga puluh menit berlari lagi-lagi Erlan berteriak karena bayangan Selina dan Angga tak kunjung lenyap dari pikirannya. Napasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran di tengah dinginnya malam. Kini, dia berhenti di jalanan sepi di mana tak ada satu pun kendaraan yang melintas.Hingga tiba-tiba …DIN!DIN!Sebuah mobil dengan lampu yang amat terang tiba-tiba mengklaksonnya dari belakang. Mobil itu berwarna hitam. Meskipun Erlan tidak punya mobil, sedikit banyak dia tahu merek-merek mobil dengan harga miliaran, dan mobil di hadapannya ini salah satunya. Di bagian kap mesin mobil tersebut, berdiri bendera ungu berukuran kecil yang di bagian tengahnya tersulam motif celurit berwarna emas.Cerita tentang bendera ungu sudah berulang kali Erlan dengar dari masyarakat. Katanya, bendera itu adalah tanda pengenal bagi komplotan begal bersenjata tajam yang tidak segan menggorok korbannya bila melawan. Tapi sekarang Erlan tidak membawa barang berharga apa pun, lantas kenapa mobil itu menghampirinya?“Apa benar Anda yang bernama Erlan?” Seorang lelaki berpakaian serbahitam keluar dari mobil itu dan bertanya.“Ya, saya Erlan.”Lelaki itu berjalan mendekat, kemudian mengulurkan sebuah amplop berwarna ungu yang motifnya sama persis dengan berdera di mobil tersebut. “Bos saya mengundang Anda untuk berkunjung,” ujar lelaki itu.“Bos?”***Hari sudah menjelang petang saat Angga tiba-tiba mendatangi dapur dan meminta Selina bersiap untuk pergi. Meskipun kesal karena mendadak diajak pergi saat sedang sibuk-sibuknya menyiapkan makan malam, Selina tetap tidak bisa menolak.Angga tidak memberi tahu mereka akan pergi ke mana. Mobil lelaki itu dengan lincah membelah jalanan yang cukup ramai oleh pengendara motor hingga sampailah mereka di sebuah toko baju wanita.“Apa yang mau kamu beli di tempat seperti ini?” Selina bertanya sembari mengerutkan dahi. Dia baru turun dari mobil dan langsung menghampiri Angga.Angga menoleh ke arahnya. “Baju.”“Buat siapa?” tanya Selina lagi.“Kamu.”“Hah?” Selina menaikkan sebelah alisnya.Semasa pacaran dulu Angga memang kerap kali membelikannya ini-itu, tapi sekarang situasinya berbeda, mereka bukan lagi sepasang kekasih. Malah, dia cuma pembantu, jadi untuk apa Angga melakukan ini? Tapi belum sempat pertanyaan itu terlontar dari mulut Selina, Angga sudah lebih dulu menariknya masuk ke toko tersebut.Dua orang pelayan toko yang tampaknya sudah tak asing lagi dengan Angga langsung menyambut mereka dengan ramah. Salah satu pelayan toko itu mempersilakan Angga duduk di sofa merah muda untuk menunggu, sedang satunya lagi membawa Selina ke ruang ganti untuk mencoba sebuah gaun yang entah sejak kapan sudah disiapkan. “Wah, Anda cantik sekali,” puji pelayan toko tersebut.Selina memandangi dirinya di cermin. Gaun hitam yang dipaikainya ini memang cantik. Meski panjangnya di atas lutut dan seolah memberikan kesan berani, namun tidak terlalu seksi karena memiliki lengan panjang dan bagian dadanya tertutup.“Apa Anda suka?”“Ya,” jawab Selina.Pelayan toko itu tersenyum puas, kemudian melipat pakaian Selina dan memasukkannya ke dalam paper bag indicolite. “Selera suami Anda memang bagus.”“S-suami?!” Selina nyaris melotot, tapi dia segera menyembunyikan keterkejutan itu dengan kembali bertanya. “Apa dia sendiri yang memilih gaun ini?”Pelayan toko itu membenarkan. “Tadinya Pak Angga meminta kami menyiapkan satu gaun yang paling cocok dengan setelan jas beliau, tapi setelah nggak sengaja melihat gaun ini, beliau langsung membayarnya dan membawa Anda datang ke sini.”“Ah ….” Selina mengangguk.Dia merasa ada yang tidak beres dengan Angga.Di perjalanan pulang, Selina menghela napas sembari memutar bola matanya dengan malas karena gaun yang kini dipakaianya benar-benar serasi dengan setelan jas hitam milik Angga. “Sebenarnya,” tanya Selina pada akhirnya, “untuk apa kamu memberiku baju ini?” Angga melirik Selina sekilas sambil tersenyum, lalu kembali fokus ke jalan. “Aku hanya ingin kita berpakaian senada saat makan malam nanti.”Selina mengerutkan dahi. “Kenapa tiba-tiba …?”Angga mengedikkan bahu. “Ingin saja.”“Dasar aneh!”“Sebenarnya,” Angga kembali bicara, namun kini tanpa melirik sama sekali ke arah Selina, “aku ingin kita terlihat seperti pasangan. Biar orang-orang juga tahu kalau kamu milikku.”Selina nyaris menganga karena pernyataan Angga cukup mengejutkan. Pasangan katanya? “Apa kamu lupa kalau sejak dua belas tahun yang lalu kita udah putus? Apa harus selalu diingatkan begini?”Selina sudah memasang wajah kesal saat mengatakan itu, tapi Angga malah tersenyum jail sambil berkata, “Maksudku pasangan majikan dan pembantu.”“Apa?”Sial!Selina malu.Dia buru-buru memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela. Bisa-bisanya dia tidak terpikir bahwa majikan dan pembantu juga bisa disebut pasangan.“Kenapa memberiku baju sebagus ini kalau kita hanya pasangan majikan dan pembantu?” gerutu Selina lirih, namun tampaknya Angga dengar karena lelaki itu langsung menyahut.“Apa kamu berharap lebih?”“NGGAK, TUH!” balas Selina spontan.Dia menoleh ke arah Angga, tapi berhubung senyum jail lelaki itu membuat kedua pipinya makin merona karena malu, Selina kembali buang muka.Setelahnya, tak ada obrolan lagi di antara mereka sampai akhirnya Angga menghentikan mobil di depan teras rumah. Tepat di depan mobil Angga, terparkir mobil Dion yang baru kembali entah dari mana. Sembari melepas sabuk pengaman, Selina sekilas melihat Dion turun dari mobil lalu membukakan pintu belakang untuk seseorang. Selina tidak tahu itu siapa, tidak penasaran juga karena masalah lelaki di rumah ini tak ada urusannya dengannya.“Kamu kenal siapa dia?” Angga, dengan dagunya, menunjuk ke arah mobil Dion.Selina yang baru akan membuka pintu mobil mau tak mau kembali menoleh ke depan, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati lelaki yang benar-benar dia kenal keluar dari mobil Dion. “Erlan?!”Angga tersenyum puas.“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya