Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / BAB 6. Kebahagiaan Ibu

Share

BAB 6. Kebahagiaan Ibu

Penulis: Meni Bari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 6

Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat.

Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku.

Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat.

“Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara.

Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat.

“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat.

“Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh..

“Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

DMCA.com Protection Status