“Selina, kenapa kamu di sini?” Erlan baru pulang mengajar saat mendapati Selina duduk di teras rumahnya seorang diri. Di sebelah wanita itu tergeletak koper merah muda berukuran besar dan sebuah ransel berwarna ungu.
Selina mendongak menatap Erlan.“Hei, apa yang terjadi?” tanya Erlan begitu menyadari bibir bawah Selina terluka. Dia lantas berlutut dengan sebelah kakinya di hadapan wanita itu untuk memeriksa. “Apa kamu jatuh?”Selina menggeleng. “Rentenir itu datang.”“Dan mereka memukulmu?!” Erlan menebak.Selina mengangguk.Saat itu juga api kemarahan terpancar jelas di mata Erlan, dibarengi dengan kedua tangan lelaki itu yang mengepal kuat-kuat. Menyadari kekasihnya murka, Selina segera menenangkan. “Tapi sekarang semua udah selesai. Angga datang dan melunasi semua utangku,” beri tahunya.“Angga?”“Iya.” Selina membenarkan. “Kamu nggak marah, kan?”“Mana mungkin aku marah,” jawabnya.Erlan memang tidak marah, hanya saja ada sesuatu yang tidak nyaman di dadanya, seperti … sesak? Dia bersyukur ada Angga yang menyelamatkan Selina, tapi di sisi lain dia cemburu. Kenapa harus Angga dan bukan dia? Padahal dialah kekasih Selina, dia yang pantas melindungi Selina, bukan Angga yang notabene adalah mantan wanita itu. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. “Sampaikan terima kasihku ke Angga.”“Tentu,” jawab Selina.“Jadi, bagaimana dengan syarat laki-laki itu? Kamu menerimanya?”“Ya, aku nggak punya pilihan.” Selina menjawab dengan berat hati, tapi ekspresinya dipalsukan menjadi sedikit lebih ceria supaya kekasihnya tidak khawatir. “Tapi kali ini beda, lebih mudah dari yang kemarin. Aku cuma harus kerja di rumah Angga sampai semua uangnya kukembalikan. Yaaa, meskipun itu nggak nyaman, tapi seenggaknya dia ngebolehin aku buat bayar pelan-pelan.”Erlan malu mendengarnya. Sebagai pacar sekaligus satu-satunya lelaki yang dimiliki Selina, seharusnya dia bisa diandalkan saat wanita itu dalam kesulitan. Namun keterbatasannya membuat Erlan tidak bisa berbuat apa-apa. Gajinya sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar tidak cukup untuk membantu membayar utang Selina meskipun sudah digabung dengan uang hasil jualan keripik. Apalagi, dia juga harus menanggung biaya sekolah adiknya yang masih SMK.“Maaf.” Jemari Erlan terulur menyentuh tangan Selina. “Maaf karena aku miskin. Maaf karena sekarang aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi ke depannya, aku janji akan membantu semampuku.”Sungguh, Selina tidak suka setiap kali Erlan merendahkan dirinya sendiri seperti ini. Sambil tersenyum, dia segera mengalihkan pembicaraan dengan senatural mungkin. “Daripada membantuku, bukankah lebih baik kamu menabung untuk biaya pernikahan kita?”Erlan menganga. “Kamu mau menikah denganku?!”“Ya, mau, lah! Kamu pikir selama ini aku pacaran denganmu untuk main-main?!” Selina merengut.“Tapi aku miskin.”“Aku juga,” balas Selina.“Dan rumahku jelek,” lanjut Erlan.Selina mendengkus kesal. “Aku suka rumah jelek ini dan aku akan menikahi pemiliknya. Jadi, tolong jangan halangi aku karena tekadku udah bulat!”Perkataan Selina benar-benar membuat Erlan senang, terbukti dari senyuman manis yang terukir di wajah tampan lelaki itu. “Apa kamu mau melihat-lihat rumah jelekku?”“Tentu,” jawab Selina.Erlan pun bergegas membuka pintu rumahnya dan menuntun Selina masuk.Di tempat lain, di sebuah pertemuan yang diadakan di kediaman camat, Angga tiba-tiba naik pitam saat menerima laporan dari anak buahnya yang diam-diam mengikuti Selina. Melalui aplikasi pesan, lelaki itu mengirimkan beberapa foto yang memperlihatkan kemesraan Selina bersama sang kekasih. Ketika Erlan berlutut di hadapan Selina seraya memegang tangannya, ketika Selina menatap Erlan dengan penuh cinta, dan saat Erlan menuntun Selina masuk rumah sambil membawakan koper dan ransel milik wanita itu. Sungguh, semua terlihat menjengkelkan di mata Angga.