"Besok bapak hanya ada satu rapat dengan klien, jam 9 pagi," kata Gina. Saat ini ia sedang berada di kantor. Tepatnya di ruangan Reyhan, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Mereka hanya berdua di ruangan ini, menjalani posisi bos dan sekertarisnya. Mereka tetap bekerja secara profesional meski faktanya Reyhan telah melamar Gina.
"Apa tidak bisa dibatalkan?" tanya Reyhan.
"Maaf pak sebelumnya. Tapi, ada kepentingan apa hingga harus diundur?"
"Aku ingin membawamu ke rumah. Aku ingin mengatakan pada keluargaku jika aku berniat menikahimu," kata Reyhan dengan nada bicara lembut. Sorot matanya pun memancarkan ketulusan.
Pipi Gina memanas. Ia menahan senyum bahagianya. "Aku senang sekali. Tapi pak Rey, klien kita besok adalah klien penting."
"Sekertaris Gina, aku adalah bosmu. Aku yang berhak memutuskan. Ganti saja rapatnya lusa, segera hubungi klien kita itu."
"Ba-baiklah," cicit Gina. Ia segera keluar dari ruangan Reyhan dan sesegera mungkin mengurus rapat besok yang akan ditunda.
Selesai mengurus semuanya, tiba-tiba Reyhan mengirimkan pesan padanya.
"Persiapkan dengan baik ya, besok."
Begitulah bunyi pesan itu. Gina tak bisa menyangkal gejolak bahagia di hatinya. Ia senyum-senyum sendiri saking bahagianya. Saat ini, pasti wajahnya seperti kepiting rebus!
"Sekertaris Gina."
Gina tersentak. Di luar ruangannya ada seseorang yang mengetuk pintu, meminta izin untuk masuk.
"Masuklah," kata Gina. Ia dengan cepat menetralkan kembali ekspresi wajahnya yang cukup memalukan beberapa saat yang lalu.
Krieetttt....
Pintu terbuka sepenuhnya, menampilkan sosok wanita seumuran dengan Gina. Wanita itu mengenakan setelan jas coklat dengan rok span selutut. Rambut coklat berombaknya tergerai indah. Wanita itu adalah Nindy, teman masa kuliah Gina dulu. Bahkan, Nindy lah yang membantu semua keperluannya di Bandung saat pertama kali merantau. Dulunya, ia teman yang sangat baik. Ya, dulu.
"Ah, Nindy. Silakan masuk," kata Gina ramah. Namun, tak sedikit pun garis senyum terlihat pada wajah Nindy. Ekspresinya sinis, memancarkan aura ketidaksukaan pada Gina.
"Apa ada yang perlu kau sampaikan?" tanya Gina.
"Tidak ada. Aku hanya ingin menemuimu," ketus Nindy. Sejak Gina diangkat menjadi sekertaris Reyhan, sikap Nindy sangat berbeda. Ia yang dulunya sangat dekat dengan Gina, kini terlihat mengambil jarak. Tatapan matanya pada Gina sering kali tajam menusuk seakan tak suka.
Mulanya, Gina adalah sahabat karib Nindy. Nindy juga lah yang meminta Gina merantau dari Surabaya ke Bandung. Ia juga yang menyuruh Gina melamar kerja di perusahaan ini.
Saat Gina dinyatakan diterima perusahaan sebagai karyawan, Nindy sangat bahagia. Ia senang bisa bekerja bersama dengan sahabatnya. Kala itu, keduanya sama-sama karyawan biasa.
Beberapa bulan bekerja, Reyhan yang merupakan CEO dengan mengejutkannya mengangkat Gina menjadi sekertarisnya. Cukup terbilang cepat karena kala itu baru 2 hari Reyhan memecat sekertarisnya yang lama. Terlebih, tak pernah terlihat sedikit pun Reyhan akrab dengan Gina. Tapi, pak CEO itu telah memutuskan menjadikan Gina sekertarisnya, bahkan tanpa wawancara apapun. Tentunya, ini kabar yang sangat mengejutkan.
Muncullah iri di benak Nindy. Ia yang bekerja lebih dulu di perusahaan ini. Ia juga tak kalah rajin dengan Gina. Tapi kenapa justru Gina terpilih menjadi sekertaris? Bahkan Gina adalah gadis berbaju syar'i, berbeda dengannya yang selalu mengenakan baju seksi selayaknya sekertaris.
Lebih dari iri karena pekerjaan, sejujurnya Nindy lebih iri karena ia menaruh rasa pada Reyhan. Itulah sebabnya saat itu ia sering meledak-ledak. Berita simpang-siur tentang hubungan Reyhan dan Gina telah menjadi gosip hangat di kantor. Beberapa orang berasumsi, Reyhan mengangkat Gina sebagai sekertaris karena ia menyukai gadis Jawa itu.
Gosip itu perlahan surut dan dilupakan karena tak terjadi apapun selama 2 tahun terkahir. Namun, sepertinya gosip 2 tahun silam itu akan menjadi sebuah kenyataan saat ini. Tinggal menunggu detik-detik semua orang tau bahwa Reyhan telah melamar Gina.
"Apa kau ada hubungan dengan pak Reyhan?" tanya Nindy ketus. Ia menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Gina penuh tatapan benci.
"Kenapa kau menanyakan hal itu? 2 tahun lalu kau juga menanyakannya," lirih Gina. Ia agak panik. Tentunya, ia tak ingin semua orang tau perihal lamaran Reyhan padanya kemarin.
"Kau tau kan aku menyukai pak Reyhan? Hubungan pertemanan kita hancur karena itu. Kenapa Gin, kenapa?! Kau pikir aku tidak tau?" Nindy menggebrak meja. Ia terlihat sangat murka.
Gina bingung dengan alur pembicaraan Nindy. "Apa maksudmu?"
Plaaaakkkkk!
Nindy menampar Gina kuat. Sontak Gina mengaduh kesakitan, ia hampir tersungkur dari duduknya. Ia langsung memegangi pipi kirinya itu. Nampak merah sekali.
Beberapa detik kemudian, Gina langsung berdiri. Ia melotot, menatap tak percaya pada Nindy. Ia tak percaya Nindy menamparnya.
"Sebenarnya kau ini kenapa Nin!"
"Pak Reyhan melamarmu kan?! Iya kan?! Kau pikir aku tidak tau itu?"
"Bagaimana--,"
"Bagaimana aku tau itu tidak penting! Kau, ku kira kau adalah sahabat yang baik. Tapi apa? Kau merebut semuanya. Pertama, kau jadi sekertaris Reyhan dan sekarang kau ingin merebutnya juga dariku?!" Nindy berteriak. Ia sungguh mendidih. Nafasnya pun memburu, matanya melotot. Tak diragukan lagi, suara Nindy pasti terdengar sampai keluar ruangan.
"Nindy, aku hanya...."
"Apa? Hanya apa? Hanya merebut semuanya dariku? Dasar wanita jalang! Menjijikan! Apa setiap malam kau menggoda Reyhan hingga dia buta karena cintamu itu?!"
"Beraninya kau!" Gina melayangkan tangan kanannya. Hendak menampar Nindy karena tak terima dengan apa yang baru saja Nindy katakan. Namun tangannya berhenti. Ia tak kuasa, tak tega.
"Pukul aku Gin! Pukul! Kenapa? Kenapa kau berhenti? Oh, aku tau. Pasti ucapanku semua itu benar kan? Dasar wanita ular!"
"Tutup mulutmu itu! Aku tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu Nin!" kata Gina. Kini, pipinya yang tadi panas karena tamparan malah basah karena air mata. Ia menangis sambil meneriaki Nindy yang kurang ajar.
"Hentikan! Ada apa ini?!" tiba-tiba suara Reyhan menggema. Ia buru-buru datang ketika mendengar kegaduhan di ruang sekertaris.
Reyhan memasuki ruangan Gina. Pemandangan yang ia lihat sangat tak mengenakan. Gina yang menangis tersedu-sedu dengan pipi kiri yang merah dan Nindy yang berdiri angkuh seakan tak melakukan kesalahan apapun.
"Apa yang sebenarnya terjadi?! Ini kantor, bukan hutan. Bisa-bisanya kalian berdua bertengkar!" kata Reyhan. Ia segera menghampiri mereka berdua, lebih tepatnya ia ingin melihat keadaan Gina yang sepertinya sangat berantakan.
