Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

Share

BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

Penulis: Meni Bari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku menarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi diriku untuk menenangkan diri.

“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarku memberi semangat pada diri sendiri.

Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.

“Pagi Nin,” sapaku dengan senyuman hangat.

“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.

Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.

“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatku tiba-tiba terdiam.

Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “Enggak Nin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji. Memangnya kamu mau kasih setengah gajimu untukku?” tanyaku sedikit bercanda dengan Nina.

“Idih, gaji segitu aja aku kurang, mau kasih ke kamu, ogah?” jawab Nina.

“Hahahaha, bercanda Nin,” balasku sambil terkekeh melihat wajah konyolnya.

“Tapi Ris....” ucapan Nina terpotong.

“Aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” Senyum tulus pun kuberikan.

“Itulah sahabat Ris dan kamu harus kuat,” jawab Nina ikut tersenyum.

“Pasti,” jawabku mantap memberikan dua jempol.

“Yaelah pada ngerumpi, kalian ditungguin tuh. Sudah mau buka toko.” Salah satu karyawan memanggil mereka berdua.

“Isssh.... Ganggu,” cetus Nina dengan wajah jengkel.

Aku menyenggol tangan Nina untuk diam. Setelah itu langsung menarik Nina agar segera keluar menuju tempat berkumpul.

Sudah kebiasaan di toko ini 10 menit sebelum buka, semua karyawan akan dikumpulkan. Kami semua akan di beri semangat dan berdoa agar selalu lancar dalam bekerja. Terkadang juga bos Ian akan memberikan kejutan yang membuat siapa saja senang.

Seperti saat ini setelah semuanya berkumpul, bos Ian memberi pengumuman akan mengadakan makan malam bersama di toko. Sehingga toko akan tutup lebih awal dari biasanya.

Semua karyawan bersorak senang, tidak terkecuali denganku. Sungguh beruntung diriku bisa bekerja di toko ini. Selain mendapat teman yang baik dan peduli, aku juga mempunyai bos yang bisa diandalkan.

Ian Fauzan, itulah namanya. Hidungnya mancung dengan kulit yang putih dan berperawakan tinggi. Semua karyawan termasuk diriku senang memanggilnya bos Ian.

“Oke, kalau begitu selamat bekerja semua.” Suara bos Ian terdengar di ruangan itu.

Semua karyawan bergegas mengambil tempat masing-masing kecuali diriku.

Aku memandang sambil tersenyum pada bos Ian. Namun, senyumanku itu luntur, ketika Dilla datang dan menatap remeh kearahku. 

“Selamat datang kembali Ris dan semangat bekerjanya,” ucap Ian.

“Terima kasih bos Ian,” jawab Risa, “Kalau begitu saya permisi bos Ian,” tambah Risa.

Mendapat anggukan kepala, aku segera menuju tempat kasir. Sesampai di meja dekat komputer kasir, aku masih menyempatkan diri untuk melihat bos Ian dan Dilla naik ke ruangan mereka. 

Dilla diperlakukan begitu baik oleh Ian. Apalagi sekarang sahabatku itu sedang hamil besar. Ian seperti memanjakan Dilla dan selalu berada di sisinya. Seandainya saja aku berada di posisi Dilla, pasti hidup menjadi lebih bahagia.

Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran jelek itu. diriku tidak ingin benar-benar dianggap seperti pelakor dalam rumah tangga mereka berdua.

“Eh Nin, kamu mengagetkanku,” teriakku ketika Nina dengan santainya memukul pundakku.

“Makanya jangan melamun, lihat tuh antrean panjang,” tunjuk Nina ke depan kasir.

“Eh iya. Kok bisa?” tanyaku polos.

Dahiku pun menjadi sasaran tangan Nina. Mungkin dia gemas mendengar pertanyaan polosku tadi.

“Aduh! Nin sakit tahu,” sungutku kesal.

“Banyak alasan, ayo cepat nanti di marah sama pak Dayat,” suruh Nina.

“Maaf ya Mbak agak lama.” Aku sedikit menundukkan kepala pada mbak-mbak yang menunggu di depan dengan wajah yang terlihat sedikit marah.

