Di kelas XI IPA-3, Jenni sedang sibuk dengan selfie di kamera handphonenya. Salah satu kebiasaannya disaat waktu jeda seperti sekarang ini. mengumpulkan foto selfie untuk diupload dan dijadikan story di laman instagramnya. Di samping kanannya ada Rose yang sedang asyik mengulang pelajaran matematika yang berlangsung beberapa menit yang lalu. Serta tersisa Lisa yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bertumpu pada mejanya sendiri. Benar-benar kebiasaan buruk Lisa yang sangat sulit untuk di hilangkan.
Selang beberapa menit setelahnya nampak dari arah pintu kelas terlihat Jimmy, Vie dan Rey yang perlahan menghampiri mereka bertiga. Jimmy tiba-tiba mengagetkan Rose yang tengah berkonsentrasi belajar dengan duduk tepat dihadapannya. “Katanya lo di marahi yah?” ucap Jimmy kepada Rose. Pandangannya kini fokus pada kedua bola mata Rose.
Mendengar gesekan kursi yang di timbulkan dari tingkah Jimmy spontan membuat Lisa jadi terbangun dan lanjut memperhatikan Jimmy yang tengah menatap Rose seolah menunggu jawaban atas pertanyaannya.
“Jimmy, lo ngagetin gue aja” celoteh Rose yang setengah kesal karena di ganggu ketika sedang serius belajar. Dengan pelan Rose mengelus dadanya. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak stabil.
“Gue nggak nyangka ternyata seorang Rose juga bisa terkena masalah,” sambung Jimmy yang diiringi dengan tertawaannya.
“Gue nggak kena masalah kok.” Rose berusaha untuk membela diri.
“Terus kalau begitu ada apa ?”
“Lo udah ngerjain PR?”
“Ha ? PR ap...”
Belum sempat Jim melanjutkan jawabannya tiba-tiba Vie datang dan menghampiri Lisa. “Hei, matematika!” ucapnya dengan wajah datarnya.
Sontak membuat Lisa menoleh dan terkejut. “Gue nggak papa kok, gue nggak dalam masalah.”
“Dia mau minjem catatan lo Lis, dia emang nggak tahu caranya ngomong lengkap. Hahahaha,” sambung Rey yang berdiri tepat di belakang Vie. Tingkah polos temannya itu berhasil membuat Rey tertawa puas.
Mendengar ucapan Rey, Lisa langsung sigap mengambil buku catatannya di tas. Dan segera menyerahkan buku itu kepada Vie.
“Pinjamin gue nanti aja.” Vie memberikan kembali buku catatan tersebut kepada Lisa. Pandangannya tidak lepas sedikit pun dari wajah cantik Lisa.
“Kenapa emangnya ?”
“Nggak kenapa-napa” jawab Vie kaku sambil melihat ke arah lain, seolah takut membalas tatapan mata Lisa.
Tingkah aneh Vie membuat Lisa menjadi heran. Lisa menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terpotong tadi karena ulah Jimmy.
“Heii, makan yuk!” ajak Jimmy dengan nada semangatnya. Baru saja Lisa mencoba menutup matanya, namun tiba-tiba Jimmy mengangetkannya lagi. Hal itu membuat Lisa terbangun kaget.
“Lo terlalu dekat kali!” keluh Lisa yang mendapati Jimmy tepat di depan wajahnya ketika Lisa membuka matanya. Jarak keduanya hanya berkisar satu jengkal saja. Dengan cepat Lisa menggeser badannya agar menjauh dari Vie.
“Kenapa emang ? lo malu yah Lis ?”
Lisa hanya menelan air liurnya sembari merapikan rambutnya yang berantakan tanpa menghiraukan ucapan Jimmy barusan.
“Astaga, lihat deh dia. Nggak baik banget, nanti malah dijadiin kebiasaan. Udah ah gue lapar, yuk makan,” ajak Jenni kepada teman-temannya.
“Ayo” Jim menimpali.
“Lis ayo,” ajak Rey yang sudah berada di luar ruang kelas Lisa.
