“Hah...”
Dona membuka mata menatap sekitar, suasana yang sangat dikenalnya membuat hembusan nafas lega. Menetralkan terlebih dahulu perasaannya sambil membuka dan menutup matanya, mengatur pernafasan agar lebih tenang. Beranjak dari ranjang menuju nakas, tempat dimana gelas berisi minum yang biasa disiapkan.“Mimpi yang sama, sampai kapan akan begini?” Dona menatap langit malam dengan tatapan kosongnya.Janda, statusnya saat ini sudah berubah setelah perceraiannya tiga tahun yang lalu. Kedekatannya dengan Irwan, salah satu chef hotel milik keluarganya telah menikah dengan wanita yang dicintainya dari dulu. Dona sering merasa iri setiap melihat bagaimana Irwan memperlakukan istrinya, sebelum menikah dan mereka berada dalam posisi yang sama Irwan selalu ada untuknya dan mereka saling memuaskan satu sama lain.Keluar dari kamar dimana kondisi rumah dalam keadaan gelap, langkahnya menuju dapur untuk membuat sesuatu. Irwan mengajarkannya memasak, satu hal yang dulu tidak pernah dilakukannya yaitu memasak dan Irwan merubah dirinya menjadi lebih baik.“Kebangun lagi? Mimpi buruk lagi?”Dona memilih menganggukkan kepalanya, sudah sangat tahu suara yang bertanya di belakangnya. Via, bisa dikatakan mamanya yang telah melahirkan dirinya dan juga kembarannya Azka. Azka kembarannya yang beruntung memiliki dua wanita yang rela melakukan apapun untuknya, tinggal di rumah yang disiapkan kakeknya untuk mereka. Dona sendiri memutuskan ke Singapore, kembali ke tempat dimana dirinya lahir dan dibesarkan. Keputusannya tidak lain untuk menghilangkan kenangan dirinya di negara tercinta, mantan suami dan pria yang sudah membuatnya tergila-gila berada disana.Bisa saja memilih tinggal di apartemen miliknya, tapi akhirnya tetap memilih tinggal di rumah orang tuanya. Alasan utamanya selain bisa dekat dengan orang tuanya juga agar pikirannya tenang, kalau terjadi sesuatu dengan dirinya pastinya ada kedua orang tuanya yang akan cepat menolongnya.“Kamu nggak mau ke psikiater atau psikolog?” tanya Via hati-hati.“Nggak, Bun. Kalau nggak lupa gimana Mbak Nisa diperlakukan sama psikiaternya, walaupun aku tahu kalau nggak semua psikiater melakukan itu pada pasiennya.” Dona menjawab tegas “Ayah belum bangun? Kenapa bunda ada disini? Kalian habis olahraga malam?”“Hormon Hadinata memang tidak bisa lepas, kamu tahu sendiri gimana hormon Hadinata.” Via menjawab sambil lalu.Dona memilih diam mendengar jawaban mamanya, jawabannya tidak salah dan Dona membenarkannya. Meletakkan hasil masakannya diatas meja, dapat terlihat ekspresi Via yang menatap dengan keadaan lapar. Dona memilih mengambilkan peralatan makan, tanpa menunggu langsung menikmati hasil masakannya.“Irwan sayang sekali nggak jadi sama kamu,” ucap Via sambil mengunyah makanannya.“Irwan sudah bahagia sama istrinya, Bun.”“Kamu sendiri bagaimana? Waktu sama Irwan perasaan sudah nggak pernah mimpi buruk.”“Masih mimpi buruk walaupun sama Irwan, tapi dia tahu bagaimana caranya menenangkan aku.”“Seks?” tembak Via yang diangguki Dona “Memuaskan?”“Setidaknya Irwan melakukan dengan lembut jadi aku tidak merasakan ketakutan,” jawab Dona jujur.Via menggenggam tangan Dona “Kamu pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik dari Irwan, tapi kenapa kamu nggak melanjutkan sama Endi?”