"Apa ... kau meminta alamat tempat tinggalnya selama di Inggris?" tanya Theo ragu-ragu. "Tidak, Sir. Sarah hanya mengatakan akan bekerja di perusahaan pengolahan kayu yang berpusat di Birmingham," jelas Andaru. "Apa?" Theo mencengkeram kemudi erat-erat. "Apa kau yakin?" desisnya pelan. "Seperti itulah yang Sarah katakan pada saya, Sir. Apakah ada masalah?" Andaru menoleh pada majikannya dengan raut penuh tanda tanya. "Hampir seluruh hidup kuhabiskan di Inggris. Tak sekalipun aku tahu bahwa ada pabrik pengolahan kayu di sana," gumam Theo. Giliran Andaru yang memucat. Dia mengalihkan pandangan pada Theo dengan sorot was-was. "Haruskah kita khawatir?" tanyanya. Dalam hati Andaru berharap supaya dapat ikut pergi bersama Theo ke Inggris. Namun dia segera sadar bahwa hal itu tidaklah mungkin. Sang majikan mempercayakan bisnisnya di Indonesia pada Andaru selama pria itu pulang ke negaranya. "Tenang saja. Selama berada di London, aku akan mencoba mencari informasi tentang Sarah," sahut
"Apa maksudnya?" Sarah mengernyit tak mengerti. "Aku hanya akan bekerja di perusahaan kayu, bukan berangkat perang?"."I-iya." Pradnya mengangguk, sambil memaksakan senyum. "Cepatlah mandi. Kita tidak boleh terlambat," ujarnya kemudian."Oke." Dengan sorot spada, Sarah meninggalkan Pradnya sendiri. Dia menghabiskan kurang dari setengah jam untuk membersihkan tubuh di kamar mandi. Setelah berganti pakaian dan mengoleskan make up sederhana, Sarah melingkarkan tali tas selempang kecil. Gadis itu kemudian mendekat kepada Pradnya. "Aku sudah siap," ucap Sarah seraya mengangguk. Dia sempat mencari tahu melalui telepon genggamnya, bahwa perjalanan dari London menuju Birmingham akan memakan waktu kurang lebih dua jam. Namun, betapa terkejutnya Sarah, ketika Pradnya membawa dia ke sebuah gedung yang berjarak tak jauh dari hotel. Pradnya lalu mengajak Sarah masuk ke kamar berukuran tidak terlalu luas, yang mirip dengan ruang praktik dokter."Bukannya kita akan ke stasiun kereta? Kalau ke Birmi
Ammar berdiri tenang. Sorot matanya terlihat lain, dari sosok pria yang Sarah kenal beberapa waktu lalu. Kali ini, Ammar tak seramah biasanya. Senyum serta raut wajah pria itu tampak sangat aneh. Terlebih, ketika dia memperhatikan tubuh Sarah yang hanya ditutupi bantal. “Pak Ammar? Apa-apaan ini?” tanya Sarah dengan intonasi tinggi. "Tenanglah, Sarah. Sebentar lagi kamu akan naik panggung," jawab Ammar tenang. Dia mendekat sambil menyunggingkan senyuman yang semakin aneh. Ammar bahkan sempat melihat kaki jenjang serta bagian atas tubuh Sarah dengan tatapan nakal. Dia bermaksud menyentuh dagu Sarah. Namun, dengan segera Sarah memalingkan wajahnya. Dia tak akan sudi disentuh seseorang seperti Ammar, yang ternyata merupakan pria brengsek. "Laki-laki sialan! Kamu sudah menipuku! Kembalikan aku ke Indonesia, Brengsek!” umpat Sarah. “Ow, tidak bisa. “ Ammar menggerak-gerakkan jari telunjuknya. “ Ingat, Sarah. Papa kamu berutang tiga milyar. Dia tidak tahu bahwa ini adalah cara untuk men
