Mataku sedang tidak salah melihat. Sudah kupastikan dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki, dan aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang sangat aku rindukan itu dengan sangat jelas. Meskipun saat ini, dia menggunakan kacamata hitam yang menutupi kedua mata indahnya, aku tetap yakin bahwa perempuan itu adalah Dinda.“Dinda!” Senyumku mengembang dan perasaanku senang luar biasa. Aku langsung berjalan menghampirinya dan meninggalkan Hanna untuk sementara.Dinda yang tadinya berdiri tidak jauh di depanku, mendadak menggerakkan kakinya ke arah kiriku. Dia lalu berjalan begitu saja dan pergi menjauhiku dengan cepat. Aku sangat yakin bahwa Dinda juga sebenarnya bisa mengetahui keberadaanku, sekalipun aku tidak bisa melihat arah sorot matanya dengan jelas.+Shit! Dinda beneran marah sama gue.+“Han, sori. Gue…”“Oke. Oke. Gue gampang. Udah cepetan susul sana! Buruan!” Kata Hanna dengan cepat. Aku yakin, dia juga bisa memahami situasi yang sedang terjadi di antara aku dan Dinda saat in
“Sekali lagi kamu ngikutin aku, aku laporin kamu ke security.” Ancam Dinda dengan serius dan bergegas meninggalkanku.“Dinda, tunggu dulu.” Aku segera berlari dan berdiri di depan Dinda persis. “Hanna bukan istriku. Dia sepupuku. Anak yang di perutnya juga bukan anakku. Itu anak dia sama suaminya dia sendiri.” Kataku sambil terus berusaha untuk menghalangi Dinda yang masih saja berusaha untuk menghindariku.Dinda mendengus pelan dan menatapku dengan sinis. “Minggir.” Katanya sambil berusaha untuk mencari celah dan bergegas pergi.“Aku bisa buktiin.” Kataku dengan cepat sambil terus menghalangi Dinda. “Aku bisa buktiin. Please, dengerin aku dulu. Please.”Dinda mendengus pelan. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dadanya, dan menatap kedua mataku dengan tajam. “Fine. Satu menit.”“Satu menit?”“Ya udah, kalo nggak mau.” Kata Dinda sambil berusaha untuk kembali berjalan lagi.“Oke. Oke. Oke... Aku bisa buktiin.” Kataku sambil berpikir dengan cepat dan meraba ponselku yang ada
“Sama…” Dinda kemudian membalas pelukanku.Kedua mataku masih terpejam dan aku tersenyum semakin lebar. Tidak ada yang bisa mengalahkan bahagiaku sekarang ini. Aku benar-benar ingin menikmati kita yang saling memeluk, dan kita yang saling melepas kerinduan.“Jalan yuk?” Ajakku sambil meregangkan pelukanku supaya aku bisa menatap wajah Dinda lagi.“Astaga!” Dinda langsung melepas pelukannya dan terlihat seperti teringat akan sesuatu. “Nggak bisa. Sori. Aku mesti balik ke kamar buat packing.”“Packing? Mau pulang?" Dinda mengangguk sambil menatapku. “Besok pagi aku pulang ke Indonesia.”+Lah, baru juga seneng…Udah apes lagi gue.Sabar… Sabar... Cinta itu kata kerja, bukan kata benda…+“Aku bantuin mau nggak?”“Hmm… Oke deh." Dinda mengangguk dan tersenyum kepadaku. "Ayo…” Dia kemudian kembali berjalan menuju ke lift yang sebelumnya kita gunakan.“Ini kita mau pergi ke mana dulu?” Tanyaku dengan sedikit bingung karena Dinda yang berbalik arah, dan tidak berjalan lurus menyusuri korid
“Pagi. Sekitar jam sepuluh.” Jawab Dinda sambil memegang kedua tanganku.“Aku anterin ya besok?”“Memang kamu nggak ada kegiatan?” Tanya Dinda sambil sedikit menoleh ke samping belakang, untuk melirik ke arah wajahku.“Bisa diatur kalo itu.”“Tapi aku kalo ke bandara, suka minimal dua atau tiga jam sebelum penerbangan loh.”“Bisa diatur juga.”“Oke.” Dinda kemudian tersenyum dan kembali menatap lurus ke depan.Selama berada di dalam lift, Dinda membiarkanku untuk terus memeluknya dari belakang. Dan sesekali, aku juga menciumi rambutnya yang wangi. Entah apa yang sekarang lima orang itu sedang pikirkan, yang jelas, aku ingin mereka paham bahwa Dinda itu milikku dan jangan diganggu.Tak lama kemudian, pintu lift terbuka lagi di lantai dua belas. Aku dan Dinda ke luar bersama-sama, tanpa menoleh ke belakang. “Aku tau ya, kamu tadi ngapain…” Kata Dinda sambil mencari sesuatu di dalam tasnya. Aku langsung tersenyum karena paham dengan kata-kata Dinda barusan. "Mataku nggak cuma bisa ngeli
