***
Lima tahun berlalu.
Aku dan Sara masih dekat, seperti tidak ada yang berubah. Kami masih sering bertemu, meskipun aku sudah cukup jarang bermain di rumahnya. Ia lebih sering mengajakku main keluar, baik ke taman bermain atau timezone.
“Apa kamu tahu kalau aku ikut lomba menyanyi?” tanya Sara, ia berjalan di dekatku sambil memakan eskrim di dalam cup.
“Aku mengetahuinya dari Kak Margaret,” balasku datar.
Informasi mengenai lomba menyanyi yang diikuti Sara memang sangat mengejutkan, pasalnya sejak kecil Sara tidak pernah tertarik dengan perlombaan menyanyi, ia hanya ingin menyanyi untuk menghibur dan membuat orang disekitarnya senang.
“Benarkah? Lalu bagaimana pendapatmu?” tanya Sara.
Dia terlihat lebih cantik dengan senyuman itu, aku ingin mempertahankan senyuman itu lebih lama lagi.
“Bagus, itu bisa menjadi kesempatanmu untuk menunjukan kalau kamu yang terbaik,” balasku.
Aku bersikap sebagai supporter bagi Sara, apa pun yang Sara lakukan aku akan selalu mendukungnya. Impiannya yang ingin menjadi seorang Selebritis tinggal selangkah lagi jika ia berhasil menjuarai lomba menyanyi itu.
“Terima kasih. Mereka juga mengatakan hal yang sama seperti kamu kepadaku,” ungkap Sara.
Mereka? Ah, aku tidak perlu cemburu. Wanita secantik dan seimut Sara pasti memiliki banyak laki-laki yang mengejarnya, sedangkan aku di matanya hanya sebatas teman masa kecil.
“Baguslah, semakin banyak yang mendukungmu, semakin mudah kamu menggapai mimpimu,” ucapku.
Penyemangat dari teman semasa kecilnya pasti akan sangat membantu Sara, dibandingkan dengan mereka laki-laki baru yang datang ke hidupnya, aku lebih memahami sikap dan perilaku Sara seperti apa.
“Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu tetap ingin mengejar mimpimu sebagai seorang dokter?” tanya balik Sara, matanya memandangku seraya terus menyuap sesendok demi sesendok eskrim ke mulutnya.
“Iya, karena uang tidak cukup, aku harus belajar giat agar mampu masuk melalui jalur beasiswa,” ungkapku, rencana matang yang sudah kususun sedemikian rupa agar impian menjadi dokter bukan angan belaka.
“Padahal keluargaku bisa membantumu, kenapa tidak bilang sejak awal?”
“Aku hanya ingin berusaha dengan tanganku sendiri. Maafkan aku, bukannya aku mau—”
“Bagus.”
Sara memujiku, wajahnya tersenyum mendengar berbagai pernyataan terkait impianku. Dengan tiba-tiba, tangannya merangkul tanganku dan berjalan bersamaan layaknya sepasang kekasih.
“Sara…?”
“Aku cukup kagum denganmu, keterbatasan ekonomi tidak menghalangimu mencapai impian yang kamu inginkan,” ucap Sara.
Harum, lembut, dan hangat. Hanya ketiga itulah respon yang kudapatkan ketika Sara merangkulku erat, tangannya masih sibuk memakan eskrim yang tinggal sedikit. Kini, kami dalam perjalanan pulang dari taman bermain.
Berpelukan, saling rangkul, dan menatap mesra. Kami sudah tidak risih dengan tatapan orang-orang yang menganggapku aneh. Sudah sedari dulu aku dan Sara melakukan ini, dan tidak ada alasan kenapa kami harus menghentikannya.
Sampailah kami di depan rumah kami masing-masing, perjalanan siang itu layaknya sebuah kencan yang tak akan pernah kulupakan. Perasaan suka kepada Sara mulai timbul sejak gadis itu beranjak dewasa, kecantikannya hampir mirip dengan Kak Margaret yang sudah masuk dunia perkuliahan.
Itulah momen manis dua hari sebelum hal menyedihkan terjadi.
Iya, dia pergi.