"Nindy, keluarlah. Aku ada perlu dengan Gina," ucap Reyhan. Nindy tak menjawab dan hanya berlalu saja. Ia menutup pintu ruangan itu dengan sangat keras.
"Apa yang terjadi? Pipimu juga merah. Apa Nindy menamparmu?" nada bicara Reyhan penuh kekhawatiran.
Gina mengangguk, memberi jawaban "iya." Seketika, hati Reyhan mendidih tak terima Gina diperlakukan seperti itu.
Beberapa saat setelah menghentikan tangisannya, Reyhan menuntut penjelasan dari Gina tentang segala yang baru saja terjadi. Dengan air mata yang belum sepenuhnya kering dan pipi yang masih nyeri, Gina menceritakan semuanya.
"Ini salahku," kata Reyhan. Ia menundukkan kepalanya. "Setelah kau meninggalkan ruanganku, Nindy datang. Menanyakan perihal rapat besok. Aku malah menjelaskan yang sebenarnya. Pantas saja tadi ia keluar ruanganku dengan wajah marah," jelasnya.
"Seperti apapun, nantinya kebenaran ini akan terungkap juga. Ini bukan salahmu." Gina masih memegangi pipi kirinya. Makin lama, makin sakit dan terasa berdenyut.
Di dalam hatinya, Reyhan bermonolog. "Hubungan kita bahkan belum sampai pada keluargaku dan kau sudah seperti ini. Maafkan aku karena telah mencintaimu."
Bersambung....
Langit hari ini nampak seperti kanvas biru tanpa coretan apapun. Matahari bersinar terik dengan leluasa. Karenanya, beberapa orang mengeluh akan gerahnya suasana meski baru jam 10 pagi.1 jam yang lalu, seharusnya Reyhan dan Gina sudah meninggalkan kantor. Namun, kerjaan yang menumpuk membuat mereka mengurungkan niat. Penampilan Gina yang rapi semenjak pagi pun perlahan mulai agak kusut karena lelah. Ia harus menyelesaikan semua kerjaannya secepat mungkin."Apa belum selesai?" tanya Reyhan. CEO itu dengan santainya masuk ke ruangan Gina tanpa permisi.Gina menggeleng. Ia sangat kesal dengan tumpukan dokumen di mejanya ini. Ia sekilas melihat Reyhan dan melanjutkan menatap laptop di depannya."Sudahlah. Tinggalkan saja. Aku akan suruh orang lain mengerjakannya. Jika tidak seperti itu, kau tidak akan selesai hari ini," Reyhan menutup laptop Gina. Membuat gadis itu agak kaget. Pasalnya, wajah Reyhan kini juga
Gina sudah berada di kos-kosan. Ia kacau sekali setelah dimarahi habis-habisan oleh bu Dian. Matanya pun masih sembab dan merah.Meringkuk di atas kasur, itulah yang dilakukannya dari tadi. Hari ini berat, membuat kepalanya cenat-cenut. Seperti dugaannya, keluarga Reyhan sangat menentang hubungan mereka. Apa yang ditakutkannya sungguh terjadi."Kenapa adat dan cintaku tak selaras?" gumamnya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Namun, Gina sama sekali tak berniat mengangkatnya. Bahkan, ia tak melirik ponselnya yang bersenandung berkali-kali. Entah siapa yang menelfon. Tetapi, yang jelas orang itu menelfon di saat yang tidak tepat.Allahuakbar...Allahuakbar....Gina tersentak dan langsung beranjak duduk. Tanpa sadar, sudah berjam-jam ia berbaring di atas kasur. Masih agak linglung, Gina mendengarkan azan asar sambil menjawabnya lirih.Selesai adzan Gina berdiri dan berjalan menuju m
Hari ini, Gina terlihat lebih sibuk dari biasanya. Banyak dokumen menumpuk di meja. Matanya pun tak berpaling dari komputer. Sesekali, ia memainkan pena karena agak pusing.Cuaca di luar sedang buruk. Banyak awan abu-abu yang sepertinya tengah bersiap menjatuhkan air mata. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, Gina memiliki firasat buruk. Ia agak sedikit gelisah dan sulit berkonsentrasi."Gina...," panggilan lembut terdengar dari luar. Suara ketukan pintu tiga kali beruntun menyusul setelahnya."Silakan masuk," sahut Gina. Kini sorot matanya beralih pada seseorang yang tengah membuka pintu perlahan.Reyhan, ia menghampiri Gina. Wajahnya juga terlihat lesu. Sudah seminggu sejak kejadian penolakan orang tuanya terhadap hubungannya dengan Gina.Belum sempat Reyhan bicara, sebuah guntur menggelegar dengan kerasnya membuat Gina bergidik takut. Ia langsung berdiri karena kaget. Spontan saja, ia menutup tirai jendela ruangannya.