Di toko ini ada 4 meja kasir, 2 untuk grosir dan 2 untuk belanja biasa. Aku dan Nina mendapat tempat meja untuk belanja grosir.

Memang setiap hari toko ini penuh dengan pelanggan. Harga yang relatif murah menyebabkan banyak orang yang membeli ke toko Ian. Bahkan terkadang dalam satu hari ada puluhan orang yang datang untuk belanja grosir.

“Ris,” panggil Nina.

“Ya, ada apa?” tanyaku menatap Nina.

“Menurutmu bagaimana pak Dayat?”

“Apanya?”

“Isss... Pak Dayat bagaimana? Tampan kan? Baik loh. Kamu enggak mau dekati dia?” tanya Nina sedikit berbisik.

“Kalau kamu mau ambil aja Nin,” jawabku cuek melanjutkan pekerjaan.

“Yaelah Udin mau di kemanain, yang ada nanti aku digorok sama dia,” cetus Nina.

“Idih, ngeri juga ya lakimu,” kekeh Risa.

“Mbak, bisa tidak kalau kerja jangan sambil ngobrol. Saya ada urusan lain ini,” cela salah satu pelanggan.

“Maaf Mbak,” jawabku tidak enak hati.

“Sudahlah, saya tidak jadi beli. Toko sebesar ini masa punya karyawan seperti kalian,” sarkas pelanggan tersebut.

Aku dan Nina hanya terdiam hingga beberapa saat kemudian Dayat datang menghampiri kami.

“Maaf Bu, ada apa ya?” tanya Dayat memandang Ibu itu dan diriku bergantian.

“Bapak siapa?” tanya pelanggan.

“Saya kepala bagian toko ini Bu,” papar Dayat.

“Kalau begitu, tolong di ajari yang benar dua karyawan bapak ini. Mereka ngobrol sendiri padahal di depan banyak yang antre.”

Dayat menatap sekilas kearah kami berdua. Lalu menatap kembali ke arah Ibu itu dan berkata, “Baik Bu, kalau begitu silahkan ke kasir sebelah.”

Ibu itu pun mengikuti instruksi Dayat.

“Kalian berdua, ikut ke ruangan saya sebentar,” perintah Dayat.

Kami mengikuti Dayat dari belakang dengan langkah lemah. Pikiran tentang pemecatan pun langsung hadir. Dalam hati. aku berharap dia tidak akan memecatku karena kesalahan yang kubuat pertama kali.

Aku menyenggol Nina untuk masuk duluan ke ruangan. Saat itu juga Dayat berbalik menatap kami dengan raut wajah yang sulit ditebak.

“Apa kalian berdua hanya berdiri di situ?” seru Dayat.

“Ti__ Tidak Pak,” jawabku gugup.

Dayat membuka pintu dan segera masuk. Kami pun mengikuti di belakang. Aku menunduk ketika tahu di ruangan itu ada Ian dan juga Dilla.

“Ada apa Yat, kenapa kamu membawa mereka berdua?” tanya Ian menatap kami berdua bingung.

“Mereka membuat keributan di bawah,” jawab Dayat.

Ian menatap kami meminta penjelasan. Namun, yang kami lakukan hanya diam tanpa bergerak.

“Apa maksudnya? Keributan apa?”

Dayat mengembuskan napas kasar. “Mereka ngobrol saat banyak pengunjung yang mau membayar. Sampai salah satu pelanggan menegur mereka berdua,” jelas Dayat.

“Makanya kalau mau ngobrol enggak usah kerja di sini,” timpal Dilla tiba-tiba.

“Dilla, jangan bicara seperti itu. Ingat kamu sedang mengandung sayang,” ucap Ian lembut pada istrinya.

Aku yang mendengar kata-kata seperti itu, hanya berdoa. Berharap bisa mendapatkan jodoh seperti Ian kelak. Pria yang selalu memperhatikan istrinya.

Di setiap doa selalu ada satu nama yang Risa selipkan. Entah sampai kapan dia harus menunggunya. Menunggu sesuatu yang tak mungkin dia dapat. Pria itu sudah terlalu jauh darinya, hingga tak mungkin untuk Risa gapai kembali.

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

DMCA.com Protection Status