Semakin aku berusaha untuk menjadi yang terbaik, semakin aku tertinggal jauh. Seperti kawanan burung-burung yang kehilangan jejak temannya. Menyebalkan, pasti. Tapi aku bisa apa ? selain merutuki diri sendiri. Kehidupan, kekejaman, hingga berujung pada kekecewaan.
Saat tiba di dalam kelas, mata pelajaran tidak langsung di mulai. Harus butuh beberapa menit hingga guru bidang studi datang ke ruangan. Nampak Pak Edo dengan membawa penggaris kayunya serta satu buku pelajaran matematika.
“Selamat pagi semuanya !” sapa pak Edo saat tiba di kursi guru.
“Pagi pak,” jawab siswa yang ada di ruangan itu secara serentak.
“Silahkan buka halaman 53 di buku masing-masing. Hari ini kita akan belajar mengenai sudut dan macam-macamnya.”
Siswa yang ada di ruangan itu serentak membuka buku mata pelajarannya dan mulai memperhatikan penjelasan pak Edo di depan kelas.
“Sudut khusus (sering pula disebut dengan sebagai sudut istimewa) adalah suatu sudut dimana nilai perbandingan trigonometrinya dapat ditentukan secara langsung tanpa menggunakan daftar sudut-sudut yang besarnya...,” jelas pak Edo yang sedang membawakan materi pelajaran matematika. Namun dari arah kursi paling belakang tampak Jenni yang sedang menguap dan mencoba menahan kantuknya.
Sambil mecoret-coret bukunya akhirnya Jenni pun kepikiran untuk main surat-suratan dengan Lisa yang duduk tepat di sampingnya. “Lis, lo bertanya deh!” tulis Jenni di bagian belakang buku catatannya.
“Tanya apaan?” jawab Lisa saat melihat pesan yang di tulis Jenni untuknya.
“Menurut lo mereka pacaran atau tidak?”
“Aduh Jen, kita tuh lagi belajar.”
“Ahhh alasan aja lo Lis, biasanya juga lo nggak merhatiin kok.”
“Tapi kali ini gue merhatiin Jen. Udahlah, lo belajar aja deh.”
“Ayolah Lis, cepetan. Lo buruan tanya Rose, kan lo sebelahan duduk dengan dia, kalau gue kan jauh. Masih ada lo yang menghalangi.”
“Tanyakan sendiri pada Rose.”
“Ya elah, lo kan yang sebelahan Lis. Ayolah !”
“Enyahlah Jenn. Sumpah nyebelin banget sih nih bocah satu. Bikin darah tinggi gue kumat aja,” batin Lisa.
Lisa mencoba mengacuhkan permintaan Jenni, tapi ternyata Jenni tidak hanya tinggal diam. Ia masih memiliki seribu satu cara agar apa yang diinginkannya segera terwujud. Tak puas diabaikan Lisa, jenni pun menyikut tangan Lisa hingga membuat Lisa tak nyaman dan merasa terganggu. Dengan sangat terpaksa, Lisa pun memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan yang di maksud oleh Jenni tadi kepada Rose yang duduk di samping kanan kursinya.
“Rose,” panggil Lisa setengah berbisik.
“Hemm.” Rose tidak menoleh. Ia masih saja fokus ke depan papan tulis untuk memperhatikan mata pelajaran yang sedang dibawakan oleh Pak Edo.
“Lo pacaran yah sama Jim Jim.”
“Kan udah gue bilang tadi kalau gue nggak ada hubungan apa-apa dengan Jimmy. Eh tunggu, kenapa lo panggil Jimmy dengan sebutan nama Jim Jim ?”
“Em, nggak ada alasan sih. Biar singkat aja,” jawab Lisa dengan sedikit gugup. “Oh iya gimana perasaan lo soal penyebar hoax tentang hubungan lo dengan Vie?” lanjutnya lagi untuk mengalihkan perhatian Rose terkait pertanyaannya tadi.
“Gue juga nggak tahu, dan nggak mau ngurusin juga sih. Enggak penting juga kan Lis.”
