Dona menggelengkan kepalanya mengingat pria bernama Fandi yang dengan kurang ajarnya mengatakan dirinya berisik, lebih mengejutkan lagi pria tersebut tinggal satu lantai dengan dirinya, tempat mereka sama-sama berada di paling ujung. Dona tahu jika tempat yang ada di ujung bukan tempat sembarangan, harganya tidak murah bahkan cenderung mahal, tidak berbeda jauh dengan tempatnya ini.
“Artinya dia bukan pria sembarangan.”Memilih tidak peduli dengan membuka lemari esnya yang sialnya dalam keadaan kosong, Dona melupakan satu hal jika dirinya sudah cukup lama tidak mendatangi tempat ini, biasanya selalu meminta seseorang membersihkan dan mengisi lemari es yang harus diganti tiap minggunya, tampaknya orang tersebut lupa mengisi kembali.“Vi, kamu lupa isi lemari es?” tanya Dona ketika sambungannya diangkat.[Ya, hari ini mau beli. Kamu mau nitip apa gitu? Kirim pesan aja nanti aku belikan sekalian]“Bukan bibi yang bersihin?”[Bibi, Dona. Masalah lemari es aku yang isiin]“Kalau gitu aku aja yang belanja, kamu kan harus menggantikan aku di kantor. Kamu kirim aja apa yang harus aku beli, nanti aku belikan sekalian.”[Aku kirim setelah ini]“Kamu kesini atau gimana?”[Kalau kamu tidur sana pastinya aku kesana, mana mungkin aku biarin kamu sendirian setelah apa yang terjadi. Lagian kamu nggak tahu gimana Lucas tadi, bikin kepala pusing dengarnya sampai Anggi minta buat sabar]Dona tertawa mendengar curhatan Vivi, saat di kantor mereka tidak akan bersikap santai seperti ini. Tidak ada yang tahu hubungan mereka berdua, mereka berteman sudah cukup lama, dimulai saat sekolah sampai akhirnya berhubungan dengan Azka, kembarannya. Dona sama sekali tidak menyangka mereka bisa menjalin kasih walaupun hanya beberapa bulan, semua tidak lain karena orientasi seksual Azka.“Kalau tidur sini jangan lupa kasih tahu tunangan kamu.” Dona mengingatkan Vivi yang hampir putus gara-gara salah paham.[Siap! Lagian Andrew udah baik sama kamu gitu]“Aku cuman malam ini aja tidur sini, kamu temani malam ini aja. Kita bicarakan nanti, sekarang selesaikan pekerjaanmu.”Dona mematikan sambungan mereka, membuat Vivi penasaran dan kesal adalah hal yang Dona sukai. Memastikan kembali apa saja yang harus dibeli, tidak perlu membeli banyak karena pastinya bundanya atau Vivi sendiri akan mengisi.“Semangat!” teriak Dona keras.Keluar dari unitnya dan langsung menuju ke supermarket yang ada didalam gedung ini, supermarket yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk membeli kebutuhan dari penghuni apartemen termasuk dirinya. Menatap catatan yang diberikan Vivi, hembusan napas dalam dikeluarkannya ketika membacanya.“Ini mah kebutuhan dia sendiri bukan aku.” Dona mengatakan sambil menatap ponselnya.Beranjak dari tempatnya setelah memastikan semua sudah dibawa, barang-barang yang dibutuhkan harus dibeli untuk mengisi dapur. Langkahnya menuju lift membuat Dona mau tidak mau menatap pintu yang berada di ujung, jarak lift berada di tengah tempat tinggal mereka. Berada dalam satu lantai yang tempat tinggalnya paling mahal dalam gedung ini, Dona tahu harganya karena ikut membayar dari ayahnya.Supermarket apartemen tidak terlalu jauh dari unitnya, sudah cukup lama Dona tidak kesini dan artinya lama juga tidak di apartemen. Menatap catatan yang ada di ponsel sambil mencari keberadaan barangnya, terlalu lama tidak berada di apartemen dan supermarket membuat Dona harus mencari letak barang yang diinginkan.