Home / Romansa / Behind The Entertainment / Hidup Dalam Kesendirian

Share

Hidup Dalam Kesendirian

Author: Rafaiir
last update Last Updated: 2021-06-10 20:09:59

***

Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning.

Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama.

“Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal.

Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan.

Aku, hanya terdiam melihat beberapa orang berbela sungkawa padaku. Beberapa nasihat dari mereka aku ingat dan simpan, sisanya aku hanya terpikirkan bagaimana jadinya jika keramaian ini perlahan mulai menghilang dan aku harus ditinggal sendiri.

Kakek memimpin tahlilan untuk kedua orang tuaku, sedangkan aku langsung beranjak pergi masuk ke kamar dengan alasan mengganti pakaian. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah aku hendak mengistirahatkan kepalaku dan berharap ketika aku membuka mata, semua yang terjadi hanyalah mimpi belaka.

Meski suara lantunan ayat suci semakin nyaring terdengar, entah kenapa pikiranku cukup kosong ketika kedua mataku terpejam. Lantunan ayat suci perlahan menghilang bersamaan dengan beban masalah yang semula seperti menumpuk di punggung.

Pintu kamar kukunci, jendela kututup rapat-rapat beserta tirainya. Hanya lampu redup yang menyala dan membuat ruangan itu cukup samar jika dilihat. Kak Margaret, ia sudah kembali ke rumahnya dan mungkin akan datang lagi bersama kedua orang tuanya. Dan Sara, aku tidak bisa berhenti berharap akan kedatangan teman masa kecilku tersebut.

***

Terasa sangat nyenyak sekali tidurku kali ini. Kubuka kedua mata ini dan melirik kearah jam dekker yang berada di atas meja. Waktu sudah menunjukan pukul setengah delapan malam, itu berarti aku sudah tertidur selama sepuluh jam.

Mataku jauh lebih bertenaga dibanding siang tadi, suara dari ruang tengah sudah tak kembali terdengar. Aku juga memeriksa, keadaan sudah cukup sepi, hanya ada beberapa keluarga jauh yang sedang duduk-duduk sambil menghitung uang takziah.

“Rafa? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bibi yang segera melepas uang yang ia pegang dan memelukku dengan hangat.

Aku mengangguk atas pertanyaan tersebut, setidaknya perasaanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku masih merasa kehilangan dan belum bisa menerima kepergian mereka.

“Apa kamu sudah makan?” tanya Bibi, ia cukup ramah dengan kondisiku saat ini, biasanya ia sangat cuek padaku bahkan kami jarang bertegur sapa ketika kumpul keluarga besar.

Anak Bibi, mereka para saudaraku, mereka tidak datang kemari. Pasti mereka cukup sibuk dengan urusan mereka masing-masing, mengingat umur mereka ada yang sama denganku, bahkan lebih. Hanya para orang tua yang datang membantu dan menemaniku untuk beberapa hari ke depan.

Nenek, kulihat dia sedang berada di dapur, mempersiapkan makan malam yang tentunya spesial karena di antara semua orang di ruang itu. Hanya masakan buatan Nenek yang paling enak di lidah kami, ia memasak dengan tatapan datar, mungkin masih terpikir akan anaknya yang pergi cepat meninggalkannya.

“Dulu, aku pernah bertemu dengan temanmu yang di depan rumah. Kemana dia sekarang?” tanya Bibi.

Apa yang ia maksud adalah Sara, karena ia bertemu dengannya sudah lama sekali jadi ia mungkin tidak tahu kalau Sara sudah lama pergi ke Jakarta. Aku duduk dan meraih beberapa makanan ringan setidaknya untuk mengganjal perutku yang perih.

“Dia sudah di Jakarta, menjadi seorang artis besar,” ucapku.

“Artis?”

“Hmm. Ia berbakat dalam menyanyi, dan tak lama setelah mengikuti lomba, ia terpilih dan pergi ke Jakarta untuk audisi yang sebenarnya.”

Aku bercerita banyak, baik tentang sikap Sara atau tentang audisinya, mereka juga tampak sama penasarannya dengan para wartawan, banyak bertanya mengulik informasi seputar kehidupanku dengan Sara sebelumnya.

Tak lama, Nenek datang membawa panci besar berisi sup daging hangat, selain itu, ia juga sudah mempersiapkan masakan tumis dan beberapa sambal khas yang dijamin pedasnya.

Aku tidak bisa langsung mengambil nasi dan makan, terlebih dahulu aku mempersilakan para orang tua untuk makan, mungkin adab inilah yang diajarkan oleh kedua orang tuaku secara turun temurun.

“Apa kamu tidak makan, Rafa?” tanya Bibi yang sudah mengambil sup begitu juga dengan nasi.

Ponselku bergetar, entah kenapa momen itu sangat pas dengan pertanyaan Bibi. Aku beralasan ingin menjawab telepon dari teman terlebih dahulu sebelum makan. Ia hanya mengangguk pelan.

Kumelangkah keluar bersama tubuhku yang terbalut sweater hangat berwarna biru tua. Aku bisa melihat jalanan di kompleks itu cukup ramai mengingat hari ini adalah hari libur.

Sebenarnya getaran yang ada di ponsel tadi bukanlah sebuah panggilan telepon dari seseorang, itu hanyalah peringatan notifikasi untuk pembaharuan aplikasi di ponselku. Sungguh aneh.

Cukup lama aku berdiam diri di luar rumah hingga salah satu anggota keluarga memanggilku untuk masuk dan ikut makan. Aku hanya mengangguk, aku akan makan ketika mereka sudah makan semua.

“Sedang apa kamu di luar sini, Rafael?”

