Karena Deo lebih menyukai Western food daripada makanan Asia atau yang khas Indonesia, kali ini aku sengaja menyiapkan vegetables soup dan salmon steak with potato wedges untuk makan malam kita berdua. “Tinggal jus semangka kesukaan dia…” Gumamku sambil menata semuanya di atas meja makan. Menurut kalkulasi dari Deo sebelumnya, sekitar dua puluh lima menit lagi, dia baru akan sampai di rumah. Dan ternyata, sisa waktu yang aku punya masih cukup untuk aku menyiapkan semuanya tanpa harus tergesa-gesa. Aku bahkan masih bisa merapikan diriku sekali lagi supaya terlihat lebih presentable. + Masih belum pulang dia… Udah dua puluh menit lewat… Masih macet apa ya? Gue tungguin di sofa aja deh… Sekalian browsing dan cari ide buat kado wisuda Deo. Enaknya gue beliin dia apa ya? Apa yang sekarang ini lagi Deo kepengen banget atau butuhin tapi dia belum punya? Dia kok kayaknya udah serba ada semuanya… Mau gue beliin gadgets juga buat apa? Ruang kerja dia aja udah lebih lengkap dan bisa
Sesuai rencanaku yang sebelumnya, pagi ini aku pergi ke kampus hanya untuk menyelesaikan sekaligus memperbaiki skripsiku. Dan targetku dalam minggu ini adalah aku sudah mendapatkan persetujuan dari para dosen pembimbing untuk segera maju ke tahap selanjutnya. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi dengan kelulusanku. Aku benar-benar ingin perkuliahanku segera selesai supaya hubunganku dan Dinda tidak perlu disembunyikan lagi. Dan kita berdua juga tidak perlu khawatir jika ingin pergi jalan-jalan ke luar rumah. “Meja yang lain masih banyak yang kosong.” Kataku sambil melirik ke arah Rika yang mendadak duduk di sampingku. “Gue maunya duduk di sini. Gimana dong?” “Gue maunya lo pergi. Gimana dong?” “Takut pacar bohongan lo marah ya?” Tanya Rika sambil tersenyum menggodaku. + Makin gue tanggepin, makin menjadi ini anak… Terserah dia lah… Bodo amat. Mending gue fokus selesaiin skripsi. Biar abis istirahat nanti gue bisa langsung temui Prof. Djarot lagi. + “Deo, bantuin gue ngerjain
+ Buset dah. Males banget gue kalo harus turun tangan buat ngelerai orang sebanyak ini. Mana masih pagi pula. Nggak ada keran air di deket sini lagi. + Semakin lama aku mencari cara untuk melerai mereka, semakin aku membiarkan Gagas dan Kevin menjadi sasaran kekerasan fisik dari Mirza dan mahasiswa yang lainnya. “Heh! Lo semua bisa berhenti nggak?!” Bentakku dengan suara yang sangat lantang. + Buset! Kagak mempan lagi. Ini pada sarapan apa sih? Banyak bener tenaganya. Duh. Mau nggak mau nih. Udah lama juga gue nggak ninju orang beneran. + Aku menarik kerah kemeja salah seorang laki-laki yang sepertinya bukan teman satu angkatanku, lalu mendorong dia untuk bergerak minggir. Awalnya dia meronta, dan berusaha melawanku, namun aku berhasil untuk mengancamnya dengan mengarahkan kepalan tangan kananku di wajahnya. Enam anak lainnya kemudian juga terpaksa aku ancam dengan cara yang sama. Dua dari mereka melawanku balik, namun aku berhasil menghindari mereka dan memberi mereka
Seperti dugaanku, Mirza dan teman-temannya tidak mau berkata jujur di depan Erwin dan beberapa staff keamanan fakultas. Untung saja, Gagas masih sanggup untuk menjelaskan kronologi kejadiannya dari awal dengan sangat jelas. Selain itu, Erwin juga mengecek langsung hasil CCTV yang ditunjukkan oleh salah satu tim keamanan yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Dan memang benar, sesuai dengan penjelasan Gagas sebelumnya bahwa Mirza lah yang menyerang mereka terlebih dahulu. Fakta yang sebenarnya akhirnya terungkap dengan sendirinya. Meskipun tetap saja kita bersebelas masih harus diinterogasi satu per satu, dan memakan waktu hampir lima belas menit. Karena Erwin secara rinci mengorek penyebab perkelahian kita. “Siapa aja yang terlibat taruhan?” Tanya Erwin sambil menatap kita satu per satu dengan sorot mata yang tajam. “Saya tanya sekali lagi. Siapa aja yang terlibat taruhan?” Tanya Erwin dengan intonasi suara yang lebih galak daripada sebelumnya. Karena tidak ada satu pun yang berani