“Oh, jadi ini yang namanya ambil barang?” gumamnya, tak sabar ingin berjumpa dengan Selina untuk memberi wanita itu pelajaran karena diam-diam menemui lelaki lain.“Anda bilang apa?” tanya Pak Camat yang duduk tepat di sebelah Angga.“Bukan apa-apa.”Meskipun pekerjaan yang Angga geluti adalah kejahatan dan terbilang keji, orang-orang tetap menghormatinya, termasuk pejabat tingkat kecamatan sekalipun. Sejak mendiang kakek Angga—pemimpin begal generasi pertama—memulai bisnis gelap tersebut, tak ada seorang pun yang berani mengusiknya karena nyawa yang jadi taruhan. Hasilnya, kini lebih dari setengah penduduk daerah ini menggeluti pekerjaan yang sama di bawah kepemimpinan Angga. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda yang putus sekolah dan kepala keluarga pengangguran.Sebagai pemimpin, Angga hanya bertugas membekali orang-orangnya dengan pelatihan bela diri dan senjata tajam, serta mewanti-wanti mereka untuk tidak beroperasi di daerah sendiri supaya sanak saudaranya tak jadi korban.“Omong-omong,” Pak Camat bicara lagi, namun kali ini terdengar lirih dan diucapkan dengan malu-malu, “saya punya anak gadis, loh, cantik, baru wisuda kemarin. Gimana kalau nanti malam kalian makan bersama?”Angga berhasil menahan kernyitannya. Persis inilah yang dia dapatkan setiap kali ada perkumpulan dengan pria tua yang mempunyai anak gadis. Benar-benar memuakkan. “Maaf, saya sudah ada janji.”“Oh, kalau gitu kapan-kapan saja, kalau Anda senggang,” kata Pak Camat.Angga hanya tersenyum hambar. Kalaupun senggang, dia tetap tak sudi makan dengan wanita yang tidak dia kenal, apalagi sekarang sudah ada Selina di sisinya. Daripada makan dengan wanita lain, lebih baik Angga makan dengan Selina dan mencoba mendisiplinkan wanita itu supaya berhenti menemui laki-laki secara diam-diam.Saat makan malam tiba, Angga akhirnya buka suara, “Kudengar tadi kamu menemui laki-laki, apa itu benar?”Selina menaikkan sebelah alisnya. Lagi-lagi, dia duduk di seberang Angga yang jaraknya kurang lebih dua meter. “Ya, pemilik kontrakanku laki-laki. Aku menemuinya untuk berpamitan.”“Hanya itu?”“Memangnya kamu berharap aku menemui siapa lagi?”“Bukankah kamu juga menemui penjual keripik itu?” Angga tersenyum miring seraya menyandarkan punggungnya ke kursi.Mendengar itu, Selina spontan meletakkan sendok dan garpunya di atas piring hingga bunyi “ting” menggema di ruangan tersebut. Dia belum selesai makan, tapi pertanyaan Angga membuat nafsunya hilang seketika. “Apa kamu mengawasiku?” tanyanya tak suka.Bukan menjawab, Angga justru kembali bertanya, “Apa dia pacarmu?”“Kamu kelewatan!” Selina mulai geram.Namun Angga tetap terlihat tenang dan sama sekali tidak meninggikan suaranya seperti yang dilakukan Selina. “Kudengar namanya Erlan.”“Angga, hentikan!” Selina berdiri dan menggebrak meja dengan kedua tangannya. “Hanya karena aku bekerja di rumahmu bukan berarti kamu berhak mencampuri urusan pribadiku! Berhenti mengawasiku dan urus hidupmu sendiri!”Angga melipat kedua tangannya di depan perut. “Jangan lupa kalau kamu adalah jaminan dari utangmu padaku, Selina. Selama utang itu masih ada, kamu adalah milikku, dan aku bukan tipe orang yang akan membiarkan apa yang sudah jadi milikku disentuh orang lain. Kamu mengerti?”“Dasar gila!”Angga menyeringai. “Terserah kamu mau menyebutku bagaimana. Tapi sejak awal seharusnya kamu tahu kamu sedang berurusan dengan siapa. Aku memang bisa menahan diri, tapi bukan berarti aku orang yang penuh kesabaran. Lebih daripada itu, aku bukan orang baik. Kalau kamu terus bersikap seenaknya, aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan tanpa peduli itu menyakitimu. Jadi, selagi aku sopan, jagalah sikapmu.”Selina terdiam.Pada akhirnya, Angga tidak ada bedanya dengan lintah darat yang mengatur hidup Selina. Seandainya dari awal dia mempertimbangkan reputasi buruk Angga dan tidak mendatangi lelaki itu untuk meminta bantuan, mungkin ini tidak akan terjadi. Angga tidak akan mencampuri hidupnya dan takkan memaksa Selina menjadi miliknya.