Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / BAB 1. Salahkah

Share

Belahan Jiwa
Belahan Jiwa
Penulis: Meni Bari

BAB 1. Salahkah

Penulis: Meni Bari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-22 15:20:44

'Dasar penggoda, tidak tahu malu!'

'Perempuan murahan.'

Perawan Tua.'

Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.

Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, aku tidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.

Salah kah jika aku belum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu? Bukan kehendakku di usia 28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, aku tidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.

Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.

Awalnya aku merasa risih dan selalu menangis dalam diam setelah mendengar cemooh dari para tetangga. Ejekan dari mereka membuat sakit dan tidak tenang. Padahal aku tidak pernah mengganggu bahkan berbuat masalah dengan mereka. Namun, tetap saja pada dasarnya mereka suka menggunjing, apa pun yang kulakukan akan tetap jadi pergunjingan.

Sekarang aku sudah terbiasa mendengar perkataan mereka. Meskipun tidak dapat kupungkiri, hatiku masih tetap sakit setiap mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika berjalan bersama Ibu. Rasanya sudah membuat malu Ibu. Terkadang aku meminta maaf pada Ibu setelah melewati para penggunjing itu.

Seperti pagi ini, ketika melewati beberapa rumah tetangga. Di sana sudah ada ibu-ibu penggosip yang selalu memandang rendah diriku.

Sebenarnya aku tidak ingin melewati jalan ini ketika pergi dan pulang bekerja. Namun, apa daya rumah yang kutinggali tepat berada di paling ujung jalan. Jadi mau tidak mau harus melewati jalan satu-satunya itu.

Setiap pukul 07.15 aku pergi bekerja dan akan pulang sore hari. Biasanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai menuju tempat kerja.

Aku bekerja di sebuah toko swalayan milik suami sahabatku sebagai seorang pramusari.

“Pagi Ris,” sapa Nina ketika berpapasan saat masuk ke dalam toko.

“Pagi Nin.”

Senyumanku pun terbit membalas Nina. Kami berdua menuju ruang ganti yang dikhususkan untuk karyawan.

“Ris sudah dengar kabar tidak?” tanya Nina mendekatiku sedikit berbisik.

"Kabar apa? Gosip?” tanyaku tidak tertarik.

Nina mengangguk, “Tapi bukan gosip murahan, kemarin aku dengar dari karyawan lain kalau hari ini akan ada manager baru di toko ini,” ucap Nina antusias.

“Lalu?” tanyaku masih tidak tertarik.

Nina menggerakkan bola matanya, lalu mencubit wajahku gemas.

“Dia masih muda, dan katanya tampan seperti pemilik toko ini. Apa kamu tidak tertarik untuk mengetahuinya?’ tanya Nina.

“Tidak! Bisa saja dia sudah mempunyai istri,” jawabku cuek keluar dari ruang ganti pakaian.

Nina keluar mengikutiku, “Aku dengar manager baru ini masih single. Dan ini kesempatan buat kamu Ris, untuk melupakan dia,” kata Nina.

“Sudahlah Nin, aku tidak ingin memikirkannya sekarang.” sedikit kupercepat langkah ketika melihat sudah banyak karyawan lain yang berkumpul.

Ketika sampai aku melihat sebuah mobil berwarna abu-abu parkir. Tak lama kemudian pemilik toko  keluar bersama istrinya. Di mataku mereka berdua begitu serasi. Sahabatku itu  begitu beruntung mendapatkan pasangan sepertinya. Senyuumku terukir ketika bertatapan dengan Dilla. Namun, bukan senyuman yang kudapat, melainkan sikap cuek dan acuh.

Aku tahu jika kesalahan dulu membuat persahabatanku menjadi seperti sekarang. Namun, itu tidak sepenuhnya salahku. Kejadian itu terjadi begitu saja terjadi dan Dilla menjadi salah paham.

“Pagi semua, bagaimana kabar kalian?” Pemilik toko mulai menyapa kami semua.

“Pagi. Baik pak,” teriak kami serempak dengan semangat.

“Baik, seperti yang kalian ketahui kemarin, hari ini saya perkenalkan manager baru toko ini. Aku rasa dia memperkenalkan dirinya sendiri.

“Pagi semua, perkenalkan nama saya Dayat Permana, usia saya 35 tahun. Semoga kita bisa bekerja sama, terima kasih,” ucap Dayat ramah.

“Wah dia tampan dengan pak Bos.” 

“Iya, aku berharap dia masih single, siapa tahu diantara kita ada yang kecantol.”

Kudengar beberapa karyawan wanita sedang berbisik-bisik mengenai manager baru itu. Memang benar seperti yang dikatakan oleh Nina, manager baru itu cukup tampan, tapi tetap tidak setampan seseorang yang masih ada dipikiranku.