Dinda mempersilahkanku untuk minum, kemudian duduk di sofa yang ada di depanku. “Kalo kita ngobrol, tapi aku sambil packing, kamu tersinggung nggak?” Tanya Dinda setelah aku selesai meneguk minumanku.“Kita ngobrol, sambil kita packing.” Jawabku sambil menatap kedua mata Dinda, dan meletakkan botol minumanku di atas meja.“No. Udah kubilang tadi itu bercanda. Barangku terlalu banyak soalnya. Jadi kita ngobrol, aku sambil packing.”“Kalo dikerjain sama dua orang, jadi lebih ringan dan cepet selesainya. Kita ngobrol, sambil kita packing. Bareng-bareng.”Dinda berpikir sejenak. “Alright... Kamu udah makan?”“Barusan. Tadi Hanna ngidam makanan Italia. Aku sekalian ikut makan jadinya.”Kedua mata Dinda terbelalak, seperti sedang terkejut dan menyadari sesuatu, di saat yang bersamaan. “Hold on. Sepupu kamu tadi, kamu tinggalin di lobby gitu aja?”Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Aku tadi memang rencananya cuma mau temenin Hanna nunggu taksi.""Ohh... Memangnya nggak apa-apa kal
“Dinda…”“Hmm?”“Kamu percaya takdir nggak?” Tanyaku ketika kita hampir selesai untuk mengemas semua barang yang tadi bertebaran dan berantakan di kamar hotel Dinda.Dinda menghela nafas pelan. Ia lalu menoleh ke arahku dan menatapku untuk beberapa detik saja. “Percaya…” Jawab Dinda yang kemudian tersenyum. Kedua sorot matanya seperti sedang menerawang jauh, entah ke mana. “Kadang... di dalam hidup ini, ada banyak hal yang bisa terjadi di luar kendali, dan kapasitas kita sebagai manusia…”Aku mengamati Dinda sebentar. Entah mengapa, aku merasa ada kesedihan di balik kata-katanya barusan. Padahal Dinda menyampaikannya dengan intonasi suara yang cukup tenang dan santai.“Kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal takdir?” Tanya Dinda kemudian.Aku tersenyum dan merenung sebentar. “Aku hampir booking kamar di hotel lain. Tadinya sengaja cari hotel yang deket sama rumah sakit, biar Hanna lebih gampang aja aksesnya. Tapi, dia nggak mau. Dia mintanya hotel yang deket mall sama resto-resto yang dia
Aku tersenyum lalu menghela nafas pelan. “Aku belum punya pacar. Belum punya istri dan belum punya anak juga. Jadi kamu nggak perlu ngerasa bersalah lagi. Karena aku paham. Aku bisa ngerti kenapa kamu ninggalin aku gitu aja, dan sengaja menghindari aku berhari-hari… Nggak ada kesalahan yang perlu kamu tebus. Jadi, next dinner is on me. Okay?”Dinda masih menatapku dan diam saja. Namun, kali ini, tatapannya seolah berbicara bahwa dia sedang memikirkan dan menyembunyikan sesuatu.“Deo…” Dinda berhenti sejenak, dan kembali menatapku secara serius. “…aku baru aja putus.”+Here we go…+“Kamu boleh nggak percaya, tapi… aku sama sekali nggak ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atau pelarian.”“I trust you, Dinda.” Kataku jujur, lalu tersenyum.“Aku nggak punya bukti, kalo aku nggak lagi manfaatin kamu.”Aku tersenyum lebih lebar lagi. “Nggak perlu.” Kataku yang kemudian meneguk kopiku lagi.“Nggak perlu, dan kamu percaya gitu aja sama aku?”Aku mengangguk sambil tersenyum. “When you know
“Ya, kalo sekarang… sedihku itu sebenernya karena aku ngerasa kecewa sama diriku sendiri.” Dinda menghela nafas pelan.“Kecewa karena kamu udah terlalu percaya sama dia?” Tanyaku yang berusaha menebak.Dinda menatap kedua mataku dan mengangguk. “Aku… sebenernya udah ngerasa kalo ada yang nggak beres. Tapi selalu aku kesampingkan, karena nggak ada bukti sama sekali, dan aku juga nggak suka ngeributin hal yang sepele atau nggak jelas. Biar gimanapun, aku pernah sayang sama dia. Jadi, aku berusaha untuk kasih kepercayaan dan pengertian ke dia.”“Tapi ternyata, aku salah… Kalau aja waktu itu aku dengerin hati aku ngomong apa, pasti aku nggak akan bersikap masa bodoh dan terlalu percaya sama dia… Memang sih, semuanya yang udah terjadi itu bisa aku jadiin pelajaran di hidup aku. Tapi aku nggak mau munafik sama perasaanku sekarang. Kita kan jadi temen baik dulu, sebelum akhirnya bisa pacaran tiga tahun. Dan selama pacaran juga, kita nggak pernah berantem kayak anak kecil. Biarpun ending-nya,