Beberapa hari setelah Gina dibawa ke rumah sakit, kondisinya tak bisa dikatakan membaik. Gina terlihat makin kusut dan lesu meskipun dokter bilang jika ia hanya kelelahan dan kurang istirahat. Kondisi ini cukup membingungkan karena sudah 3 hari Gina dirawat tanpa ada tanda-tanda kondisinya membaik.Reyhan selalu setia menemani Gina meski tidak bisa 24 jam karena urusan kantor. Namun, pria itu pasti menjenguk Gina setiap hari. Lebih dari rasa sakit Gina, mungkin Reyhan merasakan hal yang lebih karena mencemaskan gadis yang dicintainya itu.Selain Reyhan, Nindy juga sering datang menjenguk. Kadang, ia datang bersama Reyhan. Kondisi seperti itu sebenarnya tidak Gina sukai. Tapi ia yakin pada Reyhan. Meski Nindy akan menggoda pak bosnya itu seperti biasa. Di sisi lain Nindy saingannya dan di sisi lain Nindy tetap temannya. Melihat Nindy masih perduli padanya saja sudah membuat Gina bahagia. Saat ini, ia tak ingin berpikir negatif."Gina. Kondisi kamu gimana?" tanya
Pesawat melaju konstan setelah lepas landas beberapa menit yang lalu. Nampak dari jendela pesawat lautan awan putih tipis dan sinar hangat matahari."Sampai jumpa lagi, Bandung."Gina menatap malas semua hal yang ada di sekitarnya. Sesekali, ia menengok jendela. Sesekali pula, ia menoleh ke arah Nindy yang tidur di sampingnya serta Reyhan yang duduk di kursi depannya. Gina akan pulang, bersama Reyhan dan Nindy. Gina akan pulang ke Surabaya."Andai aku nggak sakit, mereka berdua nggak akan repot-repot seperti ini," batin Gina. Namun, tak ia pungkiri bahwa ia cukup senang dengan fakta bahwa Nindy masih perduli padanya.Tiba-tiba, Reyhan menoleh ke belakang. Ia menatap Gina yang duduk lemas karena masih sakit. Wajah gadis itu pucat. "Lagi mikirin apa?" tanya Reyhan lembut.Gina menggeleng dan memilih melempar pandangannya ke jendela pesawat. Ia memandang hamparan tipis awan dan rumah-rumah ya
Malamnya, tepatnya kisaran pukul 19.30 banyak tetangga yang berdatangan. Mereka datang untuk menjenguk Gina. Kabar pulangnya Gina dalam kondisi sakit menyebar dengan cepat di antara tetangga.Kebanyakan dari para tetangga yang menjenguk membawa buah tangan. Entah itu buah, roti, atau pun yang lainnya. Sudah jadi kebiasaan melakukan itu. Rasanya, menjenguk orang yang tengah sakit tanpa membawa apapun itu rasanya kurang baik.Semua berkumpul di ruang tamu. Mereka semua mengobrol dengan topik utama adalah Gina. Tentu saja, karena gadis itulah para tetangga berbondong-bondong menjenguk.Rumah kediaman pak Broto ini terasa ramai. Tetangga yang datang cukup banyak. Mereka saling peduli satu sama lain. Tak hanya ibu-ibu tentunya yang datang. Melainkan ada pula beberapa bapak-bapak dan anak kecil yang diajak menjenguk. Selain itu, Reyhan, Nindy, pak Broto dan Satria juga menyambut tamu dengan baik.Di saat ruang t
"Santet?!" kata semua orang yang ada di dalam kamar Gina karena terkejut. Suasana di kamar Gina menjadi heboh setelah perkataan pak ustad bahwa Gina terkena santet."Tidak salah lagi, pasti santet," kata pak ustad mengulangi perkataannya."Bagaimana bisa? Siapa yang tega melakukan ini ke mbak Gina?!" pekik Santi heboh. Ia menutup mulut karena tak percaya bahwa asumsinya ternyata benar.Reyhan yang mematung karena masih sulit percaya pun kini angkat bicara. "Tapi, apa alasan Gina disantet?"Pak ustad menggeleng dan berkata "Motif melakukan santet tidak bisa diketahui. Tapi, apa ada orang yang membenci Gina?""Anakku adalah anak yang baik. Tidak mungkin ada yang tega melakukan ini!" teriak bu Yati sambil berderai air mata.Pak Broto yang tak kuat berdiri pun akhirnya bertekuk lutut. Ia sangat terguncang dengan fakta yang baru saja ia dengar sendiri. Ia tak habis pikir. Bisa-