“Endi cinta sama Tere, masa aku mau menikah sama Endi yang sudah aku anggap kakak.” Dona hanya menggelengkan kepalanya.Dona mengingat itu semua, kenangannya bersama dengan Irwan masih terasa sampai sekarang. Dona bisa saja membuat hubungan mereka berantakan, mengambil Irwan kembali pada dirinya dan jika dirinya melakukan itu semua artinya sama dengan Via. Dona tahu dan sangat tahu bagaimana masa lalu kedua orang tuanya, Azka yang memiliki masalah sampai sekarang dan tidak diketahui orang tuanya.“Bunda benar-benar tidak menyangka jika dia melakukan kekerasan bahkan membuatmu trauma, harusnya pada saat itu kamu bisa mendapatkan...”“Aku bukan bunda yang merusak hubungan orang lain,” potong Dona yang membuat Via terdiam “Maaf, bukan membuat bunda sakit hati.” Dona memegang tangan Via dengan membelai punggung tangannya “Aku melihat istri Irwan sangat baik dan itu membuat aku tidak ingin melakukan hal itu, apalagi Irwan tidak pernah menatapku penuh cinta seperti apa yang dia lakukan pada istrinya.”“Kamu benar, seharusnya memang kamu melakukan itu. Perusak rumah tangga orang memang tidak enak, apalagi wanitanya seperti istri Irwan pastinya akan tidak tega.” Via membenarkan perkataan Dona “Kondisi ayah sama bunda dulu jauh berbeda dengan kamu dan Irwan, wanita itu benar-benar ular jadi kalau ingat dia rasanya ingin...”“Sudah, Bun. Bukannya kita harus melupakan masa lalu?” potong Dona membuat Via terdiam.Dona akhirnya memilih diam dan memikirkan perkataan Via dan membenarkan kata-katanya, istri Irwan memang sangat lembut dan baik. Pantas Irwan sangat mencintainya, menerima semua kekurangan dan kelebihannya. Dona pastinya sangat berbeda dengan istrinya, Dona hanya untuk memuaskan diatas ranjang tidak lebih. Mereka hanya teman ranjang bukan teman berbagi suka duka dalam hubungan pernikahan, setidaknya Dona sudah cukup bahagia dengan apa yang mereka berdua alami.“Makanannya enak, bunda suka.”Via beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Dona di ruang makan yang masih menikmati makanannya. Melihat mamanya yang berjalan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya membuat Dona menghembuskan nafas panjang, pembicaraan mereka tadi membuat Dona seketika merasa bersalah yang tampaknya sedikit membuat hati mamanya sakit.Menatap makanan yang ada diatas meja, perutnya yang sudah kenyang dan rasa kantuk yang tiba-tiba hadir membuat Dona langsung membereskan semuanya. Rumah ini memang memiliki asisten, tapi mereka terbiasa mengerjakan sesuatu sendiri kecuali jika sudah merasa kelelahan. Melangkahkan kakinya menuju kamar, tujuannya adalah kembali untuk istirahat setelah mimpi buruk yang dialaminya.Memegang ponselnya, biasanya jika sudah begini Dona akan menghubungi Irwan tapi sekarang tidak bisa. Endi yang pernah menjalin hubungan dengan dirinya sebelum menikah dengan sepupu kecilnya, keputusan mereka yang akan tetap menjadi saudara membuat perasaan itu hilang, berbeda dengan perasaan Dona pada Irwan yang masih tersimpan dengan rapat. Dona belum sepenuhnya ikhlas jika Irwan menikah dengan wanita yang dicintainya.Jam menunjukkan satu pagi, Dona menatap langit yang cerah. Biasanya dirinya akan menghabiskan waktu di cafe, jika tidak tinggal dengan orang tuanya tapi sekarang pastinya tidak bisa melakukan itu karena papanya sangat protektif padanya setelah perceraian. Bima menganggap dirinya sudah gagal menjadi papa, tidak bisa menilai dengan baik pria yang melamarnya dan mengarungi rumah tangga.Dona tidak membawa masalahnya ke pihak berwajib, tidak ingin masalah mereka menjadi konsumsi publik, bagaimanapun semua orang tahu tentang keluarga besarnya dan membiarkan semua ini menjadi masalah pribadi. Keputusannya hanya satu yaitu menghindar dari pria itu, perjanjian yang mereka buat sebelum perpisahan pastinya memberikan rasa takut pada pria itu untuk kembali mendekati dirinya atau keluarganya.