***
Malam hari, aku masih menunggu di jendela kamar, menatap balkon yang sedari dulu target pandanganku setiap malam, akan ada seorang gadis yang duduk di sana dengan boneka besarnya.
Tapi, hari ini hingga seterusnya. Hal itu tidak akan bisa kunikmati lagi, gadis dengan boneka besar itu akan pergi ke Jakarta untuk merintis karir sebagai seorang Artis. Aku senang, jika dibandingkan teman-temannya, akulah yang paling senang dari semuanya.
Impiannya bisa terwujud, aku sampai mengingat momen ketika Sara berlarian datang ke rumahku dan langsung memelukku hangat. Saat itu, ia meneteskan air mata seraya menunjukan sebuah surat hasil seleksi. Isi surat mengatakan kalau Sara lolos bagian seleksi dan berhak melaju ke bagian utama.
Aku yang masih terkejut hanya bisa tersenyum simpul sambil mengusap pelan rambut calon artis di depanku, ia melompat-lompat kegirangan bersama surat yang masih ia peluk dalam-dalam. Kedua orang tuaku sama bahagianya dengan Sara, mereka turut memberikan selamat kepada gadis tersebut.
“Rafa, ayo ke depan. Sara udah mau pergi,” panggil Ibu, ia mengetuk pelan pintu kamar dan langsung kubuka dengan wajah lesu.
“Rafa, apa kamu baik-baik saja?” tanya Ibu, ia pasti khawatir melihat kondisi anaknya yang muram dan lesu.
“Entahlah, aku hanya merasa … kesepian,” balasku, terbata-bata.
Ibu memelukku dengan erat dan mengusap rambut kepalaku dengan perlahan, ia juga membisikan kata-kata penyemangat dari mulutnya dengan merdu, membuat tubuhku perlahan hanyut dalam kenyamanan pelukan seorang Ibu.
“Jangan bersedih, setiap pertemuan pasti ada perpisahan, kamu akan bertemu dengannya lagi jika kamu belajar dengan giat dan berkuliah di Jakarta,” bisik Ibu.
Kata-kata yang simple dan singkat. Namun, sangat bermakna bagiku. Sebuah kata-kata yang bisa kujadikan rencana hidup untuk berkuliah di Jakarta sembari mengejar impianku.
Pintu rumah terbuka, muncul dari dalam Kak Margareta yang mencari keberadaanku. Aku bisa melihat raut wajah kesedihan dari Kak Margareta juga timbul karena perpisahan ini.
Ibu melepaskan pelukannya dan membiarkan aku pergi bersama Kak Margareta. Wanita dewasa itu mengajakku untuk bertemu Sara, mungkin untuk perpisahan.
Di depan rumah Keluarga Sara, sudah menunggu mobil SUV hitam yang pintunya terbuka. Di dalam itu, aku bisa melihat barang dan perlengkapan Sara untuk pergi sudah kumplit dan lengkap. Wanita itu masih memeluk erat kedua orang tuanya dalam linangan air mata.
“Lihatlah, ia menunggumu di sana.”
Ibu Sara melepas pelukan anaknya tersebut dan meminta Sara untuk membalikan badan. Ia mengangguk sembari mengucek bola mata kirinya yang memerah karena tangisan, aku tersenyum dan melangkah mendekatinya.
“Yaampun, aku tidak menyangka perpisahaan kita akan datang secepat ini,” ujarku.
Kini tubuhku berada tepat di depan Sara, gadis itu masih tertunduk sambil menyeka air matanya yang jatuh dan membasahi aspal jalan. Aku elus kepala Sara dan mulai menyemangatinya, aku juga berjanji akan bertemu dengan Sara ketika sukses nanti.
“Jangan lupakan impianmu, bukankah kita akan bertemu ketika sukses nanti, Pak dokter?” tanya Sara dengan senyum yang merekah, rona merah di pipinya mengembang membuatku tak kuasa menahan tangis kesedihan.
“Aku pergi dulu, nanti aku akan kabarimu lagi,” pamit Sara, ia masuk ke dalam mobil dan segera pergi menjauh dari tempat itu.
Ketika keluarga Sara dan keluargaku sudah masuk ke rumah masing-masing, hanya aku sendiri yang masih berada di pinggir jalan, duduk di atas trotoar berharap kalau semua yang terjadi adalah kebohongan belaka.