“Hei kalian berdua! Lisa, Rose. Jangan ngobrol kalau sementara ada mata pelajaran kayak gini.” Gertak pak Edo yang sedari tadi memperhatikan keduanya yang sedang asyik mengobrol.
“Iya Pak, maaf.” Timpal Rose dengan sangat cepat. Ia sungguh tidak ingin jika pak Edo semakin marah padanya.
“Bagaimana dengan kamu Lisa ?” tanya Pak Edo sambil tersenyum kecut ke arah Lisa. “Kalian berdua memang berteman dan bersebelahan duduk tapi belum tentu nilai ujian kalian nanti bisa sama-sama bagus. Astaga! Ada-ada saja yah kamu Lisa. Bapak minta untuk berhenti mengobrol saat mata pelajaran saya sedang berlangsung, meskipun kalian adalah teman dekat sekalipun,” lanjut pak Edo sambil memandang sinis Lisa.
“Iya pak,” Jawab Lisa dengan penuh semangat.
“Itu memang hanya sekedar umpatan-umpatan biasa tapi terdengar begitu sangat kasar, hemmmm. Seperti sebelumnya, aku selalu berada jauh di belakang Rose. Sangat jauh dan tidak mungkin dapat ku jangkau,” batin Lisa dengan segala kekecewaannya.
Sementara di kelas XI IPS-1, Jimmy, Vie dan Rey baru saja selesai belajar mata pelajaran Sejarah. Tepat di kursi bagian belakang terdapat Vie dan Rey yang kebetulan duduk bersebelahan, sedangkan Jimmy duduk tepat di depan Vie. Mereka bertiga sedang asyik dengan kegiatan masing-masing. Jimmy sedang asyik mengerjakan PR sejarah yang baru saja diberikan oleh Bu Yeni. Vie yang sibuk dengan musik MP3 nya sedangkan Rey sibuk mengotak-atik handphonenya.
“Vie liat deh yang ini, gimana ?” seru Rey sambil menyodorkan handphonenya. Sayangnya Vie malah tidak melirik sama sekali.
“Eh Jim, kapan lo akan mulai pacaran terus kencan gitu?” tanya Rey sambil menoleh ke arah Jimmy yang berada tepat di depan kursi V.
“Gue ? Pacaran ? sama siapa ?”
“Ya sama Rose lah.”
“Gue atau Vie?” Jimmy mengangkat kedua alisnya, sambil menunjuk kepada Vie.
“Kok malah ke gue ?” spontan Vie menjawab karena mendengar namanya disebut-sebut.
“Abisnya yang digosipin jadian sama Rose kan lo, kok gue yang malah ditanyain kapan bakal mulai pacaran dengan Rose. Kan aneh bro.”
“Kan itu gosip doang. Paling juga hoax, gimana sih lo Jim. Itu tuh cuma akal-akalannya anak-anak yang kepengen cari cerita baru aja. Lagian kan sebelum belajar tadi Vie udah jelasin kok. Ah udahlah nggak usah cari-cari alasan lo Jim. Jangan main-main loh.”
“Gue sukanya sama orang lain Rey, bukan sama Rose.”
“Udahlah Jimmy, gue dan semua orang juga tahu kalau lo tuh sukanya sama Rose,” jawab Rey ngegas.
Jim tertawa mendengar Rey yang masih saja kukuh dengan pendapatnya yang absurd. “Nggak, bukan Rose yang gue suka kok,” jawab Jimmy berusaha untuk meyakinkan temannya.
Belum sempat Rey menjawab perkataan Jimmy tiba-tiba handphonenya berbunyi, tanda ada pesan w******p masuk.
“ Hei, panjang umur nih anak. Padahal baru aja diomongin udah muncul aja di handphone gue. Katanya Rose sama Lisa baru saja dimarahi habis-habisan pas mata pelajaran matematika barusan,” ucap Rey sambil membaca pesan yang dikirim Jenni padanya.
“Seriusan lo?” tanya Jimmy.
“Nih,” sambil memperlihatkan isi pesan yang dikirim Jenni kepada Rey.