“Iya tunggu Rey.”
Buru-buru Lisa membereskan barang-barangnya yang berantakan di mejanya. Saat semuanya telah beres, ia segera mengamil dompetnya dan menyusul Rey yang sudah berada di depan.
“Lihatlah sekarang meski segalanya tampak menyebalkan dan kadang juga membingungkan tapi gue tetap harus selalu dan selalu berusaha buat melewati apapun itu. Bahkan badai besar sekalipun. Begitulah cara untuk tumbuh dan belajar. Menambah satu angka lagi di angka tujuh belas. Gue Lisa, kenalin gue Lisa delapan belas tahun. Seorang gadis kecil, yang mencoba untuk tumbuh dan menjadi lebih dewasa lagi. Menghadapi dunia yang semakin tidak dimengerti saja.” Lisa berlari dengan segala kegelisahaannya. Dengan banyak beban yang ia pikul ia mencoba untuk tetap kuat.
Bel berbunyi berulang kali tanda pelajaran telah usah dan waktunya untuk pulang ke rumah masing-masing. Lisa dan Rose berjalan beriringan di koridor sekolah. Meskipun melewati hari yang cukup panjang karena pelajaran Fisika yang cukup membosankan namun tak membuat sedikitpun rasa lelah di wajah keduanya.
“Rose hari ini lo nggak pergi les privat bareng Jimmy?”
“Tadinya sih mau pergi tapi gara-gara handphone gue kecemplung pas ke toilet tadi siang jadinya gue mesti ke tempat service handphone dulu. Soalnya kalau nunggu abis dari les baru ke tempat service takutnya malah nggak keburu. Nyebelin baget, masa layarnya mati nyala mati nyala terus. Lihat nih.” Sambil menyodorkan handphone ke arah Lisa.
“Gue kan jadi nggak bisa ngehubungin siapa-siapa lagi, and then itu tuh nyebelin banget tahu nggak Lis,” lanjut Rose.
“Hubungin Jimmy yah?” ucap Lisa seraya melihat ke arah Rose.
“Ya nggak lah Lis. Gue juga nggak sering-sering banget kok hubungin dia. Begitu pula sebaliknya. Eh tau nggak Lis, Jimmy itu sebenarnya lagi suka sama seseorang.”
“Mungkin lo kan orangnya.” Lisa lanjut melirik Rose dengan tatapan yang penuh selidik.
“Ya kali. Emang siapa sih yang bakalan mau cerita ke orang yang dia suka kalau dia tuh lagi naksir seseorang, kan lucu aja Lis. Pastilah bukan gue orangnya. Eh liat deh handphone gue layarnya hidup lagi. Nih handphone lama-lama horor juga yah, rada-rada ada setannya gitu. Masa main hidup terus mati semaunya aja. Hahahaha aneh,” ucap Rose seraya menunjukkan ponselnya kepada Lisa.
Lisa pun melirik Handphone Rose yang rada error itu. “Handphone lo benar-benar payah, sumpah deh,” seru Lisa sambil memperhatikan handphone Rose. Tiba-tiba layarnya berkedip-kedip tanda ada pesan whatsaap masuk, dan ternyata pesan dari Jimmy. Lisa yang tidak sengaja melihat pesan dari Jimmy itu, akhirnya langsung memalingkan pandangannya dari layar handphone Rose karena merasa tak enak hati jika harus melihat pesan milik oranglain.
“Hei, Lo di mana Rose?”
“Tadi waktu kelas gue selesai gue cariin tapi nggak ketemu”
“Kata Jenni lo balik duluan bareng Lisa yah”
“Hari ini lo nggak les privat ?”
“Oh iya gue lupa, tadi kan handphone lo rusak gara-gara kecemplung pas ke toilet. Gimana mau dibalas.”
Rentetan pesan singkat yang dikirim Jimmy kepada Rose beberapa menit yang lalu. Rose pun segera membalas pesan dari Jim. “Hari ini gue mau ke tempat service handphone dulu, jadi nggak ikut les privat.” Belum sempat Rose memencet tombol kirim layarnya mendadak mati lagi.