“Banyak juga ternyata, kalau Vivi nggak lupa pastinya nggak akan sebanyak ini.” Dona menggelengkan kepalanya melihat trolly supermarket “Gimana aku bawa keatasnya?”Dona mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Vivi, tujuannya bertanya bagaimana membawa barang-barang belanjanya.“Bayar dulu nanti aku bantu bawain.”Dona menghentikan gerakan tangannya yang akan menghubungi Vivi, membelakakan matanya saat melihat siapa yang berbicara, tidak lain adalah pria yang mengatakan dirinya berisik dan juga yang berada di cafe. Fandi, pria yang mengatakan hal tiba-tiba pada Dona barusan juga sama terkejutnya.“Apa tidak merepotkan?” tanya Dona sopan.“Kita berada dalam satu lantai yang sama, apalagi kita satu daerah.” Fandi menjawab asal “Kalau tidak...”“Boleh, kalau tidak merepotkan.” Dona memotong perkataan Fandi yang berniat menarik bantuannya.Fandi tidak tahu alasan utamanya membantu Dona, tapi mendengar kata-kata yang dikeluarkan termasuk masuk akal. Berada jauh dari tanah air, keinginannya untuk melupakan masa lalu bukan membuatnya antipati pada wanita.“Kamu kerja disini?” tanya Dona yang penasaran.Fandi menggelengkan kepalanya “Aku ambil pendidikan disini.”Dona menatap tidak percaya “Mahasiswa tapi tinggalnya mahal juga.”Fandi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Dona “Ada yang salah dengan tempat tinggalku?”Dona yang tersadar langsung menggelengkan kepalanya “Nggak sama sekali, sudah berapa lama tinggal disini?”“Udah jalan tiga bulan mungkin, kenapa? Aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya.” Fandi menatap dalam Dona.“Aku jarang tinggal disini.” Dona mengalihkan pandangan kearah lain.Ditatap dalam oleh seseorang yang baru dikenal membuat Dona tidak nyaman, selama ini jika memang menatap dalam orang lain pastinya berhubungan dengan pekerjaan bukan hal pribadi seperti saat ini. Pertemuannya dengan Fandi bisa dikatakan baru dan tidak dengan cara yang benar diawalnya.“Aku minta maaf kalau tadi mengganggu,” ucap Dona saat mereka berjalan keluar dari supermarket “Kamu beli apa tadi?”“Buah, stoknya menipis daripada besok bingung lebih baik beli sekarang. Lemari es kamu kosong? Terlalu lama tidak ditempati?” Fandi menatap kantong belanjaan mereka.Dona menganggukkan kepalanya “Aku tidak tinggal disini jadi pastinya kosong, tadi mau masak tapi sayangnya bahan tidak ada.”“Kamu bisa masak?” tanya Fandi dengan nada tidak percaya.“Kamu menghinaku?” Dona menatap tidak suka.Fandi langsung menggelengkan kepalanya “Biasanya wanita jaman sekarang tidak bisa memasak.”“Masak yang mudah aja.”Perjalanan mereka diisi dengan percakapan, tidak seperti sebelumnya yang tampak kesal satu sama lain. Dona tidak menyangka jika bisa seenak ini berbicara dengan Fandi, pria yang baru ditemuinya beberapa jam lalu. Fandi sendiri tidak menyangka bisa terbuka seperti ini pada wanita setelah apa yang dilakukan mantannya, Dona tampak berbeda dengan mantannya tapi tetap saja tidak membuatnya bisa dengan mudah membuka hati.“Akhirnya sampai juga.” Dona membuka suara membuyarkan lamunan Fandi “Kamu tinggal di ujung? Sendirian?”“Ya, kamu sendiri?”“Temanku kadang tidur disini.”