Theo menggeleng tak percaya, ketika melihat Sarah berada di panggung. Padahal, menurut Andaru gadis itu pergi ke Inggris untuk bekerja di perusahaan kayu yang terletak di Birmingham. Namun, kenyataannya Sarah justru berada di tempat pelelangan. Theo sudah hampir naik ke panggung. Namun, seorang MC mendahului geraknya."Inilah puncak acara malam ini. Seorang perawan dalam kondisi dan kualitas sempurna akan menjadi penutup lelang. Dibuka dengan harga lima ratus ribu Euro!" seru si pembawa acara antusias.Sontak orang-orang di sekitar Theo mengangkat papan putih sebagai penanda bahwa mereka tengah menawar. Orang-orang itu berebut menyebut harga tertinggi, hingga berhenti di harga dua juta Euro."Dua juta seratus. Adakah yang berani menawar dua juta seratus? Jika tidak ada, maka nona cantik jelita ini akan jatuh ke tangan Tuan Campbell." MC tadi mengarahkan telunjuk, bersamaan dengan lampu sorot yang tertuju pada pada pria tua berpenampilan parlente. Pria itu terlihat sangat kaya dan somb
Sarah yang awalnya menunduk, langsung mengangkat wajah. Gadis itu menatap Theo dengan mata yang masih basah. Sarah hanya terpaku, ketika Theo berdiri teramat dekat dengannya. Dia merasa bahwa pria tampan tersebut, akan mengulangi apa yang dilakukan di dekat kolam renang beberapa waktu lalu. Apa yang Sarah pikirkan tidaklah keliru. Theo menangkup wajahnya, lalu mengusap pipi yang basah oleh sisa-sisa air mata. Tanpa berkata apa-apa, pria tampan tersebut melumat bibir berpoleskan lipstik merah, yang sejak tadi terlihat begitu menggoda baginya. Theo terus menikmati ciumannya bersama gadis itu, sambil menyingkirkan mantel yang menutupi tubuh indah putri Abizar tersebut. “Apa kau siap untuk kembali menangis. Sarah Delila?” bisik Theo setelah menghentikan ciumannya. “Apa maksudmu?” Sarah balik bertanya. Dia tak memahami ke mana arah ucapan Theo. Namun, sepertinya Sarah tak membutuhkan jawaban. Sentuhan bulu-bulu halus dari wajah maskulin Theodore Bresslin, sudah berhasil membuatnya menge
Deru napas memburu, meluncur dari bibir Theo. Sekian lama pria itu ‘berpuasa’ dari aktivitas seksual seperti apa yang sedang dilakukannya saat ini bersama Sarah. Semenjak menetap di Indonesia, Theo tak lagi menyentuh wanita manapun. Segala hasrat yang selama ini dibendung rapat oleh dinding kesendirian, akhirnya terlampiaskan. Theo merasakan kembali nikmatnya dimanjakan seorang wanita, dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya. Tak apa karena lawan mainnya bukan wanita yang sudah profesional. Theo justru patut bersyukur, karena menjadi pria pertama yang dapat menikmati keperawanan Sarah Delila. “Ah ….” Desahan panjang meluncur dari bibir Sarah, ketika Theo kembali menjamah tubuhnya yang sudah tak tertutupi apapun lagi, selain stoking jala di kaki jenjangnya. Gelisah mulai menyelimuti gadis itu, ketika dia merasakan ujung kejantanan Theo mulai menyentuhnya. “Jangan takut,” bisik Theo seraya melumat mesra bibir Sarah. “Kau ingin aku menangis karena ini?” tanya Sarah diiringi ringisan k
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sarah tertidur lelap, dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut. Gadis cantik tersebut tampak begitu kelelahan. Lain halnya dengan Theo. Dia masih terjaga. Pria itu duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat tidur, sambil menikmati sebotol minuman mahal. Theo menuangkan isi dari dalam botol ke gelas hingga terisi setengahnya. Dia meneguk sedikit demi sedikit, sambil duduk penuh wibawa. Diperhatikannya gadis yang tengah terlelap di tempat tidur. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. Theo merasa bahagia. Akhirnya, dia dapat melepaskan diri dari kungkungan masa lalu atas cinta yang tak kesampaian. “Sarah Delila,” ucap Theo menyebutkan nama itu dengan dalam. “Sarah Delila,” ulangnya sekali lagi. Theo meneguk habis minuman dalam gelas. Sementara, tatapannya masih tertuju kepada Sarah yang menggeliat pelan. “Sarah,” panggil Theo dengan suara berat tertahan. Perlahan, Sarah membuka mata. Pandangan gadis itu langsung tertuju pada
