Percakapanku dan Dinda selanjutnya, mendadak harus terhenti karena layar head unit yang ada di tengah mobil, menampilkan panggilan telepon dari ‘Tukang Ngidam Di Luar Nalar’. Seketika aku langsung menepikan mobilku ke pinggir jalan dengan hati-hati, dan memelankan laju kecepatan mobilku.+Mau ngomel-ngomel apa lagi nih ibu hamil satu…Gangguin orang lagi pacaran aja dah…Udah tau hari Sabtu juga…+“Ini siapa yang telepon kamu?” Dinda bertanya sambil menatap panggilan telepon dari Hanna yang tertera di layar.“Sayang, bentar ya. Ini ndoro ratu lagi mau ngomel soalnya…” Kataku dengan cepat. Dinda menatapku dengan bingung, namun dia tetap mengangguk.Jari telunjuk kiriku kemudian menyentuh layar untuk menerima panggilan telepon dari Hanna yang sudah ketiga kalinya. “Gimana? Udah ketemu belom?” Tanyaku sambil fokus mengamati jalanan di sekitarku yang saat ini sedang tidak terlalu padat.Suara tangisan Hanna mendadak terdengar lumayan kencang untukku dan Dinda. Dan karena ponselku sedang
Aku kemudian mengakhiri percakapan kita berempat dan menghela nafas panjang. Sementara Dinda memasukkan alamat ke dalam google maps, supaya aku bisa mengikuti arah jalan ke tujuan yang dimaksud oleh Dinda tadi.“Sayang, kamu beneran yakin di toko buah ini ada yang jualan manggis isi tujuh?” Tanyaku sambil mengamati peta jalan yang tertera di layar head unit.“Yakin. Udah, kamu nyetir aja dulu. Nanti juga bakalan liat sendiri…”“Oke…” Aku menghela nafas pelan sekali lagi. “Hanna… Hanna…” Keluhku sambil menggelengkan kepalaku.Dinda tertawa geli dan menatapku. “Jadi tukang ngidam di luar nalar itu Hanna? Kamu iseng banget sih kasih namanya…”“Kamu denger sendiri tadi dia kayak apa. Terakhir kali malah, yang sebelum aku anterin dia ke SG, yang waktu itu kita ketemu, dia minta pisang goreng yang baru aja digoreng. Tapi mintanya dibeliin di penjual yang gerobak jualannya itu warna pink. Mana minta difotoin gerobaknya lagi.”Dinda tertawa geli sekali lagi. “Trus, akhirnya dapet sesuai keing
Dinda tersenyum kepadaku. “Lalu, kalo soal dia yang percaya mitos, dan ngidam yang aneh-aneh, I think itu salah satu faktornya karena pengaruh dari Mamanya Roy deh. Selama ini, mungkin aja, Mama mertua yang paling rutin jengukin Hanna. Mungkin juga, yang paling sering ngajakin Hanna ngobrol atau doing something together. Jadi Hanna ngerasa terhibur dan terobati rasa kesepiannya…”“Dari situ, secara nggak langsung, Hanna jadi ‘ngidolain’ Mama mertua, yang menurut dia jauh lebih mengerti soal kebutuhan psikisnya. Makanya, Mamanya Roy mau bilang apa aja, pasti Hanna bakalan belain dan nurut. Nggak peduli itu masuk akal, atau nggak…”“Jadi, kalo sampe Hanna ngidam yang di luar nalar, itu sebenernya cara komunikasinya Hanna aja ke Roy, dan orang-orang yang ada di sekitarnya… Memang agak aneh dan nggak bisa dilogika juga. Tapi, sebenernya makes sense kok, kalo dilihat lebih dalem lagi, dan dicari tau penyebabnya itu apa.”“Soalnya Hanna itu butuh human interaction yang real and genuine. Dia
Secara garis besar, semua pusat toko buah pasti terlihat sama. Ada berbagai macam jenis buah lokal maupun impor, label nama dan keterangan mengenai setiap macam buah itu sendiri, sekaligus label harga yang tertera di setiap jenis buah. Dan sejauh kedua mataku bisa menemukan, aku masih belum melihat ada label keterangan mengenai buah manggis yang memiliki isi tujuh.“Bukan dijual khusus isi tujuh kayak yang kamu pikir gitu…” Kata Dinda sambil mengajakku mendekat ke area salah satu rak buah yang berukuran lumayan cukup besar, dan berisikan buah manggis yang terlihat masih segar. “Harus kita yang milih sendiri…” Dinda mengendus satu butir buah manggis yang sedang dipegangnya itu. “Ini wanginya masih fresh. Enak… Aku juga mau ah… Kamu mau nggak?”“Boleh deh, mau. Memang boleh dibuka dulu ya?” Tanyaku sambil menirukan Dinda untuk mengendus satu butir buah manggis, karena aku penasaran dengan wangi fresh yang dimaksud oleh Dinda tadi.“Nggak usah dibuka. Bentar, aku cariin dua dulu buat con
Sudah sekitar dua minggu lebih, aku menjalani peran tambahan dan melakukan tanggung jawab sementara di kampus S1. Dan sejauh ini, kekhawatiranku mengenai hubunganku dengan Deo tidak menjadi kenyataan. Deo benar-benar bisa menepati janjinya untuk merahasiakan hubungan kita. Bahkan, selama jam kerjaku di kampus S1, Deo juga tetap bisa menjaga sikapnya dan menjalani kesepakatan kita dengan baik. Tanpa sepengetahuan dia, aku sengaja memantau perkembangan kegiatan perkuliahannya. Dan Deo menepati janjinya juga untuk lebih rajin kuliah. Bahkan, Deo sudah tidak lagi memiliki catatan bolos atau izin seperti sebelumnya. Selain itu, aku juga beberapa kali sempat menyaksikan sendiri bahwa Deo lebih sering melakukan konsultasi skripsi dengan dosen pembimbingnya, dan menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengerjakan skripsinya. Meskipun aku tidak berada di posisi Deo, namun aku bisa mengerti bahwa semua usaha yang dia sudah lakukan itu harus melewati proses yang tidak mudah. Membagi waktu ant
“Aduh, Win, sori, gue telat…” Kataku sambil berjalan menuju ke mejaku. “Ada masalah tadi di seminar.” Tas kerja dan tas laptop aku letakkan di atas meja kerja terlebih dahulu. “Masalah apaan?” Erwin menatapku dengan heran. Aku mendengus pelan. “Lo udah makan belom?” “Belom. Gue sengaja nungguin lo sekalian.” “Kalo kita bahas CSR sambil makan gimana? Sekalian gue kasih tau, tadi ada drama apa di seminar...” “Oke. Bentar. Gue save dulu ini…” Erwin langsung kembali fokus dengan komputer kerjanya. Dompet dan ponsel, segera aku keluarkan dari dalam tas. Kemudian tas kerja dan tas laptop aku kunci di dalam laci penyimpanan seperti biasanya, dan kuncinya selalu aku simpan di saku bajuku. Walaupun ruangan dosen terbilang cukup aman dan dilengkapi dengan kamera CCTV, tetap saja aku harus waspada dan menjaga barang-barangku dengan baik. + Laptop gue kalo ilang, masih bisa beli lagi. Tapi buat balikin semua data yang ada di dalemnya itu butuh waktu. Dan itu artinya, kerjaan gue bakalan
Pintu lift kemudian terbuka, dan Erwin mempersilahkan Rika dan Deo untuk masuk terlebih dahulu. Baru setelah itu, aku dan Erwin masuk belakangan.+Ini cewek yang namanya Rika kok kayaknya deket banget ya sama Deo…Di kelas gue juga, mereka berdua selalu duduk sebelahan…+“Kalian berdua mau turun di lantai berapa?” Tanya Erwin kepada Deo dan Rika. Sementara aku tetap berdiri diam dan menatap pintu lift yang tertutup.“Sama kok, Pak.” Jawab Rika. “Udah dipencet duluan sama Pak Erwin.”“Oh, oke kalo gitu.”+Backstreet nggak enak juga ya ternyata…Gue dari dulu paling benci sama acting, eh malah sekarang paling sering gue lakuin…+“Bubu, kita jadinya mau makan apa?” Di tengah keheningan kita berempat, mendadak telingaku yang sisi kanan, bisa mendengar suara manja Rika dengan sangat jelas. Dan tanpa menoleh pun, aku tahu bahwa dia sedang berbicara kepada Deo. Bukan Erwin, apalagi aku.+Bubu?+“Oh, okay, My Bubu…” Rika masih terdengar manja dan mesra.+My Bubu?Deo barusan ngomong ap
Aku dan Erwin kemudian segera bagi tugas. Seperti biasa, Erwin yang pesan makanan dan minuman, sedangkan aku yang mencari tempat duduk. Dan kali ini, aku mencari area yang paling pojok supaya kita berdua bisa bercengkerama dengan lebih bebas.“Makanannya nggak lo tungguin?” Tanyaku ketika Erwin duduk di depanku.“Gue disuruh duduk dulu sama ibunya. Nanti dianterin katanya.”“Duh, anak emas ibu-ibu soto betawi nih…” Kataku sambil tersenyum.Erwin tertawa. “Keseringan pesen gue…”“Aduh, Win, gue lupa ngomong sama lo tadi! Lo bilang sambelnya dipisah nggak?”“Udaaahh. Sambel dipisah, sama es jeruk nggak pake gula.”Aku tersenyum senang karena Erwin sudah hafal dengan kebiasaanku. “Thank you ya!”Erwin tersenyum sambil mengangguk. “Sampe mana tadi kita ngomong?”“Oke! Gue ceritain dari awal aja ya… Jadi, seminar tuh kan awalnya lancar-lancar aja nih. Tapi, pas bagian si Pak H ini buat ngisi acara, mendadak ada mahasiswi S2 yang teriak-teriak dari kursi peserta…” Aku melirik ke sekitarku s