“Kondom kemaren kepake kan?”“Masih tersegel.” Jawabku dengan jujur. “Mau gue paketin ke Bali buat lo?”Salma menjawab pertanyaanku dengan tawa. “Jangan bilang ke gue, lo kemaren pulang langsung molor?”+Buset dah, Salma…Untung gue pinter ya…Jadi gue bisa tau triknya dia kalo lagi ngorek info…Gue kerjain balik ahh…+Aku tersenyum menyeringai. “Nggak dong. Emang cuma lo doang yang bisa have fun?”“WHAT?” Aku langsung menjauhkan ponselku karena suara Salma yang terdengar terlalu kencang untuk telinga kananku.“Buset dah!” Aku menempelkan ponselku kembali ke telinga kananku. “Untung reflek gue masih bagus ya. Kalo nggak, bisa tuli beneran gue.”“Kondom beneran belom lo buka? Siapa orangnya? Gue kenal nggak? Ketemu di ‘Bear and Bar’ juga? Trus, gimana kalian? Cuma date doang kah? Atau lanjut? Bisa bikin lo orgasme nggak tuh cowok?”“Ada deh…” Jawabku santai sambil tersenyum.“Dindaaaaa! Sumpah ya, lo itu nyebelin banget, banget, banget, tau nggak! Ceritain ke gue. Se-ka-rang!”“Nanti
Hari ini adalah hari kelima aku berada di Singapura. Rasanya sedikit lelah, senang, bersyukur, dan lega, bercampur menjadi satu karena pekerjaanku berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun sempat terjadi beberapa kendala teknis selama berada di Singapura, akan tetapi, semuanya bisa teratasi dengan baik karena aku dikelilingi Rangga, Arum, Lista, dan juga Stella yang sangat suportif dan bisa profesional dalam bekerja. Dan karena mereka berempat jugalah, waktu senggangku di sini, menjadi terasa lebih menyenangkan.“Ngga, tapi lo tuh mesti awasin pergerakannya Elisa loh. Lo mesti tau, dia di medsos ngapain aja. Gue tuh tau persis karakter dia kayak gimana soalnya.” Kata Stella sambil mengambil cangkir kopinya, ketika aku kembali duduk di sofa yang ada di sebelahnya.“Set dah! Ngapain gue ngurusin Elisa? Kurang kerjaan banget...”“Ya, nggak sampe ngurusin dia juga kali… Maksud gue, lo tuh mesti up to date sama kasus Bu Henny dan Elisa ini. Biarpun mereka bukan dari agency kita, tetep aja
“Banyak banget tau! Kata-kata nggak baik dikeluarin semuanya sama dia... Yang ngatain gue sama Arutala bakalan bangkrut lah, apa lah, semuanya aja tuh suka-suka mulut dia! Belum lagi, dia juga dengan songongnya ngomong…” Rangga merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak, ekspresinya menjadi galak, dan tangannya menunjuk-nunjuk marah ke arah Stella dan aku secara bergantian. “…asal lo tau ya! Di dunia ini, nggak ada hal yang nggak bisa gue beli! Bahkan harga diri lo aja, bisa gue beli!” Rangga berusaha menirukan Elisa yang sedang mengamuk, namun dengan suara yang hanya bisa didengar olehku yang kemudian terbelalak karena heran, dan Stella yang malah tertawa geli, seolah dia sudah tidak heran lagi.“Serius dia ngomong kayak gitu, Ngga?” Tanyaku yang masih tidak habis pikir.“Barusan itu malah belum seberapa ya, Din. Masih banyak umpatan dia ke gue dan Arutala. Dan gue masih inget semuanya dengan jelas, karena cuma dia yang tega ngata-ngatain Arutala paling jahat. Lo bisa tanya Arum sam
“Deo!” Suara Hanna mengagetkanku. “Ngelamun lagi deh! Keburu dingin spaghetti-nya…” Kata Hanna sambil mengeluarkan lipstick dan cermin kecil dari dalam tasnya.Aku mendengus malas, lalu melanjutkan makananku lagi. Mulutku sibuk mengunyah gurihnya aglio e olio yang tadi dibeli Hanna di salah satu restoran Italia favoritnya.Biasanya, Hanna hanya mau membeli makanan yang enak atau enak sekali, tapi kali ini, rasanya biasa saja di lidahku. Sama seperti spaghetti gurih yang sudah pernah aku makan sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Meskipun Hanna berkali-kali mengkomentari betapa nikmatnya makanan yang dimasak langsung oleh juru masak yang berasal dari kota Napoli, salah satu kota terbesar ketiga yang ada di Italia.“Masih belum dibales juga?” Tanya Hanna ketika tangan kiriku meraih ponselku kembali.“Belum.” Jawabku singkat. Tidak ada pemberitahuan apa pun dari seseorang yang sangat aku harapkan dan kutunggu-tunggu sejak minggu lalu.“Udah di-read belum?”“Belum kayaknya.”“Kayaknya?”“
