Malam itu, angin berhembus sangat kencang di sekitar rumahku. Aku memandang lewat jendela kamar yang terbuka, seorang gadis tengah duduk di atas balkon rumah besar di depan rumahku yang hanya terhalang jalan raya. Ia duduk dengan mengenakan mantel tebal dan tengah memeluk sebuah boneka yang hampir seukuran tubuh mungilnya tersebut.
Nama gadis itu Sara, Putri kedua dari orang tua seorang politikus terkenal di Bandung. Tak heran, berkat kekayaan kedua orang tuanya Sara bisa hidup nyaman dan berkecukupan.
Aku hampir tidak pernah melihat raut ekspresi kesedihan dari wajah Sara, itulah yang entah kenapa sangat aku sukai, senyumnya, aku bicara soal senyumnya.
Lalu aku sendiri? Namaku Rafael, aku hanya anak laki-laki biasa yang tumbuh di keluarga yang sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu seorang pedagang. Kesederhanaan ini juga yang membuat aku tersadar, takdir dan alur hidup orang-orang ternyata berbeda.
Tak jauh perbandingan tersebut, melihat kehidupan aku dengan Sara saja sudah berbeda, bahkan jika level game, aku masih level satu sedangkan dia sudah sepuluh tingkat di atasku. Cukup tinggi, tapi tidak mustahil untuk kudekati.
***
“Rafa, apa kamu mau keluar hari ini?” tanya ibuku.
Ia keluar dari dapur membawa adonan bumbu berwarna merah, siang itu ia harus berangkat untuk berjualan seblak di sekitaran sekolah menengah di pusat kota. Ia selalu berangkat menggunakan motor bebek tua keluaran tahun 2008 yang masih elok untuk dipakai.
“Iya, aku mau main ke rumah Sara.”
Kumatikan tv yang sedang kutonton dan pergi membantu Ibu untuk mempersiapkan barang dagangan, diantaranya seperti mie, sayur, hingga ayam.
Satu yang membuatku kagum, Ibu sama sekali tidak pernah mengeluh tentang pekerjaannya, meski aku sering melihatnya berpeluh keringat di wajah dan tubuhnya, ia selalu saja melakukan semua pekerjaannya dengan sebuah senyuman. Aku memang masih kecil, tapi melihat hal itu membuat hatiku ikut terenyuh.
“Jangan lama-lama mainnya, yah? Kamu juga jangan sampai merepotkan keluarga Pak Sanjaya,” pesan dari Ibu, ia selalu mengatakan demikian ketika aku hendak pergi bermain, entah kenapa tapi sedari kecil aku selalu diberi petuah-petuah tentang etika bertamu yang baik dan beradab.
Persiapan sudah selesai, Ibu segera berpamitan dan pergi melaju dengan motor tuanya meninggalkanku sendirian di rumah.
Tak hanya Ibu, tapi kedua orang tua Sara pergi dari rumah besar tersebut, pintu gerbang terbuka dan keduanya pergi menggunakan mobil hitam mewah. Aku lihat dari balik gerbang, Sara dan Kak Margaret yang melambaikan tangan tanda perpisahan kepada mereka.
Letak rumahku dengan Sara memang berhadapan, jadi tak ayal keluargaku atau keluarga Pak Sanjaya selalu bertegur sapa, berlebaran bersama, bahkan piknik bersama.
“Rafa, ayo main. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu,” pinta Sara, tangannya yang kecil nan halus melambai kearahku, senyum merekah mengambang membuatku senang dengan ajakan tersebut.
Aku langsung berangkat setelah mengunci pintu rumah, Kak Margaret juga menyambut hangat diriku, bahkan ia tak sering membuatkan minuman dingin untukku dan Sara.
Biasanya aku selalu bermain dengan Sara di halaman belakang, berisi taman dan kolam ikan yang selalu suka aku beri makan. Entah kenapa ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari selalu saja membuatku tenang dan nyaman.
“Rafa, lihat! Bagaimana pendapatmu?” tanya Sara, ia menunjukan sebuah patung yang terbentuk dari mainan berbentuk seperti tanah liat berwarna warni.
Patung tak berbentuk itu membuat mataku terpukau, pasalnya aku tidak pernah melihat permainan itu sebelumnya. Aku duduk di lantai dan memutar patung buatan Sara dengan perlahan, teksturnya kasar dan baunya cukup wangi.