“Takut?”Dona hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaan Fandi, senyuman Dona membuat Fandi merasakan ada sesuatu yang terjadi, tidak mau terlibat terlalu dalam membuat Fandi memilih diam. Langkah mereka semakin dekat dengan unit Dona, mengalihkan pandangan ketika Dona membuka pintu menggunakan kode.Masuk kedalam menatap ruangan Dona, tidak berbeda jauh dengan unitnya. Perabotan yang tidak terlalu banyak membuat tempat menjadi sangat luas, pemandangan indah yang tidak berbeda jauh dengan tempatnya. Melangkah sampai dalam dan berhenti di dapur, membuat Fandi meletakkan barang belanjaan Dona.“Tetangga yang baik, maaf dan terima kasih untuk hari ini di pertemuan pertama kita.”“Tampan?” Dona memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Vivi setelah dirinya menceritakan tentang Fandi, pria yang ditemuinya di cafe dan berada dalam satu lantai dengannya. “Kalau dia mahasiswa berarti usianya masih muda, nggak bisa kamu gebet itu. Sayang sekali.” Vivi memberikan ekspresi sedih yang lagi-lagi hanya bisa membuat Dona menggelengkan kepalanya.“Kayaknya bukan berondong deh, aku lihat dia dewasa banget kaya Lucas gitu.” Dona mencoba mengingat Fandi.“Kaya gimana ciri-cirinya? Masuk kriteria kamu nggak?” Vivi menatap penuh rasa ingin tahu.“Makan dulu, aku udah lapar ini.” Dona menghentikan pembicaraan tentang Fandi.Vivi menatap hidangan diatas meja, secara tiba-tiba berdiri yang membuat Dona menatap bingung dengan mengerutkan keningnya. Pandangannya mengikuti kearah Vivi yang mengambil kotak makanan, melihat itu membuat Dona semakin bertanya-tanya. Vivi berjalan kearah meja makan mengambil makanan yang bar
“Kita ada kunjungan ke universitas.”Dona mengerutkan keningnya mendengar jadwal yang disampaikan Vivi, seingatnya tidak ada jadwal kunjungan ke universitas dan kalaupun ada biasanya bukan dia melainkan ayahnya atau orang lain.“Bukannya Pak Bima yang biasanya lakukan?’ tanya Dona penasaran.“Pak Bima minta ibu yang menggantikan, materi sudah dikirim ke email dan ibu tinggal baca.” Vivi menjawab dengan nada formal dan sopan.Mereka berdua bisa berubah dengan sangat cepat, bersikap professional ketika berhubungan dengan pekerjaan ada atau tidak ada orang. Berbeda cerita jika sudah diluar jam kerja atau pekerjaan mereka sudah selesai sepenuhnya, menghabiskan waktu bersama jika tidak memiliki kesibukan dan kebanyakan berada di apartemen seperti semalam.“Jam berapa?” tanya Dona sambil membuka email.“Setelah makan siang jadi kita makan siang disana, pihak panitia sudah menyiapkan makanan untuk kita.”“Makanan halal?” Dona m
“Acara bentar lagi mulai kita kesana sekarang.”Fandi hanya mengikuti temannya untuk datang ke acara yang diadakan kampus, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari kampusnya membuat Fandi mau tidak mau harus mendatangi acara seminar macam ini. Teman-temannya mengatakan jika yang menjadi pembicara adalah pengusaha besar yang terkenal di Indonesia dan juga sudah memiliki perwakilan di Singapore, rasa penasaran dan ingin tahu membuat Fandi ikut serta dengan teman-temannya.“Setelah dari acara kita hangout di cafe,” usul Maria yang diangguki lainnya.“Kamu ikut?” tanya Clara yang berjalan disamping Fandi.“Belum memutuskan,” jawab Fandi cuek.Clara, wanita yang ada disampingnya ini langsung dekat dari awal mereka bertemu. Berasal dari negara yang sama hanya beda daerah, Clara tinggal di Bali dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Singapore. Usia mereka berjarak cukup jauh mungkin hampir sepuluh tahun, tinggalnya di depan apar