“Lo mau gue jawab jujur nggak?” Tanyaku yang kemudian tersenyum menyeringai.“Iyuuhh... Nggak mau denger!” Hanna memukul lenganku secara pelan. “Adinda pernah ikut kontes kecantikan nggak sih?”“Setau gue nggak pernah. Kayaknya dia bukan tipe orang yang suka ikut-ikut kontes kecantikan deh…”“Ohh…” Hanna kemudian terdiam sesaat. Dan aku menghabiskan makananku. “Menurut gue, lo ini kayaknya kena karma deh, Yo…”“Karma apaan?”“Teori gue nih ya, dia udah tau kalo lo suka gonta-ganti cewek dan nggak ada yang lo seriusin. Makanya dia nge-cut lo gitu aja.”“Lo barusan ngomong, seolah gue ini Cassanova yang nggak punya hati sama sekali.”Hanna mendengus geli. “Sekarang gue tanya deh sama lo… Berapa banyak cewek yang pernah deket sama lo, atau lo deketin?”“Nggak pernah gue itung.”“Trus, dari semua cewek yang pernah lo tidurin sebelumnya, ada yang pernah lo pacarin nggak?”“Nggak ada.” Jawabku jujur. “Dan bukan nidurin namanya, kalo mereka dalam keadaan sadar, tanpa paksaan, nawarin diri se
+Cinta itu kata kerja… bukan kata benda.+Kalimat dari Hanna barusan seperti memiliki kekuatan untuk menyihir suasana hatiku yang sebelumnya tidak menentu. Senyumku mengembang tulus karena ada kelegaan dan kesadaran baru yang diriku sangat butuhkan saat ini. “Thanks, Han!” Kataku dengan penuh rasa syukur.Hanna tersenyum dan mengangguk. “Anterin gue turun, please. Gue nggak mau nunggu taksi sendirian soalnya...”“Oke…” Kataku sambil membantu Hanna untuk perlahan bangkit berdiri.---“Lo beneran nih, nggak mau ikutan gue sama Roy?” Tanya Hanna ketika pintu lift terbuka, dan kita berdua hendak berjalan ke luar.“No, thank you…” Jawabku sambil mengawasi langkah kaki Hanna dan merangkul pundaknya. “Gue mau ngerjain tugas.”“Aduh! Bentar, Yo!” Hanna mendadak seperti menahan rasa sakit dan berjalan pelan ke tepi kiri.Perasaanku mendadak menjadi khawatir. “Hah? Kenapa bayi lo?” Tanyaku pada Hanna yang sibuk memandangi perutnya sambil terus mengelus. “Han?” Tanyaku lagi.“Nggak. Nggak apa-
Mataku sedang tidak salah melihat. Sudah kupastikan dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki, dan aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang sangat aku rindukan itu dengan sangat jelas. Meskipun saat ini, dia menggunakan kacamata hitam yang menutupi kedua mata indahnya, aku tetap yakin bahwa perempuan itu adalah Dinda.“Dinda!” Senyumku mengembang dan perasaanku senang luar biasa. Aku langsung berjalan menghampirinya dan meninggalkan Hanna untuk sementara.Dinda yang tadinya berdiri tidak jauh di depanku, mendadak menggerakkan kakinya ke arah kiriku. Dia lalu berjalan begitu saja dan pergi menjauhiku dengan cepat. Aku sangat yakin bahwa Dinda juga sebenarnya bisa mengetahui keberadaanku, sekalipun aku tidak bisa melihat arah sorot matanya dengan jelas.+Shit! Dinda beneran marah sama gue.+“Han, sori. Gue…”“Oke. Oke. Gue gampang. Udah cepetan susul sana! Buruan!” Kata Hanna dengan cepat. Aku yakin, dia juga bisa memahami situasi yang sedang terjadi di antara aku dan Dinda saat in
“Sekali lagi kamu ngikutin aku, aku laporin kamu ke security.” Ancam Dinda dengan serius dan bergegas meninggalkanku.“Dinda, tunggu dulu.” Aku segera berlari dan berdiri di depan Dinda persis. “Hanna bukan istriku. Dia sepupuku. Anak yang di perutnya juga bukan anakku. Itu anak dia sama suaminya dia sendiri.” Kataku sambil terus berusaha untuk menghalangi Dinda yang masih saja berusaha untuk menghindariku.Dinda mendengus pelan dan menatapku dengan sinis. “Minggir.” Katanya sambil berusaha untuk mencari celah dan bergegas pergi.“Aku bisa buktiin.” Kataku dengan cepat sambil terus menghalangi Dinda. “Aku bisa buktiin. Please, dengerin aku dulu. Please.”Dinda mendengus pelan. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dadanya, dan menatap kedua mataku dengan tajam. “Fine. Satu menit.”“Satu menit?”“Ya udah, kalo nggak mau.” Kata Dinda sambil berusaha untuk kembali berjalan lagi.“Oke. Oke. Oke... Aku bisa buktiin.” Kataku sambil berpikir dengan cepat dan meraba ponselku yang ada