‘Kapan menikah? Usia kamu sudah waktunya menikah. Teman kamu sudah ada yang beberapa punya anak, jadi kapan menikah?’
Fandi memijat kepalanya setiap kali mendengar ibunya membahas tentang pernikahan, usianya memang sudah tidak muda menjelang kepala empat. Menikah, sudah tidak ada lagi dalam bayangannya. Pengkhianatan yang dilakukan mantan pacarnya bersama sang kakak masih membekas, melihat adegan secara langsung yang mereka lakukan dan mendengar pengakuan mereka yang hampir saja Fandi menghajar kakaknya.Kejadian itu membuat Fandi memilih tinggal berpisah dengan keluarganya, tapi nyatanya jarak tetap bisa membuat mereka bertemu. Kehadiran anak kakaknya membuat orang tuanya bahagia, permintaan maaf juga sudah mereka katakan dan sudah dimaafkan, tapi tidak dengan apa yang mereka berdua lakukan. Perselingkuhan yang dilakukan wanita itu, hampir membuat kakak beradik bertengkar tapi Fandi memilih memaafkan kakaknya.“Jadi ambil beasiswa di Singapore?” tanya sahabatnya, Reno.“Ya,” jawab Fandi singkat.“Padahal disini juga kamu bisa melanjutkan malah jauh-jauh kesana,” ucap Reno dengan nada kesalnya.“Kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya.” Fandi mengatakan dengan nada santai.“Kamu bisa sayang sama anak mereka dan maafin kakakmu, kenapa tidak bisa berdamai sama mereka?”Fandi mengangkat bahu “Terlalu sakit, melihat secara langsung perselingkuhan mereka.”Hening, kata-kata Fandi membuat Reno tidak bisa mengeluarkan suaranya kembali. Fandi sudah menceritakan semuanya pada Reno tanpa ada yang ditutupi, hubungannya dengan sang mantan membuat Fandi percaya diri jika mereka akan menikah, tapi kenyataan lain hadir dimana secara diam-diam melakukan perselingkuhan.Hardian, kakaknya Fandi juga sama tidak tahunya jika istrinya pada saat itu menjalin hubungan dengannya. Fandi memilih mundur saat mantannya mengatakan hamil dan Hardian adalah ayah bayi dalam kandungannya, tidak ingin bertengkar hanya karena wanita membuat Fandi mundur.“Aku berharap semoga aja ketemu sama cewek di Singapore.” Reno membuka suara dengan memberikan tatapan menggoda.Fandi memutar bola matanya malas “Wina gimana? Masih mual?”Reno secara otomatis langsung menceritakan tentang kehamilan Wina, Fandi hanya diam mendengarkan karena memang tidak tahu banyak tentang wanita hamil, waktu mantannya hamil Fandi sudah menjauh dari keluarga. Fandi dan Hardian sebenarnya sama-sama korban yang ditipu oleh pasangan mereka yang sekarang sudah menjadi mantan, melihat adegan secara langsung dan kehamilan sudah membuktikan semuanya.“Kenapa milih Singapore? Kenapa nggak jauh sekalian?” tanya Reno yang hanya dijawab dengan mengangkat bahu “Berapa lama memang disana?”“Dua tahun mungkin atau bisa lebih, aku juga belum tahu akan kembali atau nggak. Kenapa milih Singapore? Aku nggak tahu alasannya, mungkin biar nggak jauh-jauh dari orang tua kalau-kalau ada sesuatu sama mereka.”“Mengajar disini gimana? Masa nggak kembali?”“Entahlah, aku belum memutuskan apa-apa. Kamu tahu bagaimana keadaan aku saat ini, menjauh dari mereka sama sekali tidak bisa sepenuhnya, paling tidak nanti ketika aku pulang sudah bisa memaafkan dia.”“Kamu bisa memaafkan dan melupakan dia kalau udah punya pengganti?”“Mungkin,” jawab Fandi sambil mengangkat bahunya.“Aku kenalin sama teman Wina gimana?”“Nggak usah aneh-aneh, aku akan mencari sendiri wanita yang memang baik dan tidak melakukan perselingkuhan lagi.”“Memang kenapa dia selingkuh? Kalian juga rajin melakukan hubungan intim.”Fandi menatap kesal pada Reno yang lagi-lagi menggodanya “Mereka sudah bersama tepat saat aku sibuk-sibuknya, lagian kenapa malah bahas itu.”