Namun, dua jam sudah aku menunggu. Sara tidak datang lagi dan malam semakin larut. Tubuhku tidak bisa mengimbangi dingin yang mulai menyeruak masuk pori-pori. Aku segera masuk dan melihat kedua orang tuaku tengah bersama di ruang tengah, Ayah memintaku mendekat.
“Jangan bersedih, semua akan pergi pada waktunya, tinggal kamu tentukan saja apa ingin tetap di Bandung atau pergi menyusul Sara ke Jakarta,” ucap Ayah, profesinya yang sebagai guru membuatku segan tehadapnya.
Ibu juga sependapat dengan Ayah, ia lebih memilih aku untuk belajar dengan rajin agar bisa ke Jakarta dengan mudah. Ia juga akan bekerja dengan keras membantuku mencapai impian.
Sungguh, kalian baik sekali. Aku ingin terus hidup dan berada di dekat kalian.
Aku peluk keduanya dan mulai meneteskan air mata dengan hebat, kesedihan yang selama ini kutahan, kutumpahkan di antara mereka yang selalu ada untuk menghangatkan hati yang dingin karena sepi.
***Aku masih teringat dengan perpisahaan waktu itu, ketika Sara pergi ke Jakarta untuk meniti karir, teman semasa kecilku yang pergi dengan raut sayu. Aku penasaran, bagaimana keadaannya di Jakarta sana? Apa dia sudah dapat pekerjaan artis yang sedari dulu ia inginkan?“Rafael,” sapa seorang wanita.Wanita itu menepuk pelan bahuku membuat kepalaku langsung berbalik membalas sapaannya. Wanita itu tak lain adalah Siska, siswi jurusan IPA kelas 2 yang kukenal. Ia teman semasa SMP-ku yang kebetulan masuk SMA ini bersama.“Ada apa?” tanyaku datar.“Apa kamu sedang sibuk?”Seorang siswa laki-laki yang tengah berdiri dengan bertumpu pada tiang lorong, memandangi lapangan di bawah yang penuh dengan siswa yang sedang berolahraga. Tentu saja, aku tidak sibuk sama sekali, terkecuali jika aku pengamat sepakbola, itu beda cerita.Aku menggelengkan kepala dan ia kembali melanjutkan bicara, “Aku ingin memin
Entah apa dia salah bicara atau bagaimana, ia justru mengatakan ada temannya yang menyukaiku. Kukira sikapnya yang aneh dan salah tingkah itu karena dia yang jatuh cinta padaku. Ah, maafkan diriku yang terlalu percaya diri ini.“Oh begitu, yah?” tanyaku, tentu saja pengakuan secara tidak langsung seseorang yang dikatakan teman Siska membuatku canggung.“Apa yang akan kamu lakukan, Rafael?”“Entahlah, aku juga tidak pandai dalam urusan seperti ini. Menurutmu, apa yang perlu kulakukan?” tanyaku dengan nada datar, kuraih gelas berukuran sedang dan menyeruputnya pelan melalui sendok putih yang tertancap di atas tumpukan keju parut tersebut.“Bagaimana jika kamu menjawabnya dengan perasaan yang sedang kamu rasakan sekarang?” tanya Siska, wajahnya menunduk dan matanya sayu menatapku, perlahan ketika kubalas tatapan itu, ia terus menunduk dan memejam.Ah, moment ini sama saja dengan pengungkapan rasa yang kumiliki padanya. Minimal ia bisa tahu hasil yang kelua
*** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.
*** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany
*** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku
Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t
Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past
*** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana
*** Tak kusangka, kehidupan perkuliahanku berjalan lancar seperti sekolah biasa pada umumnya. Datang, belajar, dan bersosialisasi. Hampir tidak ada kesulitan ketika aku menjalani kegiatan di kampus. Mungkin ada satu atau dua hal yang menggangguku, salah satunya adalah tentang Uang praktik dan laboratorium. Temanku di kelas rata-rata mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berada, permasalahan seperti keuangan ini pasti mudah baginya. Aku dan Rotte, yang notabene orang rantauan mau tidak mau harus putar otak untuk mengakali masalah tersebut. Beberapa teman di kontrakanku mengusulkan kepadaku untuk melakukan peminjaman uang dengan cicilan bunga rendah. “Apa itu aman?” tanyaku, tentu ini menjadi hal pertama dalam hidupku, melakukan peminjaman uang untuk pertama kalinya tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku atau Kakek dan Nenek. “Tentu saja, biasanya kita akan menandatangi berkas seperti kontrak, kau tahu? Lalu kontrak itu bisa kita gunakan se
*** Perlu beberapa minggu agar aku bisa beradaptasi sepenuhnya dengan lingkungan baru ini, tentang lingkaran pertemanan yang baru, dan tentang tempat tinggal yang baru. Hingga pada akhirnya aku tidak merasa terasingkan oleh lingkungan di sekelilingku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang sering mampir ke kontrakanku, dialah Dimas dan Julius. Mereka berdua yang selalu datang kemari untuk sekedar mengobrol atau jika mereka ada tugas, mereka datang meminta bantuanku. “Aku cukup kesulitan untuk menyeimbangkan pemasukan dengan pengeluaran, apa kamu bisa melakukannya, Dimas?” tanya Julius, pria itu menunjuk satu soal yang ada di laptopnya kepada Dimas yang satu fakultas dengannya. “Oh persoalan itu, aku sudah menyelesaikannya,” balas Dimas, dengan kepala terangkat dan menatap Julius angkuh. “Izinkan aku melihatnya.” “Biar aku ajarkan saja padamu, jika kamu hanya modal lihat saja, kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikan soal ini,” ucap Di
*** “Sudah kubilang, jika kamu berangkat dari stasiun, kamu akan sampai dengan tepat waktu.” “Tidak! Terminal bus lebih baik, lebih murah dan efisien.” Kedua pria kini tengah berunding di depanku, aku mengajak keduanya masuk setelah bertemu dan kebetulan mereka adalah tetangga kontrakanku. Belum satu hari aku menetap di tempat ini, aku sudah menemukan teman baru. “Baiklah, aku akan mencoba keduanya nanti,” ucapku, menyudahi perdebatan tiada akhir di antara mereka. Keadaan mereka sama sepertiku, baru masuk ke dunia perkuliahan tahun ini. Namun, karena mereka sudah mengenyam kehidupan di Jakarta sejak SMA, jadi mereka tidak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. Aku masih memikirkan, apa pendapat orang-orang di kampusku nanti ketika mengetahui aku rantauan dari Bandung. Terbesit di benak pikiran, bagaimana keadaan Sara? Jarak antara aku dengannya tidak terlalu jauh kini, aku bisa bertemu dengannya suatu hari nanti.
*** Selepas kelulusan, semua teman satu kelasku memilih jalan mereka masing-masing. Ada yang memutuskan bekerja di perusahaan ayahnya, ada juga yang memutuskan berkuliah. Contohnya aku. Dengan menggunakan kemampuan dan beasiswa pendidikan yang kudapatkan. Aku bisa dengan mudah masuk ke perguruan tinggi negeri favoritku, dan bergabung dengan jurusan kedokteran seperti keinginanku, entah kenapa semuanya terasa mudah bagiku. Pada saat itu juga, Siska memberitahuku kalau dia juga akan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi terkenal di Malang. Dari teman-teman yang kukenal, dialah yang paling “gigih” untuk ikut SBMPTN –Test masuk perguruan tinggi negeri– dibandingkan yang lain. Aku cukup bersyukur, ia berhasil mendapatkan keinginannya meski harus menunggu selama dua tahun. Hari pertama setelah beberapa bulan dari acara kelulusan, seperti biasa, aku dikejutkan oleh sapaan