“Apa aku bisa seperti Irwan? Menikah dengan cinta didalamnya dan tanpa kekerasan?”‘Kapan menikah? Usia kamu sudah waktunya menikah. Teman kamu sudah ada yang beberapa punya anak, jadi kapan menikah?’Fandi memijat kepalanya setiap kali mendengar ibunya membahas tentang pernikahan, usianya memang sudah tidak muda menjelang kepala empat. Menikah, sudah tidak ada lagi dalam bayangannya. Pengkhianatan yang dilakukan mantan pacarnya bersama sang kakak masih membekas, melihat adegan secara langsung yang mereka lakukan dan mendengar pengakuan mereka yang hampir saja Fandi menghajar kakaknya.Kejadian itu membuat Fandi memilih tinggal berpisah dengan keluarganya, tapi nyatanya jarak tetap bisa membuat mereka bertemu. Kehadiran anak kakaknya membuat orang tuanya bahagia, permintaan maaf juga sudah mereka katakan dan sudah dimaafkan, tapi tidak dengan apa yang mereka berdua lakukan. Perselingkuhan yang dilakukan wanita itu, hampir membuat kakak beradik bertengkar tapi Fandi memilih memaafkan kakaknya.“Jadi ambil beasiswa di Singapore?” tanya sahabatnya, Reno.“Ya,” jawab Fa
“Kegiatan hari ini apa?” “Pak Lucas datang untuk melihat laporan keuangan.” Vivi menjawab pertanyaan Dona yang langsung mengerutkan keningnya “Beliau baru saja datang bersama dengan Ibu Anggi dan sekarang sudah di ruangan finance.”Dona menghembuskan nafasnya panjang, saudaranya yang satu itu memang suka semaunya sendiri dan tidak pernah memberi kabar tentang kedatangannya sama sekali. Mengambil ponselnya dan langsung menghubungi papanya tentang berita Lucas, meminta Vivi untuk menunggu sampai dirinya selesai berbicara.“Ayah tahu kalau Lucas kesini?” Dona langsung bertanya saat panggilannya diangkat.[Memang Lucas kesana? Sama siapa?]“Anggi, jadi ayah nggak tahu?”[Endi ada bilang kalau mau kesana, ayah kira si Endi ternyata Lucas. Kalau gitu ayah kesana sekarang, nanti Lucas ngadu kalau papa nggak ada di kantor]Dona memutar bola matanya malas, menutup sambungan dengan Bima dan menatap Vivi yang menunggu instruksi darinya. Menghembuskan nafasnya terlebih dahulu untuk memikirkan
Teriakan Dona membuat beberapa pasang mata menatap kearahnya, tidak dengan pria yang duduk di tempat biasanya dia duduk. Pria itu tidak terlalu tertarik dengan keadaan sekitar, melihat pria itu mengingatkan Dona pada mantan suaminya, menggelengkan kepalanya pelan tanda jika dirinya memang harus melupakan pria itu.“Apa ini?” Dona menatap bungkus obat diatas mejanya dan menatap pria itu dengan tatapan bingung.“Aku lihat kamu tampak pusing,” ucap pria itu sambil lalu.Dona menatap bungkus obat dan pria itu bergantian, seketika dirinya paham jika apa yang terjadi tadi juga mengganggu pria disampingnya dan tampaknya mendengar pembicaraannya dengan Azka.“Maaf kalau tadi mengganggu.” Dona mengatakan dengan sopan.“Fandi.” Dona mengerutkan keningnya “Fandi itu namaku, akan lebih baik kalau saling tahu nama apalagi kita berasal dari negara yang sama.”Dona menganggukkan kepalanya “Dona, itu namaku.”Hening, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Dona menatap bungkus obat dengan berbagai