“Tapi bukannya sekarang lagi hamil anak kedua? Lama juga kamu bergerak.”Fandi menatap kesal pada Reno yang hanya tertawa “Kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya! Anak mereka masih setahun dan hamil lagi, bisa jadi beberapa minggu lagi melahirkan. Aku berharap tidak melihat proses dia melahirkan, cukup sekali aku mengetahui dia melahirkan.”Reno tertawa “Kita bahas hal lain aja.”Mereka berdua membicarakan banyak hal dan kali ini tidak membahas tentang perselingkuhan. Reno mengambil jalan aman dengan membahas hal lain yang berhubungan dengan tempat Fandi berada nantinya, mengambil apartment yang harganya sedikit lebih mahal, semua dilakukan Fandi untuk menyenangkan dirinya agar bisa istirahat dengan sangat tenang dan nyaman.“Aku pulang dulu.”Menatap kamarnya yang sudah tersedia koper dan tanda akan dirinya akan berangkat meninggalkan negara ini, meninggalkan semua kenangan buruk bersama wanita itu dan banyak hal lain. Perjalanan dari cafe ke rumah tidak membutuhkan waktu yang lama, Fandi memutuskan tidur di rumah orang tuanya karena setelah itu tidak bertemu lagi dengan mereka. Suara ketukan pintu membuat Fandi menatap pintu, melangkahkan kaki untuk membukanya.“Bisa bicara?” Fandi menganggukkan kepalanya “Di taman?” sekali lagi hanya menganggukkan kepalanya.Melangkahkan kakinya ke taman bersama dengan kakak pertamanya, Seno. Mereka empat bersaudara dan yang terakhir adalah perempuan dengan jarak yang cukup jauh. Melihat keadaan rumah yang sepi membuat Fandi menatap bingung, tadi pada saat datang tidak terlalu memperhatikan.“Jadi berangkat ke Singapore?” Seno langsung bertanya yang diangguki Fandi “Ibu sama bapak di rumah sakit, Gea melahirkan.” Fandi sekali lagi menganggukkan kepalanya “Kamu hebat bisa memaafkan Gea, padahal aku saja belum tentu bisa apalagi melihat dia bersama saudara sendiri.” Fandi sedikit terkejut dengan kata-kata Seno “Aku tahu sendiri, tatapan kamu ke Gea sangat berbeda bahkan kamu tidak pernah mau terlibat ketika mereka menikah, kamu memang dekat sama Mia dan memperlakukannya sama dengan Sasa juga Dika...”“Sebenarnya apa yang mau dibicarakan?” potong Fandi langsung.Seno tersenyum mendengarnya “Aku hanya ingin kamu bahagia, kalau bisa dapat wanita yang lebih baik dari Gea.”“Tanpa diminta pastinya aku akan lakukan.”“Kamu bisa mengambil waktu yang kamu butuhkan, tapi satu hal yang pasti kembali kalau sudah mendapatkan wanita itu. Gimana-gimana ibu sama bapak juga mau kamu bahagia, terima kasih nggak melakukan keributan hanya karena masalah wanita.” Seno menatap dalam Fandi.Mereka berdua terdiam, tidak ada kata-kata yang bisa mereka katakan kembali setelah apa yang terjadi. Sekali lagi Fandi harus mengingat tentang apa yang terjadi pada dirinya dengan Gea dan Hardian, mungkin ini terakhir kalinya dia mengingat wanita itu dan perbuatannya.“Kapan berangkat? Kalau nggak mau melihat mereka, kamu bisa berangkat besok. Aku nanti yang bilang sama ibu bapak kalau kamu dadakan berangkat.”Fandi terkejut dengan kata-kata Seno “Bagaimana...”“Sebagai sulung, aku harus tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan adik-adikku. Selama ini aku diam karena terlihat Hardian selalu merasa bersalah, tapi mendengar pembicaraan kalian membuat aku yakin kalau sudah selesai dan Hardian bagaimanapun juga korban yang sayangnya sangat mencintai Gea.”Fandi membenarkan perkataan Seno, alasan utamanya tidak membuat masalah besar adalah tatapan cinta mereka berdua. Hal yang tidak pernah Gea perlihatkan pada dirinya selama bersama, baik itu kencan biasa atau saat melakukan hubungan intim, semua berbeda saat Gea bersama dengan Hardian. “Carilah kebahagianmu dan segera kembali.”