Sarah masih bersembunyi di balik selimut yang menutupi tubuh indahnya hingga ke dada. Dia terus memperhatikan Theo yang serius mengoperasikan telepon genggam. "Kau mau apa?" tanya Sarah pelan."Membantumu keluar dari sini," jawab Theo tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel."Bagaimana caranya?" cecar Sarah. Dia beringsut mendekat pada Theo, lalu menyandarkan kepala di bahu lebar pria itu."Percaya saja padaku," Theo menoleh kepada Sarah, kemudian mengecup lembut puncak kepalanya."Apa ada yang bisa kulakukan untuk membantu?" tanya Sarah lagi. "Untuk sementara, tenanglah dulu di sini," Theo meletakkan telepon genggam. Dia beralih sepenuhnya pada Sarah. Theo menyentuh dagu gadis cantik itu dan kembali menikmati bibir ranumnya."Jangan bukakan pintu untuk siapapun sampai aku kembali," titah Theo, sesaat setelah melepaskan tautannya."Kau mau ke mana?" Sarah mulai panik. Dia mencengkeram erat kedua lengan Theo."Mencari cara agar kita berdua bisa keluar dari sini tanpa diketahui,
Asisten kepercayaan Theo itu menatap sang majikan dan Sarah secara bergantian. "Kalian ... akan menikah?" tanya Andaru."Kurasa tak pantas untuk menjawab pertanyaanmu di tengah keadaan berduka seperti saat ini, Andaru," sahut Theo mengingatkan."Oh, maafkan saya. Saya hanya ...." Andaru tak melanjutkan kata-katanya, lalu memandang Sarah dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, saya permisi," ucap Andaru beberapa saat kemudian. "Saya harus mengurus pemakaman seperti yang diinginkan oleh Tuan Bresslin."Andaru mengangguk hormat pada Charlotte dan Austin, sebelum membalikkan badan meninggalkan ruang perawatan Sarah. Sesaat setelah menutup pintunya, Andaru menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan."Mas Andaru, terima kasih sudah memberikan saya tumpangan sementara sebelum pulang ke Indonesia," ucap Pradnya yang tiba-tiba sudah berdiri di luar kamar perawatan Sarah.Andaru sedikit terkejut. Dia mengusap-usap dadanya, kemudian tersenyum ramah pada Pradnya. "Tidak masalah, jangan ter
Sarah kini sudah berpakaian yang pantas. Charlotte meminjamkan dress cantik bermotif bunga untuk gadis cantik yang baru saja mengikrarkan hubungannya dengan Theo itu. Sambil menggenggam kertas kecil bertuliskan nomor ruangan, Sarah berlari-lari kecil melintasi koridor rumah sakit.Akan tetapi, sesampainya di kamar yang sesuai dengan catatannya, Sarah tak menemukan siapapun di sana. Ruang perawatan itu kosong. "Sebenarnya mereka berniat untuk merawatku di situ, tapi aku menolak. Aku merasa baik-baik saja," tiba-tiba terdengar sebuah suara yang teramat Sarah kenal dari arah belakang. Sarah langsung menoleh dan berbalik. "Theo! Syukurlah kau baik-baik saja!" ujarnya seraya menghambur ke pelukan Theo yang hangat."Maafkan aku karena telah memberimu catatan yang salah." Kata-kata Theo membuat Sarah mengernyit, lalu mengurai pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sarah ragu."Aku menyuruhmu ke rumah sakit, bukan untuk mendatangi ruangan ini," jawab Theo dengan sorot mata yang tak dapat diartik