“Ah, pacarmu …,” lanjut Angga, berdiri dari tempat duduknya karena sudah selesai makan, “kapan-kapan ajaklah dia datang ke sini, aku ingin bertemu.”Tidak terasa satu minggu telah berlalu sejak Selina mulai bekerja di rumah Angga. Tapi hingga detik ini, Selina sama sekali tidak mengindahkan perintah Angga yang memintanya mengundang Erlan. Bukan karena Selina meremehkan Angga. Hanya saja, dia tidak mau Erlan dibawa-bawa dalam urusan mereka karena bisa saja Angga berbuat macam-macam. Apalagi semua orang tahu Angga punya reputasi buruk. Pekerjaannya adalah serendah-rendahnya pekerjaan yang ada di dunia ini, dan menghabisi nyawa orang sudah jadi kebiasaan. Kalaupun harus berurusan dengan lelaki seperti Angga, biar Selina saja, Erlan jangan. “Selina.” Bik Lastri memanggil. Selina yang sedang mengupas sekeranjang bawang bombai bersama dua pembantu lainnya langsung menoleh. “Ya?” “Tolong antar ini ke ruang kerja Tuan Angga,” ujar Bik Lastri sembari mengulurkan nampan berisi dua gelas teh dan beberapa kudapan di piring bermotif bunga berukuran sedang. “Oke.” Selina menerima nampan tersebut dan pergi meninggalkan dapur. Di antara keem
“I-itu … Angga,” jawab Selina merasa bersalah. [“Kalian berduaan di kamar? Di jam segini?”] Selina meraup wajahnya dengan panik. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, kok. Dia cuma minta tolong dan langsung pergi, udah.” [“Oh ….”] Sungguh di luar dugaan, hanya kata itu yang keluar dari mulut Erlan. Padahal, kalau Selina yang ada di posisi lelaki itu dia akan langsung murka. “Kamu nggak marah?” tanya Selina hati-hati. [“Nggak, aku percaya sama kamu,”] ujar Erlan, kemudian meminta Selina tidur sebelum akhirnya menutup panggilan. Meski bibirnya berkata tidak, di dalam hati sebetulnya Erlan benar-benar kesal. Dia cemburu. Wajahnya mengetat setiap kali membayangkan Selina berduaan dengan lelaki lain di dalam kamar, apalagi lelaki itu adalah Angga, mantan Selina. “Aarrgghh!” Sekuat tenaga Erlan mengarahkan tinjunya ke cermin yang menggantung di dinding kamar hingga buku-buku jarinya terluka. Namun hal itu tidak membuat amarahnya meredam. Erlan butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pik
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Angga menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di belakang meja kerjanya dengan pasrah. Matanya terpejam, dibarengi dengan tarikan napas yang begitu dalam. Masalah seperti ini bukan hal baru lagi di dunia perbegalan. Meski orang-orangnya sudah dibekali dengan pelatihan bela diri, senjata tajam, bahkan ilmu kebal dan jimat, kalau ajal datang maka tidak ada yang bisa menghindar. Orang-orangnya ini masih beruntung karena hanya dibakar hidup-hidup. Kalau sampai ditelanjangi dan diarak berkeliling desa sebelum akhirnya dipenggal, tidak hanya sakit, mereka juga akan merasa malu. Belum lagi, biasanya kepala pelaku begal yang tertangkap akan dipertontonkan selama berhari-hari di tiang bambu yang sengaja dipasang di tempat ramai. Tapi itu bukan yang paling parah. Pernah sekali di masa kepemimpinan kakek Angga, salah satu pelaku begal yang tertangkap tidak hanya dipenggal, namun kepalanya juga dikirim ke keluarganya sebagai pelajaran. Parahnya, yang menerima kotak kayu berisi kepala tersebut