“Kegiatan hari ini apa?” “Pak Lucas datang untuk melihat laporan keuangan.” Vivi menjawab pertanyaan Dona yang langsung mengerutkan keningnya “Beliau baru saja datang bersama dengan Ibu Anggi dan sekarang sudah di ruangan finance.”Dona menghembuskan nafasnya panjang, saudaranya yang satu itu memang suka semaunya sendiri dan tidak pernah memberi kabar tentang kedatangannya sama sekali. Mengambil ponselnya dan langsung menghubungi papanya tentang berita Lucas, meminta Vivi untuk menunggu sampai dirinya selesai berbicara.“Ayah tahu kalau Lucas kesini?” Dona langsung bertanya saat panggilannya diangkat.[Memang Lucas kesana? Sama siapa?]“Anggi, jadi ayah nggak tahu?”[Endi ada bilang kalau mau kesana, ayah kira si Endi ternyata Lucas. Kalau gitu ayah kesana sekarang, nanti Lucas ngadu kalau papa nggak ada di kantor]Dona memutar bola matanya malas, menutup sambungan dengan Bima dan menatap Vivi yang menunggu instruksi darinya. Menghembuskan nafasnya terlebih dahulu untuk memikirkan
Teriakan Dona membuat beberapa pasang mata menatap kearahnya, tidak dengan pria yang duduk di tempat biasanya dia duduk. Pria itu tidak terlalu tertarik dengan keadaan sekitar, melihat pria itu mengingatkan Dona pada mantan suaminya, menggelengkan kepalanya pelan tanda jika dirinya memang harus melupakan pria itu.“Apa ini?” Dona menatap bungkus obat diatas mejanya dan menatap pria itu dengan tatapan bingung.“Aku lihat kamu tampak pusing,” ucap pria itu sambil lalu.Dona menatap bungkus obat dan pria itu bergantian, seketika dirinya paham jika apa yang terjadi tadi juga mengganggu pria disampingnya dan tampaknya mendengar pembicaraannya dengan Azka.“Maaf kalau tadi mengganggu.” Dona mengatakan dengan sopan.“Fandi.” Dona mengerutkan keningnya “Fandi itu namaku, akan lebih baik kalau saling tahu nama apalagi kita berasal dari negara yang sama.”Dona menganggukkan kepalanya “Dona, itu namaku.”Hening, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Dona menatap bungkus obat dengan berbagai
Memaki sepanjang perjalanan mengingat kejadian tadi dengan orang asing, Dona tidak pernah kesal seperti ini sebelumnya dengan orang asing, ditekankan sekali lagi orang asing dan kalau perlu dicetak tebal dan garis bawahi. Ponselnya berbunyi, menatap sekilas siapa yang menghubungi semakin membuatnya kesal dan semua berawal dari Lucas.“Kenapa?” tanya Dona setelah mengangkat panggilan yang dilakukan Endi.[Lucas bilang kalau kamu...]“Dasar mulut lemes dia itu.” Dona mengatakan dengan kesal.[Kita khawatir sama kamu] Endi menenangkan Dona yang sudah semakin kesal.“Kamu nggak tahu apa yang dia lakukan disini sama Anggi? Datang dan melakukan pengecekan laporan keuangan.” Dona mengatakan apa yang dirasakannya.Endi tertawa mendengarnya [Kamu tahu gimana dia, itu semua cuman alasan biar bisa liburan sama Anggi]Dona mencibir langsung dan membenarkan kata-kata Endi “Dimana kamu?”[Perjalanan hotel habis antar Tere ke kampus, mau aku salamin sama Irwan?]“Nggak usah aneh-aneh.” Dona
Dona menggelengkan kepalanya mengingat pria bernama Fandi yang dengan kurang ajarnya mengatakan dirinya berisik, lebih mengejutkan lagi pria tersebut tinggal satu lantai dengan dirinya, tempat mereka sama-sama berada di paling ujung. Dona tahu jika tempat yang ada di ujung bukan tempat sembarangan, harganya tidak murah bahkan cenderung mahal, tidak berbeda jauh dengan tempatnya ini.“Artinya dia bukan pria sembarangan.” Memilih tidak peduli dengan membuka lemari esnya yang sialnya dalam keadaan kosong, Dona melupakan satu hal jika dirinya sudah cukup lama tidak mendatangi tempat ini, biasanya selalu meminta seseorang membersihkan dan mengisi lemari es yang harus diganti tiap minggunya, tampaknya orang tersebut lupa mengisi kembali.“Vi, kamu lupa isi lemari es?” tanya Dona ketika sambungannya diangkat.[Ya, hari ini mau beli. Kamu mau nitip apa gitu? Kirim pesan aja nanti aku belikan sekalian]“Bukan bibi yang bersihin?”[Bibi, Dona. Masalah l