Reyhan menundukkan pandangan karena takut. Ia khawatir akan respons pak Broto setelah ia mengakui bawa dirinya mencintai Gina."Apa?! Kamu mencintai Gina? Bukankah kau ini orang Sunda?" tanya pak Broto keheranan. Tentunya, pak Broto pun masih sangat percaya bahwa pernikahan antara suku Jawa dan Sunda itu dilarang."Memang benar. Tapi apa yang salah dengan perasaan saya?" kata Reyhan sambil memberanikan diri menatap pak Broto yang sepertinya agak terkejut. Bagaimana tidak terkejut, anaknya yang merantau di tanah orang ternyata disukai oleh bosnya sendiri. Sebuah fakta yang sangat mencengangkan dan mengguncang hatinya.Pak Ustad menyela pembicaraan serius dua laki-laki itu. "Kita fokus dulu menyembuhkan Gina, ya. Masalah siapa pelakunya dan perasaan nak Reyhan kita kesampingkan dulu. Santet bukanlah hal yang sepele," pak ustad berusaha menasehati dan memberikan jalan tengah. Jika tidak seperti itu, pasti perdebatan antara Re
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi—" lagi-lagi perkataan Fathah terpotong."Tapi apa?! Kau tidak paham perasaanku!" Reyhan menyeka air matanya yang mengalir."Kau tau, pernikahan terjadi bukan karena cinta saja. Jika orang tua mu menentang sampai menyantet Gina, tidakkah menurutmu melepas Gina adalah cara aman untuk membuatnya baik-baik saja? Caramu memperjuangkan Gina, itu sungguhan cinta atau hanya keegoisanmu saja?" kata Fathah mencoba memojokkan Reyhan."Lalu apa? Kau akan menikahinya begitu? Kau memang licik!" Reyhan pergi meninggalkan Fathah. Ia pergi membawa amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya. Melihat itu pun membuat Fathah menghembuskan napas berat. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, ia pun memutuskan kembali ke dalam rumah pak Broto."Apa aku memang licik?" Fathah bermonolog seraya berjalan masuk rumah. Di dalam, ia mendapati suasana suram yang mengerikan.Fathah tidak menemukan Gina. Sepertinya, ia telah kembali ke dalam kamar. Fathah mengerti, se
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi—" lagi-lagi perkataan Fathah terpotong."Tapi apa?! Kau tidak paham perasaanku!" Reyhan menyeka air matanya yang mengalir."Kau tau, pernikahan terjadi bukan karena cinta saja. Jika orang tua mu menentang sampai menyantet Gina, tidakkah menurutmu melepas Gina adalah cara aman untuk membuatnya baik-baik saja? Caramu memperjuangkan Gina, itu sungguhan cinta atau hanya keegoisanmu saja?" kata Fathah mencoba memojokkan Reyhan."Lalu apa? Kau akan menikahinya begitu? Kau memang licik!" Reyhan pergi meninggalkan Fathah. Ia pergi membawa amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya. Melihat itu pun membuat Fathah menghembuskan napas berat. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, ia pun memutuskan kembali ke dalam rumah pak Broto."Apa aku memang licik?" Fathah bermonolog seraya berjalan masuk rumah. Di dalam, ia mendapati suasana suram yang mengerikan.Fathah tidak menemukan Gina. Sepertinya, ia telah kembali ke dalam kamar. Fathah mengerti, se