“Bisa berhenti menatap seperti itu?” Dona mendengus pelan mendengar pertanyaan Fandi, kejutan yang benar-benar mengejutkan dirinya. Tidak sampai disitu Vivi seketika meminta Fandi dan Dona pulang bersama, alasan yang diberikan adalah Andrew, Dona tahu jika itu semua hanya akal-akalan Vivi padahal sebelumnya sudah mengatakan tidak peduli pada pria itu.“Kita langsung pulang atau bagaimana?” Fandi memilih bertanya pada Dona tentang apa yang harus dilakukan setelah ini.“Pulang.”“Ok.” Tidak ada pembicaraan lagi, mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Fandi beberapa kali melihat Dona dari sudut matanya, masih teringat dengan reaksi yang diberikan saat melihatnya, satu lagi harusnya Fandi mengucapkan terima kasih pada Vivi yang memberikan usul agar mereka pulang bersama.“Kamu bagus tadi saat di depan, cara berbicara dan materi menjadi satu kesatuan belum lagi contoh yang kamu berikan.” Fandi membuka suaranya memberik
"Serius dia bicara begitu?" Vivi mengulang entah berapa kali yang membuat Dona hanya mengangguk malas "Kamu bilang kalau suruh kirim kesini?""Berapa kali aku harus jawab sih!""Aku hanya memastikan saja." Vivi memberikan reaksi santai.Pertemuan dengan Fandi berakhir tanpa ada pembicaraan lebih lanjut, Dona juga tidak ingin membuka pembahasan apapun. Dona benar-benar tidak menyangka jika Fandi akan meminta bantuan yang berhubungan dengan perusahaannya, baginya tindakan yang dilakukan sangat berani. Mereka turun di apartemen dan melangkah bersama menuju unit yang berada di lantai yang sama, tapi Dona memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya setelah beberapa saat."Andrew nggak papa kamu kesini?" Dona mengalihkan pembicaraan dengan memberikan tatapan dalam."Dia ada yang harus diurus, daripada sendirian mending kesini. Nggak usah bahas aku, Fandi bagus buat melupakan Irwan lagian kalau aku lihat dia cowok baik." Vivi menaik turunkan alis
"Akang dapat acc magang?" Fandi menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Clara "Perusahaan besar itu? Yakin bisa masuk disana?""Namanya usaha," ucap Fandi santai.Fandi tidak akan memberitahukan semua yang terjadi, membiarkan Clara dengan pikirannya. Perusahaan yang ditujunya memang tidak main-main, beberapa temannya pasti juga menginginkan perusahaan itu, tapi dirinya mendapatkan keuntungan yaitu mengenal Dona yang bekerja disana."Kang, hubungan kita nggak bisa lebih?" Fandi menghentikan gerakan tangannya di keyboard menatap Clara dalam "Aku sudah bilang kalau hubungan kita hanya teman tidak lebih, tapi kalau kamu menginginkan lebih..."Fandi terdiam, mengingat percakapannya dengan Reno sebelum berangkat ke Singapore untuk membuka hati. Menatap Clara yang seketika membuatnya berpikir tentang banyak kata-kata Reno, tapi jarak usia mereka sangat jauh dan sifat mereka berbeda."Aku takut kalau tidak berhasil," lanjut Fandi k