“Ris... Ris....”

“Eh iya, ada apa Nin?” tanyaku yang terkesiap.

“Itu sepertinya manager baru sedang melihat kearah kamu.” Ucapan Nina membuat kepalaku refleks menghadap kearah manager baru itu.

Mataku langsung bertemu dengan mata Dayat. Pandangan kami bertemu beberapa detik sebelum aku berbisik pada Nina.

“Apa penampilanku buruk?” tanyaku dengan suara pelan.

“Sepertinya tidak, mungkin dia....”

Tiba-tiba ponselku bergetar. Tertulis jelas nama siapa yang memanggil. Dengan wajah sedikit khawatir, aku meminta izin pada bos dan menjauhi mereka untuk mengangkat telepon.

“Halo ada apa Bu?” tanyaku khawatir.

Aku tahu, jika ibu meneleponku di jam kerja pasti ada hal yang penting.

“Iya Bu, saya minta izin dulu. Ibu jangan panik, Risa akan ke sana setelah mendapat izin dari bos,” ucapku berusaha menenangkan Ibu.

Setelah selesai mematikan telepon, aku bergegas kembali dan meminta izin pada bos. Aku yakin semua orang bingung dengan sikapku sekarang.

“Bos, bisakah saya tidak bekerja hari ini. Kondisi Bapak saya menurun, saya harus menenangkan Ibu,” kataku dengan nada bergetar penuh harap.

“Bapak masih di rawat di rumah sakit Ris?” tanya pak Bos.

Aku mengangguk dan menunggu izin darinya.

“Kamu bisa pergi, tapi maaf saya tidak bisa menjenguk bapak dulu. Masih ada kerjaan yang harus diurus. Nanti kalau sudah selesai saya dan Dilla akan ke rumah sakit.”

“Terima kasih Bos, kalau begitu saya permisi,” pamitku bergegas masuk mengambil tas lalu pergi tergesa-gesa.

Aku senang bisa mendapatkan bos yang baik sepertinya. Sudah sering aku meminta izin karena Bapak, dan setiap kali itu juga bos selalu memberi izin. Bahkan tidak jarang bos selalu melebihkan gajiku dari karyawan lain. Alasannya untuk membalas budi Bapak dan Ibu yang sudah menjaga istrinya dulu.

Sesampai di parkiran, aku segera mengeluarkan motor. Motor itu adalah pemberian satu-satunya dari Bapak. Meskipun motor bekas tapi motor inilah yang selalu menemaniku ke mana-mana. Sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah sakit tempat Bapak dirawat.

Tiba-tiba rasa khawatirku semakin bertambah. Tanpa sadar kecepatan motor semakin melaju menuju rumah sakit.

Bab terkait

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-03
  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04
  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-13
  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   BAB 6. Kebahagiaan Ibu

    Bab 6 Kubasuh wajah agar terlihat segar sebelum bertemu ibu di kamarnya. Wajahku terkejut sekaligus bahagia ketika melihat ibu sudah bisa duduk. Ibu tersenyum dan memanggilku agar segera mendekat. Meskipun tersenyum lembut, terlihat jelas jika ibu merasakan sakit. Wajahnya yang pucat sekaligus lemah begitu jelas di mataku. Seketika itu juga hatiku teriris. Betapa tidak, baru saja aku kehilangan sosok ayah, sekarang ibu pun sakit dan harus di rawat. “Ris, makan dulu. Aku bawakan nasi goreng dari kantin.” ternyata Dayat yang berbicara. Kuamati dirinya yang baru saja masuk. Benar saja, dua bungkus makanan sudah berada di tangan Dayat. “Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum membalas kebaikan Dayat. “Nah, gitu dong. Kalau senyum cantiknya nambah.” Gombalannya seketika membuatku salah tingkah. Hal itu dilihat oleh ibu, hingga kudengar suara ibu terkekeh.. “Gombal,” jawabku sambil mulai membuka bungkusan nasi

  • Belahan Jiwa   BAB 5. Kebersamaan

    “Aduh Ris, aku enggak mau lagi deh berurusan sama pak Dayat, dia nyeremin,” tukas Nina.“Makanya jangan ajak aku bicara tadi,” jawabku lagi.“Huh, ini semua kan gara-gara wanita tua tadi. Coba saja dia bisa sedikit sabar, pasti enggak bakal begini,” omel Nina.“Jangan keras-keras, nanti ibu-ibu itu dengar,” jawabku sedikit menyikut Nina.“Biarin. Lagian juga pak Dayat, marah-marah gak jelas gitu. Nyesal aku jadi penggemarnya,” celetuk Nina lagi. Terlihat kesal dengan Dayat.“Dia marah karena kita memang salah Nin,” Jelasku.“Iya sih, tapi kan jangan mengancam pakai dipecat segala Ris. Aku sama Udin mau makan apa kalau di pecat,” ucap Nina dramatisir.“Makan pakai batu,” jawabkucuek.“Sialan, tegakah seorang Risa melihat sahabatnya makan batu?” tanya Nina dengan nada baca puisi.“Sudah deh, kita lanjut k