“Astaga, tuh kan mati lagi,” keluh Rose sambil menarik nafas panjang. “Padahal hari ini benar-benar materi favorit gue. Gue jadi nggak bisa ikutan karena harus memperbaiki handphone gue dulu,” lanjutnya.
“Astaga, tuh kan mati lagi,” keluh Rose sambil menarik nafas panjang. “Padahal hari ini benar-benar materi favorit gue. Gue jadi nggak bisa ikutan karena harus memperbaiki handphone gue dulu,” lanjutnya. “Yang namanya hidup ya gitu Rose. Nggak ada yang benar-benar mudah. Selalu saja ada begitu banyak masalah yang entah datang dari benua mana.” “Eh tapi bukannya orang dewasa bakalan ketawa kalau dengar anak belasan tahun ngomong kayak gitu,” Rose menanggapi perkataan Lisa sambil tertawa bahagia. “Iya juga sih, kok bisa-bisanya anak sekolahan mengkhawatirkan banyak hal.” Lisa pun ikut tertawa, tepatnya menertawai ucapannya yang sok bijak itu. “Oh iya gimana kalau gue temenin lo ke tukang service aja. Setelah itu baru kita ngumpul bareng di tempat biasa.” “Oke deh. Cuss lo hubungi Jenni biar ikutan sekalian, nanti suruh nunggu di tempat biasa aja.” “Oke deh, wait.” Sambil mengirimkan pesan singkat ke Jenni. “Lo lapar nggak Rose? Gimana kalau kita singgah makan dulu.” “Em lo mau maka
Bel sekolah berbunyi berulang kali menggelegar di setiap sudut ruangan kelas. Pertanda bahwa waktu belajar telah usai dan saatnya untuk segera berkemas pulang ke rumah masing-masing. Di dalam kelasnya kini, Lisa, Jenni dan juga Rose sedang membereskan buku-buku dan alat-alat menulis lainnya yang nampak sangat berantarakan di meja mereka masing-masing. Guru yang mengajar dijam terakhir pun pamit dengan para siswa lalu bergegas keluar dari ruang kelas XI IPA-3. Melihat guru telah keluar, Lisa dan teman-temannya pun segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar dari sana. Situasi yang sudah sejak tadi ia impi-impikan. Hari ini ketiga sejoli itu memiliki agenda untuk nongkrong di salah satu cafe tempat yang biasa mereka singgahi sebelum kembali ke rumah masing-masing. Salah satu ritual yang kerap kali mereka lakukan sebelum akhirnya sibuk dengan ujian maupun tugas-tugas sekolah. Tentu saja di tempat tersebut mereka menghabiskan dengan canda dan tawa bahagia. Ketiganya
Suara riuh kantin menjelajahi setiap sudut-sudut ruangan. Segerombolan pemuda pemudi nampak sibuk berbincang sambil meneguk minumannya serta memakan makanan yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Jam istrahat memang sudah berlangsung sejak 10 menit yang lalu. Tidak kalah dengan kawanan yang anak lainnya, kini Lisa dan gengnya pun sudah duduk santai di tengah-tengah kursi makan yang ada di kantin itu. Makanan mereka sudah nampak habis tak bersisa. Hanya beberapa sampah saja serta piring kotor yang tergeletak sembarangan di sisi meja panjang itu. Setelah menikmati makan siangnya di kantin sekolah, Jimmy, Vie, Rey, Jenni, Rose beserta Lisa langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. di tengah terik mentari yang membakar kulit, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk santai di sekitaran lapangan basket sekolah. Selain tempat di sana lumayan teduh, mereka pun masih enggan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sebab jika berada di dalam kelas yang akan mereka rasakan ha