“Gue mau ke kantin nih, yuk! Sekalian gue mau nyamperin Rose, Lisa sama Jenni,” ucap Jimmy sehabis membaca pesan dari Jenni di ponsel Rey.
“Ya udah berangkat om,” jawab Rey dan Vie bersamaan.
“Menurut lo Jim, apa penyebab mereka di marahi habis-habisan ? bukannya Rose anak baik dan pintar yah ?” tanya Rey saat perjalanan menuju kelas temannya itu.
“Maybe.”
keduanya saling berpandangan penuh tanya.
Di kelas XI IPA-3, Jenni sedang sibuk dengan selfie di kamera handphonenya. Salah satu kebiasaannya disaat waktu jeda seperti sekarang ini. mengumpulkan foto selfie untuk diupload dan dijadikan story di laman instagramnya. Di samping kanannya ada Rose yang sedang asyik mengulang pelajaran matematika yang berlangsung beberapa menit yang lalu. Serta tersisa Lisa yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bertumpu pada mejanya sendiri. Benar-benar kebiasaan buruk Lisa yang sangat sulit untuk di hilangkan. Selang beberapa menit setelahnya nampak dari arah pintu kelas terlihat Jimmy, Vie dan Rey yang perlahan menghampiri mereka bertiga. Jimmy tiba-tiba mengagetkan Rose yang tengah berkonsentrasi belajar dengan duduk tepat dihadapannya. “Katanya lo di marahi yah?” ucap Jimmy kepada Rose. Pandangannya kini fokus pada kedua bola mata Rose. Mendengar gesekan kursi yang di timbulkan dari tingkah Jimmy spontan membuat Lisa jadi terbangun dan lanjut memperhatikan Jimmy yang tengah menatap Rose seolah
“Astaga, tuh kan mati lagi,” keluh Rose sambil menarik nafas panjang. “Padahal hari ini benar-benar materi favorit gue. Gue jadi nggak bisa ikutan karena harus memperbaiki handphone gue dulu,” lanjutnya. “Yang namanya hidup ya gitu Rose. Nggak ada yang benar-benar mudah. Selalu saja ada begitu banyak masalah yang entah datang dari benua mana.” “Eh tapi bukannya orang dewasa bakalan ketawa kalau dengar anak belasan tahun ngomong kayak gitu,” Rose menanggapi perkataan Lisa sambil tertawa bahagia. “Iya juga sih, kok bisa-bisanya anak sekolahan mengkhawatirkan banyak hal.” Lisa pun ikut tertawa, tepatnya menertawai ucapannya yang sok bijak itu. “Oh iya gimana kalau gue temenin lo ke tukang service aja. Setelah itu baru kita ngumpul bareng di tempat biasa.” “Oke deh. Cuss lo hubungi Jenni biar ikutan sekalian, nanti suruh nunggu di tempat biasa aja.” “Oke deh, wait.” Sambil mengirimkan pesan singkat ke Jenni. “Lo lapar nggak Rose? Gimana kalau kita singgah makan dulu.” “Em lo mau maka
Bel sekolah berbunyi berulang kali menggelegar di setiap sudut ruangan kelas. Pertanda bahwa waktu belajar telah usai dan saatnya untuk segera berkemas pulang ke rumah masing-masing. Di dalam kelasnya kini, Lisa, Jenni dan juga Rose sedang membereskan buku-buku dan alat-alat menulis lainnya yang nampak sangat berantarakan di meja mereka masing-masing. Guru yang mengajar dijam terakhir pun pamit dengan para siswa lalu bergegas keluar dari ruang kelas XI IPA-3. Melihat guru telah keluar, Lisa dan teman-temannya pun segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar dari sana. Situasi yang sudah sejak tadi ia impi-impikan. Hari ini ketiga sejoli itu memiliki agenda untuk nongkrong di salah satu cafe tempat yang biasa mereka singgahi sebelum kembali ke rumah masing-masing. Salah satu ritual yang kerap kali mereka lakukan sebelum akhirnya sibuk dengan ujian maupun tugas-tugas sekolah. Tentu saja di tempat tersebut mereka menghabiskan dengan canda dan tawa bahagia. Ketiganya
