+Cinta itu kata kerja… bukan kata benda.+Kalimat dari Hanna barusan seperti memiliki kekuatan untuk menyihir suasana hatiku yang sebelumnya tidak menentu. Senyumku mengembang tulus karena ada kelegaan dan kesadaran baru yang diriku sangat butuhkan saat ini. “Thanks, Han!” Kataku dengan penuh rasa syukur.Hanna tersenyum dan mengangguk. “Anterin gue turun, please. Gue nggak mau nunggu taksi sendirian soalnya...”“Oke…” Kataku sambil membantu Hanna untuk perlahan bangkit berdiri.---“Lo beneran nih, nggak mau ikutan gue sama Roy?” Tanya Hanna ketika pintu lift terbuka, dan kita berdua hendak berjalan ke luar.“No, thank you…” Jawabku sambil mengawasi langkah kaki Hanna dan merangkul pundaknya. “Gue mau ngerjain tugas.”“Aduh! Bentar, Yo!” Hanna mendadak seperti menahan rasa sakit dan berjalan pelan ke tepi kiri.Perasaanku mendadak menjadi khawatir. “Hah? Kenapa bayi lo?” Tanyaku pada Hanna yang sibuk memandangi perutnya sambil terus mengelus. “Han?” Tanyaku lagi.“Nggak. Nggak apa-
Mataku sedang tidak salah melihat. Sudah kupastikan dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki, dan aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang sangat aku rindukan itu dengan sangat jelas. Meskipun saat ini, dia menggunakan kacamata hitam yang menutupi kedua mata indahnya, aku tetap yakin bahwa perempuan itu adalah Dinda.“Dinda!” Senyumku mengembang dan perasaanku senang luar biasa. Aku langsung berjalan menghampirinya dan meninggalkan Hanna untuk sementara.Dinda yang tadinya berdiri tidak jauh di depanku, mendadak menggerakkan kakinya ke arah kiriku. Dia lalu berjalan begitu saja dan pergi menjauhiku dengan cepat. Aku sangat yakin bahwa Dinda juga sebenarnya bisa mengetahui keberadaanku, sekalipun aku tidak bisa melihat arah sorot matanya dengan jelas.+Shit! Dinda beneran marah sama gue.+“Han, sori. Gue…”“Oke. Oke. Gue gampang. Udah cepetan susul sana! Buruan!” Kata Hanna dengan cepat. Aku yakin, dia juga bisa memahami situasi yang sedang terjadi di antara aku dan Dinda saat in
“Sekali lagi kamu ngikutin aku, aku laporin kamu ke security.” Ancam Dinda dengan serius dan bergegas meninggalkanku.“Dinda, tunggu dulu.” Aku segera berlari dan berdiri di depan Dinda persis. “Hanna bukan istriku. Dia sepupuku. Anak yang di perutnya juga bukan anakku. Itu anak dia sama suaminya dia sendiri.” Kataku sambil terus berusaha untuk menghalangi Dinda yang masih saja berusaha untuk menghindariku.Dinda mendengus pelan dan menatapku dengan sinis. “Minggir.” Katanya sambil berusaha untuk mencari celah dan bergegas pergi.“Aku bisa buktiin.” Kataku dengan cepat sambil terus menghalangi Dinda. “Aku bisa buktiin. Please, dengerin aku dulu. Please.”Dinda mendengus pelan. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dadanya, dan menatap kedua mataku dengan tajam. “Fine. Satu menit.”“Satu menit?”“Ya udah, kalo nggak mau.” Kata Dinda sambil berusaha untuk kembali berjalan lagi.“Oke. Oke. Oke... Aku bisa buktiin.” Kataku sambil berpikir dengan cepat dan meraba ponselku yang ada
“Sama…” Dinda kemudian membalas pelukanku.Kedua mataku masih terpejam dan aku tersenyum semakin lebar. Tidak ada yang bisa mengalahkan bahagiaku sekarang ini. Aku benar-benar ingin menikmati kita yang saling memeluk, dan kita yang saling melepas kerinduan.“Jalan yuk?” Ajakku sambil meregangkan pelukanku supaya aku bisa menatap wajah Dinda lagi.“Astaga!” Dinda langsung melepas pelukannya dan terlihat seperti teringat akan sesuatu. “Nggak bisa. Sori. Aku mesti balik ke kamar buat packing.”“Packing? Mau pulang?" Dinda mengangguk sambil menatapku. “Besok pagi aku pulang ke Indonesia.”+Lah, baru juga seneng…Udah apes lagi gue.Sabar… Sabar... Cinta itu kata kerja, bukan kata benda…+“Aku bantuin mau nggak?”“Hmm… Oke deh." Dinda mengangguk dan tersenyum kepadaku. "Ayo…” Dia kemudian kembali berjalan menuju ke lift yang sebelumnya kita gunakan.“Ini kita mau pergi ke mana dulu?” Tanyaku dengan sedikit bingung karena Dinda yang berbalik arah, dan tidak berjalan lurus menyusuri korid