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Pagi ini Lisa lagi lagi harus berangkat lebih awal karena harus mengikuti jadwal ayahnya yang sedang ada meeting lebih awal dengan kliennya hari ini. Sesampainya di kelas ternyata Jenni dan juga Rose belum juga datang. Dan untuk menghilangkan rasa bosannya, Lisa akhirnya memutuskan untuk berdiri di depan kelasnya sambil melihat-lihat siswa yang lalu lalang di lapagan. Di ambilnya handphone miliknya yang di simpan di saku bajunya. Setelahnya, Lisa membuka laman instagramnya dan memeriksa pemberitahuan yang masuk. Ternyata ada begitu banyak like dari foto yang diunggahnya semalam. “Yaaa kita ketemu lagi,” ucap Jimmy sambil menghampiri Lisa yang sedang sibuk dengan handphonenya. Mendengar hal itu, Lisa pun menghentikan aktifitasnya di i*******m dan beralih melihat ke arah Jimmy. “Sudah gue bilang kan Lis kalau kita itu benar-benar jodoh,” ucapnya lagi sambil memamerkan deretan gigi putihnya. “Jodoh apaan coba Jim, maksud lo apaan sih ? bukannya emang tiap hari lo lewat kelas gue sebelum
“Nggak banyak sih. Hanya apa yang akan gue lakukan dan jurusan apa yang bakal gue ambil nanti di universitas. Hanya hal-hal biasa kayak gitu kok.” “Terus? Lo mau jadi apa kedepannya Lis?” “Ha ? Gue ? Lo kan tahu sendiri sebenarnya...” Belum sempat Lisa melanjutkan jawabannya tiba-tiba Rose berteriak memanggilnya. “Liss, Liss, Lisa. Sumpah gue capek banget lari buat ngejar lo.” Ucap Rose sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan karena kelelahan berlari. “Lihat nih si calon mahasiswa jurusan seni. Yang selalu menonjol seperti biasanya.” ucap Jimmy sambil melihat ke arah Rose yang sedang ngos-ngosan. “Hei, lo itu harus hati-hati yah dengan ucapan lo. Siswa yang lainnya nanti ada yang nggak suka atau bisa saja tersinggung,” jawab Rose masih dengan napas yang tidak beraturan. “Lo berdua mau kemana ?” tanya Lisa. “Seperti biasa gue mau ke tempat les, dan rencananya sih gue mau mampir ke tempat les seni sekalian lihat-lihat dulu kalau oke gue mau ambil kelas seni buat persiapan mas
Seperti linglung seolah berjalan tanpa arah. Orang-orang datang lalu pergi dengan mudahnya seperti permisi ke jamban saja. Menciptakan rasa cemas sekaligus takjub. Hidup dalam segala pengharapan benar-benar bagaikan menggali lubang kubur sendiri. Tak ada yang sungguh setia selain kesedihan. Meski dia menyakitkan namun tidak seperti kesenangan yang kerap kali datang lalu tiba-tiba hilang tanpa pamit. Hari yang cukup panjang untuk sebuah hubungan yang akhirnya berakhir di tengah jalan. Lagi dan lagi sungguh tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Segalanya selalu saja berputar pada rotasinya, menunggu giliran untuk akhirnya di tinggalkan ataupun meninggalkan. Jenni yang baru saja diputuskan oleh kekasihnya atau lebih tepatnya diselingkuhi oleh kekasihnya hari ini masih saja merenungi nasibnya yang sedikit sial itu. Masih pagi-pagi sekali, tapi wajahnya sudah sangat tampak suram karena terlalu banyak menangis sehingga menjadikan matanya bengkak dan memerah. Melihat keadaan Jenni, t
