Mengingat ruangan Erwin itu juga termasuk ruang kerjanya Dinda, aku memutuskan untuk menemani Kevin dan Gagas sampai masuk ke dalam ruangan tersebut. Selain aku perlu membantu mereka berdua, aku juga perlu melihat Dinda, meskipun hanya sebentar saja. Akan tetapi, hari ini keberuntungan sepertinya sedang tidak memihak kepadaku lagi. Dinda tidak ada di tempat duduk biasanya dia kerja. Hanya ada Erwin di dalam ruangan yang sedang sibuk di depan layar komputer. Dan karena tidak ada kepentingan apa pun, aku segera pamit ke luar dari ruangan setelah memberikan dua ransel kepada masing-masing pemiliknya. + Nggak mungkin juga gue nanya ke Erwin soal keberadaan Dinda… Dinda di mana ya? Masih ngajar apa dia? + Kedua langkah kakiku sengaja aku perlambat supaya aku bisa mengamati sekitarku untuk mencari keberadaan Dinda. Baru setelah aku melewati koridor yang ada di dekat ruang kepala program studi, aku akhirnya menemukan Dinda yang sedang bercengkerama dengan salah seorang karyawan fakult
“Kenapa jam segini baru pulang?” Tanya Dinda ketika aku menghampirinya yang sedang duduk di sofa sambil mengerjakan sesuatu di tablet kerjanya. “Aku tadi nungguin Prof. Djarot buat minta tanda tangan. Lalu anterin Kevin sama Gagas ke rumah sakit dulu.” Jawabku sambil duduk dan menatap kedua mata Dinda. “Ada apa sama mereka berdua?” “Dicek lebih detil aja. Buat mastiin mereka berdua nggak ada luka di dalem dan baik-baik aja.” Jawabanku barusan tidak sepenuhnya jujur. Aku menyembunyikan fakta di mana aku meminta Kevin, dan Gagas untuk visum, karena mereka berdua masih belum mengambil keputusan untuk membawa semuanya ke jalur hukum. “Lalu? Gimana hasilnya?” “Aman.” Jawabku jujur. “Luka dalem nggak ada yang membahayakan. Cuma benturan aja. Luka luar udah diobati juga. Kevin sih yang paling parah. Dia ada banyak luka, terkilir di tangan sama kaki juga.” "Kita laporin polisi aja gimana?" + Ini memang Dinda yang udah kepikiran lapor polisi atau dia baca pikiran gue? + "Ya, coba be
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak karena perkataan Dinda terbukti benar. Aku yakin efek dari obat penghilang rasa sakit yang tadi kutelan di klinik sudah menghilang, karena sekarang aku benar-benar merasakan nyeri yang jauh lebih sakit daripada sebelumnya. + Ah, buset dah… Padahal tadi gue pas ml masih kuat-kuat aja kayak biasanya… Kenapa mesti tengah malem kayak gini sih sakitnya… Mana Dinda udah tidur lagi… + Aku menggeser tubuhku sekali lagi secara perlahan. Aku berusaha mencari posisi tidur yang nyaman, namun semua posisi yang aku coba ternyata tidak ada yang nyaman. Rasa nyeri yang luar biasa dari punggungku, sepertinya menjalar ke hampir seluruh bagian tubuhku. “Kamu kenapa?” Tanya Dinda dengan suara yang terdengar sedikit parau. Dia perlahan membuka kedua matanya dan menatapku yang hendak bergeser lagi. “Kamu kok malah bangun?” Tanyaku yang berusaha menutupi rasa sakitku. “Kamu gerak-gerak terus, jadinya aku ikutan kaget dan nggak bisa tidur…” + Buset, padahal
“Yo, gue denger dari Desi, lo tadi pagi daftar sidang ya?” Tanya Gagas yang baru saja duduk di depanku. Dia terlihat jauh lebih segar daripada kemarin, meskipun tetap saja wajahnya dihiasi dengan banyak plester. + Desi ini kerjaannya kalo di kampus sebenernya ngapain ya? Urusan gue daftar sidang aja dia sampe bisa tau segala… + “Iya. Tapi baru masuk-masukin syarat ke orang tata usaha. Masih harus diproses dulu.” “Ajegile… Itu mah lo udah tinggal nunggu dikabarin sama mbak-mbak tata usaha doang. Abis itu lo dikasih jadwal sidang, maju, lulus deh.” Kata Gagas sambil mengaduk-aduk nasi gorengnya. + Iya, bener… Gue udah ngerjain semua ujian akhir, tinggal sidang doang… Dikit lagi lulus dan nggak perlu nyembunyiin hubungan gue sama Dinda lagi… + “Yo, lo beneran udah mau maju sidang?” Tanya Kevin sambil duduk di sebelah Gagas. + Buset dah! Ini Desi lagi pasti. Berapa orang yang dia kasih tau soal hidup gue? + “Belom. Masih daftar dan kirim berkas. Belom dapet jadwal buat m
Sebelum aku kembali pulang ke rumah, aku sengaja meminta Tegar untuk mengantarkanku ke rumah sakit terlebih dahulu. Sebenarnya aku yakin tidak ada yang terlalu parah, akan tetapi aku sengaja melakukan cek secara menyeluruh demi menuruti keinginan Dinda. Aku juga membeli beberapa obat yang aku butuhkan dan semuanya aku sesuaikan dengan saran dokter. Sesampainya di rumah, aku langsung menghampiri Dinda untuk menunjukan hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Dia sedang duduk di atas sofa sambil membaca sesuatu di tabletnya, dan mengunyah jeruk bali yang terlihat begitu segar. “Kamu udah beli obat juga kan?” Tanya Dinda setelah membaca hasil laporan pemeriksaanku. “Udah, sayang…” Jawabku sambil mengambil potongan jeruk bali yang ada di atas piring. “Terus gimana? Punggung kamu masih sakit?” “Nggak. Baik-baik aja. Aku dua jam yang lalu udah minum obat lagi kok.” “Ada yang mau aku omongin sama kamu.” Kata Dinda yang kemudian mematikan tabletnya, dan meletakkannya di atas meja. + Kayakn
Hari ini aku masih harus datang lagi ke kampus pagi-pagi sekali karena mengumpulkan persyaratan pengajuan sidang skripsi yang kemarin masih kurang sedikit untuk aku lengkapi terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa mendapatkan hasil jadwal sidang skripsi. Awalnya aku ingin langsung pergi ke kantor saja untuk menyicil beberapa pekerjaanku yang sengaja aku tunda, akan tetapi, karena pihak tata usaha mengatakan jadwal sidang skripsiku akan keluar setelah jam makan siang, maka aku memutuskan untuk stay di kampus lebih lama lagi. Aku lumayan malas mondar-mandir antara kantor dan kampus, ditambah lagi jalanan di Jakarta yang juga sama sekali tidak lancar, terutama di pagi hari. + Seinget gue, jadwal Dinda hari ini itu ada yang di kampus S1. Dia juga tadi pagi bilang ada meeting sama Pak Dekan. Harusnya sih sekitar empat puluh lima menitan lagi Dinda nyampe kampus… Gue pesen kopi dulu aja kali ya? Baru abis itu cari tempat yang sepi biar gue bisa sambil kerja… + Baru saja aku hendak m
Sudah empat puluh delapan menit lebih aku menunggu Bu Jenny di lobby kantornya, namun dia masih belum juga datang sesuai dengan janjinya. Terakhir kali, sekitar tiga puluh lima menit yang lalu, sekretaris Bu Jenny memintaku untuk menunggu terlebih dahulu karena urusan Bu Jenny masih belum selesai. Dan aku dengan sopan menuruti permintaan tersebut, meski sebenarnya aku ingin sekali menolak dan langsung kembali ke kampus. Menunggu adalah salah satu hal yang paling aku benci di dunia ini. Apalagi jika yang ditunggu juga sejak beberapa hari yang lalu, selalu berhasil membuatku kesal karena perilaku mereka yang seenaknya dan tidak mau tahu bagaimana rasanya berada di posisiku. Menunggu itu tidak mudah bagiku. Apalagi menunggu di dalam ketidak pastian. Dan hal ini hanya membuatku semakin gelisah saja. + Ya ampun… Gimana ini? Abis ini gue meeting sama Pak Dekan dan gue masih belum menghasilkan kemajuan satu pun… Gue pikir, Bu Jenny hari ini bisa lebih kooperatif dan meringankan pekerja
“Kamu masa masalah seperti ini saja bisa sampe lama sekali buat menyelesaikannya?” Tanya Pak Dekan sambil menatapku dengan sorot mata yang heran. Setelah aku panjang lebar menjelaskan kepadanya tentang semua yang sudah terjadi, Pak Dekan masih saja bersikap tidak pengertian dan terkesan merendahkanku. “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak. Saya juga sudah lakukan banyak cara. Tapi, Bu Jenny masih belum bisa ditemui. Dan semua yang sudah terjadi itu di luar kendali saya.” “Kamu jangan pasrah gitu aja dong. Kalo belum berhasil berarti kamu tidak bisa mengatakan bahwa usaha kamu sudah maksimal.” + PASRAH?! Lo bilang gue apa? Pasrah? Belum maksimal pala lo! Gila aja lo nggak tau di lapangan kayak gimana! Coba lo turun tangan sendirian bisa nggak? Seenaknya aja nih orang ngatain gue pasrah! Jangan mentang-mentang karena lo lebih tua dan punya jabatan yang lebih tinggi dari gue makanya seenak jidat lo aja kalo ngomong! Gila! Kesel banget gue. Udah usaha gue nggak dianggep