Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / BAB 5. Kebersamaan

Share

BAB 5. Kebersamaan

Penulis: Meni Bari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-13 07:34:38

“Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.

“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.

“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.

“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.

“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.

“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.

“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.

“Makan pakai batu,” jawabku cuek.

“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.

“Sudah deh, kita lanjut kerja. Nanti pak Dayat datang lagi. Bisa-bisa kita berdua diusir dari toko,” ungkapku kesal melihat Neni seperti itu.

Nina memukul keningnya pelan dan berkata, “Lupa aku Ris. Kamu jangan ajak aku bicara dulu.”

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Nina. Nina adalah salah satu teman dekat yang bisa membuat diriku tersenyum hari ini.

Aku pun mulai menata belanjaan pelanggan. Mengambil dan meletakkan bar Code  di mesin bar Code scanner. Lalu memasukkannya ke dalam plastik.

Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini, jadi tak butuh waktu lama satu pelanggan sudah selesai kulayani. Di akhir aku selalu mengucapkan kata ‘Terima kasih sudah berbelanja di toko kami’.

Waktu terus berjalan hingga tak terasa kami sudah bekerja selama 8 jam lamanya. Nina menepuk punggung belakangku agar segera ke ruang ganti.

“Ayo Ris, biar bisa bantu yang lain,” ajak Nina setelah selesai berganti pakaian.

Saat kami selesai berganti pakaian, ternyata beberapa karyawan sudah sibuk menyiapkan peralatan untuk makan malam. Beberapa orang membawa kotak berisi minuman.

“Ris sini,” teriak Nina yang entah kapan sudah berada di depan sana.

Di sana sudah siap tersaji makanan dan minuman. Aku pikir, bos Ian memesan makanan cepat saji melalui go food.

“Terima kasih semuanya, sudah mau meluangkan waktunya malam ini. Acara ini saya buat untuk perayaan minggu ini penjualan toko ini meningkat.”

Samar terdengar suara bos Ian membuka acara. Semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan kata selamat termaasuk diriku.

“Dan satu hal lagi, acara ini dibuat untuk kembalinya bekerja Risa,” ucap Ian menatapku. “Risa, kamu tidak perlu sedih lagi. Di sini kami semua sudah menganggap kamu keluarga. Jadi jika perlu bantuan bilang saja sama kami,” tambah Ian.

Aku merasa terharu, tak terasa setetes air mata keluar. Kuucapkan banyak terima kasih pada mereka semua.

“Terima kasih bos Ian, terima kasih semua,” ungkapku pada semuanya di sana.

“Oke, sekarang waktunya kita makan. Silahkan makan sepuasnya,” teriak Ian pada karyawannya.

Semua orang yang menunggu momen ini pun langsung berjalan ke arah meja. Menu malam ini serba bakaran, seperti ikan bakar, ayam bakar, udang bakar, sosis bakar dan lain-lain.

Aku mengambil beberapa sosis dan udang bakar. Tak lupa juga mengambil minuman untukku dan Nina.

“Enak ya Ris, kalau tiap minggu diadain acara begini,” kata Nina setelah aku duduk dan memberikan minuman miliknya.

“Itu sih mau nya kamu,” cibir Asep salah satu karyawan toko.

“Kan lumayan, makan gratis,” jawab Nina sewot.

“Iya, nanti bos Ian jadi bangkrut gara-gara kamu makannya banyak,” celetukku membuat semua yang mendengar tertawa.

Kulihat sekilas wajah Nina yang cemberut ditertawakan, lalu dengan cuek melahap makananku. Setelah sekitar dua jam, acara pun selesai. Setelah membereskan sisa acara, Risa dan Nina pun bergegas keluar untuk pulang. Aku dan beberapa karyawan lainnya membersihkan sisa-sisa makanan tadi. Selesai itu, kami pun keluar toko bersama-sama.

“Ris aku duluan ya, sudah dijemput Udin,” pamit Nina sambil berlari ke arah Udin yang sudah menunggu di depan toko.

“Ris, ikut kami saja pulang. Kan searah,” tawar Ian padaku.