"Saya tadi diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah saat anak buah Ammar menyeret mas Andaru dan bapak," tutur Pradnya. "Saat itulah saya mendengar bahwa mereka akan mengeksekusi anda semua tepat tengah hari nanti.""Kenapa harus menunggu sampai tengah hari?" celetuk Andaru. "Untuk memastikan bahwa Ammar sudah menerima mahkotanya lebih dulu," jelas Theo."Jadi, anda berniat untuk menjebak Ammar dengan mahkota itu?" Andaru terbelalak tak percaya. "Apakah pihak berwajib sudah merespons?" "Aku yakin mereka akan segera menanggapi laporan Cedric, mengingat kedekatanku dulu dengan Pak Walikota," gumam Theo."Nanti saja bicaranya, Tuan-tuan. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka datang," sela Pradnya. Theo dan Andaru saling pandang, lalu mengangguk. "Ayo!"Mereka bertiga bergegas keluar dari ruangan sempit yang mirip sel tersebut. Theo memimpin di depan, dibantu oleh Pradnya yang bertugas sebagai penunjuk arah. "Belok kanan, Sir," ujar Pradnya lirih.Theo terus melangkah waspa
"Andaru? Kau sudah datang?' Theo memicingkan mata seraya berusaha untuk bangkit. "Yes, Sir. Orang-orang Ammar mencegat kami di bandara, sama seperti yang telah anda rencanakan sebelumnya," jawab Andaru sambil membantu Theo untuk duduk. "Apa mereka sudah bergerak ke kandangku?" tanya Theo lagi. "Berdasarkan pengamatan Cedric, mereka sudah mendapatkan mahkotanya, Tuan," jelas Andaru. "Apakah yang kalian maksud itu adalah mahkota yang hendak dicuri oleh gerombolan Fahmi dulu?" sela seseorang yang tak lain adalah Abizar. "Oh, Abizar. Um, maksudku ... Pak Abizar. Apa kabarmu?" sapa theo dengan bahasa tubuh yang terlihat canggung. "Beginilah, Pak," sahut Abizar sembari tersenyum getir. "Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan putri saya," lanjutnya. Theo tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Putrimu aman bersama kedua orang tuaku," ujarnya pelan. "Benarkah? Oh, syukurlah," Abizar mengembuskan napas lega. "Lalu ... bagaimana setelah ini, Pak?" tanya Andaru. "Kau tenang saja," Theo
Ammar tertawa nyaring hingga suaranya menggema ke setiap sudut ruangan. "Sarah Delila bukan barang dagangan. Dia tidak dijual. Kami hanya menjual keperawanannya saja, tapi tidak dengan tubuhnya," tolak Ammar. "Oh, jadi Sarah Delila hanyalah properti?" Theo memicingkan mata seraya menatap tajam ke arah pria berambut hitam dan lurus itu. "Benar sekali. Sarah Delila adalah properti kami. Seumur hidupnya, gadis itu adalah milik organisasi kami," tegas Ammar. "Bagaimana jika kutukar dengan mahkota Blood Diamond?" Theo mengangkat satu alisnya. Senyum menyeringai terukir di wajah tampan itu. Ammar terkesiap untuk sesaat. Tampaknya dia berpikir keras untuk menjawab tawaran Theo. "Aku sudah menyuruh anak buahmu untuk menggeledah kediaman Baskoro dan villamu yang berada di Bali. Mahkota itu tak ada di sana," ujarnya. "Tentu saja tak ada di sana. Aku tak pernah membawa mahkota itu ke Indonesia," Theo tertawa mengejek. "Ta-tapi, anak buahku sudah menyelidiki bahwa mahkota itu selalu kau bawa
Theo mengendarai motor dalam kecepatan tinggi dan tiba di tempat yang dituju sepuluh menit kemudian. Dia memarkirkan motornya secara asal di depan sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai di sisi lain kota London. Theo seolah tak takut jika seseorang membawa motornya pergi.Tak ingin membuang waktu, Theo menendang pintu masuk gedung kosong itu sekuat tenaga, hingga terlepas dari engselnya. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling aula yang tampak tak terawat itu. Theo lalu mendekat ke arah lift yang akan membawanya ke bawah tanah. Dia berniat masuk ke sana ketika menyadari bahwa lift itu telah rusak. "Apa-apaan ini?" geramnya tak percaya.Tangan kekar Theo menggebrak pintu lift sekencang mungkin, lalu berbalik mengitari ruangan luas tersebut untuk mencari jalan turun lain. Namun sepertinya, lift tersebut hanyalah satu-satunya cara menuju markas rahasia Ammar. Theo memutar otak, lalu menghubungi anak buahnya. "Aku kesulitan memasuki markas Ammar, Cedric. Apakah kau tidak mempunyai infor