Sapa pelan dari arah samping kanan, seorang wanita yang turun dari atas motor maticnya seraya melepaskan helm berwarna putih dengan motif garis berwarna merah muda. Ia adalah Siska, tampak berjalan menghampiri dengan terus memerhatikan bendera kuning yang berkibar di depan rumah.

“Rafael, siapa yang meninggal?” tanya Siska, penasaran.

“Kedua orang tuaku.”

Siska terperangah kaget, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang sama denganku. Ia memang seseorang yang perasa, bahkan ia mungkin bisa merasakan hal yang sedang kurasa saat ini.

“Kapan kejadiannya? Lalu bagaimana bisa?”

Sembari menghela napas, aku mengajak Siska untuk pergi berkeliling, sekedar berjalan-jalan di alun-alun kota atau pergi ke taman. Wanita itu tentu saja tidak akan menolak apa yang kuinginkan.

Aku berpamitan dan segera pergi berboncengan dengan Siska. Selama di perjalanan, aku menceritakan semua kejadian yang menimpa kedua orang tuaku, mulai dari pemberitaan di tv hingga jasadnya yang hampur hancur akibat kecelakaan fatal.

Siska hanya diam membisu, sembari memerhatikan jalan di depannya. Ia mengangguk di setiap penjelasan yang aku katakan. Malam itu, hanya dialah temanku yang pertama tahu tentang berita duka ini.

Kami berhenti tepat di depan alun-alun kota, sangat ramai oleh orang-orang yang berliburan dan melepas penat. Mungkin dari sekian ratus orang di tempat itu, akulah orang yang sedang berduka tepatnya.

“Duduklah, aku akan membelikanmu makanan,” titah Siska.

Aku mengangguk, aku duduk di atas lantai alun-alun yang terlapisi oleh rumput sintetis yang sangat nyaman dan menenangkan. Dari sudut mata memandang, banyak kuliah anak-anak yang bermain bersama kedua orang tua mereka. Hal itu sontak saja membangkitkan kenangan atas mereka ketika dulu berlibur bersama.

Tak lama, Siska datang membawa dua mangkuk makanan kesukaanku. Namun, mataku masih belum bisa beralih dari keceriaan anak-anak yang begitu mengasyikan.

“Kenangan akan menjadi sangat berharga ketika kita kehilangan seseorang,” ucap Siska.

Ia meletakan dua mangkuk itu tepat di depanku, aku balik melirik Siska yang tersenyum lembut seraya memerhatikan apa yang tadi kuperhatikan.

“Dan dari kenangan itu juga, kita bisa memilih apakah kita akan tetap melanjutkan kenangan yang ada atau menyerah.”

Siska menatapku dalam-dalam.

“Mereka tidak meninggalkanmu, Rafael. Mereka ada di sini, hidup bersama kenangan-kenanganmu yang dulu,” sambung Siska.

Aku mengangguk, ucapannya sangat dalam dan mengena di hatiku. Namun, tetap saja apa yang kulihat itu cukup menyayat hati jika dibandingkan dengan kenangan bersama mereka.

“Peluklah aku, Rafael.”

“Apa?” tanyaku kaget.

“Peluklah aku, maka kamu akan merasa baikan.”

Related chapters

  • Behind The Entertainment   Garis Bertahan

    *** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku

    Last Updated : 2021-06-14
  • Behind The Entertainment   Derita dan Kasih Sayang

    Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t

    Last Updated : 2021-06-15
  • Behind The Entertainment   Kisah setelah esok

    Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past

    Last Updated : 2021-06-16
  • Behind The Entertainment   Tempat dan Suasana Baru

    *** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana

    Last Updated : 2021-06-17
  • Behind The Entertainment   Teman

    *** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.

    Last Updated : 2021-06-18
  • Behind The Entertainment   Kontrakan dan segala isinya

    *** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di

    Last Updated : 2021-06-20
  • Behind The Entertainment   Pejuang Rupiah

    *** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se

    Last Updated : 2021-06-21
  • Behind The Entertainment   Kisah Semasa Kecil

    Malam itu, angin berhembus sangat kencang di sekitar rumahku. Aku memandang lewat jendela kamar yang terbuka, seorang gadis tengah duduk di atas balkon rumah besar di depan rumahku yang hanya terhalang jalan raya. Ia duduk dengan mengenakan mantel tebal dan tengah memeluk sebuah boneka yang hampir seukuran tubuh mungilnya tersebut.Nama gadis itu Sara, Putri kedua dari orang tua seorang politikus terkenal di Bandung. Tak heran, berkat kekayaan kedua orang tuanya Sara bisa hidup nyaman dan berkecukupan.Aku hampir tidak pernah melihat raut ekspresi kesedihan dari wajah Sara, itulah yang entah kenapa sangat aku sukai, senyumnya, aku bicara soal senyumnya.Lalu aku sendiri? Namaku Rafael, aku hanya anak laki-laki biasa yang tumbuh di keluarga yang sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu seorang pedagang. Kesederhanaan ini juga yang membuat aku tersadar, takdir dan alur hidup orang-orang ternyata berbeda.Tak jauh perbandingan tersebut, melihat kehidupan aku dengan

    Last Updated : 2021-05-21

Latest chapter

  • Behind The Entertainment   Pejuang Rupiah

    *** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se

  • Behind The Entertainment   Kontrakan dan segala isinya

    *** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di

  • Behind The Entertainment   Teman

    *** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.

  • Behind The Entertainment   Tempat dan Suasana Baru

    *** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana

  • Behind The Entertainment   Kisah setelah esok

    Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past

  • Behind The Entertainment   Derita dan Kasih Sayang

    Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t

  • Behind The Entertainment   Garis Bertahan

    *** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku

  • Behind The Entertainment   Hidup Dalam Kesendirian

    *** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany

  • Behind The Entertainment   Duka

    *** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status