Share

Duka

Penulis: Rafaiir
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-09 12:03:14

***

Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota.

Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan.

Sungguh heran.

Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang.

Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku.

“Apa ini, Kak?” tanyaku.

“Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.

Aku tentunya senang, di samping sup yang sudah kuhangatkan, ada makanan lain yang bisa menemaniku selama seharian ini. Wajah Kak Margaret seketika mengingatkanku pada Sara, ia membuyarkan lamunanku dan tersenyum simpul.

“Apa kamu merindukannya?” tanya Kak Margaret setengah menggoda, ia tertawa kecil melihatku yang kikuk gara-gara hal tadi.

“Ahaha apa yang kamu katakan, Kak? Sebagai teman, iya aku merindukannya,” ucapku dengan mata terpejam, mencoba mengeles agar Kak Margaret tidak menyadari perasaanku yang sebenarnya.

“Kan? Seperti dugaanku, kamu memang menyukainya?”

“Aku? T-Tidak, aku sama sekali tidak menyukai wanita cerewet sepertinya,” jelasku, membantah.

“HAHA!”

Perbincangan di antara aku dengan Kak Margaret berjalan hangat dan lancar, saat kupersilakan masuk, ia langsung duduk di atas sofa sambil secara berkala memerhatikanku dari jauh.

“Jika kulihat lagi, wajahmu jauh lebih tampan dari pada waktu masih kecil dulu,” puji Kak Margaret.

Wanita itu bukan sosok wanita yang mudah melemparkan godaan dan pujian begitu saja, ia tipe wanita yang serius dan jika sekali memuji, berarti pujian itu memang benar adanya dan ia berkata dengan sungguh-sungguh.

“Aku ini laki-laki, sudah tentu tampan, kan?” tanyaku, mencoba merendah agar tidak tampil canggung di depannya.

“Benar, kalau laki-laki itu tampan, tapi ada kriteria ketampanan itu sendiri dan tidak semua laki-laki mendapatkan hal itu,” ucap Kak Margaret, membantah apa yang kupertanyakan.

“Jangan memujiku, Kak. Aku hanya laki-laki biasa.”

“Justru itulah letak perbedaanmu, kamu laki-laki biasa tapi wajahmu 100% seperti artis oriental Indonesia,” puji kembali Kak Margaret.

Demi menghindari pujian-pujian, aku menyalakan Tv dan memutarkan channel berita. Hampir seluruhnya diisi oleh berita tentang pemilihan umum yang akan datang, hingga muncul sebuah berita breaking news.

“… Terjadi kecelakaan maut di ruas Jalan raya Cianjur-Bandung, seluruh penumpang bus meninggal di tempat.”

“Akhir-akhir ini banyak kecelakaan yang terjadi, jalan raya semakin menakutkan, bukan benar begitu, Rafael?”

Tidak mungkin.

Ini pasti tidak mungkin, mereka tidak mungkin berada di bus itu!

“Rafael, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kak Margaret.

Tanpa membalas ucapan Kak Margaret, aku langsung meraih ponselku dan mencoba menelepon nomor ponsel Ayah dan Ibu. Beberapa kali kucoba, tapi nihil jawaban dari mereka.

Pikiranku semakin campur aduk, kalut marut akibat berita yang kudengar. Beberapa kali kucoba menelepon, pada akhirnya tidak ada jawaban yang datang.

Karena panik, air mataku perlahan jatuh membuat Kak Margaret kebingungan. Ia mencengkeram kedua tanganku dan menanyakan ada apa.

“Ayah … Ibu … mereka sedang berada di perjalanan Cianjur-Bandung.”

“Tidak mungkin….”

“Aku sudah mencoba menelepon mereka, tapi tidak ada tanggapan sama sekali,” ucapku, tak hentinya kutelepon kedua orang itu untuk memastikan keselamatan mereka.

Kak Margaret langsung memelukku tanpa ragu, kepalaku dibenamkan di dadanya sembari tangan lembutnya mengelus rambut kepalaku. Aku semakin menangis sejadi-jadinya, memikirkan bagaimana jadinya jika aku hidup sendiri di sini.

“Tenanglah, kita berdoa bersama-sama semoga itu bukan bus yang ditumpangi oleh kedua orang tuamu.” Kak Margaret berbisik sambil terus menenangkanku, aku hanya bisa berharap demikian, semoga saja mereka menaiki bus yang berbeda dari apa yang kulihat di Tv.

Dua jam kami menunggu, pintu rumah kembali diketuk. Kini, yang datang adalah dua orang dari kepolisian.

Kubuka pintu kayu tersebut dan menatap keduanya dalam-dalam, “Ada yang bisa kubantu?”

“Apa ini rumah dari saudara Agus dan saudari Lifa?” tanya kepolisian, memastikan identitas dan alamat dari keduanya, Agus dan Lifa adalah nama dari kedua orang tuaku.

