Theo terus memperhatikan dari jendela kamarnya. Makin lama, dia semakin asyik. Namun, tiba-tiba ada dorongan kuat dalam dirinya. Theo seperti mendengar bisikan halus yang menyuruhnya agar keluar. Pria tampan berdarah Inggris itu mengalah dengan sangat mudah. Tanpa memakai T-Shirt terlebih dulu, Theo langsung keluar kamar. Dia melangkah gagah menuju kolam renang. Bertepatan dengan Theo yang tiba di sana, Sarah muncul ke permukaan. Tadinya, gadis itu hendak naik ke tepian kolam. Akan tetapi, niat tersebut diurungkan setelah melihat kehadiran Theo di sana. Sarah lebih memilih tetap berada di dalam air. “Kenapa kau berenang malam-malam begini?” tanya Theo dingin. “Kenapa kau kemari?” Bukannya menjawab, Sarah malah balik bertanya. “Astaga.” Theo menggeleng pelan. “Apa kau lupa bahwa tempat ini adalah milikku. Aku bebas ke manapun sesuka hati,” jawab Theo diiringi senyuman sinis. “Ah, ya! Aku lupa bahwa kau adalah tuannya,” sindir Sarah. Dia berusaha tetap terlihat tenang, meskipun seb
Sarah kembali ke kamarnya dalam perasaan gamang. Entah apa maksud ciuman Theo tadi, dia sama sekali tak mengerti. Namun, Sarah juga tak kuasa untuk menolak. Perasaannya campur aduk saat itu. Ragu-ragu Sarah membuka pintu kamar, ketika sebuah tepukan lembut menyapa bahunya. Gadis cantik itu segera menoleh dan mendapati Andaru berdiri di hadapannya dengan sorot aneh. "Apa kamu sudah berkemas?" tanya Andaru pelan. "Ini mau siap-siap," sahut Sarah sambil tersenyum kaku. Dia merasa tak nyaman karena pakaian dalamnya basah. "Ya, sudah. Kamu beres-beres saja dulu," Andaru seolah mengerti apa yang Sarah rasakan. Dia mengangguk sopan dan hendak berlalu. "Tunggu! Apa kamu mau ngomong sesuatu?" cegah Sarah. Andaru menghentikan langkah. Dia kembali berbalik menghadap Sarah seraya meraih telapak tangan gadis itu. "Ada sedikit suvenir dariku. Terimalah," pria tampan itu meletakkan sesuatu di atas permukaan tangan Sarah. Sebuah kalung liontin berbentuk bulat sabit, Andaru serahkan pada gadis y
Sarah melangkah ragu mendekat ke arah mobil mewah yang terparkir beberapa meter dari tempatnya berdiri. Apalagi ketika si pemilik kendaraan keluar dari mobil dan menghampirinya. "Halo, kamu pasti Sarah, ya?" tanya pria itu ramah sambil mengulurkan tangan."I-iya," jawab Sarah gugup seraya menyambut uluran tangan pria tinggi di depannya."Cantik sekali. Persis seperti yang diceritakan Pak Abizar," sanjung si pria."Saya memujinya bukan hanya karena dia anak saya, Pak Ammar. Sarah ini memang terkenal cantik sejak lahir," kelakar Abizar."Saya percaya," si pria yang dipanggil Ammar oleh Abizar itu terbahak sambil menepuk pelan lengan ayahanda Sarah tersebut. "Ya, sudah. Kita berangkat ke bandara sekarang, supaya tidak ketinggalan pesawat nanti," tawarnya."Tentu, Pak," Abizar sumringah mengangkat koper, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Dia juga mengarahkan Sarah agar duduk di mobil lebih dulu, sementara dirinya berbincang sejenak dengan Ammar. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, S
"Ya, ampun." Sarah menggeleng pelan. Seumur hidup, dia tidak pernah merasakan kecewa yang sangat besar terhadap ayahnya.. Abizar telah melukai perasaan serta kepercayaan yang dirinya miliki. "Papa membawaku keluar dari mulut buaya, masuk ke dalam mulut harimau," keluhnya."Kamu belum mengenal Pak Ammar, Sarah. Dia orang yang baik," ujar Abizar membantah pemikiran Sarah, yang memperlihatkan rasa tak suka terhadap apa yang pria itu lakukan. "Baik, karena dia bersedia meminjamkan uang dalam jumlah yang fantastis secara cuma-cuma. Anehnya, Papa percaya dengan begitu mudah". Astaga, Pa. Zaman sekarang banyak orang yang pandai memanfaatkan keadaan. Aku tidak mau jika Papa sampai terjerumus dalam masalah besar lagi.” Sarah berdecak pelan, lalu menggeleng. Setelah itu, tak ada lagi percakapan sampai Ammar kembali dan mengambil tempat duduk di depan mereka."Dengar-dengar dari Pak Abizar, Sarah baru saja lulus kuliah, ya?" tanya Ammar, sesaat setelah pesawat lepas landas."Ya, begitulah," jaw