“Bagus, bagaimana kamu—”
Patung itu hancur ketika aku menyentuhnya beberapa kali. Aku panik, tubuhku seketika menegang seolah-olah disetrum oleh ribuan listrik bertegangan tinggi. Aku hanya terdiam sambil menatap Sara, mencoba meminta maaf dengan tatapanku saja.
Gadis itu masih terdiam melihat patung buatannya hancur dan rubuh, ia kemudian menatapku dan secara mengejutkan tersenyum kecil.
“Rubuh, deh.”
Eh … apa kamu tidak marah?
“Ayo sekarang kita buat lagi bersama-sama. Kita buat yang lebih besar dan bagus,” ucap Sara dengan antusias, ia malah dengan sengaja mengacak-acak patung buatannya hingga tak berbentuk lagi.
Aku masih terdiam, tak lama Sara mulai mengajakku dan menyuruhku untuk membuat di bagian lengan dan kaki sebelah kanan. Aku mengangguk dan mulai mengambil tanah liat bagianku.
Aku menyelesaikan bagian tangan dan kaki dengan cepat, tinggal menunggu bagian badan untuk disatukan. Sara tampak kesulitan, beberapa kali tanah liat yang ia gunakan hancur ketika tengah dibentuk.
Aku harus membantunya.
Kuraih tanah itu dan mulai membentuk dengan bantuan jemari Sara, jadi seolah-olah dia sendiri yang tengah membuat. Tak lama, patung itu selesai dan Sara senang bukan main, patung buatan aku dengannya lebih bagus dibandingkan patung awal tadi.
“Lebih bagus ternyata,” ucap Sara, terkagum.
Kak Margaret datang membawakan minuman untuk kami, ia terpesona melihat patung besar hampir berukuran 30cm berdiri tegak di halaman belakang rumah.
“Buatan siapa itu?” tanya Kak Margaret.
Sara menarik tanganku dan mendekatkan tubuhnya kepadaku, ia rangkul tangannya melingkar di leherku seolah-olah sohib sehidup semati.
“Kami berdua yang buat. Bagaimana? Kakak bisa buat yang kaya gitu, gak?” tanya Sara.
Kak Margaret berdiri dan mengusap pelan rambut Sara dan rambutku juga, “Wah, kayanya gak bisa, soalnya itukan keahlian kamu, Sara.”
“Ayo minum dulu, pasti capek buat patung kaya gitu, kan?” ajak Kak Margaret, ia menarik tanganku dan tangan Sara untuk duduk di ayunan yang ada di halaman tersebut.
Minumannya sangat enak, manis dan ada sedikit asam, warnanya juga beraneka ragam. Aku meminum perlahan agar bisa menikmatinya dengan lama.
“Rafa umur berapa sekarang?” tanya Kak Margaret.
Sembari menghitung jari, aku ingat-ingat kembali tanggal ulang tahunku yang sudah lewat beberapa bulan lalu, “6 tahun.”
“Wah, lebih muda dari Sara, yah? Dia mau beranjak 7 tahun bulan ini.”
“Sudah mau masuk sekolah dasar, yah?” tanyaku dengan antusias, wanita dewasa di sampingku hanya mengangguk seraya tersenyum, kutaksir umur dari Kak Margaret berbeda jauh dari Sara, sekitar umur 15 tahun.
“Iya, nanti kamu juga belajar di sekolah yang sama dengan Sara, yah?”
Aku mengangguk, aku memang ingin selalu bersama dengan Sara, entah karena sejak balita kami sudah dekat atau memang ada perasaan khusus dariku padanya.
Kak Margaret beralih menatap Sara yang duduk di sampingnya, “Sara, gimana kalau kakak jodohin kamu sama Rafa?”
Air menyembur dari mulut gadis itu, terkejut mendengar apa yang kakaknya katakan. Ia langsung menatapku dan menelisik mulai dari bawah hingga ke atas.
“Aku maunya sama artis tampan, yang kulitnya berwarna putih dan rambutnya pirang.” Sara memalingkan wajahnya, dan ucapannya itu termasuk penolakan halus terhadapku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu karena memang tidak mengerti.
“Ah, yakin? Kenapa gak yang ada di depan mata aja?” tanya Kak Margaret, aku semakin dibuat tak mengerti dengan ucapan keduanya.
Minumanku habis, dan waktu mulai beranjak petang. Sudah waktunya aku berpamitan kepada Kak Margaret dan Sara.
“Kak Margaret, aku mau pulang dulu, yah?” tanyaku polos.
