Sudah empat puluh delapan menit lebih aku menunggu Bu Jenny di lobby kantornya, namun dia masih belum juga datang sesuai dengan janjinya. Terakhir kali, sekitar tiga puluh lima menit yang lalu, sekretaris Bu Jenny memintaku untuk menunggu terlebih dahulu karena urusan Bu Jenny masih belum selesai. Dan aku dengan sopan menuruti permintaan tersebut, meski sebenarnya aku ingin sekali menolak dan langsung kembali ke kampus. Menunggu adalah salah satu hal yang paling aku benci di dunia ini. Apalagi jika yang ditunggu juga sejak beberapa hari yang lalu, selalu berhasil membuatku kesal karena perilaku mereka yang seenaknya dan tidak mau tahu bagaimana rasanya berada di posisiku. Menunggu itu tidak mudah bagiku. Apalagi menunggu di dalam ketidak pastian. Dan hal ini hanya membuatku semakin gelisah saja. + Ya ampun… Gimana ini? Abis ini gue meeting sama Pak Dekan dan gue masih belum menghasilkan kemajuan satu pun… Gue pikir, Bu Jenny hari ini bisa lebih kooperatif dan meringankan pekerja
“Kamu masa masalah seperti ini saja bisa sampe lama sekali buat menyelesaikannya?” Tanya Pak Dekan sambil menatapku dengan sorot mata yang heran. Setelah aku panjang lebar menjelaskan kepadanya tentang semua yang sudah terjadi, Pak Dekan masih saja bersikap tidak pengertian dan terkesan merendahkanku. “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak. Saya juga sudah lakukan banyak cara. Tapi, Bu Jenny masih belum bisa ditemui. Dan semua yang sudah terjadi itu di luar kendali saya.” “Kamu jangan pasrah gitu aja dong. Kalo belum berhasil berarti kamu tidak bisa mengatakan bahwa usaha kamu sudah maksimal.” + PASRAH?! Lo bilang gue apa? Pasrah? Belum maksimal pala lo! Gila aja lo nggak tau di lapangan kayak gimana! Coba lo turun tangan sendirian bisa nggak? Seenaknya aja nih orang ngatain gue pasrah! Jangan mentang-mentang karena lo lebih tua dan punya jabatan yang lebih tinggi dari gue makanya seenak jidat lo aja kalo ngomong! Gila! Kesel banget gue. Udah usaha gue nggak dianggep
Hari ini aku sengaja membatalkan rencanaku untuk pergi ke kantor dan memilih untuk bekerja dari rumah karena Dinda. Aku sangat yakin ada sesuatu yang terjadi pada kekasihku itu, namun aku masih belum bisa mengetahuinya secara pasti. Dari gerak-geriknya, sorot matanya, dan intonasi suara Dinda mengatakan bahwa dia sedang membutuhkanku. Aku masih belum tahu apa yang sedang terjadi padanya, tapi aku akan berusaha supaya dia mau menceritakannya kepadaku hari ini juga. Dan ketika tadi Dinda baru saja sampai di rumah, dia langsung memelukku dengan erat, seolah seperti orang yang sudah lama tidak bertemu denganku. Senyumnya mengembang kepadaku, namun sorot matanya tidak bisa menipuku. Dia terlihat sedih, akan tetapi dia juga berusaha menutupinya dengan menciumi wajahku terlebih dahulu. Aku langsung menyambut ciuman Dinda dengan menyentuhnya, sambil perlahan aku membuka helaian bajunya satu per satu. Dan tentu saja aku tidak pernah menolak jika Dinda juga mau bercinta denganku. Kita berdua
“Oke, aku sekarang paham lebih banyak lagi sama semua rencana kamu. Tapi, aku masih ada yang belum paham, sayang. Kenapa kamu nggak mau Gagas sama Kevin tau kalo kamu dibalik semua ini? Karena kalo menurutku, kalo sampe mereka berdua tau kamu bantuin mereka, Gagas sama Kevin bakalan dengan senang hati bantuin kamu juga.” “No… Biarin aja mereka nggak tau apa-apa, demi kebaikan dan keamanan mereka berdua juga. Kalo sampe Mirza dan gerombolannya yang keroyok kalian, atau temen-temen kamu yang lainnya tau aku bantuin kalian, Gagas dan Kevin bakalan jadi sasaran amuk lagi sama Mirza dan komplotannya yang anarkis itu. Trus, kalo kamu keseret lagi sama masalah ini gimana?” “Lalu, kalo sampe dari pihak dosen atau staff di kampus ada yang tau kalo aku yang ternyata ada di belakang kalian semua, maka aku yang akan kena sasaran. Aku yang akan kena sasaran amuk Pak Dekan, Pak Henry, beberapa dosen, dan beberapa staff yang nggak suka sama aku…” “Nggak suka sama kamu? Maksud kamu nggak suka yang