hangat dari Kak Margaret yang mendatangiku di pagi buta. Ia membawa makana
Malam itu, setelah beradu batin dengan Siska. Ia dengan senang hati mengantarkanku pulang, tak ada raut kesedihan atau kekecewaan dari wajahnya. Yang ada adalah Siska menyemangatiku agar impian cinta yang kuinginkan bisa tercapai, sungguh gadis yang kuat. “Apa dia sedang ada di rumah?” tanya Siska, ia melirik sinis ke rumah besar bak istana di depan rumahku, rumah Sara. “Entahlah, jika dia memang ada di rumah, sudah sewajarnya para wartawan mengerubungi rumah ini sedari tadi, kan?” “Benar juga apa yang kamu bilang.” Sama sekali tidak ada wartawan, rumah besar itu juga cukup redup dan sepi dari orang-orang. Aku berpikir, mungkin saja Sara mengajak keluarganya untuk bertemu sekalian berlibur di suatu tempat, hal itu bisa masuk akal bagiku. “Kalau begitu aku izin pamit. Apa kamu tidak keberatan?” tanya Siska. Aku menggeleng kepala, aku tidak bisa memaksanya menetap di sini lebih lama lagi. Jika itu kulakukan, aku khawatir keluarganya past
Bel pulang sekolah terdengar nyaring. Siska secara tak terduga sudah menunggu di depan ruang kelasku, ia sudah mengenakan sweater panjang berwarna merah muda yang sangat cocok dengan sifatnya yang anggun. Ia segera bangkit ketika aku berdiri tepat di hadapannya. “Apa tidak ada yang ketinggalan?” Aku mengangguk. Pundak kananku dipukul pelan, tampak Riko datang sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku, tanda jika ia menunggu jawaban dari hasil pertemuan dengan Siska sepulang sekolah ini. “Kalau begitu ayo kita pergi.” “Kemana?” “Kemana saja, biar aku nanti yang antar kamu pulang,” ucap Siska, aku mendapatkan jaminan kalau dia akan mengantarkanku pulang. Berkatnya, aku bisa menghemat beberapa uang saku yang biasa kugunakan untuk ongkos pulang pergi. Kami berjalan berdampingan, ia merangkulkan tangannya di lenganku dengan mesra, seolah-olah menunjukan jika aku memang sudah menjadi milik Siska. Koridor yang kami lewati t
*** Ajakan yang menjanjikan bagi pria pada umumnya, sebuah pelukan hangat dari seorang gadis SMA yang sudah puber dan dewasa. Mungkin mereka akan mengangguk dan langsung memeluk Siska dengan erat hingga beberapa menit lamanya. Namun, aku berbeda dengan yang lain, tindakan itu justru akan membuat aku seolah-olah memberikan kesempatan lain untuk hatinya. “Aku sudah lebih baik ketika kamu mengajakku keluar,” ucapku. Aku menolaknya dengan halus, bisa dibilang ini penolakan kedua kali yang Siska terima dariku, tapi ini secara langsung, berbeda dengan kejadian di kafe tempo hari. Ia menyunggingkan senyum halus seraya menatapku lekat-lekat. “Biar kutebak, apa kamu berusaha menghindariku?” Aku yang tengah menyantap menu makan malam seblak di alun-alun kota tersebut sontak tersedak akibat mendengar ucapan mengejutkan dari Siska, hingga berceceran di atas rumput membuat orang-orang yang duduk membelakangiku di depan berbalik dan menatapku
*** Kedua jenazah Ayah dan ibuku segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan dan disholatkan. Aku dan Kak Margaret ikut menaiki mobil jenazah yang membawakan kedua orang penting dalam hidupku, mereka berhenti tepat di depan rumah yang sudah terpasang bendera kuning. Aku melihat dari dalam rumah, Kakek dan Nenek yang keluar dengan wajah terisak. Pertemuan keluarga yang semula dilaksanakan entah kenapa berakhir tragis dengan kematian salah satu anggota keluarga. Mereka memelukku, mencoba berbagi kesedihan bersama. “Jangan bersedih, Rafa. Masih ada Kakek dan Nenek yang selalu bersamamu, juga dengan keluarga yang lain,” lirih Nenek dengan mata yang sembab dan napas yang tersengal. Kedua petugas rumah sakit mengangkut satu persatu jenazah yang tersimpan di dalam peti mati kayu yang berbeda. Pertama, mereka mengangkat jenazah ayahku, dan begitu juga dengan Ibu. Mereka berdua kini berada di ruang tengah dengan keadaan yang selalu berdampingan. Aku, hany
*** Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan. Sungguh heran. Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang. Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku. “Apa ini, Kak?” tanyaku. “Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.