Sarah menggerakkan sepasang matanya dengan tak beraturan ke kiri dan kanan. Gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut sepertinya tengah mempertimbangkan penawaran yang diberikan oleh Ammar. “Kamu bisa memikirkannya matang-matang terlebih dulu. Akan kukirimkan link web yang bisa kamu akses, untuk mendapat informasi yang jauh lebih lengkap. Silakan pelajari baik-baik. Siapa tahu kamu tertarik.” Ammar tersenyum kalem setelah berkata demikian. Dia dapat memastikan bahwa sebenarnya Sarah sudah mulai terpengaruh kata-katanya. Ammar berharap gadis itu setuju untuk bergabung ke dalam perusahaan yang disebutkan tadi. “Tidak ada salahnya kamu pertimbangkan, Nak. Pak Ammar bermaksud membantu kita dengan tulus,” ucap Abizar ikut mempengaruhi pemikiran Sarah yang masih ragu mengambil keputusan. “Saya hanya merasa khawatir, jika potensi yang dimiliki Sarah tidak disalurkan dengan baik, Pak Abizar. Kesempatan tidak datang dua kali,” timpal Ammar meyakinkan. “Ya, Anda benar sekali,” balas Abiza
Theo terdiam tak menanggapi perkataan Andaru. Pikiran pria itu malah seperti sedang tidak berada di sana. Andaru yang memperhatikannya sejak tadi, merasa heran sekaligus penasaran. "Anda kenapa, Sir?" tanyanya hati-hati. "Ah, itu … tidak apa-apa," jawab Theo tergagap. “Jadi, dari mana Abizar mengenal dia?" Pria asal Inggris tersebut mengalihkan pembicaraan, seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan. Tatap matanya menerawang ke luar jendela. "Entahlah, Sir. Ammar sendiri merupakan putra jutawan yang terkenal aktif dalam berbagai acara charity. Dia mempunyai banyak yayasan dan badan amal, serta mengepalai beberapa lembaga filantropi. Ammar juga memiliki channel youtube sendiri. Dia sering menyiarkan siaran langsung di kanal pribadinya, tentang segala hal yang berkaitan dengan program kemanusiaan dari lembaga milik ayahnya tadi,” jelas Andaru lagi."Hm, begitu ya?” Theo mengangguk, lalu berbalik menghadap Andaru. "Abizar hanya orang biasa. Dia tidak mungkin bisa masuk dengan begit
“Selamat malam, Sarah?” sapa pria yang tidak lain adalah Ammar. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Pak Ammar? Anda di sini?” tanya Sarah kebingungan. “Pak Ammar sengaja datang kemari untuk menemuimu, Nak,” ucap Abizar ikut berkomentar. “Oh.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Sarah. “Kenapa cuma ‘oh’?” Abizar tertawa pelan. Dia menarik pelan lengan Sarah, lalu mengarahkannya agar duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat Ammar berada. “Pak Ammar mengatakan ingin meminta kejelasan darimu, Nak.” “Kejelasan tentang apa?” tanya Sarah. Dia seperti tidak sedang fokus pada perbincangan itu. Ammar tertawa pelan melihat sikap Sarah yang terlihat serba salah. “Harap dimaklumi, Pak Ammar. Putri saya tidak pernah dikunjungi laki-laki manapun ke rumah. Jadi, sepertinya Sarah grogi,” jelas Abizar diiringi senyum ramah. Ammar terdiam sejenak mendengar ucapan Abizar. Dia menatap Sarah yang terlihat begitu polos, dengan tampilan apa adanya dalam balutan baju tid
“Inggris?” ulang Andaru. “Dalam rangka apa kamu pergi ke sana?” tanya asisten kepercayaan Theo tersebut. “Aku … aku ditawari bekerja di salah satu perusahaan pengolahan kayu,” jawab Sarah. “Apa? Maksudku, kenapa harus ke Inggris?” Nada pertanyaan Andaru menyiratkan rasa keberatan yang tidak dia ungkapkan. “Aku juga tidak tahu kenapa. Namun, ini seperti kesempatan emas yang sayang sekali jika kulewatkan begitu saja,” ujar Sarah. Gadis itu terdiam beberapa saat, karena Andaru tak menanggapi ucapannya. “Doakan aku, Andaru. Aku ingin membantu Papa melunasi uang yang telah dipinjamnya.”Andaru hanya mengembuskan napas berat. Pria itu lagi-lagi tak menanggapi. Andaru bahkan terdengar bicara dengan seseorang. Sarah sendiri tahu betul siapa si pemilik suara yang tengah berbincang dengan Andaru. Gadis itu ikut terdiam untuk beberapa saat, sampai asisten Theo tersebut kembali menyapanya. “Hallo, Sarah.” “Ah, i-iya.” Tiba-tiba, Sarah menjadi gugup setelah mendengar suara Theo. Perasaannya k