Butiran air hujan masih menempel di jendela kereta. Tanah di luar masih terlihat basah, begitu pula mata seorang gadis yang bernama Gina Agustya Mahanani. Mata gadis itu masih sembab karena tangisan beberapa saat yang lalu. Dadanya pun sesak, tak rela meninggalkan kota masa kecilnya ini, Surabaya.
Hujan baru saja reda sesaat setelah Gina naik ke dalam kereta. Rasanya kota ini pun menangis melepas kepergiannya ke Bandung. Lebih daripada itu, orang tua dan dua adiknya lah yang sedih keterlaluan. Mereka mengiring Gina merantau dengan air mata membuat gadis itu makin merana. Sudah pasti ia akan menghadapi hari pertama yang berat di perantauan sebab rasa tak rela pergi.
15 menit sudah kereta ini berjalan tetapi Gina masih enggan membuka mata. Pedih nan perih terasa pada mata yang digunakannya menangis sedari tadi malam. Ia benar-benar tak rela pergi namun ia harus. Merantau adalah keputusannya sedari lama. Namun, ia tak tahu akan semenyakitkan ini pada akhirnya.
"Ya Allah, semoga Bandung adalah pilihan yang tepat," ucap Gina bermonolog. Gadis berkerudung pasmina merah muda itu membuka matanya dan menatap kearah jendela. Tersajilah pemandangan indah pesawahan. Terlihat sejuk sehabis hujan. Matahari yang mulai nampak setelah hujan pun membuat suasana terasa lebih nyaman.
Gina beralih pada jam tangan warna putih yang ia kenakan. Jam 10 pagi, begitulah yang ditunjukkan jam itu. Sudah pasti larut malam ia sampai di Bandung nantinya. Menghindari kejenuhan, Gina membuka ponselnya.
"Gin, kereta kamu sudah berangkat, kah?"
Itulah pesan yang pertama kali ia baca sesaat setelah Gina membuka ponsel. Pesan itu berasal dari temannya yang bernama Nindy. Nindy adalah teman masa kuliah Gina. Kabar baiknya, Nindy adalah orang Bandung. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
3 bulan sudah Gina tak bertemu Nindy. Semenjak wisuda, Nindy yang tadinya kuliah di Surabaya bersama Gina harus kembali lagi ke Bandung. Menyenangkan rasanya bertemu teman yang lama tak berjumpa.
"Udah berangkat Nin. Makasih banyak ya kamu udah mau repot jemput aku nanti. Akan aku kabari lagi lagi kalau udah deket stasiun," Gina membalas pesan Nindy. Sesaat setelah membalas pesan, ia langsung menutup kembali ponselnya. Matanya kembali terarah ke jendela melihat pemandangan di luar seraya berkata "Sayonara, Surabaya."
***
Gina telah sampai di Bandung. Ia mengedarkan mata untuk mencari temannya, Nindy. Sepertinya, Nindy belum tiba di stasiun untuk menjemputnya.
Tanpa disadari, perutnya mulai keroncongan. Akhirnya Gina memutuskan untuk mencari makan saja. Namun baru beberapa saat kemudian, dirinya dibuat terkejut dengan seorang laki-laki yang menabraknya. Gina sempat terjatuh. Namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Laki-laki itu ternyata pencopet. Dibawanya tas selempang Gina dan langsung berlari. Gina yang panik pun mengejar pencopet itu sambil berteriak. Namun, saat ini keadaan stasiun sepi karena sudah hampir jam 12 malam.
Gina dengan sekuat tenaga berlari mengejar pencopet itu. Ia kesulitan karena harus menyeret kopernya juga. Namun, sepertinya kebaikan malam ini masih menjadi milik Gina. Entah datang dari mana, seorang lelaki langsung menolongnya. Lelaki itu mengejar sang pencopet dengan berlari kencang. Tak Butuh waktu lama, lelaki berjaket abu-abu dengan celana jeans itu pun meringkus si pencopet tadi. Lelaki itu sempat mendaratkan beberapa pukulan di wajah pencopet itu. Gina yang baru bisa mencapai kedua orang itu pun agak ngos-ngosan dan berkata "Tolong hentikan. Setidaknya barang-barangku tidak hilang. Biarkan saja si Pencopet itu pergi."