Suasana hati Selina tiba-tiba berubah jadi buruk setelah Dion mengatakan itu. Lirikan sinisnya kemudian tertuju ke lelaki berpakaian serba hitam yang duduk di sebelah Dion dengan menyandarkan kepalanya di atas meja. Itu Angga, dan dia mabuk. Dalam keadaan waras saja mulut Angga dengan gampangnya mengajak Selina “tidur”, apa kabar jika mereka berduaan di kamar lagi dengan kondisi Angga yang mabuk begini? Bisa-bisa, Angga hilang kendali dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. “Sesekali masuk angin nggak akan bikin orang kehilangan nyawa, kok. Jadi, biarkan saja dia tidur di sini kayak yang lain,” jawab Selina. Seluruh tamu yang hadir memang tidak diperbolehkan pulang karena sedang dalam pengaruh alkohol. Jadi, mereka semua tidur di sembarang tempat di halaman rumah Angga. Ada yang tidur di kursi, ada yang tidur di atas panggung, ada yang di teras, di atas meja prasmanan, bahkan juga ada yang tergeletak di rerumputan tanpa alas apa pun. “Bos Angga beda dengan mereka, kesehatannya jauh
Setelah Selina duduk di sebelahnya, Angga mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian memberikannya kepada wanita itu. Selina mengerutkan dahi. “Potongan kuku?” Angga mengangguk seraya mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Selina. “Tolong potong kukuku.” “Memangnya kamu nggak bisa melakukannya sendiri?!” “Tentu saja bisa,” ujar lelaki itu. “Tapi aku butuh alasan untuk menahanmu di sini. Atau …, kamu ingin mengolah daging kerbau saja daripada memotong kukuku?” Sial! Selina tidak dapat memungkiri bahwa memotong kuku Angga jauh lebih mudah ketimbang mengolah daging kerbau, yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Selina bahkan belum pernah makan daging kerbau. Bagaimana wujud dagingnya juga tidak tahu. Seperti daging sapikah? Atau justru lebih mirip daging kambing yang bau? Ewh, memikirkannya saja membuat Selina bergidik. Akhirnya, dia memutuskan untuk meraih tangan Angga dan mulai memotong kuku lelaki itu tanpa bicara apa-apa. Di sebelah Selina, Angga tersenyum. Sesekali
Beberapa saat yang lalu Angga memuji Selina karena telah memilih pilihan yang tepat. Ya, Selina memenuhi permintaan Angga untuk berjanji. Tapi, Selina sendiri tidak yakin apakah yang dilakukannya itu benar. Berjanji tidak akan menemui kekasihnya lagi demi menyelamatkan pria asing yang baru ditemuinya sekali, akankah Erlan memaafkannya? “Sebenarnya, kenapa kamu melakukan ini?” Selina berhenti di ujung tangga lantai tiga. Setelah kejadian tadi, Angga bersikeras ingin mengantarnya ke kamar. Kini lelaki itu berdiri di sebelah Selina, menatapnya dengan sorot mata yang jauh lebih hangat ketimbang tadi. “Melakukan apa?” tanyanya sok polos, dan itu membuat Selina makin kesal. Sembari mengepalkan kedua tangan, Selina menjawab, “Memaksaku menjauhi pacarku! Kamu sadar nggak, sih, tindakanmu akhir-akhir ini keterlaluan? Ya, benar, Aku memang punya utang padamu, jadi aku nggak keberatan kalau kamu menganggapku sebagai jaminan, sebagai milikmu, atau apalah. Tapi yang sekarang kelewatan! Kenapa ha
Erlan tidak menyangka aslinya Angga jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Tak hanya menghina dan mengancamnya dengan pembunuhan, lelaki itu juga menyuapnya untuk meninggalkan Selina? Yang benar saja! Erlan yang tempo hari sempat berpikir untuk melepaskan Selina karena tidak mau menahannya dalam kemiskinan, mendadak membuang jauh-jauh pikiran konyolnya itu. Apa pun yang terjadi, dia takkan melepaskan Selina. Dia tidak rela wanita yang paling dicintainya menjadi milik bedebah ini. Dengan mantap, Erlan menjawab, “Saya nggak butuh uang kotormu!” Kemudian pergi tanpa pamit. Angga melipat kedua tangannya di depan perut. Bibirnya tersenyum miring. Sungguh keberanian yang patut diapresiasi, baru kali ini ada orang miskin yang bersikap sok di depannya. Terlebih, di kediaman Angga yang jelas-jelas dijaga tiga orang satpam bersenjata tajam. Belum lagi, ada Dion yang darahnya selalu mendidih setiap kali melihat bosnya tidak dihormati. Apa Erlan benar-benar tidak punya rasa takut? “Loh, d
“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga. “Aku mengundangnya makan malam.” “Apa?!” Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh. “Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya. Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya