Suara riuh kantin menjelajahi setiap sudut-sudut ruangan. Segerombolan pemuda pemudi nampak sibuk berbincang sambil meneguk minumannya serta memakan makanan yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Jam istrahat memang sudah berlangsung sejak 10 menit yang lalu.
Tidak kalah dengan kawanan yang anak lainnya, kini Lisa dan gengnya pun sudah duduk santai di tengah-tengah kursi makan yang ada di kantin itu. Makanan mereka sudah nampak habis tak bersisa. Hanya beberapa sampah saja serta piring kotor yang tergeletak sembarangan di sisi meja panjang itu.
Setelah menikmati makan siangnya di kantin sekolah, Jimmy, Vie, Rey, Jenni, Rose beserta Lisa langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. di tengah terik mentari yang membakar kulit, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk santai di sekitaran lapangan basket sekolah. Selain tempat di sana lumayan teduh, mereka pun masih enggan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sebab jika berada di dalam kelas yang akan mereka rasakan hanya rasa panas karena padatnya siswa siswi yang ada di sana. Mereka sedang asyik ngobrol sementara Lisa hanya sibuk terus dengan game di ada handphonenya.
“Jimmy, ayolah jawab pertanyaan gue yang udah lama itu. Lo kok tiap gue tanya selalu nggak jawab sih. Rese banget jadi temen,” ucap Jenni di sela keheningan iyang tercipta antara mereka.
“Hei tukang maksa, udahlah lo nyerah aja. Nggak usah ngurusin hidup orang,” Rey menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Jenni yang kerap kali memaksa Jimmy untuk menjawab pertanyaannya. Lebih tepatnya, menjawab semua kekepoannya selama ini.
“Kemarin-kemarin kan udah di jawab tiap kali lo bertanya Jen. Masa harus gue ulang-ulang mulu. Lo enggak bosan-bosannya yah nanyain itu itu lagi.”
“Itu ma bukan jawaban tapi cara lo ngeles aja dodol. Lo tau nggak sih kalau jiwa kekepoan gue itu selalu meronta-ronta menantikan jawabannya si Jim terkece tergagah sejagat raya.”
“Udahlah, nggak penting juga. Lagian pertanyaan lo itu itu terus, bosan gue.”
“Tanpa lo jawab juga udah keliatan kok, belajar aja lo selalu sama-sama terus di perpustakaan umum,” ucap Jenni lagi dengan penuh selidik.
“Ya sama terus soalnya kan gue satu tempat les privat dengan Rose, Jenni. Ya otomatis ngerjain tugas yang sama dong. Daripada kerja sendiri mending gue bareng Rose aja, kan kalau ada yang nggak gue ngerti bisa gue tanyain langsung ke Rose juga. Jadi belajarnya enggak terasa sulit banget. Lo kebiasaan ngarang yah Jen. Udahlah nggak usah ngurus-ngurusin privasi gue, itu melanggar undang-undang privasi,” jawab Jimmy seolah berusaha untuk meyakinkan Jenni.
Meskipun Jimmy sudah meyakinkan Jenni namun bukan Jenni namanya jika ia akan percaya begitu saja. Tetap saja ocehan Jimmy barusan tidak membuatnya mengalah sedikitpun, malah semakin membuat Jenni untuk berdebat dengan Jimmy.
Dan untung saja keributan yang disebabkan antara Jim dan Jenni justru tak membuat Lisa terganggu dengan gamenya. Bukan terganggu dengan gamenya, lebih tepatnya dengan pikirannya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Lisa. Sejak makan siang tadi ia terus saja makan dan lebih dominan diam. Lisa sedang bermain game namun pikirannya tak sedang tertuju di sana. Pikirannya melayang entah kemana.
Rose yang menyadari hal itu mencoba untuk ngobrol dengan Lisa, hingga hal itu sontak membuat Lisa beralih dari lamunannya. “Lo lagi mikirin apa Lis ?” tanya Ros dengan segala rasa penasarannya.
Lisa mengalihkan pandangannya ke arah Rose dan meninggalkan alam khayalannya itu. “Ha ? bukan apa-apa kok,” sambil tersenyum untuk lebih meyakinkan Rose.
“Gue perhatiin lo juga tadi makannya dikit banget pas di kantin. Lo ada masalah yah?”
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Iya gue juga perhatiin tadi, kayaknya lo lagi ada pikiran gitu,” ucap Jimmy menyadari hal yang sama dengan yang dirasakan Rose.
“Harusnya itu bukan lo yang mengurangi porsi makan, tapi si sotoy yang satu ini. bukankah begitu nyonya?” Rey menambahkan sambil melirik ke arah Jenni.
Mendengar hal itu, spontan Jenni memukul perut Rey dengan menggunakan kepalan tangannya. Kejadian itu otomatis membuat Rey meringis kesakitan dibuatnya.
Tak lama setelahnya muncul dua orang siswa senior yang akan melakukan latihan basket. Mereka berjalan menuju arah lapangan basket tempat Lisa dan teman-temannya duduk.
“Eh lo tahu nggak yang anak kelas IPA-3 yang sering nongkrong di cafe dekat perpustakaan umum seberang jalan sana itu.”
“Kalau ngga salah yang sering jalan bertiga itu yah.”
“Yoi, yang satu rambut pendek terus yang dua orang lagi rambutnya panjang gitu.”
“Yang rambut coklat panjang itu cantik sih. Kalau nggak salah namanya Rose bukan.”
“Gue sih sukanya yang rambut hitam pendek. Tipe gue banget pokoknya.”
”Gue sih nggak suka sama tuh cewek. Kata adek gue yang sekelas sama dia nih yah, si rambut pendek hitam itu suka tidur kalau lagi jam belajar berlangsung. Terus udah gitu kalau gue perhatiin dia kayak keliatan sok tangguh gitu, nggak ada feminim-feminimnya gue lihat. Buka tipe gue pokoknya.”
“Bukan tipemu ? terserah juga sih.”
Sebuah obrolan singkat siswa senior di sekolah Lisa. Tanpa sengaja, Lisa dan teman-temannya yang sedang berada di sekitaran lapangan basket itu mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut mereka.
Mendengar hal itu, membuat Jim marah dan langsung menegur orang-orang yang membicarakan Lisa barusan. “Hei kalian! Jangan membicarakan orang lain dari belakang begitu dong,” tegur Jimmy mulai emosi.
Beberapa kawanan lelaki itu menoleh dan mendapati Jimmy yang kini sudah berdiri tegak. Nampak Lisa pun ikut berdiri di belakangnya. Menyadari dirinya sedang ditegur dengan Jimmy yang ternyata sedang berada di sekitaran lapangan basket tersebut membuat siswa senior itu langsung meminta maaf dan merasa menyesal karena telah membicarakan Lisa dan juga Rose. Setelah meminta maaf kepada Jim, mereka berencana untuk lanjut ke lapangan basket namun Lisa menghentikan langkahnya. “Hei, kenapa kalian malah minta maaf kepada Jimmy. Bukannya meminta maaf kepada gue!” teriak Lisa dengan nada sedikit emosi. Mendengar itu, siswa tersebut hanya menunduk dan tak bicara sedikitpun. “Nama gue Lisa bukan si rambut pendek hitam. Lain kali jangan sebut gue dengan nama kayak gitu. Soalnya hal itu bisa buat orang lain bingung,” lanjutnya lagi. kedua bola mata Lisa bergantian menatap mata kawanan lelaki itu.
“Yukk, kelas udah mau mulai kayaknya,” ajak Jimmy kepada teman-temannya yang lain.
Mereka pun berdiri dan meninggalkan lapangan basket itu. Lisa juga ikut berdiri namun tidak mengikuti temannya yang menuju ke ruang kelas tapi berjalan menghampiri siswa senior yang masih berdiri di lapangan basket. “Oh iya satu lagi, lo juga bukan tipe gue, bukan sama sekali,” cetus Lisa sambil berlalu meninggalkan tempat tersebut.
***
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Pagi ini Lisa lagi lagi harus berangkat lebih awal karena harus mengikuti jadwal ayahnya yang sedang ada meeting lebih awal dengan kliennya hari ini. Sesampainya di kelas ternyata Jenni dan juga Rose belum juga datang. Dan untuk menghilangkan rasa bosannya, Lisa akhirnya memutuskan untuk berdiri di depan kelasnya sambil melihat-lihat siswa yang lalu lalang di lapagan. Di ambilnya handphone miliknya yang di simpan di saku bajunya. Setelahnya, Lisa membuka laman instagramnya dan memeriksa pemberitahuan yang masuk. Ternyata ada begitu banyak like dari foto yang diunggahnya semalam. “Yaaa kita ketemu lagi,” ucap Jimmy sambil menghampiri Lisa yang sedang sibuk dengan handphonenya. Mendengar hal itu, Lisa pun menghentikan aktifitasnya di i*******m dan beralih melihat ke arah Jimmy. “Sudah gue bilang kan Lis kalau kita itu benar-benar jodoh,” ucapnya lagi sambil memamerkan deretan gigi putihnya. “Jodoh apaan coba Jim, maksud lo apaan sih ? bukannya emang tiap hari lo lewat kelas gue sebelum
“Nggak banyak sih. Hanya apa yang akan gue lakukan dan jurusan apa yang bakal gue ambil nanti di universitas. Hanya hal-hal biasa kayak gitu kok.” “Terus? Lo mau jadi apa kedepannya Lis?” “Ha ? Gue ? Lo kan tahu sendiri sebenarnya...” Belum sempat Lisa melanjutkan jawabannya tiba-tiba Rose berteriak memanggilnya. “Liss, Liss, Lisa. Sumpah gue capek banget lari buat ngejar lo.” Ucap Rose sambil mengatur nafasnya yang tak beraturan karena kelelahan berlari. “Lihat nih si calon mahasiswa jurusan seni. Yang selalu menonjol seperti biasanya.” ucap Jimmy sambil melihat ke arah Rose yang sedang ngos-ngosan. “Hei, lo itu harus hati-hati yah dengan ucapan lo. Siswa yang lainnya nanti ada yang nggak suka atau bisa saja tersinggung,” jawab Rose masih dengan napas yang tidak beraturan. “Lo berdua mau kemana ?” tanya Lisa. “Seperti biasa gue mau ke tempat les, dan rencananya sih gue mau mampir ke tempat les seni sekalian lihat-lihat dulu kalau oke gue mau ambil kelas seni buat persiapan mas
Seperti linglung seolah berjalan tanpa arah. Orang-orang datang lalu pergi dengan mudahnya seperti permisi ke jamban saja. Menciptakan rasa cemas sekaligus takjub. Hidup dalam segala pengharapan benar-benar bagaikan menggali lubang kubur sendiri. Tak ada yang sungguh setia selain kesedihan. Meski dia menyakitkan namun tidak seperti kesenangan yang kerap kali datang lalu tiba-tiba hilang tanpa pamit. Hari yang cukup panjang untuk sebuah hubungan yang akhirnya berakhir di tengah jalan. Lagi dan lagi sungguh tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Segalanya selalu saja berputar pada rotasinya, menunggu giliran untuk akhirnya di tinggalkan ataupun meninggalkan. Jenni yang baru saja diputuskan oleh kekasihnya atau lebih tepatnya diselingkuhi oleh kekasihnya hari ini masih saja merenungi nasibnya yang sedikit sial itu. Masih pagi-pagi sekali, tapi wajahnya sudah sangat tampak suram karena terlalu banyak menangis sehingga menjadikan matanya bengkak dan memerah. Melihat keadaan Jenni, t
“Tuh kan gue lagi, gue lagi.” Rey pun mulai mengatur posisi yang menurutnya bagus. Di ikuti teman-temannya yang lain serta Jenni yang sedang sibuk mengatur angel yang menurutnya cantik. “Satu, dua, Tiga cekret cekret cekret” “Lagi dong” pinta Jenni dengan wajah manjanya. “Satu dua tiga.” “Eh udah, kayaknya udah cukup deh. Capek juga yah padahal kan hanya berfose doang,” ucap Lisa. “Gue lihat hasilnya dong Rey.” “Tunggu Rose, ini juga gue mau lihat dulu.” “Wah yang ini lucu nih,” ucap Jenni. “Yang ini juga,” sambung Rose. “Gue yakin sih tanpa lihat fotonya pasti hasilnya bakalan lucu karena ada gue di situ” ucap Jimmy kepedean. “Idih najiss,” ejek Jenni. Jenni menzoom foto tersebut dan alhasil mendapati muka Lisa yang sedang bergaya lucu. Dengan mata yang membelalak lengkap dengan bibir yang disengaja dimonyongkan. Melihat hal itu, Jenni langsung tertawa terbahak-bahak. Ia sungguh tidak sanggup melihat wajah memalukan Lisa itu. “Liat deh ekspresinya Lisa di foto. Sumpah gue
“Ahhhh sumpah gue senang banget pake ngeeet ngeeet deh pokoknya. Tuh cowok ganteng abis, gila sih. Kayaknya Tuhan lagi ngirim dia buat gue deh,” ucap Jenni sambil memegang kedua pipinya dan membayangkan lelaki yang dilihatnya tadi. Rey yang tadinya sibuk dengan gamenya langsung melongo kaget melihat perubahan suasana hati Jenni. Setelah membeli eskrim bersama Lisa dan Rose ia terlihat begitu bahagia. “Apa yang terjadi, teman lo ini enggak kesurupan kan di dalam sana ? kali aja hantu centil yang nyangkut di toko malah hinggap di tubuh Jenni,” ucap Rey kebingungan. Lisa dan Rose hanya tersenyum menyaksikan kehebohan Jenni serta kebingungan Rey. Keduanya terus saja menyantap es krimnya tanpa sedikit pun memberikan penjelasan kepada temannya. “Rey lo tahu jungkook ?” tanya Jenni dengan wajah berseri. “Enggak, emang itu apaan. Makanan model baru yah ?” “Whattt apa lo bilang ? makanan ? bisa-bisanya lo sama-samain jungkook sama makanan. Lo kira apaan. Makanya update dong, jangan game
Ujian mid semester semakin hari semakin dekat saja. Membuat siswa-siswi mulai dihantui rasa cemas di kepala masing-masing. Tentang banyak hal yang menuntut untuk menjadi lebih baik. Ataupun tekanan dari guru dan juga orangtua yang selalu memaksakan seorang anak untuk mendapatkan yang paling baik diantara yang terbaik. Hanya saja sering kali orang dewasa justru tak menghargai proses yang di lewatinya tapi hanya berfokus pada hasil akhirnya saja. Miris namun begitulah kenyataan. Jimmy dan Rey menunggu Vie yang tak kunjung datang. Entah kenapa hari ini Vie terlambat datang ke sekolah. “Gue bakalan bisa dapat pacar tahun ini, bukan ?” tanya Rey ditengah kegalauan Jimmy menunggu kedatangan temannya. “Yah elah Rey, masih terlalu pagi untuk bahas omong kosong kayak gitu.” Tiba-tiba Vie muncul dari balik pintu kelasnya. Sikap dingin lengkap dengan jaket hoodienya yang menjadikannya tampak semakin keren dan kece. Benar-benar lelaki cool yang mampu menggetarkan hati wanita mana saja yang mel
Hari jumat adalah hari nerakanya bagi siswa dan siswi SMA NUSANTARA. Di sekolah telah ditetapkan aturan baru. Untuk hari jumat di adakan kegiatan bersih-bersih. Atau istilah kerennya adalah jumat bersih. Setiap siswa dan siswi di haruskan untuk membersihkan kelas dan juga halaman sekolah sebelum melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler sekolah.Dan untuk hari jumat kali ini Rey dan juga Vie mendapatkan tugas untuk membersihkan kelasnya. Keduanya tengah memegang sapu di tangannya masing-masing. Dengan telaten Vie menyapu lantai kelasnya itu. Rey pun mencoba untuk membantu.Melihat Vie yang begitu semangat membersihkan membuat sikap jail Rey bangkit. Dengan jailnya ia berjalan mengikuti cara berjalan doraemon, mendekat ke arah Vie dan menunjuknya dengan menggunakan sapu yang di pegangnya tadi.“Sapu kejujuran. Pertanyaan kali ini terkait dengan klub basket. Yahh pemain fenomenal Vie. Gue dengar lo berubah pikiran yah dengan turnamen yang gue bilang tempo hari ? apakah itu benar adanya ?”Vi
Jenni menyantap mie ayam pesanannya. Hari ini ia benar-benar sangat lapar karena kelelahan berolahraga tadi pagi dan belum sempat makan. Istrahat kali ini ia hanya bersama dengan Rose. “Lihatlah, Lisa lagi lagi melewatkan makan siangnya dan hanya tertidur. Gue jadi sebbel sendiri kalau liat dia akhir-akhir ini tahu nggak Rose. Bukan apa-apa sih tapi gue khawatir dia kenapa-napa.”“Itu karena dia kelelahan aja Jen.”“Bukan kelelahan Rose tapi karena dia terlambat tidur dan harus bangun pagi-pagi. Dia seharusnya tidur terlambat dan datang terlambat juga. Jadi tidak mengantuk gitu di sekolah.”“Tapi Lisa kan nggak mau telat lagi Jenn.”Tidak, tidak se...”Pembicaraan Jenni berhenti ketika ada seorang siswa lelaki yang datang menghampirinya.“Jenni!”“Apaan sih, bikin kaget aja lo.”Lelaki itu lantas duduk di kursi samping tempat duduk Rose, berhadapan dengan Jenni.“Ini tentang temanmu itu lo.”“Siapa ? dia ?” menunjuk Rose dengan matanya.“Bukan, bukan dia. Temanmu yang satu lagi.”“Ohhh
"Kenapa tidak ?”“Pokoknya tidak ada alasan apapun,” ucap Vie tegas.“Ayolah aku mohon,” ucap Rey dengan wajah yang memelas.“Gue nggak mau pergi Rey. Lo maksa mulu yah.”“Lo kan udah janji sama gue Vie. Gimana sih. Lo ngeselin deh lama-lama,” ucap Rey kesal dengan sikap acuh Vie kepadanya. “Untuk memberitahu gue kenapa lo main basket sendirian,” lanjutnya.Vie menoleh, melihat ke arah Rey. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kapan gue berjanji.”Ucapan Vie barusan sontak membuat Rey melihat ke arah Vie dengan ekspresi kaget. Matanya melotot sempurna. “Astaga! Lihatlah orang ini. Sekarang malah pura-pura lupa segalanya.” Rey menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah Vie.“Gue sebenarnya nggak suka tim,” jawab Vie akhirnya.“Apa ?”“Gue nggak suka tim. Ada batasan dan semuanya benar-benar rumit. Lo harus siap untuk bersaing diantara teman lo sendiri,” ucapnya sambil terus fokus dengan buku yang terletak di mejanya.“Hei, itu hanya sebuah klub. Itu bukan dunia mereka sendiri.