"Pak Fandi, langsung saja naik ke lantai lima. Ibu Vivi sudah menunggu dan nanti akan diarahkan beliau bertemu Ibu Dona."Fandi melakukan apa yang dikatakan resepsionis, naik ke lantai lima dengan matanya menatap sekitar. Mengirim pesan pada Dona dan mendapatkan jawaban beberapa hari kemudian membuat Fandi langsung datang dan tidak membuang waktu untuk bertemu dengan Dona. Perbuatannya dengan Clara tidak berdampak apapun dalam hubungan mereka, menganggap tidak pernah terjadi apapun dan kembali seperti sebelumnya."Pak Fandi, mari ikut saya."Fandi menatap wanita yang ikut dengan Dona pada saat mengantarkan makanan, kalau tidak salah namanya tadi Vivi. Mengikuti langkah Vivi menuju ruangan yang tidak tahu apa, pintu terbuka dan langsung menampilkan Dona bersama dengan pria yang tampak seperti ayahnya."Silakan duduk, beliau adalah Pak Bima. Pak Bima adalah direktur di perusahaan ini, Bu Dona sendiri adalah wakil direktur." Vivi menjelaskan pada Fan
"Akang?"Fandi menelan saliva kasar melihat penampilan Clara, pakaian yang dipakainya hanya dress hitam yang tipis dan bisa terlihat apa dibaliknya. Clara membuka pintu lebar membuat Fandi masuk dan tidak lama pintu tertutup juga terkunci, langkah Fandi masuk semakin dalam.Tempat tinggal Clara tidak seperti miliknya, menghabiskan waktu disini tapi selalu pulang ke apartemennya sendiri. Pertemuannya dengan direktur perusahaan membuat Fandi harus menenangkan dirinya, pembicaraan yang membuat Fandi harus berpikir tentang kegiatannya untuk besok yang langsung bersama dengan direktur."Ada kejadian apa?" Clara memilih duduk disamping Fandi "Proposal diterima?"Fandi menganggukkan kepalanya "Kalian berdua besok harus datang kesana.""Kamu sendiri? Langsung kerja?" Fandi menganggukkan kepalanya "Tahu gitu tadi aku ikut kamu, sesekali bolos bukan masalah.""Masalah. Semuanya sangat penting, besok kamu kesana sama Gilbert. Kita tidak aka
"Sudah tidur mereka?""Barusan, ada apa?" "Aku nggak menyangka kita bisa melewati semua masalah, punya anak-anak yang lucu.""Kamu nggak kasih aku istirahat, masa setiap tahun melahirkan kaya kejar target aja." Dona mengerucutkan bibirnya yang langsung mendapatkan ciuman singkat dari Fandi."Kamu hebat dan luar biasa, melahirkan tiga anak setiap tahun." "Kamu yang kebangetan nggak biarin aku istirahat." Dona mengerucutkan bibirnya "Tapi...waktu lihat mereka lahir rasa sakit seketika hilang, aku langsung jadi penasaran kalau punya lagi akan mirip siapa.""Tapi...kenapa anak kita dan Azka nggak ada yang kembar ya?" "Mau kembar?" Dona menatap tanda tanya."Bukan gitu, kalian berdua kan kembar terus kenapa anak kalian nggak ada yang kembar?"Dona mengangkat bahunya "Belum mungkin, sekarang juga nggak kembar.""Apa kita buat kembar setelah ini lahir?" Dona membelalakkan matanya mendengar kalimat
"Kamu mau ke Singapore aja? Sudah yakin? Memang nggak pecah itu kepala diisi belajar mulu?""Aku buat karya ilmiah disana, setidaknya sampai anak kita lahir.""Kita disini juga nggak ada masalah.""Kasihan ayah sama bunda kamu, mereka pastinya butuh anak disana. Anggap aja sebagai bakti ke orang tua.""Gimana sama mama dan papa?""Disini ada banyak anak-anaknya, beda sama ayah dan bunda. Anaknya cuman kamu sama Azka, apalagi Azka lebih senang di agency daripada ngurus perusahaan disana. Azka bilang pecah kepalanya kalau urus perusahaan disana, dia coba udah gatal pengen keluar."Dona berdecih mendengar kata-kata yang Azka ucapkan ke Fandi, Azka memang nggak suka lihat angka atau apapun itu. Azka lebih menyukai suara musik, membuat musik membuat jiwanya tenang, tidak salah jika opanya menyiapkan masa depan mereka masing-masing."Dia bukan pecah kepala aja, tapi gatal pantatnya kalau kelamaan duduk lihat angka dan baca per
