“Kenapa jam segini baru pulang?” Tanya Dinda ketika aku menghampirinya yang sedang duduk di sofa sambil mengerjakan sesuatu di tablet kerjanya. “Aku tadi nungguin Prof. Djarot buat minta tanda tangan. Lalu anterin Kevin sama Gagas ke rumah sakit dulu.” Jawabku sambil duduk dan menatap kedua mata Dinda. “Ada apa sama mereka berdua?” “Dicek lebih detil aja. Buat mastiin mereka berdua nggak ada luka di dalem dan baik-baik aja.” Jawabanku barusan tidak sepenuhnya jujur. Aku menyembunyikan fakta di mana aku meminta Kevin, dan Gagas untuk visum, karena mereka berdua masih belum mengambil keputusan untuk membawa semuanya ke jalur hukum. “Lalu? Gimana hasilnya?” “Aman.” Jawabku jujur. “Luka dalem nggak ada yang membahayakan. Cuma benturan aja. Luka luar udah diobati juga. Kevin sih yang paling parah. Dia ada banyak luka, terkilir di tangan sama kaki juga.” "Kita laporin polisi aja gimana?" + Ini memang Dinda yang udah kepikiran lapor polisi atau dia baca pikiran gue? + "Ya, coba be
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak karena perkataan Dinda terbukti benar. Aku yakin efek dari obat penghilang rasa sakit yang tadi kutelan di klinik sudah menghilang, karena sekarang aku benar-benar merasakan nyeri yang jauh lebih sakit daripada sebelumnya. + Ah, buset dah… Padahal tadi gue pas ml masih kuat-kuat aja kayak biasanya… Kenapa mesti tengah malem kayak gini sih sakitnya… Mana Dinda udah tidur lagi… + Aku menggeser tubuhku sekali lagi secara perlahan. Aku berusaha mencari posisi tidur yang nyaman, namun semua posisi yang aku coba ternyata tidak ada yang nyaman. Rasa nyeri yang luar biasa dari punggungku, sepertinya menjalar ke hampir seluruh bagian tubuhku. “Kamu kenapa?” Tanya Dinda dengan suara yang terdengar sedikit parau. Dia perlahan membuka kedua matanya dan menatapku yang hendak bergeser lagi. “Kamu kok malah bangun?” Tanyaku yang berusaha menutupi rasa sakitku. “Kamu gerak-gerak terus, jadinya aku ikutan kaget dan nggak bisa tidur…” + Buset, padahal
“Yo, gue denger dari Desi, lo tadi pagi daftar sidang ya?” Tanya Gagas yang baru saja duduk di depanku. Dia terlihat jauh lebih segar daripada kemarin, meskipun tetap saja wajahnya dihiasi dengan banyak plester. + Desi ini kerjaannya kalo di kampus sebenernya ngapain ya? Urusan gue daftar sidang aja dia sampe bisa tau segala… + “Iya. Tapi baru masuk-masukin syarat ke orang tata usaha. Masih harus diproses dulu.” “Ajegile… Itu mah lo udah tinggal nunggu dikabarin sama mbak-mbak tata usaha doang. Abis itu lo dikasih jadwal sidang, maju, lulus deh.” Kata Gagas sambil mengaduk-aduk nasi gorengnya. + Iya, bener… Gue udah ngerjain semua ujian akhir, tinggal sidang doang… Dikit lagi lulus dan nggak perlu nyembunyiin hubungan gue sama Dinda lagi… + “Yo, lo beneran udah mau maju sidang?” Tanya Kevin sambil duduk di sebelah Gagas. + Buset dah! Ini Desi lagi pasti. Berapa orang yang dia kasih tau soal hidup gue? + “Belom. Masih daftar dan kirim berkas. Belom dapet jadwal buat m
Sebelum aku kembali pulang ke rumah, aku sengaja meminta Tegar untuk mengantarkanku ke rumah sakit terlebih dahulu. Sebenarnya aku yakin tidak ada yang terlalu parah, akan tetapi aku sengaja melakukan cek secara menyeluruh demi menuruti keinginan Dinda. Aku juga membeli beberapa obat yang aku butuhkan dan semuanya aku sesuaikan dengan saran dokter. Sesampainya di rumah, aku langsung menghampiri Dinda untuk menunjukan hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Dia sedang duduk di atas sofa sambil membaca sesuatu di tabletnya, dan mengunyah jeruk bali yang terlihat begitu segar. “Kamu udah beli obat juga kan?” Tanya Dinda setelah membaca hasil laporan pemeriksaanku. “Udah, sayang…” Jawabku sambil mengambil potongan jeruk bali yang ada di atas piring. “Terus gimana? Punggung kamu masih sakit?” “Nggak. Baik-baik aja. Aku dua jam yang lalu udah minum obat lagi kok.” “Ada yang mau aku omongin sama kamu.” Kata Dinda yang kemudian mematikan tabletnya, dan meletakkannya di atas meja. + Kayakn