Hari jumat adalah hari nerakanya bagi siswa dan siswi SMA NUSANTARA. Di sekolah telah ditetapkan aturan baru. Untuk hari jumat di adakan kegiatan bersih-bersih. Atau istilah kerennya adalah jumat bersih. Setiap siswa dan siswi di haruskan untuk membersihkan kelas dan juga halaman sekolah sebelum melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler sekolah.Dan untuk hari jumat kali ini Rey dan juga Vie mendapatkan tugas untuk membersihkan kelasnya. Keduanya tengah memegang sapu di tangannya masing-masing. Dengan telaten Vie menyapu lantai kelasnya itu. Rey pun mencoba untuk membantu.Melihat Vie yang begitu semangat membersihkan membuat sikap jail Rey bangkit. Dengan jailnya ia berjalan mengikuti cara berjalan doraemon, mendekat ke arah Vie dan menunjuknya dengan menggunakan sapu yang di pegangnya tadi.“Sapu kejujuran. Pertanyaan kali ini terkait dengan klub basket. Yahh pemain fenomenal Vie. Gue dengar lo berubah pikiran yah dengan turnamen yang gue bilang tempo hari ? apakah itu benar adanya ?”Vi
Jenni menyantap mie ayam pesanannya. Hari ini ia benar-benar sangat lapar karena kelelahan berolahraga tadi pagi dan belum sempat makan. Istrahat kali ini ia hanya bersama dengan Rose. “Lihatlah, Lisa lagi lagi melewatkan makan siangnya dan hanya tertidur. Gue jadi sebbel sendiri kalau liat dia akhir-akhir ini tahu nggak Rose. Bukan apa-apa sih tapi gue khawatir dia kenapa-napa.”“Itu karena dia kelelahan aja Jen.”“Bukan kelelahan Rose tapi karena dia terlambat tidur dan harus bangun pagi-pagi. Dia seharusnya tidur terlambat dan datang terlambat juga. Jadi tidak mengantuk gitu di sekolah.”“Tapi Lisa kan nggak mau telat lagi Jenn.”Tidak, tidak se...”Pembicaraan Jenni berhenti ketika ada seorang siswa lelaki yang datang menghampirinya.“Jenni!”“Apaan sih, bikin kaget aja lo.”Lelaki itu lantas duduk di kursi samping tempat duduk Rose, berhadapan dengan Jenni.“Ini tentang temanmu itu lo.”“Siapa ? dia ?” menunjuk Rose dengan matanya.“Bukan, bukan dia. Temanmu yang satu lagi.”“Ohhh
"Kenapa tidak ?”“Pokoknya tidak ada alasan apapun,” ucap Vie tegas.“Ayolah aku mohon,” ucap Rey dengan wajah yang memelas.“Gue nggak mau pergi Rey. Lo maksa mulu yah.”“Lo kan udah janji sama gue Vie. Gimana sih. Lo ngeselin deh lama-lama,” ucap Rey kesal dengan sikap acuh Vie kepadanya. “Untuk memberitahu gue kenapa lo main basket sendirian,” lanjutnya.Vie menoleh, melihat ke arah Rey. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kapan gue berjanji.”Ucapan Vie barusan sontak membuat Rey melihat ke arah Vie dengan ekspresi kaget. Matanya melotot sempurna. “Astaga! Lihatlah orang ini. Sekarang malah pura-pura lupa segalanya.” Rey menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah Vie.“Gue sebenarnya nggak suka tim,” jawab Vie akhirnya.“Apa ?”“Gue nggak suka tim. Ada batasan dan semuanya benar-benar rumit. Lo harus siap untuk bersaing diantara teman lo sendiri,” ucapnya sambil terus fokus dengan buku yang terletak di mejanya.“Hei, itu hanya sebuah klub. Itu bukan dunia mereka sendiri.