Ketika tiba di kediaman Gina, Reyhan sedikit terkejut karena ada beberapa mobil terparkir di halaman rumah. Matanya memandang ke kanan dan ke kiri, mencoba menganalisa apa yang mungkin terjadi. Ia memegangi dagunya dan berkata "Apa ada acara? Tapi kemarin Gina tidak mengatakan apapun tentang ini."Reyhan melanjutkan langkahnya kembali. Samar-samar, ia mendengar percakapan beberapa orang. "Aduh, bagaimana ini? Apa aku datang di situasi yang salah?" Reyhan nampak gelisah. Ia memelankan langkahnya supaya bisa mendengar dengan jelas suara-suara percakapan itu."Aku hanya mendengar obrolan basa-basi. Apa mungkin ini hanya kunjungan teman-teman pak Broto saja ya?" pikir Reyhan. Ia menghentikan langkahnya karena takut mengganggu. Kini posisinya sekitar 5 meter dari pintu.Reyhan sedikit mengintip situasi di dalam. Memang ada banyak orang tang tak ia kenal. Namun, entah kenapa perasaannya tidak enak. Perlahan, ia kembali mengendap-endap mendekati pintu.Sem
Beberapa menit sudah berlalu sejak kedatangan Fathah dan keluarganya ke kediaman pak Broto. Kendati demikian, seseorang yang dinanti dalam kunjungannya itu tak kunjung muncul. Bu Yati, Satria dan pak Broto mulai agak gelisah karenanya."Saya pamit sebentar ya. Saya akan bawa Gina kemari," ucap bu Yati dengan sedikit canggung. Semua orang di sana pun mengiyakan.Berangkatlah bu Yati menuju kamar Gina yang ada di lantai 2. Dari kejauhan, terdengar percekcokan antara Gina dan Santi. Bu Yati yang mendengar itu pun makin mempercepat langkahnya.Setelah tiba di depan pintu, bu Yati berhenti sejenak. Ia sedang mendengarkan dengan seksama apa yang sedang diperdebatkan kakak dan adik itu. Sedikit samar, namu suara mereka masih bisa terdengar."Ga! Gila apa?! Apa-apaan semua ini?! Aku ga bakalan turun ke bawah. Aku ga mau nikah sama mas Fathah!"Begitulah perkataan yang bu Yati dengar. Ia yakin itu adalah suara Gina. Bu Yati sedikit menghela napas berat kare
Seminggu sudah berlalu. Keadaan Gina pun membaik, ia sudah pulih dari santet. Namun, Gina mendapati hal yang aneh. Ia dilarang pergi ke Bandung. Padahal, keluarganya tau bahwa ia masih pegawai kantor meski sudah cuti beberapa minggu.Gina tak diberi tahu alasan mengapa ia tidak boleh bekerja ke Bandung lagi. Bahkan, keluarganya meminta dirinya untuk segera mengundurkan diri dari perusahaan Reyhan. Mereka ingin Gina melepaskan pekerjaannya sebagai sekertaris."Apa alasannya? Kenapa kalian memintaku untuk mengundurkan diri tiba-tiba begini?" tanya Gina pada ayah dan ibunya. Mereka bertiga tengah berbincang-bincang sore di teras rumah.Tentunya, pak Broto dan bu Yati enggan mengatakan alasan yang sebenarnya pada Gina mengapa ia tak boleh lagi berangkat ke Bandung. Bagaimana tidak? Mereka tidak mungkin mengatakan bahwa itu adalah persyaratan Nindy agar Gina terbebas sepenuhnya dari santet. Melarang Gina bekerja
Surabaya, tepatnya sesaat setelah Gina pulang bersama Nindy dan Reyhan 2 minggu yang lalu...."Baiklah, sekarang sudah beres!" ucap Nindy sambil membersihkan tangannya dari tanah. Ia baru saja mengubur sesuatu di belakang rumah pak Broto.Nindy segera mengecek ponselnya dan menelfon seseorang yang tak lain adalah Zidan."Apa kau sudah selesai?" tanya Zidan tanpa berbasa-basi. Ia membuka pembicaraan dengan langsung bertanya."Tentu saja. Aku sudah mengubur buhul santet itu. Sekarang kita tinggal mengikuti arus," ucap Nindy. Ia tersenyum miring, menandakan kebengisannya."Bagaimana dengan 2 buhul santet yang lainnya? Kau sudah mengurusnya?" kini Nindy yang bertanya."Apa maksudmu? Santet itu sudah bekerja kan? Tentu saja 2 buhul yang lain sudah aku bereskan!" kata Zidan jengkel."Aku hanya ingin memastikan. Baiklah, aku tutup telfonnya," ucap Nindy. Ia langsung memutus panggilan dan berlari ke dalam rumah. Keadaan gelap karena sud