Memaki sepanjang perjalanan mengingat kejadian tadi dengan orang asing, Dona tidak pernah kesal seperti ini sebelumnya dengan orang asing, ditekankan sekali lagi orang asing dan kalau perlu dicetak tebal dan garis bawahi. Ponselnya berbunyi, menatap sekilas siapa yang menghubungi semakin membuatnya kesal dan semua berawal dari Lucas.“Kenapa?” tanya Dona setelah mengangkat panggilan yang dilakukan Endi.[Lucas bilang kalau kamu...]“Dasar mulut lemes dia itu.” Dona mengatakan dengan kesal.[Kita khawatir sama kamu] Endi menenangkan Dona yang sudah semakin kesal.“Kamu nggak tahu apa yang dia lakukan disini sama Anggi? Datang dan melakukan pengecekan laporan keuangan.” Dona mengatakan apa yang dirasakannya.Endi tertawa mendengarnya [Kamu tahu gimana dia, itu semua cuman alasan biar bisa liburan sama Anggi]Dona mencibir langsung dan membenarkan kata-kata Endi “Dimana kamu?”[Perjalanan hotel habis antar Tere ke kampus, mau aku salamin sama Irwan?]“Nggak usah aneh-aneh.” Dona
Dona menggelengkan kepalanya mengingat pria bernama Fandi yang dengan kurang ajarnya mengatakan dirinya berisik, lebih mengejutkan lagi pria tersebut tinggal satu lantai dengan dirinya, tempat mereka sama-sama berada di paling ujung. Dona tahu jika tempat yang ada di ujung bukan tempat sembarangan, harganya tidak murah bahkan cenderung mahal, tidak berbeda jauh dengan tempatnya ini.“Artinya dia bukan pria sembarangan.” Memilih tidak peduli dengan membuka lemari esnya yang sialnya dalam keadaan kosong, Dona melupakan satu hal jika dirinya sudah cukup lama tidak mendatangi tempat ini, biasanya selalu meminta seseorang membersihkan dan mengisi lemari es yang harus diganti tiap minggunya, tampaknya orang tersebut lupa mengisi kembali.“Vi, kamu lupa isi lemari es?” tanya Dona ketika sambungannya diangkat.[Ya, hari ini mau beli. Kamu mau nitip apa gitu? Kirim pesan aja nanti aku belikan sekalian]“Bukan bibi yang bersihin?”[Bibi, Dona. Masalah l
“Tampan?” Dona memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Vivi setelah dirinya menceritakan tentang Fandi, pria yang ditemuinya di cafe dan berada dalam satu lantai dengannya. “Kalau dia mahasiswa berarti usianya masih muda, nggak bisa kamu gebet itu. Sayang sekali.” Vivi memberikan ekspresi sedih yang lagi-lagi hanya bisa membuat Dona menggelengkan kepalanya.“Kayaknya bukan berondong deh, aku lihat dia dewasa banget kaya Lucas gitu.” Dona mencoba mengingat Fandi.“Kaya gimana ciri-cirinya? Masuk kriteria kamu nggak?” Vivi menatap penuh rasa ingin tahu.“Makan dulu, aku udah lapar ini.” Dona menghentikan pembicaraan tentang Fandi.Vivi menatap hidangan diatas meja, secara tiba-tiba berdiri yang membuat Dona menatap bingung dengan mengerutkan keningnya. Pandangannya mengikuti kearah Vivi yang mengambil kotak makanan, melihat itu membuat Dona semakin bertanya-tanya. Vivi berjalan kearah meja makan mengambil makanan yang bar