Si lelaki yang memang tak berniat untuk berkelahi lebih lanjut itu pun hanya mengangguk. Ia langsung merampas kembali tas Gina dan menyuruh si pencopet itu pergi dengan wajah garang. Setelahnya lelaki itu langsung memberikan tas Gina kembali. Di saat bersamaan, ia menyingkap tudung jaketnya hingga Gina bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas. "MasyaAllah," ucap Gina spontan.
Laki-laki itu pun memiringkan kepala heran karena Gina tak berkedip menatapnya. "Apa kau tidak mau mengambil tasmu?" katanya, masih menyodorkan tas selempang itu.
Gina yang terpaku melihat wajah tampan lelaki itu pun beristigfar dan langsung meraih tasnya. Ia berkata "Ma-mafkan saya. Dan, terima kasih."
"Apa kau sedang menunggu seseorang untuk menjemputmu di sini? Tapi, sepertinya orang itu terlambat. Ini sudah larut malam loh," kata lelaki itu. "Ngomong-ngomong, namaku Reyhan," sambungnya sambil menyodorkan tangan kanannya. Ia bermaksud berkenalan dengan Gina.
Namun, Gina membalas dengan menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Namaku Gina," ucap Gina kikuk.
Reyhan yang melihat itu langsung salah tingkah dan menarik lagi tangannya. Ia menggunakan tangan itu untuk mengusap rambutnya sambil tertawa. "Maaf, maaf. Kamu asal mana?" Reyhan mengalihkan topik, ia berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Aku asal Surabaya. Aku ke sini untuk mencari pekerjaan. Harusnya, sekarang temanku sudah menjemputku. Tapi entah dimana dia sekarang," kata Gina sambil menatap ujung rok panjangnya. Ia tak berani menatap Reyhan lagi. Mungkin, ia takut khilaf.
Reyhan mengangguk. Setelah itu juga ia menatap jam tangannya. Sontak ia terkejut.
"Gina, apa kau baik-baik saja ku tinggal? Aku benar-benar harus pergi sekarang," nada bicara Reyhan penuh cemas.
"Hm. Tak apa." Gina berbohong. Sejujurnya, masih ada rasa takut di benaknya. Hanya saja, tak mungkin ia melarang seseorang yang baru dikenalnya untuk pergi.
"Baiklah. Senang bertemu denganmu. Aku harap kita bertemu lagi dilain waktu," Reyhan mulai beranjak. Ia berjalan menjauh dari Gina. Beberapa langkah berjalan, ia berbalik lagi dan melihat ke arah Gina. "Ngomong-ngomong...," kata Reyhan menggantung. Sontak Gina mengangkat kepalanya yang tadi agak menunduk. Ia menatap Reyhan yang sudah agak jauh darinya dengan penuh tanda tanya.
"Aku tidak tau kenapa aku ingin mengatakan ini. Tapi, kau manis sekali," sambung Reyhan. Ia langsung berbalik dan berlari kecil, meninggalkan Gina yang mulai memerah wajahnya.
***
"Saat itu, yang aku pikirkan tentangmu adalah kau seorang laki-laki yang suka modus-in cewek. Apa yang kau pikirkan saat itu? Kau bilang aku manis?" tanya Gina setelah ia mengingat rentetan kejadian 2 tahun yang lalu.
"Aku ga pernah modus-in cewek. Saat itu aku benar-benar tulus mengatakan bahwa kau manis."
"Apa aku tidak cantik?"
"Sangat. Tapi, banyak wanita yang cantik. Kau lebih," Reyhan tersenyum. Saat itu juga, Gina merasa Reyhan jauh terlihat lebih manis darinya.
Langit mulai menjingga. Lampu-lampu taman pun satu-persatu menyala. Pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar taman kota Bandung ini pun mulai menggelar dagangannya.