"Tokcer juga.""Jelas!" Fandi berkata dengan nada bangga dan penuh kesombongan."Kita sama sekali nggak membayangkan kamu bakal hamil lebih cepat.""Sama, ma. Kita sama sekali nggak nyangka bakal secepat ini.""Kita jadi ikut bahagia waktu Fandi kasih kabar lewat pesan, percaya nggak percaya. Apalagi kalian langsung pisah, kamu sibuk sama kerjaan dan Fandi juga sama."Dona dan Fandi hanya tersenyum mendengar kalimat sang mama, sebenarnya memang tidak bisa ditebak sama sekali. Dona tidak merasakan apapun sama sekali ketika di Singapore, masalah pekerjaan membuat Dona yang tidak merasakan tanda-tandanya. Saat bertemu Fandi seketika terjadi perubahan dan mereka segera memutuskan perika menggunakan alat tes kehamilan yang dijual umum, hasilnya positif dan tanpa menunggu waktu langsung menuju dokter kandungan di rumah sakit. Hasilnya tidak jauh berbeda, tapi bagusnya mereka langsung mengetahui usia kehamilan yang ternyata sudah ada dari sebelu
"Kenapa, bang?""Masih lama Dona?""Abang ini aneh, masih ada satu jam kali."Fandi menghirup udara banyak agar sedikit lebih tenang, biarkan Lita menganggap dirinya merindukan Dona padahal memikirkan hal yang tidak penting."Pekerjaanmu bagaimana?" Fandi membuka pembicaraan terlebih dahulu.Lita menghembuskan napas panjangnya "Aku masuk waktu lagi banyak event, makanya aku sering pulang malam. Apartemen yang diminta Mbak Dona tempati bisa membuat aku nggak perlu dengar mama ngomel.""Kamu jadi kerja di H&D?" Fandi memastikan kembali.Lita menganggukkan kepala tanpa ragu "Kurang dua tahap lagi, bang. Aku juga sering ketemu Tama buat tanya-tanya, kadang kalau luang juga ke cafenya Mbak Naila buat belajar.""Memang ditempatin dimana?" Fandi tidak tahu pembicaraan kedua wanita tersebut."Rencananya sih agency, Mbak Dona minta aku disana bantuin Mas Azka. Mbak Reina yang mantan istrinya sudah nggak disana,
"Hubungan jarak jauh? Memang enak? Sudah menikah tapi pisah.""Sementara, lagian cuman beberapa hari.""Tetap saja nggak enak secara nggak ada yang menghangatkan, hubungi Ratih aja.""Kami sudah berakhir lama."Fandi meninggalkan meja setelah tidak ada pembicaraan lebih lanjut, pembicaraan yang tidak memberikan manfaat apapun. Dua hari setelah di rumah Vivi memberi kabar untuk ke Singapore dimana ada perusahaan yang membutuhkan dipastikan dan Dona sangat ahli dalam hal itu. Disamping itu harus melakukan rapat bulanan yang mengharuskan Dona dan ayahnya berada disana."Maaf, pak.""Pras, sudah mau wisuda?" Fandi menatap mahasiswa yang baru lulus atau bisa dikatakan telat."Ya, akhirnya.""Kemana setelah ini?" "Belum tahu, pak. Saya sudah bekerja di event organizer, bukan pekerjaan di firma hukum tapi setidaknya saya bekerja dengan posisi bagus.""Bagus kalau begitu, apa kamu nggak ingin melanjut