Aku menatap Dilla yang setia berada di samping Ian. Dilla sepertinya tidak senang dengan tawaran suaminya.

“Dilla, enggak apa-apa kan Risa kita antar pulang?” tanya Ian pada istrinya.

“Tidak usah Bos, nanti Dilla kecapean dan kurang istirahat,” jawabku tersenyum.

“Tapi...,” ucap Ian terputus saat Dayat datang menghampiri mereka bertiga.

“saya pulang sama Dayat saja Bos. Kata pak Dayat, tadi mau antar saya kan?” tanyaku sambil memainkan matanya.

Bersyukur Dayat mengerti dengan maksudku.

“Kalau begitu bos saya permisi dulu.” Aku langsung menarik tangan Dayat kearah mobil.

Di dalam mobil aku bernapas lega sudah terlepas dari mereka berdua. Tatapan Dilla begitu menggangguku.  Seolah-olah aku ini adalah wanita terjahat. Maka dari itu, saat melihat Dayat,  sebuah ide terlintas begitu saja.

“Pak, nanti turunkan saja saya di dekat halte bus,” ucapku tanpa menatap Dayat.

“Saya antar sampai rumah kamu Ris, tidak baik perempuan sendirian malam-malam.”

“Terima kasih Pak.”

“Dayat, jika diluar panggil saja namaku.”

“Terima kasih Dayat,” ulangku lagi.

“Tidak usah sungkan padaku, Ris.” Senyum Dayat membuatku sedikit terhibur. Senyumnya indah, apalagi saat lesung pipit itu terlihat.

Aku menatap keluar jendela. Gelapnya malam membuat suasana menjadi sunyi. Ditambah lagi jalanan yang mulai agak lenggang. Setetes demi setetes air mulai membasahi jalanan yang kami lewati.

“Ris, mau mampir sebentar belikan ibumu makanan?” tanya Dayat.

“Tidak usah Yat, tadi aku sudah membungkus sedikit makanan untuk Ibu,” jawabku sambil memperlihatkan bungkusan di tangannya.

Dayat mengangguk dan kembali melihat jalanan. Dayat memacu mobil di tengah gerimis malam itu. Sesampai di depan rumah, aku bergegas keluar dari mobil.

“Yat, mau mampir?” tawarku.

“Boleh?” tanya Dayat balik.

“Boleh, ayo mampir biaraku buatkan minuman sekalian,” ajakku mempersilahkan dia masuk.

Pintu mobil pun terbuka dan tertutup lagi. Itu artinya Dayat turun dan berjalan mengikutiku. “Ayo silahkan duduk Yat, aku ke dalam dulu.”

Setelah berpamitan, aku bergegas masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Tak lama keluar menuju dapur dan membuatkan minuman untuk Dayat.  Tampak Dayat sedang duduk dan memainkan telepon genggamnya diruang tamu.

“Di minum Yat, jangan diliat doang, enggak di kasih sianida kok,” candaku memulai pembicaraan.

Dayat terkekeh dan meminum minuman tersebut.

“Bisa saja kamu Ris. Kopi buatanmu enak juga,” puji Dayat membuatku tersenyum.

“Itu sudah pasti,” jawabku penuh percaya diri.

Aku dan Dayat terkekeh bersama. Wajahnya terlihat manis. Jika aku dipertemukan lebih dulu dengannya, mungkin aku akan jatuh cinta padanya.

“Ibu ke mana Ris, tidak ada di rumah?”

“Oh iya, mungkin ada di kamar. Sebentar aku panggilkan,” ungkapku lalu berlalu menuju kamar ibu.

Tok.... Tok.... Tok.... aku mengetuk pintu kamar yang tertutup.

“Bu....,” panggilku

“Bu, Ibu, ada Dayat Bu,” panggilku lagi.

Namun, ibu tidak menjawab panggilanku. Apa ibu sudah tidur? Dengan rasa penasaran dan khawatir, aku langsung membuka pintu kamar.

“Ibuuuu!”

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-22
  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-03
  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

DMCA.com Protection Status