Pukul 17.50, begitulah tertulis di ponsel Gina. Ia agak tersentak. "Udah mau magrib," ucapnya. Ia menaruh kembali ponselnya itu pada tas yang dibawanya.
"Yuk, aku antar pulang," Reyhan berdiri dari tempat duduknya diikuti Gina.
"Tidak perlu. Apa yang akan ibu kosku pikirkan nanti? Aku pulang berdua bersama bosku, begitu?"
"Memangnya kenapa? Apa yang dipikirkan ibu kosmu itu mungkin benar adanya. Lagian, aku kan sudah melamarmu."
"Yang dipirkannya pasti lebih buruk dari apa yang kau pikirkan!"
Reyhan menarik nafas panjang. "Ini perintah dari pak Reyhan Mahendra untuk sekertarisnya, Gina Agustya Mahanani," kata Reyhan dengan gaya bicara ala CEO yang menyuruh-nyuruh bawahannya.
Gina cemberut. Tentu saja, ia akhirnya menurut.
Bersambung....
"Besok bapak hanya ada satu rapat dengan klien, jam 9 pagi," kata Gina. Saat ini ia sedang berada di kantor. Tepatnya di ruangan Reyhan, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Mereka hanya berdua di ruangan ini, menjalani posisi bos dan sekertarisnya. Mereka tetap bekerja secara profesional meski faktanya Reyhan telah melamar Gina."Apa tidak bisa dibatalkan?" tanya Reyhan."Maaf pak sebelumnya. Tapi, ada kepentingan apa hingga harus diundur?""Aku ingin membawamu ke rumah. Aku ingin mengatakan pada keluargaku jika aku berniat menikahimu," kata Reyhan dengan nada bicara lembut. Sorot matanya pun memancarkan ketulusan.Pipi Gina memanas. Ia menahan senyum bahagianya. "Aku senang sekali. Tapi pak Rey, klien kita besok adalah klien penting.""Sekertaris Gina, aku adalah bosmu. Aku yang berhak memutuskan. Ganti saja rapatnya lusa, segera hubungi klien kita itu.""Ba-baiklah," cicit
Langit hari ini nampak seperti kanvas biru tanpa coretan apapun. Matahari bersinar terik dengan leluasa. Karenanya, beberapa orang mengeluh akan gerahnya suasana meski baru jam 10 pagi.1 jam yang lalu, seharusnya Reyhan dan Gina sudah meninggalkan kantor. Namun, kerjaan yang menumpuk membuat mereka mengurungkan niat. Penampilan Gina yang rapi semenjak pagi pun perlahan mulai agak kusut karena lelah. Ia harus menyelesaikan semua kerjaannya secepat mungkin."Apa belum selesai?" tanya Reyhan. CEO itu dengan santainya masuk ke ruangan Gina tanpa permisi.Gina menggeleng. Ia sangat kesal dengan tumpukan dokumen di mejanya ini. Ia sekilas melihat Reyhan dan melanjutkan menatap laptop di depannya."Sudahlah. Tinggalkan saja. Aku akan suruh orang lain mengerjakannya. Jika tidak seperti itu, kau tidak akan selesai hari ini," Reyhan menutup laptop Gina. Membuat gadis itu agak kaget. Pasalnya, wajah Reyhan kini juga
Gina sudah berada di kos-kosan. Ia kacau sekali setelah dimarahi habis-habisan oleh bu Dian. Matanya pun masih sembab dan merah.Meringkuk di atas kasur, itulah yang dilakukannya dari tadi. Hari ini berat, membuat kepalanya cenat-cenut. Seperti dugaannya, keluarga Reyhan sangat menentang hubungan mereka. Apa yang ditakutkannya sungguh terjadi."Kenapa adat dan cintaku tak selaras?" gumamnya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Namun, Gina sama sekali tak berniat mengangkatnya. Bahkan, ia tak melirik ponselnya yang bersenandung berkali-kali. Entah siapa yang menelfon. Tetapi, yang jelas orang itu menelfon di saat yang tidak tepat.Allahuakbar...Allahuakbar....Gina tersentak dan langsung beranjak duduk. Tanpa sadar, sudah berjam-jam ia berbaring di atas kasur. Masih agak linglung, Gina mendengarkan azan asar sambil menjawabnya lirih.Selesai adzan Gina berdiri dan berjalan menuju m