Suara riuh kantin menjelajahi setiap sudut-sudut ruangan. Segerombolan pemuda pemudi nampak sibuk berbincang sambil meneguk minumannya serta memakan makanan yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Jam istrahat memang sudah berlangsung sejak 10 menit yang lalu. Tidak kalah dengan kawanan yang anak lainnya, kini Lisa dan gengnya pun sudah duduk santai di tengah-tengah kursi makan yang ada di kantin itu. Makanan mereka sudah nampak habis tak bersisa. Hanya beberapa sampah saja serta piring kotor yang tergeletak sembarangan di sisi meja panjang itu. Setelah menikmati makan siangnya di kantin sekolah, Jimmy, Vie, Rey, Jenni, Rose beserta Lisa langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. di tengah terik mentari yang membakar kulit, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk santai di sekitaran lapangan basket sekolah. Selain tempat di sana lumayan teduh, mereka pun masih enggan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sebab jika berada di dalam kelas yang akan mereka rasakan ha
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Pagi ini Lisa lagi lagi harus berangkat lebih awal karena harus mengikuti jadwal ayahnya yang sedang ada meeting lebih awal dengan kliennya hari ini. Sesampainya di kelas ternyata Jenni dan juga Rose belum juga datang. Dan untuk menghilangkan rasa bosannya, Lisa akhirnya memutuskan untuk berdiri di depan kelasnya sambil melihat-lihat siswa yang lalu lalang di lapagan. Di ambilnya handphone miliknya yang di simpan di saku bajunya. Setelahnya, Lisa membuka laman instagramnya dan memeriksa pemberitahuan yang masuk. Ternyata ada begitu banyak like dari foto yang diunggahnya semalam. “Yaaa kita ketemu lagi,” ucap Jimmy sambil menghampiri Lisa yang sedang sibuk dengan handphonenya. Mendengar hal itu, Lisa pun menghentikan aktifitasnya di i*******m dan beralih melihat ke arah Jimmy. “Sudah gue bilang kan Lis kalau kita itu benar-benar jodoh,” ucapnya lagi sambil memamerkan deretan gigi putihnya. “Jodoh apaan coba Jim, maksud lo apaan sih ? bukannya emang tiap hari lo lewat kelas gue sebelum
“Nggak banyak sih. Hanya apa yang akan gue lakukan dan jurusan apa yang bakal gue ambil nanti di universitas. Hanya hal-hal biasa kayak gitu kok.” “Terus? Lo mau jadi apa kedepannya Lis?” “Ha ? Gue ? Lo kan tahu sendiri sebenarnya...” Belum sempat Lisa melanjutkan jawabannya tiba-tiba Rose berteriak memanggilnya. “Liss, Liss, Lisa. Sumpah gue capek banget lari buat ngejar lo.” Ucap Rose sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan karena kelelahan berlari. “Lihat nih si calon mahasiswa jurusan seni. Yang selalu menonjol seperti biasanya.” ucap Jimmy sambil melihat ke arah Rose yang sedang ngos-ngosan. “Hei, lo itu harus hati-hati yah dengan ucapan lo. Siswa yang lainnya nanti ada yang nggak suka atau bisa saja tersinggung,” jawab Rose masih dengan napas yang tidak beraturan. “Lo berdua mau kemana ?” tanya Lisa. “Seperti biasa gue mau ke tempat les, dan rencananya sih gue mau mampir ke tempat les seni sekalian lihat-lihat dulu kalau oke gue mau ambil kelas seni buat persiapan mas