"Dalam...ahh...lebih....ahh...."Dona meremas rambut Fandi atas apa yang dilakukan dibawah, jilatan yang dilakukan dengan memasukkan jemarinya membuat Dona bergerak tidak menentu, menarik kepala Fandi menghentikan kegaiatannya dibawah sana. Melumat kasar bibirnya menyalurkan hasrat dan gairahnya, mendorong tubuh Fandi agar berbaring dan berganti dengannya.Memberikan sentuhan pada tubuh Fandi dengan gerakan sensual, melihat itu Fandi hanya bisa mendesah dengan meremas rambut Dona, bibirnya sudah beralih ke bawah dengan memegang milik Fandi. Memasukkan kedalam mulut, memberikan jilatan pada kepalanya sebelum memasukkan kedalam mulut, gerakan maju mundur dilakukan yang membuat Fandi mendesah keras atas perbuatan Dona, mendengar suara Fandi membuat Don semangat.Memberikan tatapan menggoda dibawah sana disertai dengan jilatan kasar pada milik Fandi yang diikuti dengan gerakan tangannya yang bermain pada telurnya, Fandi mendesah keras atas semua yang Dona laku
"Habis menikah itu wajahnya bahagia, masa daritadi cemberut.""Berisik!""Kenapa memang dia, Don?"Dona memilih tersenyum mendengar pertanyaan Reno, setelah proses akad kemarin dimana Dona memberitahukan jika palang merah seketika Fandi berubah. Fandi tetap perhatian padanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang lemas dan tidak ada gairah."Kalau lihat ekspresinya bisa dibilang Dona lagi palang merah," ucap Lucas yang tidak tahu darimana "Memang yakin? Apa jangan alasan aja biar kalian...""Abang, tolong mulutnya! Ada anak-anak disini." Anggi langsung menegur Lucas yang membuatnya terdiam "Jangan gangguin Dona, mending disini bantuin aku."Dona menahan tawa melihat ekspresi wajah Lucas, pria itu berjalan mendekati Anggi yang sedang bersama anak-anak. Pemandangan yang selalu dilihat setiap kali mereka berkumpul, tahta tertinggi saat berada di rumah adalah wanita. Lucas sangat mengikuti apa yang opa katakan, berbeda dengan Leo yang
"SAH!"Suara teriakan terdengar keras ketika proses selesai, lantunan doa mereka semua panjatkan setelah mendengar satu kata yang membuat napas lega. Beberapa menit lalu jantungnya berdetak kencang, memegang tangan Bima dan mengucapkan kalimat sakral.Menunggu kedatangan Dona yang berada dalam kamar, jantung Fandi semakin berdetak kencang. Acara pingitan yang dilakukan orang tua mereka membuatnya tidak saling bertemu, tapi mereka berdua selalu mempunyai cara bisa berhubungan walaupun tidak bisa lama.Suara musik terdengar, Fandi berdiri menatap pintu masuk menunggu kedatangan Dona. Pintu terbuka, menahan napas ketika membayangkan apa yang akan dilihatnya nanti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, tidak melepaskan tatapan satu sama lain dan hanya fokus pada satu objek. Langkah Dona semakin dekat sampai akhirnya dihadapan Fandi, dokumentasi diambil dan mereka memulai langsung apa yang menjadi susunan acara dari wedding organizer.Tanda tanga
"Kang, makasih banyak."Membalas pelukan Lita saat melingkarkan tangannya di perut, membelai rambut Lita dengan memberikan ciuman lembut. "Kenapa jadi melow gini?" Lita melepaskan pelukan dengan tatapan selidik."Memang salah kalau cium adik sendiri?" Fandi melangkahkan kakinya menuju ranjang."Ya udah, aku mau ke penginapan sebelah. Kang, Dara tidur sini memang nggak boleh?" Lita memberikan tatapan memohon."Mau tidur dimana? Kamu aja tidur kalau nggak sama mama ya disini, kamu mau tidur disana nanti? Kalau itu ijin mama bukan aku.""Enaknya jadi orang dewasa, aku juga pengen nikah.""Lulus dulu sana baru nikah." Fandi memperingati Lita "Ingat jadi cewek harus punya harga diri! Jangan mau disentuh seenaknya." "Pengalaman banget," goda Lita yang membuat Fandi mengacak rambutnya "Aku pergi dulu."Matanya tidak lepas melihat punggung Lita yang semakin menjauh, banyak hal yang sudah terjadi didalam hidup