“Deo!” Suara Hanna mengagetkanku. “Ngelamun lagi deh! Keburu dingin spaghetti-nya…” Kata Hanna sambil mengeluarkan lipstick dan cermin kecil dari dalam tasnya.Aku mendengus malas, lalu melanjutkan makananku lagi. Mulutku sibuk mengunyah gurihnya aglio e olio yang tadi dibeli Hanna di salah satu restoran Italia favoritnya.Biasanya, Hanna hanya mau membeli makanan yang enak atau enak sekali, tapi kali ini, rasanya biasa saja di lidahku. Sama seperti spaghetti gurih yang sudah pernah aku makan sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Meskipun Hanna berkali-kali mengkomentari betapa nikmatnya makanan yang dimasak langsung oleh juru masak yang berasal dari kota Napoli, salah satu kota terbesar ketiga yang ada di Italia.“Masih belum dibales juga?” Tanya Hanna ketika tangan kiriku meraih ponselku kembali.“Belum.” Jawabku singkat. Tidak ada pemberitahuan apa pun dari seseorang yang sangat aku harapkan dan kutunggu-tunggu sejak minggu lalu.“Udah di-read belum?”“Belum kayaknya.”“Kayaknya?”“
“Lo mau gue jawab jujur nggak?” Tanyaku yang kemudian tersenyum menyeringai.“Iyuuhh... Nggak mau denger!” Hanna memukul lenganku secara pelan. “Adinda pernah ikut kontes kecantikan nggak sih?”“Setau gue nggak pernah. Kayaknya dia bukan tipe orang yang suka ikut-ikut kontes kecantikan deh…”“Ohh…” Hanna kemudian terdiam sesaat. Dan aku menghabiskan makananku. “Menurut gue, lo ini kayaknya kena karma deh, Yo…”“Karma apaan?”“Teori gue nih ya, dia udah tau kalo lo suka gonta-ganti cewek dan nggak ada yang lo seriusin. Makanya dia nge-cut lo gitu aja.”“Lo barusan ngomong, seolah gue ini Cassanova yang nggak punya hati sama sekali.”Hanna mendengus geli. “Sekarang gue tanya deh sama lo… Berapa banyak cewek yang pernah deket sama lo, atau lo deketin?”“Nggak pernah gue itung.”“Trus, dari semua cewek yang pernah lo tidurin sebelumnya, ada yang pernah lo pacarin nggak?”“Nggak ada.” Jawabku jujur. “Dan bukan nidurin namanya, kalo mereka dalam keadaan sadar, tanpa paksaan, nawarin diri se
+Cinta itu kata kerja… bukan kata benda.+Kalimat dari Hanna barusan seperti memiliki kekuatan untuk menyihir suasana hatiku yang sebelumnya tidak menentu. Senyumku mengembang tulus karena ada kelegaan dan kesadaran baru yang diriku sangat butuhkan saat ini. “Thanks, Han!” Kataku dengan penuh rasa syukur.Hanna tersenyum dan mengangguk. “Anterin gue turun, please. Gue nggak mau nunggu taksi sendirian soalnya...”“Oke…” Kataku sambil membantu Hanna untuk perlahan bangkit berdiri.---“Lo beneran nih, nggak mau ikutan gue sama Roy?” Tanya Hanna ketika pintu lift terbuka, dan kita berdua hendak berjalan ke luar.“No, thank you…” Jawabku sambil mengawasi langkah kaki Hanna dan merangkul pundaknya. “Gue mau ngerjain tugas.”“Aduh! Bentar, Yo!” Hanna mendadak seperti menahan rasa sakit dan berjalan pelan ke tepi kiri.Perasaanku mendadak menjadi khawatir. “Hah? Kenapa bayi lo?” Tanyaku pada Hanna yang sibuk memandangi perutnya sambil terus mengelus. “Han?” Tanyaku lagi.“Nggak. Nggak apa-
Mataku sedang tidak salah melihat. Sudah kupastikan dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki, dan aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang sangat aku rindukan itu dengan sangat jelas. Meskipun saat ini, dia menggunakan kacamata hitam yang menutupi kedua mata indahnya, aku tetap yakin bahwa perempuan itu adalah Dinda.“Dinda!” Senyumku mengembang dan perasaanku senang luar biasa. Aku langsung berjalan menghampirinya dan meninggalkan Hanna untuk sementara.Dinda yang tadinya berdiri tidak jauh di depanku, mendadak menggerakkan kakinya ke arah kiriku. Dia lalu berjalan begitu saja dan pergi menjauhiku dengan cepat. Aku sangat yakin bahwa Dinda juga sebenarnya bisa mengetahui keberadaanku, sekalipun aku tidak bisa melihat arah sorot matanya dengan jelas.+Shit! Dinda beneran marah sama gue.+“Han, sori. Gue…”“Oke. Oke. Gue gampang. Udah cepetan susul sana! Buruan!” Kata Hanna dengan cepat. Aku yakin, dia juga bisa memahami situasi yang sedang terjadi di antara aku dan Dinda saat in