Aku mengangguk, mereka segera memintaku untuk ikut bersamanya. Mereka mengatakan kedua orangtuaku terlibat kecelakaan maut dan membutuhkan data untuk mengambil jenazah.

“Baiklah, tunggu sebentar,” ucapku.

Sambil menahan rasa sedih, aku mengajak Kak Margaret untuk ikut bersama ke RS. Awalnya, Kak Margaret menolak dengan alasan phobia darah. Namun, setelah kubujuk lebih banyak, pada akhirnya ia setuju.

Kami berangkat menaiki mobil polisi dan bergerak dengan cepat menuju tempat tujuan, RS di kota Bandung.

Beberapa wartawan sudah berdatangan ke RS tersebut, mengingat kejadian yang terjadi cukup mengerikan dan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan membuat berita ini menjadi paling hangat dalam beberapa jam saja.

“Kalian tunggu di sini, nanti ada yang memanggil kalian,” ucap polisi tersebut.

Aku dan Kak Margaret menunggu di ruang tunggu, selagi menunggu, wanita di sampingku terus mencoba mengabari kedua orang tuanya, mungkin memberitahu kabar terbaru tentang keluargaku pada mereka.

Tak hanya aku, ada banyak keluarga korban yang merasakan kepedihan yang mendalam, bahkan dari mereka ada yang jatuh pingsan akibat berita mendadak tersebut.

Untukku, aku sangat sedih, sangat kesepian, sangat terpukul. Aku bahkan masih meneteskan air mata untuk mereka, tapi aku sadar. Jika aku bersedih berlebihan, itu sama sekali tidak menghidupkan mereka lagi.

“Saudara Rafael, silakan kemari.” Datang seorang perawat pria, menghampiriku dan memintaku untuk mengisi beberapa formulir yang diberikan olehnya.

“Setelah semua di isi, pergilah ke loket di sana dan kamu bisa bertemu kedua orang tuamu,” ucap perawat itu sambil menunjuk loket di sebelah ujung kanan ruang besar tersebut.

Aku mengangguk, layaknya anak ayam yang diberi makan oleh induknya. Aku hanya mengikuti perintah dari mereka semua dengan wajah datar.

“Apa kamu ada keluarga atau kerabat lain?” tanya perawat di loket tersebut.

“Ada, Kakek dan nenekku yang berada di Cianjur.”

“Baiklah, silakan masuk,” ucap perawat tersebut.

Aku sadar, Kak Margaret pasti tidak tahan jika ikut masuk bersamaku. Aku menyuruhnya untuk menunggu di ruang tunggu selagi aku masuk ke ruang jenazah. Wanita itu mengangguk dan menyemangatiku sebelum masuk.

Satu polisi mengantarkanku ke samping dua jenazah yang berdampingan, keduanya sudah tertutup kantung jenazah berwarna putih yang tergeletak di atas ranjang.

“Apa kamu ingin melihat keseluruhan atau wajahnya saja?” tanya polisi tersebut.

“Wajahnya saja, tolong.”

Aku memejamkan mata, tak kuasa menahan kesedihan jika harus melihat keadaan kedua orang tuaku di depan mata. Apa yang terjadi tentu membuatku shock, tapi aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang-orang.

Polisi itu membuka rasleting kantung jenazah dan tertampak jelas wajah Ayah dan Ibu yang sudah pucat. Mereka meninggalkanku dengan wajah yang putih berseri, kukecup pelan dahi keduanya dan bersiap merelakan mereka pergi dari hidupku.

Sekali lagi, orang terdekatku meninggalkanku.

Bab terkait

  • Behind The Entertainment   Hidup Dalam Kesendirian

    *** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-10
  • Behind The Entertainment   Garis Bertahan

    *** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-14
  • Behind The Entertainment   Derita dan Kasih Sayang

    Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-15
  • Behind The Entertainment   Kisah setelah esok

    Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-16
  • Behind The Entertainment   Tempat dan Suasana Baru

    *** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Behind The Entertainment   Teman

    *** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-18
  • Behind The Entertainment   Kontrakan dan segala isinya

    *** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-20
  • Behind The Entertainment   Pejuang Rupiah

    *** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21

Bab terbaru

  • Behind The Entertainment   Pejuang Rupiah

    *** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se

  • Behind The Entertainment   Kontrakan dan segala isinya

    *** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di

  • Behind The Entertainment   Teman

    *** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.

  • Behind The Entertainment   Tempat dan Suasana Baru

    *** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana

  • Behind The Entertainment   Kisah setelah esok

    Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past

  • Behind The Entertainment   Derita dan Kasih Sayang

    Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t

  • Behind The Entertainment   Garis Bertahan

    *** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku

  • Behind The Entertainment   Hidup Dalam Kesendirian

    *** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany

  • Behind The Entertainment   Duka

    *** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status