“Kita ada kunjungan ke universitas.”Dona mengerutkan keningnya mendengar jadwal yang disampaikan Vivi, seingatnya tidak ada jadwal kunjungan ke universitas dan kalaupun ada biasanya bukan dia melainkan ayahnya atau orang lain.“Bukannya Pak Bima yang biasanya lakukan?’ tanya Dona penasaran.“Pak Bima minta ibu yang menggantikan, materi sudah dikirim ke email dan ibu tinggal baca.” Vivi menjawab dengan nada formal dan sopan.Mereka berdua bisa berubah dengan sangat cepat, bersikap professional ketika berhubungan dengan pekerjaan ada atau tidak ada orang. Berbeda cerita jika sudah diluar jam kerja atau pekerjaan mereka sudah selesai sepenuhnya, menghabiskan waktu bersama jika tidak memiliki kesibukan dan kebanyakan berada di apartemen seperti semalam.“Jam berapa?” tanya Dona sambil membuka email.“Setelah makan siang jadi kita makan siang disana, pihak panitia sudah menyiapkan makanan untuk kita.”“Makanan halal?” Dona m
“Acara bentar lagi mulai kita kesana sekarang.”Fandi hanya mengikuti temannya untuk datang ke acara yang diadakan kampus, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari kampusnya membuat Fandi mau tidak mau harus mendatangi acara seminar macam ini. Teman-temannya mengatakan jika yang menjadi pembicara adalah pengusaha besar yang terkenal di Indonesia dan juga sudah memiliki perwakilan di Singapore, rasa penasaran dan ingin tahu membuat Fandi ikut serta dengan teman-temannya.“Setelah dari acara kita hangout di cafe,” usul Maria yang diangguki lainnya.“Kamu ikut?” tanya Clara yang berjalan disamping Fandi.“Belum memutuskan,” jawab Fandi cuek.Clara, wanita yang ada disampingnya ini langsung dekat dari awal mereka bertemu. Berasal dari negara yang sama hanya beda daerah, Clara tinggal di Bali dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Singapore. Usia mereka berjarak cukup jauh mungkin hampir sepuluh tahun, tinggalnya di depan apar
"Sudah tidur mereka?""Barusan, ada apa?" "Aku nggak menyangka kita bisa melewati semua masalah, punya anak-anak yang lucu.""Kamu nggak kasih aku istirahat, masa setiap tahun melahirkan kaya kejar target aja." Dona mengerucutkan bibirnya yang langsung mendapatkan ciuman singkat dari Fandi."Kamu hebat dan luar biasa, melahirkan tiga anak setiap tahun." "Kamu yang kebangetan nggak biarin aku istirahat." Dona mengerucutkan bibirnya "Tapi...waktu lihat mereka lahir rasa sakit seketika hilang, aku langsung jadi penasaran kalau punya lagi akan mirip siapa.""Tapi...kenapa anak kita dan Azka nggak ada yang kembar ya?" "Mau kembar?" Dona menatap tanda tanya."Bukan gitu, kalian berdua kan kembar terus kenapa anak kalian nggak ada yang kembar?"Dona mengangkat bahunya "Belum mungkin, sekarang juga nggak kembar.""Apa kita buat kembar setelah ini lahir?" Dona membelalakkan matanya mendengar kalimat
"Kamu mau ke Singapore aja? Sudah yakin? Memang nggak pecah itu kepala diisi belajar mulu?""Aku buat karya ilmiah disana, setidaknya sampai anak kita lahir.""Kita disini juga nggak ada masalah.""Kasihan ayah sama bunda kamu, mereka pastinya butuh anak disana. Anggap aja sebagai bakti ke orang tua.""Gimana sama mama dan papa?""Disini ada banyak anak-anaknya, beda sama ayah dan bunda. Anaknya cuman kamu sama Azka, apalagi Azka lebih senang di agency daripada ngurus perusahaan disana. Azka bilang pecah kepalanya kalau urus perusahaan disana, dia coba udah gatal pengen keluar."Dona berdecih mendengar kata-kata yang Azka ucapkan ke Fandi, Azka memang nggak suka lihat angka atau apapun itu. Azka lebih menyukai suara musik, membuat musik membuat jiwanya tenang, tidak salah jika opanya menyiapkan masa depan mereka masing-masing."Dia bukan pecah kepala aja, tapi gatal pantatnya kalau kelamaan duduk lihat angka dan baca per