“Sekali lagi kamu ngikutin aku, aku laporin kamu ke security.” Ancam Dinda dengan serius dan bergegas meninggalkanku.“Dinda, tunggu dulu.” Aku segera berlari dan berdiri di depan Dinda persis. “Hanna bukan istriku. Dia sepupuku. Anak yang di perutnya juga bukan anakku. Itu anak dia sama suaminya dia sendiri.” Kataku sambil terus berusaha untuk menghalangi Dinda yang masih saja berusaha untuk menghindariku.Dinda mendengus pelan dan menatapku dengan sinis. “Minggir.” Katanya sambil berusaha untuk mencari celah dan bergegas pergi.“Aku bisa buktiin.” Kataku dengan cepat sambil terus menghalangi Dinda. “Aku bisa buktiin. Please, dengerin aku dulu. Please.”Dinda mendengus pelan. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dadanya, dan menatap kedua mataku dengan tajam. “Fine. Satu menit.”“Satu menit?”“Ya udah, kalo nggak mau.” Kata Dinda sambil berusaha untuk kembali berjalan lagi.“Oke. Oke. Oke... Aku bisa buktiin.” Kataku sambil berpikir dengan cepat dan meraba ponselku yang ada
“Sama…” Dinda kemudian membalas pelukanku.Kedua mataku masih terpejam dan aku tersenyum semakin lebar. Tidak ada yang bisa mengalahkan bahagiaku sekarang ini. Aku benar-benar ingin menikmati kita yang saling memeluk, dan kita yang saling melepas kerinduan.“Jalan yuk?” Ajakku sambil meregangkan pelukanku supaya aku bisa menatap wajah Dinda lagi.“Astaga!” Dinda langsung melepas pelukannya dan terlihat seperti teringat akan sesuatu. “Nggak bisa. Sori. Aku mesti balik ke kamar buat packing.”“Packing? Mau pulang?" Dinda mengangguk sambil menatapku. “Besok pagi aku pulang ke Indonesia.”+Lah, baru juga seneng…Udah apes lagi gue.Sabar… Sabar... Cinta itu kata kerja, bukan kata benda…+“Aku bantuin mau nggak?”“Hmm… Oke deh." Dinda mengangguk dan tersenyum kepadaku. "Ayo…” Dia kemudian kembali berjalan menuju ke lift yang sebelumnya kita gunakan.“Ini kita mau pergi ke mana dulu?” Tanyaku dengan sedikit bingung karena Dinda yang berbalik arah, dan tidak berjalan lurus menyusuri korid
“Pagi. Sekitar jam sepuluh.” Jawab Dinda sambil memegang kedua tanganku.“Aku anterin ya besok?”“Memang kamu nggak ada kegiatan?” Tanya Dinda sambil sedikit menoleh ke samping belakang, untuk melirik ke arah wajahku.“Bisa diatur kalo itu.”“Tapi aku kalo ke bandara, suka minimal dua atau tiga jam sebelum penerbangan loh.”“Bisa diatur juga.”“Oke.” Dinda kemudian tersenyum dan kembali menatap lurus ke depan.Selama berada di dalam lift, Dinda membiarkanku untuk terus memeluknya dari belakang. Dan sesekali, aku juga menciumi rambutnya yang wangi. Entah apa yang sekarang lima orang itu sedang pikirkan, yang jelas, aku ingin mereka paham bahwa Dinda itu milikku dan jangan diganggu.Tak lama kemudian, pintu lift terbuka lagi di lantai dua belas. Aku dan Dinda ke luar bersama-sama, tanpa menoleh ke belakang. “Aku tau ya, kamu tadi ngapain…” Kata Dinda sambil mencari sesuatu di dalam tasnya. Aku langsung tersenyum karena paham dengan kata-kata Dinda barusan. "Mataku nggak cuma bisa ngeli
Dinda mempersilahkanku untuk minum, kemudian duduk di sofa yang ada di depanku. “Kalo kita ngobrol, tapi aku sambil packing, kamu tersinggung nggak?” Tanya Dinda setelah aku selesai meneguk minumanku.“Kita ngobrol, sambil kita packing.” Jawabku sambil menatap kedua mata Dinda, dan meletakkan botol minumanku di atas meja.“No. Udah kubilang tadi itu bercanda. Barangku terlalu banyak soalnya. Jadi kita ngobrol, aku sambil packing.”“Kalo dikerjain sama dua orang, jadi lebih ringan dan cepet selesainya. Kita ngobrol, sambil kita packing. Bareng-bareng.”Dinda berpikir sejenak. “Alright... Kamu udah makan?”“Barusan. Tadi Hanna ngidam makanan Italia. Aku sekalian ikut makan jadinya.”Kedua mata Dinda terbelalak, seperti sedang terkejut dan menyadari sesuatu, di saat yang bersamaan. “Hold on. Sepupu kamu tadi, kamu tinggalin di lobby gitu aja?”Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Aku tadi memang rencananya cuma mau temenin Hanna nunggu taksi.""Ohh... Memangnya nggak apa-apa kal