  • Belahan Jiwa   BAB 4. Dia tak Dapat Kuraih

    Akumenarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum memasuki toko swalayan. Hari ini adalah hari di mana aku kembali bekerja setelah mengambil cuti beberapa hari. Tiga hari cukup bagi dirikuuntuk menenangkan diri.“Semangat Ris, kamu pasti bisa!” ujarkumemberi semangat pada diri sendiri.Dengan semangat kulangkahkan kaki memasuki toko swalayan. Senyumku pun terbit ketika melihat karyawan lain menyapa.“Pagi Nin,” sapakudengan senyuman hangat.“Pagi Ris,” balas Nina tak kalah lembut.Seperti biasa aku dan Nina berjalan bersama menuju ruang ganti. Kami pun mulai berganti pakaian sambil mengobrol ringan.“Ris, apa kamu tidak ingin istirahat saja di rumah beberapa hari lagi?” tanya Nina sedikit khawatir saat melihatkutiba-tiba terdiam.Risa tersenyum pada Nina dan berkata, “EnggakNin, kalau aku libur terus nanti enggak dapat gaji.Memangnya k

  • Belahan Jiwa   BAB 3. Teringat Kembali

    Sebuah batu nisan baru saja di pasang di tempat pemakaman umum. Wangi bunga khas kuburan menyeruak tersebar di pusaranya. Para pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman tersebut. Hanya ada tiga orang yang masih setia menemani disamping kuburan. Aku, ibu dan Dayat.Dengan pakaian dan kacamata yang serba hitam, aku menatap lama kuburan bapak. Sesekali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipiku. Meskipun sudah memakai kacamata, tetapa saja orang lain akua tahu jika aku sedang menangis.Aku rasa wajar saja seperti ini, menangisi kepergian seseorang. Apalagi jika orang itu begitu berarti. Semua orang juga akan sepertiku,jika orang yang di sayang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Apalagi akubelum sempat memberikan dan membahagiakan bapak. Bahkan belum sempat mewujudkan impian bapak melihat anaknya menikah.“Nak, ayo kita pulang,” ajakibu padaku.“Risa masih mau di sini Bu,” jawab Risa.

  • Belahan Jiwa   BAB 2. Kau Kembali pada-Nya

    Aku bernapas lega setelah tahu apa yang terjadi. Ibu pun juga sudah sedikit tenang. Tadi pagi tiba-tiba saja penyakit bapak kambuh. Hari iniorang yang kusayangharus di rawat inap lagi, dokter tidak ingin mengambil risiko jika kondisi bapak drop kembali.Maka dari itu dokter menyarankan untuk rawat inap.“Bu, biar Risa saja yang menjaga Bapak. Ibu istirahat saja di rumah,” ucapkulembut.Aku tidak tega melihat keadaan ibu. Sejak pagi ibu sudah menemani bapak di rumah sakit.“Tidak Risa, Ibu mau di sini saja,” jawab Ibu dengan mata yang masih sembab.“Ya sudah, Ibu di sini. Risa kembali ke rumah dulu ambil beberapa pakaian Ibu,” pamitkusebelum keluar dari ruang inap bapak.“Iya, hati-hati di jalan Risa.”“Baik Bu, kalau terjadi sesuatu cepat hubungi Risa Bu, Risa pamit.”Sebelum pulang ke rumah, akumenyempatkan ke ATM untuk mengambil beberapa uan

  • Belahan Jiwa   BAB 1. Salahkah

    'Dasar penggoda, tidak tahu malu!''Perempuan murahan.'Perawan Tua.'Ucapan itulah setiap paginya selalu terdengar.Kata-kata itu seperti nyanyian di pagi hari bagiku. Setiap melewati rumah tetangga, akan ada kata-kata kasar mencemooh dari mulut mereka. Padahal itu tidak benar, akutidak pernah menggoda siapa pun. Suami merekalah yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya.Salahkah jika akubelum menikah? Kenapa mereka tega mengatakan hal seperti itu?Bukan kehendakkudi usia28 tahun masih belum mendapatkan pasangan. Bukan tidak ada yang mendekati, banyak. Bukannya juga karena diriku yang pemilih. Namun, akutidak ingin, karena mereka hanya menginginkan tubuhku tidak diriku.Bukan terlalu percaya diri tentang bentuk tubuhku, tapi memang aku bisa menjaga dan menghargai diri sendiri. Memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang ayu membuat laki-laki senang menggoda.Awalnya

DMCA.com Protection Status