Hari ini, Gina terlihat lebih sibuk dari biasanya. Banyak dokumen menumpuk di meja. Matanya pun tak berpaling dari komputer. Sesekali, ia memainkan pena karena agak pusing.Cuaca di luar sedang buruk. Banyak awan abu-abu yang sepertinya tengah bersiap menjatuhkan air mata. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, Gina memiliki firasat buruk. Ia agak sedikit gelisah dan sulit berkonsentrasi."Gina...," panggilan lembut terdengar dari luar. Suara ketukan pintu tiga kali beruntun menyusul setelahnya."Silakan masuk," sahut Gina. Kini sorot matanya beralih pada seseorang yang tengah membuka pintu perlahan.Reyhan, ia menghampiri Gina. Wajahnya juga terlihat lesu. Sudah seminggu sejak kejadian penolakan orang tuanya terhadap hubungannya dengan Gina.Belum sempat Reyhan bicara, sebuah guntur menggelegar dengan kerasnya membuat Gina bergidik takut. Ia langsung berdiri karena kaget. Spontan saja, ia menutup tirai jendela ruangannya.
Beberapa hari setelah Gina dibawa ke rumah sakit, kondisinya tak bisa dikatakan membaik. Gina terlihat makin kusut dan lesu meskipun dokter bilang jika ia hanya kelelahan dan kurang istirahat. Kondisi ini cukup membingungkan karena sudah 3 hari Gina dirawat tanpa ada tanda-tanda kondisinya membaik.Reyhan selalu setia menemani Gina meski tidak bisa 24 jam karena urusan kantor. Namun, pria itu pasti menjenguk Gina setiap hari. Lebih dari rasa sakit Gina, mungkin Reyhan merasakan hal yang lebih karena mencemaskan gadis yang dicintainya itu.Selain Reyhan, Nindy juga sering datang menjenguk. Kadang, ia datang bersama Reyhan. Kondisi seperti itu sebenarnya tidak Gina sukai. Tapi ia yakin pada Reyhan. Meski Nindy akan menggoda pak bosnya itu seperti biasa. Di sisi lain Nindy saingannya dan di sisi lain Nindy tetap temannya. Melihat Nindy masih perduli padanya saja sudah membuat Gina bahagia. Saat ini, ia tak ingin berpikir negatif."Gina. Kondisi kamu gimana?" tanya
Pesawat melaju konstan setelah lepas landas beberapa menit yang lalu. Nampak dari jendela pesawat lautan awan putih tipis dan sinar hangat matahari."Sampai jumpa lagi, Bandung."Gina menatap malas semua hal yang ada di sekitarnya. Sesekali, ia menengok jendela. Sesekali pula, ia menoleh ke arah Nindy yang tidur di sampingnya serta Reyhan yang duduk di kursi depannya. Gina akan pulang, bersama Reyhan dan Nindy. Gina akan pulang ke Surabaya."Andai aku nggak sakit, mereka berdua nggak akan repot-repot seperti ini," batin Gina. Namun, tak ia pungkiri bahwa ia cukup senang dengan fakta bahwa Nindy masih perduli padanya.Tiba-tiba, Reyhan menoleh ke belakang. Ia menatap Gina yang duduk lemas karena masih sakit. Wajah gadis itu pucat. "Lagi mikirin apa?" tanya Reyhan lembut.Gina menggeleng dan memilih melempar pandangannya ke jendela pesawat. Ia memandang hamparan tipis awan dan rumah-rumah ya