Pukul 07.15 pagi, Lisa sudah berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Sedangkan Vie menunggunya di lapangan. Berbeda dari hari sebelumnya, kali ini ia datang lebih awal. Malahan, sangat awal dari biasanya. Berkat Vie yang menerornya pagi-pagi sehingga Lisa yang biasanya telat bangun hari ini dapat datang ke sekolah lebih cepat dari sebelumnya.Dengan sedikit lari-lari kecil, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di kursi taman sekolah. Menyadari keberadaan Lisa, membuat Vie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyelaraskan langkah dengan Lisa.Kali ini Vie tidak langsung menuju ke kelasnya. Ia mengikuti Lisa yang masuk ke kelasnya. Meliriknya yang sembari duduk di kursi. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, akhirnya mencoba melihat ke arah lain. Bertingkah biasa saja.Lima menit telah berlalu, namun Vie tetap saja bolak balik di dekat papan tulis kelasnya. Mencoba melihat-lihat isi ruangan itu. Dan jika tak di perhatikan oleh Lisa, ia mencuri-curi pandang hanya untuk meny
“Mungkin akan lebih keren lagi jika kalian berdua dicap sebagai siswa yang putus sekolah,” Rey pun ikut nimbrung. “Benar juga, putus sekolah kayaknya terdengar bagus, Rey. thanks yah untuk saran yang lo kasih buat kita,” ucap Lisa sambil menunduk melihat ujung sepatunya. Rey menunjuk Lisa dengan telunjuknya, melihat ke arahnya. “Kayaknya lo harus berangkat sekolah dengan Vie. Dia kan tidak pernah terlambat. Bahkan sekalipun tidak pernah.” Menyadari dirinya sedang disebut-sebut sontak membuat Vie menoleh ke arah Rey dengan mata melotot. Namun Rey hanya tersenyum manis seolah tak membuat kesalahan sedikit pun. “Oh ya ? emang iya Vie ?” tanya Lisa penasaran sambil menatap Vie dengan begitu serius, seolah menunggu jawaban darinya. Vie hanya menganggukkan kepala, malu dengan tatapan mata Lisa barusan. “Pak disiplin gitu lo,” puji Rey lagi. pelan-pelan ia menepuk bahu Vie. Lisa yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil, lucu melihat Vie yang tampak begitu malu-malu padanya. Sungguh l
Pertanyaan Jenni sontak membuat Vie terdiam sejenak. Mencoba mencari alasan yang tepat. “Komputer di rumah lagi di pake sama kakak gue, makanya gue akhirnya memutuskan untuk main di sini aja.” “Lo punya kakak ?” ucap Rey dan juga Jenni kompak sambil melototkan matanya. Kaget. Vie berpaling, melihat ke samping menyaksikan temannya yang begitu heboh. Dengan lugunya Vie menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban, Rey akhirnya mengadari tindakannya barusan. Mendadak ia baru ingat kekesalannya kepada Vie, dengan cepat ia beralih fokus ke komputernya dan melanjutkan permainan. “Ehem.” Menyadari kecanggungan antara keduanya. “Vie lo masuk yah, udah gue undang.” “Sudah gue bilang, biar gue yang kerumah tingkat dua itu,”ucap Rey kesal. “Pokoknya siapa cepat dia dapat,” Jenni membalas dengan ketus. “Oke pistol mitraliur.” Sambil tertawa tanggung Rey kembali mengejek Jenni. “Lo suka sampah yang seperti itu ?” ucapnya. “Lalu, apa yang udah lo temuin.” Sambil menoleh
“Sorry yah karena gue sudah memasukkan orang yang begitu amat hebat ke dalam tim. Gue selalu membiarkan kalian tiap kali menjailiku...” Belum sempat Rey menyelesaikan ucapannya, Vie langsung mendonggakkan kepalanya, pandangannya melihat ke arah Rey. “Lo pikir gue bakal diam aja ? Lo nggak bisa dengar yah ? Diam bangsat,” teriak Vie sambil berjalan maju mengampiri Rey dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Baru saja Vie akan melayangkan tinjunya ke wajah Rey, tiba-tiba guru olahraga datang menengahi perkelahian itu. “Hei apa yang kalian lakukan ?” teriaknya sambil berlari memisahkan Rey dan juga Vie yang sudah emosi. “Ada latihan futsal, berkemaslah. Ini bukan tempat untuk uji kekuatan tinju,” lanjutnya. Vie akhirnya meninggalkan ruangan itu, Jimmi mengejarnya dari belakang. Sedangkan Rey bersiap untuk latihannya. Jimmi berlari menghampiri Vie yang sedang duduk di taman sekolah sambil meminum kopi dinginnya. Dengan senyuman khasnya ia mencoba menghampiri, duduk di samping Vie
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di