“Tampan?” Dona memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Vivi setelah dirinya menceritakan tentang Fandi, pria yang ditemuinya di cafe dan berada dalam satu lantai dengannya. “Kalau dia mahasiswa berarti usianya masih muda, nggak bisa kamu gebet itu. Sayang sekali.” Vivi memberikan ekspresi sedih yang lagi-lagi hanya bisa membuat Dona menggelengkan kepalanya.“Kayaknya bukan berondong deh, aku lihat dia dewasa banget kaya Lucas gitu.” Dona mencoba mengingat Fandi.“Kaya gimana ciri-cirinya? Masuk kriteria kamu nggak?” Vivi menatap penuh rasa ingin tahu.“Makan dulu, aku udah lapar ini.” Dona menghentikan pembicaraan tentang Fandi.Vivi menatap hidangan diatas meja, secara tiba-tiba berdiri yang membuat Dona menatap bingung dengan mengerutkan keningnya. Pandangannya mengikuti kearah Vivi yang mengambil kotak makanan, melihat itu membuat Dona semakin bertanya-tanya. Vivi berjalan kearah meja makan mengambil makanan yang bar
“Kita ada kunjungan ke universitas.”Dona mengerutkan keningnya mendengar jadwal yang disampaikan Vivi, seingatnya tidak ada jadwal kunjungan ke universitas dan kalaupun ada biasanya bukan dia melainkan ayahnya atau orang lain.“Bukannya Pak Bima yang biasanya lakukan?’ tanya Dona penasaran.“Pak Bima minta ibu yang menggantikan, materi sudah dikirim ke email dan ibu tinggal baca.” Vivi menjawab dengan nada formal dan sopan.Mereka berdua bisa berubah dengan sangat cepat, bersikap professional ketika berhubungan dengan pekerjaan ada atau tidak ada orang. Berbeda cerita jika sudah diluar jam kerja atau pekerjaan mereka sudah selesai sepenuhnya, menghabiskan waktu bersama jika tidak memiliki kesibukan dan kebanyakan berada di apartemen seperti semalam.“Jam berapa?” tanya Dona sambil membuka email.“Setelah makan siang jadi kita makan siang disana, pihak panitia sudah menyiapkan makanan untuk kita.”“Makanan halal?” Dona m
“Acara bentar lagi mulai kita kesana sekarang.”Fandi hanya mengikuti temannya untuk datang ke acara yang diadakan kampus, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari kampusnya membuat Fandi mau tidak mau harus mendatangi acara seminar macam ini. Teman-temannya mengatakan jika yang menjadi pembicara adalah pengusaha besar yang terkenal di Indonesia dan juga sudah memiliki perwakilan di Singapore, rasa penasaran dan ingin tahu membuat Fandi ikut serta dengan teman-temannya.“Setelah dari acara kita hangout di cafe,” usul Maria yang diangguki lainnya.“Kamu ikut?” tanya Clara yang berjalan disamping Fandi.“Belum memutuskan,” jawab Fandi cuek.Clara, wanita yang ada disampingnya ini langsung dekat dari awal mereka bertemu. Berasal dari negara yang sama hanya beda daerah, Clara tinggal di Bali dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Singapore. Usia mereka berjarak cukup jauh mungkin hampir sepuluh tahun, tinggalnya di depan apar
“Bisa berhenti menatap seperti itu?” Dona mendengus pelan mendengar pertanyaan Fandi, kejutan yang benar-benar mengejutkan dirinya. Tidak sampai disitu Vivi seketika meminta Fandi dan Dona pulang bersama, alasan yang diberikan adalah Andrew, Dona tahu jika itu semua hanya akal-akalan Vivi padahal sebelumnya sudah mengatakan tidak peduli pada pria itu.“Kita langsung pulang atau bagaimana?” Fandi memilih bertanya pada Dona tentang apa yang harus dilakukan setelah ini.“Pulang.”“Ok.” Tidak ada pembicaraan lagi, mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Fandi beberapa kali melihat Dona dari sudut matanya, masih teringat dengan reaksi yang diberikan saat melihatnya, satu lagi harusnya Fandi mengucapkan terima kasih pada Vivi yang memberikan usul agar mereka pulang bersama.“Kamu bagus tadi saat di depan, cara berbicara dan materi menjadi satu kesatuan belum lagi contoh yang kamu berikan.” Fandi membuka suaranya memberik