Malamnya, tepatnya kisaran pukul 19.30 banyak tetangga yang berdatangan. Mereka datang untuk menjenguk Gina. Kabar pulangnya Gina dalam kondisi sakit menyebar dengan cepat di antara tetangga.Kebanyakan dari para tetangga yang menjenguk membawa buah tangan. Entah itu buah, roti, atau pun yang lainnya. Sudah jadi kebiasaan melakukan itu. Rasanya, menjenguk orang yang tengah sakit tanpa membawa apapun itu rasanya kurang baik.Semua berkumpul di ruang tamu. Mereka semua mengobrol dengan topik utama adalah Gina. Tentu saja, karena gadis itulah para tetangga berbondong-bondong menjenguk.Rumah kediaman pak Broto ini terasa ramai. Tetangga yang datang cukup banyak. Mereka saling peduli satu sama lain. Tak hanya ibu-ibu tentunya yang datang. Melainkan ada pula beberapa bapak-bapak dan anak kecil yang diajak menjenguk. Selain itu, Reyhan, Nindy, pak Broto dan Satria juga menyambut tamu dengan baik.Di saat ruang t
"Santet?!" kata semua orang yang ada di dalam kamar Gina karena terkejut. Suasana di kamar Gina menjadi heboh setelah perkataan pak ustad bahwa Gina terkena santet."Tidak salah lagi, pasti santet," kata pak ustad mengulangi perkataannya."Bagaimana bisa? Siapa yang tega melakukan ini ke mbak Gina?!" pekik Santi heboh. Ia menutup mulut karena tak percaya bahwa asumsinya ternyata benar.Reyhan yang mematung karena masih sulit percaya pun kini angkat bicara. "Tapi, apa alasan Gina disantet?"Pak ustad menggeleng dan berkata "Motif melakukan santet tidak bisa diketahui. Tapi, apa ada orang yang membenci Gina?""Anakku adalah anak yang baik. Tidak mungkin ada yang tega melakukan ini!" teriak bu Yati sambil berderai air mata.Pak Broto yang tak kuat berdiri pun akhirnya bertekuk lutut. Ia sangat terguncang dengan fakta yang baru saja ia dengar sendiri. Ia tak habis pikir. Bisa-
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi—" lagi-lagi perkataan Fathah terpotong."Tapi apa?! Kau tidak paham perasaanku!" Reyhan menyeka air matanya yang mengalir."Kau tau, pernikahan terjadi bukan karena cinta saja. Jika orang tua mu menentang sampai menyantet Gina, tidakkah menurutmu melepas Gina adalah cara aman untuk membuatnya baik-baik saja? Caramu memperjuangkan Gina, itu sungguhan cinta atau hanya keegoisanmu saja?" kata Fathah mencoba memojokkan Reyhan."Lalu apa? Kau akan menikahinya begitu? Kau memang licik!" Reyhan pergi meninggalkan Fathah. Ia pergi membawa amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya. Melihat itu pun membuat Fathah menghembuskan napas berat. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, ia pun memutuskan kembali ke dalam rumah pak Broto."Apa aku memang licik?" Fathah bermonolog seraya berjalan masuk rumah. Di dalam, ia mendapati suasana suram yang mengerikan.Fathah tidak menemukan Gina. Sepertinya, ia telah kembali ke dalam kamar. Fathah mengerti, se
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi—" lagi-lagi perkataan Fathah terpotong."Tapi apa?! Kau tidak paham perasaanku!" Reyhan menyeka air matanya yang mengalir."Kau tau, pernikahan terjadi bukan karena cinta saja. Jika orang tua mu menentang sampai menyantet Gina, tidakkah menurutmu melepas Gina adalah cara aman untuk membuatnya baik-baik saja? Caramu memperjuangkan Gina, itu sungguhan cinta atau hanya keegoisanmu saja?" kata Fathah mencoba memojokkan Reyhan."Lalu apa? Kau akan menikahinya begitu? Kau memang licik!" Reyhan pergi meninggalkan Fathah. Ia pergi membawa amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya. Melihat itu pun membuat Fathah menghembuskan napas berat. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, ia pun memutuskan kembali ke dalam rumah pak Broto."Apa aku memang licik?" Fathah bermonolog seraya berjalan masuk rumah. Di dalam, ia mendapati suasana suram yang mengerikan.Fathah tidak menemukan Gina. Sepertinya, ia telah kembali ke dalam kamar. Fathah mengerti, se