Esok hari datang juga. Saat-saat yang telah ditunggu Satria dan Santi sejak kemarin. Sore ini, mereka akan mengeksekusi rencana untuk mengikuti pak Broto.Jam menunjukkan pukul 16.30 yang berarti pertemuan pak Broto dan orang misterius yang mengirim surat kemarin akan segera terjadi. Perjanjian mereka jam 5 sore di alun-alun dan pak Broto sudah siap dengan motornya."Ayah mau kemana?" tanya Santi berbasa-basi ketika pak Broto hendak melaju."Ada urusan sebentar. Ga lama kok," kata pak Broto. Ia langsung melajukan motornya tanpa mau meneruskan basa-basi.Melihat ayahnya makin menjauh, Santi tersenyum sinis. Rencananya dengan Satria untuk membuntuti pak Broto sepertinya akan berjalan lancar. Tak ada tanda-tanda kecurigaan pak Broto pada meski tadi malam mereka sempat mencuri surat misterius itu.Tak lam setelah itu, Santi menelpon seseorang yang tidak lain adalah kakak kembarnya, Satria. Ia menanyakan tentang berjalannya rencana sor
Reyhan bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia masih bertanya-tanya, apa benar buhul santet Gina benar-benar lebih dari satu. Memikirkan semua itu membuatnya tak nafsu makan.Sudah 3 hari, kabarnya Gina masih belum pulih dari sihir keji ini. Meski sudah diruqyah, buhul santet tetap harus ditemukan dan dihancurkan. Itu adalah cara terbaik untuk terbebas dari sihir.Baru-baru ini, sebenarnya Reyhan juga menemukan buhul santet di dalam kosan Gina. Ini agak mengejutkan memang, tapi semua seakan tak berguna. Gina masih belum pulih setelah buhul santet kedua itu dihancurkan."Sebenarnya apa yang diinginkan pelakunya? Apa dua buhul santet itu palsu? Tapi untuk apa memalsukan barang seperti itu?" pikir Reyhan. Kini ia sedang berada di kantor, tepatnya di ruangannya sendiri.***Surabaya...."2 buhul santet sudah dihancurkan. Kenapa Gina belum juga pulih?" pak Broto memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia tak mengerti dengan segala keanehan yang ter
Reyhan sudah tiba di kantor. Ia berlari mencari Zidan dengan bersemangat. Rupanya, Zidan masih ada di ruangan Gina, dengan buhul santet berada di atas meja ruangan itu.Di atas meja, Reyhan melihat bungkusan kain kecil yang entah apa isinya. Bahkan, di sana juga ada foto Gina. Semua itu membuat Reyhan melotot seketika."Sepertinya ini adalah buhul santet yang menyerang sekertaris Gina," ucap Zidan. "Tapi bagaimana mungkin, Zidan? Jika benda itu ada di sini, berarti pelakunya adalah orang kantor?" Reyhan membekap mulut. Baru saja ia mengalami perdebatan hebat dengan orang tuanya. Ia tak menyangka ternyata prasangkanya salah besar. Ia merasa sangat bersalah karena telah mencurigai orang tuanya sebagai pelaku."Benar sekali pak. Tidak mungkin ada yang bisa keluar masuk ruangan sekertaris Gina jika bukan orang kantor ini," kata Zidan membenarkan.Setelah penemuan buhul itu, Reyhan langsung menghubungi pak Broto. Ia merasa sedikit lega karena tel