Pukul 07.15 pagi, Lisa sudah berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Sedangkan Vie menunggunya di lapangan. Berbeda dari hari sebelumnya, kali ini ia datang lebih awal. Malahan, sangat awal dari biasanya. Berkat Vie yang menerornya pagi-pagi sehingga Lisa yang biasanya telat bangun hari ini dapat datang ke sekolah lebih cepat dari sebelumnya.Dengan sedikit lari-lari kecil, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di kursi taman sekolah. Menyadari keberadaan Lisa, membuat Vie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyelaraskan langkah dengan Lisa.Kali ini Vie tidak langsung menuju ke kelasnya. Ia mengikuti Lisa yang masuk ke kelasnya. Meliriknya yang sembari duduk di kursi. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, akhirnya mencoba melihat ke arah lain. Bertingkah biasa saja.Lima menit telah berlalu, namun Vie tetap saja bolak balik di dekat papan tulis kelasnya. Mencoba melihat-lihat isi ruangan itu. Dan jika tak di perhatikan oleh Lisa, ia mencuri-curi pandang hanya untuk meny
“Mungkin akan lebih keren lagi jika kalian berdua dicap sebagai siswa yang putus sekolah,” Rey pun ikut nimbrung. “Benar juga, putus sekolah kayaknya terdengar bagus, Rey. thanks yah untuk saran yang lo kasih buat kita,” ucap Lisa sambil menunduk melihat ujung sepatunya. Rey menunjuk Lisa dengan telunjuknya, melihat ke arahnya. “Kayaknya lo harus berangkat sekolah dengan Vie. Dia kan tidak pernah terlambat. Bahkan sekalipun tidak pernah.” Menyadari dirinya sedang disebut-sebut sontak membuat Vie menoleh ke arah Rey dengan mata melotot. Namun Rey hanya tersenyum manis seolah tak membuat kesalahan sedikit pun. “Oh ya ? emang iya Vie ?” tanya Lisa penasaran sambil menatap Vie dengan begitu serius, seolah menunggu jawaban darinya. Vie hanya menganggukkan kepala, malu dengan tatapan mata Lisa barusan. “Pak disiplin gitu lo,” puji Rey lagi. pelan-pelan ia menepuk bahu Vie. Lisa yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil, lucu melihat Vie yang tampak begitu malu-malu padanya. Sungguh l
Pertanyaan Jenni sontak membuat Vie terdiam sejenak. Mencoba mencari alasan yang tepat. “Komputer di rumah lagi di pake sama kakak gue, makanya gue akhirnya memutuskan untuk main di sini aja.” “Lo punya kakak ?” ucap Rey dan juga Jenni kompak sambil melototkan matanya. Kaget. Vie berpaling, melihat ke samping menyaksikan temannya yang begitu heboh. Dengan lugunya Vie menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban, Rey akhirnya mengadari tindakannya barusan. Mendadak ia baru ingat kekesalannya kepada Vie, dengan cepat ia beralih fokus ke komputernya dan melanjutkan permainan. “Ehem.” Menyadari kecanggungan antara keduanya. “Vie lo masuk yah, udah gue undang.” “Sudah gue bilang, biar gue yang kerumah tingkat dua itu,”ucap Rey kesal. “Pokoknya siapa cepat dia dapat,” Jenni membalas dengan ketus. “Oke pistol mitraliur.” Sambil tertawa tanggung Rey kembali mengejek Jenni. “Lo suka sampah yang seperti itu ?” ucapnya. “Lalu, apa yang udah lo temuin.” Sambil menoleh
“Sorry yah karena gue sudah memasukkan orang yang begitu amat hebat ke dalam tim. Gue selalu membiarkan kalian tiap kali menjailiku...” Belum sempat Rey menyelesaikan ucapannya, Vie langsung mendonggakkan kepalanya, pandangannya melihat ke arah Rey. “Lo pikir gue bakal diam aja ? Lo nggak bisa dengar yah ? Diam bangsat,” teriak Vie sambil berjalan maju mengampiri Rey dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Baru saja Vie akan melayangkan tinjunya ke wajah Rey, tiba-tiba guru olahraga datang menengahi perkelahian itu. “Hei apa yang kalian lakukan ?” teriaknya sambil berlari memisahkan Rey dan juga Vie yang sudah emosi. “Ada latihan futsal, berkemaslah. Ini bukan tempat untuk uji kekuatan tinju,” lanjutnya. Vie akhirnya meninggalkan ruangan itu, Jimmi mengejarnya dari belakang. Sedangkan Rey bersiap untuk latihannya. Jimmi berlari menghampiri Vie yang sedang duduk di taman sekolah sambil meminum kopi dinginnya. Dengan senyuman khasnya ia mencoba menghampiri, duduk di samping Vie
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di