Ketika tiba di kediaman Gina, Reyhan sedikit terkejut karena ada beberapa mobil terparkir di halaman rumah. Matanya memandang ke kanan dan ke kiri, mencoba menganalisa apa yang mungkin terjadi. Ia memegangi dagunya dan berkata "Apa ada acara? Tapi kemarin Gina tidak mengatakan apapun tentang ini."Reyhan melanjutkan langkahnya kembali. Samar-samar, ia mendengar percakapan beberapa orang. "Aduh, bagaimana ini? Apa aku datang di situasi yang salah?" Reyhan nampak gelisah. Ia memelankan langkahnya supaya bisa mendengar dengan jelas suara-suara percakapan itu."Aku hanya mendengar obrolan basa-basi. Apa mungkin ini hanya kunjungan teman-teman pak Broto saja ya?" pikir Reyhan. Ia menghentikan langkahnya karena takut mengganggu. Kini posisinya sekitar 5 meter dari pintu.Reyhan sedikit mengintip situasi di dalam. Memang ada banyak orang tang tak ia kenal. Namun, entah kenapa perasaannya tidak enak. Perlahan, ia kembali mengendap-endap mendekati pintu.Sem
Beberapa menit sudah berlalu sejak kedatangan Fathah dan keluarganya ke kediaman pak Broto. Kendati demikian, seseorang yang dinanti dalam kunjungannya itu tak kunjung muncul. Bu Yati, Satria dan pak Broto mulai agak gelisah karenanya."Saya pamit sebentar ya. Saya akan bawa Gina kemari," ucap bu Yati dengan sedikit canggung. Semua orang di sana pun mengiyakan.Berangkatlah bu Yati menuju kamar Gina yang ada di lantai 2. Dari kejauhan, terdengar percekcokan antara Gina dan Santi. Bu Yati yang mendengar itu pun makin mempercepat langkahnya.Setelah tiba di depan pintu, bu Yati berhenti sejenak. Ia sedang mendengarkan dengan seksama apa yang sedang diperdebatkan kakak dan adik itu. Sedikit samar, namu suara mereka masih bisa terdengar."Ga! Gila apa?! Apa-apaan semua ini?! Aku ga bakalan turun ke bawah. Aku ga mau nikah sama mas Fathah!"Begitulah perkataan yang bu Yati dengar. Ia yakin itu adalah suara Gina. Bu Yati sedikit menghela napas berat kare
Seminggu sudah berlalu. Keadaan Gina pun membaik, ia sudah pulih dari santet. Namun, Gina mendapati hal yang aneh. Ia dilarang pergi ke Bandung. Padahal, keluarganya tau bahwa ia masih pegawai kantor meski sudah cuti beberapa minggu.Gina tak diberi tahu alasan mengapa ia tidak boleh bekerja ke Bandung lagi. Bahkan, keluarganya meminta dirinya untuk segera mengundurkan diri dari perusahaan Reyhan. Mereka ingin Gina melepaskan pekerjaannya sebagai sekertaris."Apa alasannya? Kenapa kalian memintaku untuk mengundurkan diri tiba-tiba begini?" tanya Gina pada ayah dan ibunya. Mereka bertiga tengah berbincang-bincang sore di teras rumah.Tentunya, pak Broto dan bu Yati enggan mengatakan alasan yang sebenarnya pada Gina mengapa ia tak boleh lagi berangkat ke Bandung. Bagaimana tidak? Mereka tidak mungkin mengatakan bahwa itu adalah persyaratan Nindy agar Gina terbebas sepenuhnya dari santet. Melarang Gina bekerja