Hari ini aku masih harus datang lagi ke kampus pagi-pagi sekali karena mengumpulkan persyaratan pengajuan sidang skripsi yang kemarin masih kurang sedikit untuk aku lengkapi terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa mendapatkan hasil jadwal sidang skripsi. Awalnya aku ingin langsung pergi ke kantor saja untuk menyicil beberapa pekerjaanku yang sengaja aku tunda, akan tetapi, karena pihak tata usaha mengatakan jadwal sidang skripsiku akan keluar setelah jam makan siang, maka aku memutuskan untuk stay di kampus lebih lama lagi. Aku lumayan malas mondar-mandir antara kantor dan kampus, ditambah lagi jalanan di Jakarta yang juga sama sekali tidak lancar, terutama di pagi hari. + Seinget gue, jadwal Dinda hari ini itu ada yang di kampus S1. Dia juga tadi pagi bilang ada meeting sama Pak Dekan. Harusnya sih sekitar empat puluh lima menitan lagi Dinda nyampe kampus… Gue pesen kopi dulu aja kali ya? Baru abis itu cari tempat yang sepi biar gue bisa sambil kerja… + Baru saja aku hendak m
Sudah empat puluh delapan menit lebih aku menunggu Bu Jenny di lobby kantornya, namun dia masih belum juga datang sesuai dengan janjinya. Terakhir kali, sekitar tiga puluh lima menit yang lalu, sekretaris Bu Jenny memintaku untuk menunggu terlebih dahulu karena urusan Bu Jenny masih belum selesai. Dan aku dengan sopan menuruti permintaan tersebut, meski sebenarnya aku ingin sekali menolak dan langsung kembali ke kampus. Menunggu adalah salah satu hal yang paling aku benci di dunia ini. Apalagi jika yang ditunggu juga sejak beberapa hari yang lalu, selalu berhasil membuatku kesal karena perilaku mereka yang seenaknya dan tidak mau tahu bagaimana rasanya berada di posisiku. Menunggu itu tidak mudah bagiku. Apalagi menunggu di dalam ketidak pastian. Dan hal ini hanya membuatku semakin gelisah saja. + Ya ampun… Gimana ini? Abis ini gue meeting sama Pak Dekan dan gue masih belum menghasilkan kemajuan satu pun… Gue pikir, Bu Jenny hari ini bisa lebih kooperatif dan meringankan pekerja
“Kamu masa masalah seperti ini saja bisa sampe lama sekali buat menyelesaikannya?” Tanya Pak Dekan sambil menatapku dengan sorot mata yang heran. Setelah aku panjang lebar menjelaskan kepadanya tentang semua yang sudah terjadi, Pak Dekan masih saja bersikap tidak pengertian dan terkesan merendahkanku. “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak. Saya juga sudah lakukan banyak cara. Tapi, Bu Jenny masih belum bisa ditemui. Dan semua yang sudah terjadi itu di luar kendali saya.” “Kamu jangan pasrah gitu aja dong. Kalo belum berhasil berarti kamu tidak bisa mengatakan bahwa usaha kamu sudah maksimal.” + PASRAH?! Lo bilang gue apa? Pasrah? Belum maksimal pala lo! Gila aja lo nggak tau di lapangan kayak gimana! Coba lo turun tangan sendirian bisa nggak? Seenaknya aja nih orang ngatain gue pasrah! Jangan mentang-mentang karena lo lebih tua dan punya jabatan yang lebih tinggi dari gue makanya seenak jidat lo aja kalo ngomong! Gila! Kesel banget gue. Udah usaha gue nggak dianggep
Hari ini aku sengaja membatalkan rencanaku untuk pergi ke kantor dan memilih untuk bekerja dari rumah karena Dinda. Aku sangat yakin ada sesuatu yang terjadi pada kekasihku itu, namun aku masih belum bisa mengetahuinya secara pasti. Dari gerak-geriknya, sorot matanya, dan intonasi suara Dinda mengatakan bahwa dia sedang membutuhkanku. Aku masih belum tahu apa yang sedang terjadi padanya, tapi aku akan berusaha supaya dia mau menceritakannya kepadaku hari ini juga. Dan ketika tadi Dinda baru saja sampai di rumah, dia langsung memelukku dengan erat, seolah seperti orang yang sudah lama tidak bertemu denganku. Senyumnya mengembang kepadaku, namun sorot matanya tidak bisa menipuku. Dia terlihat sedih, akan tetapi dia juga berusaha menutupinya dengan menciumi wajahku terlebih dahulu. Aku langsung menyambut ciuman Dinda dengan menyentuhnya, sambil perlahan aku membuka helaian bajunya satu per satu. Dan tentu saja aku tidak pernah menolak jika Dinda juga mau bercinta denganku. Kita berdua
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…