Ketika lukaku sedang dibersihkan di klinik, aku baru menyadari bagaimana kondisi luka yang ada di wajahku. Pantas saja bibirku terasa perih, dan rahangku juga terasa nyeri sejak tadi. Tapi untung saja, kondisiku tidak terlalu parah dan tidak separah Gagas atau Kevin. + Dinda gimana ya sekarang? Dia khawatir nggak ya sama gue? Mau gue hubungin tapi ini masih jam kerja dia. Nanti kalo dia tambah marah, malah repot sendiri gue. Tapi kalo nggak gue hubungin dia, yang ada gue malah kepikiran terus + Aku sengaja duduk dan memejamkan kedua mataku ketika menunggu Gagas dan Kevin yang sedang diperiksa, karena aku tidak ingin mendapatkan banyak pertanyaan dari Desi ataupun Rika. “Kejadian ini semua tuh gara-gara Bu Dinda tau nggak sih!” Kata Rika dengan intonasi suara yang kesal. “Kalo dari awal dia nggak muncul di kelas kita, gue yakin nggak akan ada musibah kayak gini.” “Ini tuh gara-gara Mirza kali, Rik. Bu Dinda mana tau mereka taruhan. Si Mirza aja ini yang makhluk sumbu pendek d
Mengingat ruangan Erwin itu juga termasuk ruang kerjanya Dinda, aku memutuskan untuk menemani Kevin dan Gagas sampai masuk ke dalam ruangan tersebut. Selain aku perlu membantu mereka berdua, aku juga perlu melihat Dinda, meskipun hanya sebentar saja. Akan tetapi, hari ini keberuntungan sepertinya sedang tidak memihak kepadaku lagi. Dinda tidak ada di tempat duduk biasanya dia kerja. Hanya ada Erwin di dalam ruangan yang sedang sibuk di depan layar komputer. Dan karena tidak ada kepentingan apa pun, aku segera pamit ke luar dari ruangan setelah memberikan dua ransel kepada masing-masing pemiliknya. + Nggak mungkin juga gue nanya ke Erwin soal keberadaan Dinda… Dinda di mana ya? Masih ngajar apa dia? + Kedua langkah kakiku sengaja aku perlambat supaya aku bisa mengamati sekitarku untuk mencari keberadaan Dinda. Baru setelah aku melewati koridor yang ada di dekat ruang kepala program studi, aku akhirnya menemukan Dinda yang sedang bercengkerama dengan salah seorang karyawan fakult
“Kenapa jam segini baru pulang?” Tanya Dinda ketika aku menghampirinya yang sedang duduk di sofa sambil mengerjakan sesuatu di tablet kerjanya. “Aku tadi nungguin Prof. Djarot buat minta tanda tangan. Lalu anterin Kevin sama Gagas ke rumah sakit dulu.” Jawabku sambil duduk dan menatap kedua mata Dinda. “Ada apa sama mereka berdua?” “Dicek lebih detil aja. Buat mastiin mereka berdua nggak ada luka di dalem dan baik-baik aja.” Jawabanku barusan tidak sepenuhnya jujur. Aku menyembunyikan fakta di mana aku meminta Kevin, dan Gagas untuk visum, karena mereka berdua masih belum mengambil keputusan untuk membawa semuanya ke jalur hukum. “Lalu? Gimana hasilnya?” “Aman.” Jawabku jujur. “Luka dalem nggak ada yang membahayakan. Cuma benturan aja. Luka luar udah diobati juga. Kevin sih yang paling parah. Dia ada banyak luka, terkilir di tangan sama kaki juga.” "Kita laporin polisi aja gimana?" + Ini memang Dinda yang udah kepikiran lapor polisi atau dia baca pikiran gue? + "Ya, coba be
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak karena perkataan Dinda terbukti benar. Aku yakin efek dari obat penghilang rasa sakit yang tadi kutelan di klinik sudah menghilang, karena sekarang aku benar-benar merasakan nyeri yang jauh lebih sakit daripada sebelumnya. + Ah, buset dah… Padahal tadi gue pas ml masih kuat-kuat aja kayak biasanya… Kenapa mesti tengah malem kayak gini sih sakitnya… Mana Dinda udah tidur lagi… + Aku menggeser tubuhku sekali lagi secara perlahan. Aku berusaha mencari posisi tidur yang nyaman, namun semua posisi yang aku coba ternyata tidak ada yang nyaman. Rasa nyeri yang luar biasa dari punggungku, sepertinya menjalar ke hampir seluruh bagian tubuhku. “Kamu kenapa?” Tanya Dinda dengan suara yang terdengar sedikit parau. Dia perlahan membuka kedua matanya dan menatapku yang hendak bergeser lagi. “Kamu kok malah bangun?” Tanyaku yang berusaha menutupi rasa sakitku. “Kamu gerak-gerak terus, jadinya aku ikutan kaget dan nggak bisa tidur…” + Buset, padahal