“Dan soal Bu Jenny, Pak Henry, juga siapa aja yang terlibat… mulai sekarang kamu nggak sendirian. Ada aku dan aku akan bantuin kamu buat selesaiin ini.” “Cukup bujuk Gagas sama Kevin aja. Kamu fokus sama sidang skripsi ya…” Kata Dinda sambil membersihkan sisa-sisa air matanya. “Bisa lah, sayang. Kan aku ‘seorang Deo’, masa dapet nilai ‘A’ aja nggak bisa?” Aku sengaja mengembalikan perkataan Dinda yang sebelumnya hingga dia tersenyum geli. “Kamu tenang aja, aku masih bisa dapet nilai sempurna dan bantuin kamu.” Dinda tersenyum dan mengangguk. “Thank you…” “Nanti pas masalah Bu Jenny selesai, aku juga lulus, trus kita bisa bebas pacaran. Aku juga bisa belain kamu kalo ada yang macem-macem sama kamu di kampus…” Senyum Dinda sudah mulai lebih lebar daripada sebelumnya. “Tadi aku ke kantor Bu Jenny lagi, lalu resepsionisnya nitipin pesen kalo Bu Jenny baru aja berangkat ke Jepang, dan baru balik ke Jakarta lagi itu hari Senin minggu depan. Dan aku pasang target, pokoknya satu minggu k
“Laki lo di mana? Kok sepi?” Tanya Salma yang baru saja duduk di sofa ruang tengah. “Lagi pergi sama temen-temennya.” Jawabku sambil berjalan ke arah dapur. “Ngurus masalah yang gue ceritain ke lo kemaren…” “Ohh…” Ketika aku kembali ke sofa ruang tengah dengan membawa segelas jus jeruk, Salma sudah tidak ada di tempat semula lagi. “Sal?” Panggilku sambil memandangi sekeliling. Aku meletakkan dua gelas di atas meja terlebih dahulu, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk tamu. “Sal?” Panggilku sambil mengetuk pintu kamar mandi tersebut. “Lo di dalem?” “Iya, bentar…” “Ohh, oke. Gue tunggu di sofa…” Kataku yang kemudian berjalan kembali ke sofa ruang tengah. Beberapa menit kemudian, Salma kembali menghampiriku yang sedang sibuk membaca buku melalui tablet. “Sakit perut lo? Lama bener di kamar mandi…” Tanyaku sambil meletakkan tabletku ke atas meja. “Nggak. Gue lagi ngecek ini.” Jawab Salma sambil mengangkat alat pengecek kehamilan. “Lo hamil?” Tanyaku dengan intonasi suara yang s
Aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mempengaruhi Kevin dan Gagas supaya mereka berdua mau membuat laporan ke pihak yang berwajib. Dan sesuai dengan permintaan Dinda, aku merahasiakan keterlibatannya untuk membantu Kevin dan Gagas. Setelah mengurus semuanya, baru lah aku kembali pulang untuk makan siang bersama dengan Dinda. “Sayang?” Panggilku lagi setengah berteriak sambil berjalan masuk ke kamar tidur. “Sebentar…” Terdengar suara Dinda dari dalam kamar mandi. Aku berjalan kembali ke sofa tengah untuk menunggu Dinda, sambil membawa pizza dan es krim rasa durian yang Dinda minta ketika aku sedang dalam perjalanan pulang tadi. + Lah, penuh bener ini meja… + Aku berjalan kembali ke arah dapur untuk meletakkan empat kotak pizza di atas kitchen island, dan memasukkan kotak es krim ke dalam freezer terlebih dahulu. Meja yang ada di dekat sofa ruang tengah aku rapikan terlebih dahulu. Tablet dan beberapa buku yang berserakkan langsung aku tata supaya tidak memakan tempat. Kota
“Ya kan karena kena AC, makanya dingin. Aku nggak sakit kok. Tapi, memangnya aku keliatan pucet ya?” “Iya, lumayan. Kamu beneran nggak sakit? Atau lemes mungkin?” “Lemes doang sih ini.” + Bener kan dia hamil… Ini gue mesti to the point sih, nggak bisa gue pancing-pancing doang… + Aku menghela nafas pelan sekali lalu menatap kedua mata Dinda. “Sayang, kamu jujur sekarang sama aku. Kamu hamil ya?” “Hah? Kamu mau ngatain aku gendutan?” Tanya Dinda yang kemudian memegang perutnya sendiri. “Nggak gitu, sayang. Aku nggak ngomentarin berat badan kamu. Kamu jujur sama aku, kamu hamil kan?” Tanyaku sekali lagi. “Nggak kok. Aku nggak hamil. Perut aku agak buncit dikit lagi kalo duduk karena minggu ini aku nggak ada workout, bukan karena aku lagi hamil.” “Jangan bohong sama aku. Ini apa?” Tanyaku sambil menyodorkan test pack yang tadi aku temukan secara tidak sengaja. “Ini mah bukan punya aku.” Kata Dinda sambil mengamati test pack yang dia pegang. “Trus punya siapa lagi kalo bukan