“Loh, mau pulang? Yaudah lagian udah sore juga. Ayo kakak anter,” balas Kak Margaret, dengan senang hati ia mengantarku hingga pintu gerbang, sedangkan Sara mulai berjalan masuk ke kamar.
“Salam ke Ayah dan ibumu, yah,” pesan Kak Margaret, aku menyebrang dan masuk ke dalam rumah, sedangkan Kak Margaret mulai menutup pintu gerbang.
Aku mulai merebahkan tubuhku di atas kasur dan menatap langit-langit kamar, sebuah kalimat masih terngiang di kepalaku terkait pembicaraan antara Kak Margaret dengan Sara. Perjodohan, apa itu perjodohan? Dan kenapa Sara bersikap aneh seperti tadi?
***Lima tahun berlalu.Aku dan Sara masih dekat, seperti tidak ada yang berubah. Kami masih sering bertemu, meskipun aku sudah cukup jarang bermain di rumahnya. Ia lebih sering mengajakku main keluar, baik ke taman bermain atau timezone.“Apa kamu tahu kalau aku ikut lomba menyanyi?” tanya Sara, ia berjalan di dekatku sambil memakan eskrim di dalam cup.“Aku mengetahuinya dari Kak Margaret,” balasku datar.Informasi mengenai lomba menyanyi yang diikuti Sara memang sangat mengejutkan, pasalnya sejak kecil Sara tidak pernah tertarik dengan perlombaan menyanyi, ia hanya ingin menyanyi untuk menghibur dan membuat orang disekitarnya senang.“Benarkah? Lalu bagaimana pendapatmu?” tanya Sara.Dia terlihat lebih cantik dengan senyuman itu, aku ingin mempertahankan senyuman itu lebih lama lagi.“Bagus, itu bisa menjadi kesempatanmu untuk menunjukan kalau kamu yang terbaik,” balasku.Aku bersikap sebagai supporter bagi Sara, apa
***Aku masih teringat dengan perpisahaan waktu itu, ketika Sara pergi ke Jakarta untuk meniti karir, teman semasa kecilku yang pergi dengan raut sayu. Aku penasaran, bagaimana keadaannya di Jakarta sana? Apa dia sudah dapat pekerjaan artis yang sedari dulu ia inginkan?“Rafael,” sapa seorang wanita.Wanita itu menepuk pelan bahuku membuat kepalaku langsung berbalik membalas sapaannya. Wanita itu tak lain adalah Siska, siswi jurusan IPA kelas 2 yang kukenal. Ia teman semasa SMP-ku yang kebetulan masuk SMA ini bersama.“Ada apa?” tanyaku datar.“Apa kamu sedang sibuk?”Seorang siswa laki-laki yang tengah berdiri dengan bertumpu pada tiang lorong, memandangi lapangan di bawah yang penuh dengan siswa yang sedang berolahraga. Tentu saja, aku tidak sibuk sama sekali, terkecuali jika aku pengamat sepakbola, itu beda cerita.Aku menggelengkan kepala dan ia kembali melanjutkan bicara, “Aku ingin memin
Entah apa dia salah bicara atau bagaimana, ia justru mengatakan ada temannya yang menyukaiku. Kukira sikapnya yang aneh dan salah tingkah itu karena dia yang jatuh cinta padaku. Ah, maafkan diriku yang terlalu percaya diri ini.“Oh begitu, yah?” tanyaku, tentu saja pengakuan secara tidak langsung seseorang yang dikatakan teman Siska membuatku canggung.“Apa yang akan kamu lakukan, Rafael?”“Entahlah, aku juga tidak pandai dalam urusan seperti ini. Menurutmu, apa yang perlu kulakukan?” tanyaku dengan nada datar, kuraih gelas berukuran sedang dan menyeruputnya pelan melalui sendok putih yang tertancap di atas tumpukan keju parut tersebut.“Bagaimana jika kamu menjawabnya dengan perasaan yang sedang kamu rasakan sekarang?” tanya Siska, wajahnya menunduk dan matanya sayu menatapku, perlahan ketika kubalas tatapan itu, ia terus menunduk dan memejam.Ah, moment ini sama saja dengan pengungkapan rasa yang kumiliki padanya. Minimal ia bisa tahu hasil yang kelua
*** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.
*** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany
*** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku
Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t
Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past
*** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se
*** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di
*** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.
*** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana
Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past
Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t
*** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku
*** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany
*** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.