"Tokcer juga.""Jelas!" Fandi berkata dengan nada bangga dan penuh kesombongan."Kita sama sekali nggak membayangkan kamu bakal hamil lebih cepat.""Sama, ma. Kita sama sekali nggak nyangka bakal secepat ini.""Kita jadi ikut bahagia waktu Fandi kasih kabar lewat pesan, percaya nggak percaya. Apalagi kalian langsung pisah, kamu sibuk sama kerjaan dan Fandi juga sama."Dona dan Fandi hanya tersenyum mendengar kalimat sang mama, sebenarnya memang tidak bisa ditebak sama sekali. Dona tidak merasakan apapun sama sekali ketika di Singapore, masalah pekerjaan membuat Dona yang tidak merasakan tanda-tandanya. Saat bertemu Fandi seketika terjadi perubahan dan mereka segera memutuskan perika menggunakan alat tes kehamilan yang dijual umum, hasilnya positif dan tanpa menunggu waktu langsung menuju dokter kandungan di rumah sakit. Hasilnya tidak jauh berbeda, tapi bagusnya mereka langsung mengetahui usia kehamilan yang ternyata sudah ada dari sebelu
"Kenapa, bang?""Masih lama Dona?""Abang ini aneh, masih ada satu jam kali."Fandi menghirup udara banyak agar sedikit lebih tenang, biarkan Lita menganggap dirinya merindukan Dona padahal memikirkan hal yang tidak penting."Pekerjaanmu bagaimana?" Fandi membuka pembicaraan terlebih dahulu.Lita menghembuskan napas panjangnya "Aku masuk waktu lagi banyak event, makanya aku sering pulang malam. Apartemen yang diminta Mbak Dona tempati bisa membuat aku nggak perlu dengar mama ngomel.""Kamu jadi kerja di H&D?" Fandi memastikan kembali.Lita menganggukkan kepala tanpa ragu "Kurang dua tahap lagi, bang. Aku juga sering ketemu Tama buat tanya-tanya, kadang kalau luang juga ke cafenya Mbak Naila buat belajar.""Memang ditempatin dimana?" Fandi tidak tahu pembicaraan kedua wanita tersebut."Rencananya sih agency, Mbak Dona minta aku disana bantuin Mas Azka. Mbak Reina yang mantan istrinya sudah nggak disana,
"Hubungan jarak jauh? Memang enak? Sudah menikah tapi pisah.""Sementara, lagian cuman beberapa hari.""Tetap saja nggak enak secara nggak ada yang menghangatkan, hubungi Ratih aja.""Kami sudah berakhir lama."Fandi meninggalkan meja setelah tidak ada pembicaraan lebih lanjut, pembicaraan yang tidak memberikan manfaat apapun. Dua hari setelah di rumah Vivi memberi kabar untuk ke Singapore dimana ada perusahaan yang membutuhkan dipastikan dan Dona sangat ahli dalam hal itu. Disamping itu harus melakukan rapat bulanan yang mengharuskan Dona dan ayahnya berada disana."Maaf, pak.""Pras, sudah mau wisuda?" Fandi menatap mahasiswa yang baru lulus atau bisa dikatakan telat."Ya, akhirnya.""Kemana setelah ini?" "Belum tahu, pak. Saya sudah bekerja di event organizer, bukan pekerjaan di firma hukum tapi setidaknya saya bekerja dengan posisi bagus.""Bagus kalau begitu, apa kamu nggak ingin melanjut