Hari jumat adalah hari nerakanya bagi siswa dan siswi SMA NUSANTARA. Di sekolah telah ditetapkan aturan baru. Untuk hari jumat di adakan kegiatan bersih-bersih. Atau istilah kerennya adalah jumat bersih. Setiap siswa dan siswi di haruskan untuk membersihkan kelas dan juga halaman sekolah sebelum melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler sekolah.Dan untuk hari jumat kali ini Rey dan juga Vie mendapatkan tugas untuk membersihkan kelasnya. Keduanya tengah memegang sapu di tangannya masing-masing. Dengan telaten Vie menyapu lantai kelasnya itu. Rey pun mencoba untuk membantu.Melihat Vie yang begitu semangat membersihkan membuat sikap jail Rey bangkit. Dengan jailnya ia berjalan mengikuti cara berjalan doraemon, mendekat ke arah Vie dan menunjuknya dengan menggunakan sapu yang di pegangnya tadi.“Sapu kejujuran. Pertanyaan kali ini terkait dengan klub basket. Yahh pemain fenomenal Vie. Gue dengar lo berubah pikiran yah dengan turnamen yang gue bilang tempo hari ? apakah itu benar adanya ?”Vi
Jenni menyantap mie ayam pesanannya. Hari ini ia benar-benar sangat lapar karena kelelahan berolahraga tadi pagi dan belum sempat makan. Istrahat kali ini ia hanya bersama dengan Rose. “Lihatlah, Lisa lagi lagi melewatkan makan siangnya dan hanya tertidur. Gue jadi sebbel sendiri kalau liat dia akhir-akhir ini tahu nggak Rose. Bukan apa-apa sih tapi gue khawatir dia kenapa-napa.”“Itu karena dia kelelahan aja Jen.”“Bukan kelelahan Rose tapi karena dia terlambat tidur dan harus bangun pagi-pagi. Dia seharusnya tidur terlambat dan datang terlambat juga. Jadi tidak mengantuk gitu di sekolah.”“Tapi Lisa kan nggak mau telat lagi Jenn.”Tidak, tidak se...”Pembicaraan Jenni berhenti ketika ada seorang siswa lelaki yang datang menghampirinya.“Jenni!”“Apaan sih, bikin kaget aja lo.”Lelaki itu lantas duduk di kursi samping tempat duduk Rose, berhadapan dengan Jenni.“Ini tentang temanmu itu lo.”“Siapa ? dia ?” menunjuk Rose dengan matanya.“Bukan, bukan dia. Temanmu yang satu lagi.”“Ohhh
"Kenapa tidak ?”“Pokoknya tidak ada alasan apapun,” ucap Vie tegas.“Ayolah aku mohon,” ucap Rey dengan wajah yang memelas.“Gue nggak mau pergi Rey. Lo maksa mulu yah.”“Lo kan udah janji sama gue Vie. Gimana sih. Lo ngeselin deh lama-lama,” ucap Rey kesal dengan sikap acuh Vie kepadanya. “Untuk memberitahu gue kenapa lo main basket sendirian,” lanjutnya.Vie menoleh, melihat ke arah Rey. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kapan gue berjanji.”Ucapan Vie barusan sontak membuat Rey melihat ke arah Vie dengan ekspresi kaget. Matanya melotot sempurna. “Astaga! Lihatlah orang ini. Sekarang malah pura-pura lupa segalanya.” Rey menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah Vie.“Gue sebenarnya nggak suka tim,” jawab Vie akhirnya.“Apa ?”“Gue nggak suka tim. Ada batasan dan semuanya benar-benar rumit. Lo harus siap untuk bersaing diantara teman lo sendiri,” ucapnya sambil terus fokus dengan buku yang terletak di mejanya.“Hei, itu hanya sebuah klub. Itu bukan dunia mereka sendiri.