“Pagi. Sekitar jam sepuluh.” Jawab Dinda sambil memegang kedua tanganku.“Aku anterin ya besok?”“Memang kamu nggak ada kegiatan?” Tanya Dinda sambil sedikit menoleh ke samping belakang, untuk melirik ke arah wajahku.“Bisa diatur kalo itu.”“Tapi aku kalo ke bandara, suka minimal dua atau tiga jam sebelum penerbangan loh.”“Bisa diatur juga.”“Oke.” Dinda kemudian tersenyum dan kembali menatap lurus ke depan.Selama berada di dalam lift, Dinda membiarkanku untuk terus memeluknya dari belakang. Dan sesekali, aku juga menciumi rambutnya yang wangi. Entah apa yang sekarang lima orang itu sedang pikirkan, yang jelas, aku ingin mereka paham bahwa Dinda itu milikku dan jangan diganggu.Tak lama kemudian, pintu lift terbuka lagi di lantai dua belas. Aku dan Dinda ke luar bersama-sama, tanpa menoleh ke belakang. “Aku tau ya, kamu tadi ngapain…” Kata Dinda sambil mencari sesuatu di dalam tasnya. Aku langsung tersenyum karena paham dengan kata-kata Dinda barusan. "Mataku nggak cuma bisa ngeli
Dinda mempersilahkanku untuk minum, kemudian duduk di sofa yang ada di depanku. “Kalo kita ngobrol, tapi aku sambil packing, kamu tersinggung nggak?” Tanya Dinda setelah aku selesai meneguk minumanku.“Kita ngobrol, sambil kita packing.” Jawabku sambil menatap kedua mata Dinda, dan meletakkan botol minumanku di atas meja.“No. Udah kubilang tadi itu bercanda. Barangku terlalu banyak soalnya. Jadi kita ngobrol, aku sambil packing.”“Kalo dikerjain sama dua orang, jadi lebih ringan dan cepet selesainya. Kita ngobrol, sambil kita packing. Bareng-bareng.”Dinda berpikir sejenak. “Alright... Kamu udah makan?”“Barusan. Tadi Hanna ngidam makanan Italia. Aku sekalian ikut makan jadinya.”Kedua mata Dinda terbelalak, seperti sedang terkejut dan menyadari sesuatu, di saat yang bersamaan. “Hold on. Sepupu kamu tadi, kamu tinggalin di lobby gitu aja?”Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Aku tadi memang rencananya cuma mau temenin Hanna nunggu taksi.""Ohh... Memangnya nggak apa-apa kal
“Dinda…”“Hmm?”“Kamu percaya takdir nggak?” Tanyaku ketika kita hampir selesai untuk mengemas semua barang yang tadi bertebaran dan berantakan di kamar hotel Dinda.Dinda menghela nafas pelan. Ia lalu menoleh ke arahku dan menatapku untuk beberapa detik saja. “Percaya…” Jawab Dinda yang kemudian tersenyum. Kedua sorot matanya seperti sedang menerawang jauh, entah ke mana. “Kadang... di dalam hidup ini, ada banyak hal yang bisa terjadi di luar kendali, dan kapasitas kita sebagai manusia…”Aku mengamati Dinda sebentar. Entah mengapa, aku merasa ada kesedihan di balik kata-katanya barusan. Padahal Dinda menyampaikannya dengan intonasi suara yang cukup tenang dan santai.“Kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal takdir?” Tanya Dinda kemudian.Aku tersenyum dan merenung sebentar. “Aku hampir booking kamar di hotel lain. Tadinya sengaja cari hotel yang deket sama rumah sakit, biar Hanna lebih gampang aja aksesnya. Tapi, dia nggak mau. Dia mintanya hotel yang deket mall sama resto-resto yang dia
Aku tersenyum lalu menghela nafas pelan. “Aku belum punya pacar. Belum punya istri dan belum punya anak juga. Jadi kamu nggak perlu ngerasa bersalah lagi. Karena aku paham. Aku bisa ngerti kenapa kamu ninggalin aku gitu aja, dan sengaja menghindari aku berhari-hari… Nggak ada kesalahan yang perlu kamu tebus. Jadi, next dinner is on me. Okay?”Dinda masih menatapku dan diam saja. Namun, kali ini, tatapannya seolah berbicara bahwa dia sedang memikirkan dan menyembunyikan sesuatu.“Deo…” Dinda berhenti sejenak, dan kembali menatapku secara serius. “…aku baru aja putus.”+Here we go…+“Kamu boleh nggak percaya, tapi… aku sama sekali nggak ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atau pelarian.”“I trust you, Dinda.” Kataku jujur, lalu tersenyum.“Aku nggak punya bukti, kalo aku nggak lagi manfaatin kamu.”Aku tersenyum lebih lebar lagi. “Nggak perlu.” Kataku yang kemudian meneguk kopiku lagi.“Nggak perlu, dan kamu percaya gitu aja sama aku?”Aku mengangguk sambil tersenyum. “When you know
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…