"Dalam...ahh...lebih....ahh...."Dona meremas rambut Fandi atas apa yang dilakukan dibawah, jilatan yang dilakukan dengan memasukkan jemarinya membuat Dona bergerak tidak menentu, menarik kepala Fandi menghentikan kegaiatannya dibawah sana. Melumat kasar bibirnya menyalurkan hasrat dan gairahnya, mendorong tubuh Fandi agar berbaring dan berganti dengannya.Memberikan sentuhan pada tubuh Fandi dengan gerakan sensual, melihat itu Fandi hanya bisa mendesah dengan meremas rambut Dona, bibirnya sudah beralih ke bawah dengan memegang milik Fandi. Memasukkan kedalam mulut, memberikan jilatan pada kepalanya sebelum memasukkan kedalam mulut, gerakan maju mundur dilakukan yang membuat Fandi mendesah keras atas perbuatan Dona, mendengar suara Fandi membuat Don semangat.Memberikan tatapan menggoda dibawah sana disertai dengan jilatan kasar pada milik Fandi yang diikuti dengan gerakan tangannya yang bermain pada telurnya, Fandi mendesah keras atas semua yang Dona laku
"Habis menikah itu wajahnya bahagia, masa daritadi cemberut.""Berisik!""Kenapa memang dia, Don?"Dona memilih tersenyum mendengar pertanyaan Reno, setelah proses akad kemarin dimana Dona memberitahukan jika palang merah seketika Fandi berubah. Fandi tetap perhatian padanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang lemas dan tidak ada gairah."Kalau lihat ekspresinya bisa dibilang Dona lagi palang merah," ucap Lucas yang tidak tahu darimana "Memang yakin? Apa jangan alasan aja biar kalian...""Abang, tolong mulutnya! Ada anak-anak disini." Anggi langsung menegur Lucas yang membuatnya terdiam "Jangan gangguin Dona, mending disini bantuin aku."Dona menahan tawa melihat ekspresi wajah Lucas, pria itu berjalan mendekati Anggi yang sedang bersama anak-anak. Pemandangan yang selalu dilihat setiap kali mereka berkumpul, tahta tertinggi saat berada di rumah adalah wanita. Lucas sangat mengikuti apa yang opa katakan, berbeda dengan Leo yang
"SAH!"Suara teriakan terdengar keras ketika proses selesai, lantunan doa mereka semua panjatkan setelah mendengar satu kata yang membuat napas lega. Beberapa menit lalu jantungnya berdetak kencang, memegang tangan Bima dan mengucapkan kalimat sakral.Menunggu kedatangan Dona yang berada dalam kamar, jantung Fandi semakin berdetak kencang. Acara pingitan yang dilakukan orang tua mereka membuatnya tidak saling bertemu, tapi mereka berdua selalu mempunyai cara bisa berhubungan walaupun tidak bisa lama.Suara musik terdengar, Fandi berdiri menatap pintu masuk menunggu kedatangan Dona. Pintu terbuka, menahan napas ketika membayangkan apa yang akan dilihatnya nanti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, tidak melepaskan tatapan satu sama lain dan hanya fokus pada satu objek. Langkah Dona semakin dekat sampai akhirnya dihadapan Fandi, dokumentasi diambil dan mereka memulai langsung apa yang menjadi susunan acara dari wedding organizer.Tanda tanga
"Kang, makasih banyak."Membalas pelukan Lita saat melingkarkan tangannya di perut, membelai rambut Lita dengan memberikan ciuman lembut. "Kenapa jadi melow gini?" Lita melepaskan pelukan dengan tatapan selidik."Memang salah kalau cium adik sendiri?" Fandi melangkahkan kakinya menuju ranjang."Ya udah, aku mau ke penginapan sebelah. Kang, Dara tidur sini memang nggak boleh?" Lita memberikan tatapan memohon."Mau tidur dimana? Kamu aja tidur kalau nggak sama mama ya disini, kamu mau tidur disana nanti? Kalau itu ijin mama bukan aku.""Enaknya jadi orang dewasa, aku juga pengen nikah.""Lulus dulu sana baru nikah." Fandi memperingati Lita "Ingat jadi cewek harus punya harga diri! Jangan mau disentuh seenaknya." "Pengalaman banget," goda Lita yang membuat Fandi mengacak rambutnya "Aku pergi dulu."Matanya tidak lepas melihat punggung Lita yang semakin menjauh, banyak hal yang sudah terjadi didalam hidup