Pukul 07.15 pagi, Lisa sudah berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Sedangkan Vie menunggunya di lapangan. Berbeda dari hari sebelumnya, kali ini ia datang lebih awal. Malahan, sangat awal dari biasanya. Berkat Vie yang menerornya pagi-pagi sehingga Lisa yang biasanya telat bangun hari ini dapat datang ke sekolah lebih cepat dari sebelumnya.Dengan sedikit lari-lari kecil, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di kursi taman sekolah. Menyadari keberadaan Lisa, membuat Vie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyelaraskan langkah dengan Lisa.Kali ini Vie tidak langsung menuju ke kelasnya. Ia mengikuti Lisa yang masuk ke kelasnya. Meliriknya yang sembari duduk di kursi. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, akhirnya mencoba melihat ke arah lain. Bertingkah biasa saja.Lima menit telah berlalu, namun Vie tetap saja bolak balik di dekat papan tulis kelasnya. Mencoba melihat-lihat isi ruangan itu. Dan jika tak di perhatikan oleh Lisa, ia mencuri-curi pandang hanya untuk meny
“Mungkin akan lebih keren lagi jika kalian berdua dicap sebagai siswa yang putus sekolah,” Rey pun ikut nimbrung. “Benar juga, putus sekolah kayaknya terdengar bagus, Rey. thanks yah untuk saran yang lo kasih buat kita,” ucap Lisa sambil menunduk melihat ujung sepatunya. Rey menunjuk Lisa dengan telunjuknya, melihat ke arahnya. “Kayaknya lo harus berangkat sekolah dengan Vie. Dia kan tidak pernah terlambat. Bahkan sekalipun tidak pernah.” Menyadari dirinya sedang disebut-sebut sontak membuat Vie menoleh ke arah Rey dengan mata melotot. Namun Rey hanya tersenyum manis seolah tak membuat kesalahan sedikit pun. “Oh ya ? emang iya Vie ?” tanya Lisa penasaran sambil menatap Vie dengan begitu serius, seolah menunggu jawaban darinya. Vie hanya menganggukkan kepala, malu dengan tatapan mata Lisa barusan. “Pak disiplin gitu lo,” puji Rey lagi. pelan-pelan ia menepuk bahu Vie. Lisa yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil, lucu melihat Vie yang tampak begitu malu-malu padanya. Sungguh l
Pertanyaan Jenni sontak membuat Vie terdiam sejenak. Mencoba mencari alasan yang tepat. “Komputer di rumah lagi di pake sama kakak gue, makanya gue akhirnya memutuskan untuk main di sini aja.” “Lo punya kakak ?” ucap Rey dan juga Jenni kompak sambil melototkan matanya. Kaget. Vie berpaling, melihat ke samping menyaksikan temannya yang begitu heboh. Dengan lugunya Vie menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban, Rey akhirnya mengadari tindakannya barusan. Mendadak ia baru ingat kekesalannya kepada Vie, dengan cepat ia beralih fokus ke komputernya dan melanjutkan permainan. “Ehem.” Menyadari kecanggungan antara keduanya. “Vie lo masuk yah, udah gue undang.” “Sudah gue bilang, biar gue yang kerumah tingkat dua itu,”ucap Rey kesal. “Pokoknya siapa cepat dia dapat,” Jenni membalas dengan ketus. “Oke pistol mitraliur.” Sambil tertawa tanggung Rey kembali mengejek Jenni. “Lo suka sampah yang seperti itu ?” ucapnya. “Lalu, apa yang udah lo temuin.” Sambil menoleh
“Sorry yah karena gue sudah memasukkan orang yang begitu amat hebat ke dalam tim. Gue selalu membiarkan kalian tiap kali menjailiku...” Belum sempat Rey menyelesaikan ucapannya, Vie langsung mendonggakkan kepalanya, pandangannya melihat ke arah Rey. “Lo pikir gue bakal diam aja ? Lo nggak bisa dengar yah ? Diam bangsat,” teriak Vie sambil berjalan maju mengampiri Rey dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Baru saja Vie akan melayangkan tinjunya ke wajah Rey, tiba-tiba guru olahraga datang menengahi perkelahian itu. “Hei apa yang kalian lakukan ?” teriaknya sambil berlari memisahkan Rey dan juga Vie yang sudah emosi. “Ada latihan futsal, berkemaslah. Ini bukan tempat untuk uji kekuatan tinju,” lanjutnya. Vie akhirnya meninggalkan ruangan itu, Jimmi mengejarnya dari belakang. Sedangkan Rey bersiap untuk latihannya. Jimmi berlari menghampiri Vie yang sedang duduk di taman sekolah sambil meminum kopi dinginnya. Dengan senyuman khasnya ia mencoba menghampiri, duduk di samping Vie
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di