Surabaya, tepatnya sesaat setelah Gina pulang bersama Nindy dan Reyhan 2 minggu yang lalu...."Baiklah, sekarang sudah beres!" ucap Nindy sambil membersihkan tangannya dari tanah. Ia baru saja mengubur sesuatu di belakang rumah pak Broto.Nindy segera mengecek ponselnya dan menelfon seseorang yang tak lain adalah Zidan."Apa kau sudah selesai?" tanya Zidan tanpa berbasa-basi. Ia membuka pembicaraan dengan langsung bertanya."Tentu saja. Aku sudah mengubur buhul santet itu. Sekarang kita tinggal mengikuti arus," ucap Nindy. Ia tersenyum miring, menandakan kebengisannya."Bagaimana dengan 2 buhul santet yang lainnya? Kau sudah mengurusnya?" kini Nindy yang bertanya."Apa maksudmu? Santet itu sudah bekerja kan? Tentu saja 2 buhul yang lain sudah aku bereskan!" kata Zidan jengkel."Aku hanya ingin memastikan. Baiklah, aku tutup telfonnya," ucap Nindy. Ia langsung memutus panggilan dan berlari ke dalam rumah. Keadaan gelap karena sud
Esok hari datang juga. Saat-saat yang telah ditunggu Satria dan Santi sejak kemarin. Sore ini, mereka akan mengeksekusi rencana untuk mengikuti pak Broto.Jam menunjukkan pukul 16.30 yang berarti pertemuan pak Broto dan orang misterius yang mengirim surat kemarin akan segera terjadi. Perjanjian mereka jam 5 sore di alun-alun dan pak Broto sudah siap dengan motornya."Ayah mau kemana?" tanya Santi berbasa-basi ketika pak Broto hendak melaju."Ada urusan sebentar. Ga lama kok," kata pak Broto. Ia langsung melajukan motornya tanpa mau meneruskan basa-basi.Melihat ayahnya makin menjauh, Santi tersenyum sinis. Rencananya dengan Satria untuk membuntuti pak Broto sepertinya akan berjalan lancar. Tak ada tanda-tanda kecurigaan pak Broto pada meski tadi malam mereka sempat mencuri surat misterius itu.Tak lam setelah itu, Santi menelpon seseorang yang tidak lain adalah kakak kembarnya, Satria. Ia menanyakan tentang berjalannya rencana sor
Reyhan bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia masih bertanya-tanya, apa benar buhul santet Gina benar-benar lebih dari satu. Memikirkan semua itu membuatnya tak nafsu makan.Sudah 3 hari, kabarnya Gina masih belum pulih dari sihir keji ini. Meski sudah diruqyah, buhul santet tetap harus ditemukan dan dihancurkan. Itu adalah cara terbaik untuk terbebas dari sihir.Baru-baru ini, sebenarnya Reyhan juga menemukan buhul santet di dalam kosan Gina. Ini agak mengejutkan memang, tapi semua seakan tak berguna. Gina masih belum pulih setelah buhul santet kedua itu dihancurkan."Sebenarnya apa yang diinginkan pelakunya? Apa dua buhul santet itu palsu? Tapi untuk apa memalsukan barang seperti itu?" pikir Reyhan. Kini ia sedang berada di kantor, tepatnya di ruangannya sendiri.***Surabaya...."2 buhul santet sudah dihancurkan. Kenapa Gina belum juga pulih?" pak Broto memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia tak mengerti dengan segala keanehan yang ter
Reyhan sudah tiba di kantor. Ia berlari mencari Zidan dengan bersemangat. Rupanya, Zidan masih ada di ruangan Gina, dengan buhul santet berada di atas meja ruangan itu.Di atas meja, Reyhan melihat bungkusan kain kecil yang entah apa isinya. Bahkan, di sana juga ada foto Gina. Semua itu membuat Reyhan melotot seketika."Sepertinya ini adalah buhul santet yang menyerang sekertaris Gina," ucap Zidan. "Tapi bagaimana mungkin, Zidan? Jika benda itu ada di sini, berarti pelakunya adalah orang kantor?" Reyhan membekap mulut. Baru saja ia mengalami perdebatan hebat dengan orang tuanya. Ia tak menyangka ternyata prasangkanya salah besar. Ia merasa sangat bersalah karena telah mencurigai orang tuanya sebagai pelaku."Benar sekali pak. Tidak mungkin ada yang bisa keluar masuk ruangan sekertaris Gina jika bukan orang kantor ini," kata Zidan membenarkan.Setelah penemuan buhul itu, Reyhan langsung menghubungi pak Broto. Ia merasa sedikit lega karena tel