"Sebenarnya kau tidak benar-benar menghilang, Jonathan. Aku menyuruh Troy untuk selalu melacak keberadaanmu," sela Charlotte sembari menyunggingkan senyum puas."Betul sekali. Itu karena aku yang paling cerdas di keluarga ini," timpal Troy bangga. "Theodore Bresslin menjadi tokoh dunia hitam yang paling disegani, sampai-sampai pak walikota meminta dukungannya untuk mencalonkan ulang," lanjutnya. "Sayang sekali, Theo harus tergelincir kerikil kecil saat jatuh cinta pada istri sepupunya sendiri.""Sejak saat itu, Theo benar-benar menghilang dari jangkauan kami dan sama sekali tak terlihat atau terdengar kabarnya sampai detik ini," sambung Austin."Aku sudah tidak berkecimpung lagi di dunia hitam. Dulu aku membekukan bisnisku dan mengalihkannya ke sektor legal, sebelum aku pindah ke Indonesia," tutur Theo."Patah hati membuat orang berubah," Brendan menggeleng pelan."Akan tetapi, sekarang ... aku terpaksa harus menghidupkan kembali jaringanku untuk menghancurkan orang-orang yang sudah m
"Kami tidak pernah mengusirmu, Jonathan. Kau sendiri yang memilih untuk menjauh," sanggah Austin. Pria yang masih terlihat gagah di usianya yang tak lagi muda itu melipat kedua tangannya di dada sambil sesekali melirik ke arah Sarah. "Duduk dulu, Nak. Kita cari tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol," Charlotte meraih tangan Sarah dan mengajaknya ke teras berukuran luas yang terletak di samping mansion. Sementara anggota keluarga yang lain mengikuti langkah Charlotte. Ibunda Theo itu mendudukkan Sarah di atas kursi rotan berbantal busa yang empuk."Oh, ya. Di sini gerah sekali. Kurasa kau harus melepas dulu mantelmu," saran Charlotte."Um," setitik keringat dingin mengalir di dahi Sarah. Dia menoleh pada Theo seolah hendak meminta pertolongan."Justru itu dia kubawa kemari, Bu. Aku ingin meminjam beberapa helai pakaian untuknya," sahut Theo."Apa maksudmu?" Charlotte mengernyit tak mengerti."Begini ...." Theo kebingungan merangkai kata. Dia sempat menggaruk-garuk pelipisnya yang t
"Apa?" seru Sarah dan pria paruh baya itu secara bersamaan."Sarah, perkenalkan. Dia ayahku. Dia bernama Austin Dawson," ujar Theo yang tak mempedulikan keterkejutan dua orang tersebut."Siapa namamu, Young Lady?" pria bernama Austin itu terlihat sangat berwibawa. Dia menatap lembut seraya mengulurkan tangan."My name is Sarah Delila Ramdhan," Sarah menelan ludah sebelum membalas uluran tangan Austin."Darimana asalmu?" tanya Austin lagi."Um ...." Sarah yang kebingungan, menoleh pada Theo."Kami bertemu di Bali. Dia yang berhasil mengeluarkanku dari tempurung," kelakar Theo sambil terbahak."Ibumu harus diberitahu," Austin buru-buru berbalik dan meraih gagang telepon antik yang terpajang di atas meja kerja. "Theo ...." Sarah semakin was-was menatap pria rupawan di sampingnya. Berdasarkan pengamatan, jelas sudah bahwa Theo bukanlah pria biasa-biasa. Mansion dan sosok sang ayah cukup menjadi bahan penilaian Sarah bahwa mereka berasal dari keluarga kelas atas. Sementara dirinya hanyalah