Sarah tak bisa menyembunyikan perasaan takut dan was-was. Semakin kencang telapak tangannya meremas paperbag dalam dekapan. Tubuhnya seketika menegang saat Theo membuka pintu kamar lebar-lebar. Pria tampan berambut gondrong itu mempersilakan masuk sepasang pria dan wanita yang memiliki postur tubuh teramat mirip dengan Sarah dan Theo. Mereka juga bahkan memakai setelan yang sama persis dengan yang dipakai oleh dua sejoli yang baru saja menghabiskan malam dengan kegiatan panas itu. "Apa ini maksudnya, Theo?" tanya Sarah ragu. "Mereka datang untuk membantu kita, Sayang," jawab Theo. Dirinya tak ragu lagi memanggil Sarah dengan sebutan 'sayang'. Theo lalu berjalan mendekat dan menyentuh dagu Sarah. "Seperti yang kau tahu, di depan setiap pintu kamar hotel, terpasang kamera CCTV. Dari kamera itu, orang-orang pelelangan akan dapat mengetahui apakah tamunya sudah keluar ataukah belum," lanjutnya. "Jadi ...." Sarah masih agak ragu untuk mengemukakan pendapatnya. "Kita berpura-pura menjadi
Theo ternyata tak ingin berhenti. Dia mengulangi lagi percintaan panas yang dilakukannya bersama Sarah tadi malam. Wanita muda itu telah menjadi candu untuknya. Seakan tak habis dahaga Theo. Dia selalu menginginkannya lagi dan lagi, sampai Sarah menyerah dan memohon untuk berhenti. "Ya, ampun. Kau nakal sekali," keluh Sarah yang merasa tak nyaman di area bawah tubuhnya. Theo malah terkekeh sembari mendekap erat tubuh polos Sarah. Ranjang berseprei putih itu tampak berantakan. "Aku tidak bisa berpikir jika ada kau di dekatku," kelakarnya. "Ah, ternyata kau perayu juga," cibir Sarah sambil menelusupkan kepala di dada bidang Theo. Sesaat kemudian, Sarah menjauhkan wajahnya. Dia serius mengamati paras rupawan Theo yang juga tengah memandang ke arahnya. "Ada apa?" Theo menaikkan satu alis. "Tadi kau mengatakan bahwa tempat ini digunakan untuk mengatur strategi. Memangnya, dulu apa profesimu?" tanya Sarah penuh selidik. "Percayalah, Sarah. Kau tidak ingin tahu," jawab Theo. Tampak soro
Dress baru yang Theo belikan untuk Sarah tampak lusuh. Sudah dua hari mereka bersembunyi di containernya. "Ganti bajumu, Sarah. Biar kucuci dulu," titah Theo. Dia menghampiri Sarah yang sibuk mengelap perabot agar terbebas dari debu."Maaf, kemarin aku terburu-buru, tidak sempat membelikanmu banyak pakaian," Theo memeluk Sarah dari belakang, lalu mengecup pundaknya."Tidak apa-apa. Setelah baju ini dicuci dan kering, aku akan memakainya lagi," jawab Sarah enteng."Lantas? Kalau bajumu dicuci, kau mau memakai apa?" Theo tersenyum nakal. Tangannya mulai usil melepas kancing di bagian dada Sarah."Aku meminjam bajumu .... Ah, Theo," Sarah mendesah pelan tatkala satu tangan pria rupawan itu berhasil masuk ke dalam baju. Jemarinya bermain-main di sana."Hentikan," tolak Sarah. Dia berusaha membalikkan badan, tapi Theo menahannya."Sebentar saja," bisik Theo tepat di telinga Sarah. Dia kemudian mengangkat tubuh ramping itu dan membaringkannya ke atas ranjang. Entah berapa kali Theo menikmati
Sarah kembali melanjutkan kegiatannya membersihkan ruangan kecil dalam kontainer. Sambil memakai kemeja Theo yang terlalu besar, dia mengelap deretan buku-buku yang mulai berdebu di rak. Baru saja dirinya selesai mandi dan membersihkan diri, peluh menetes lagi di dahinya. "Ya, ampun. Panas sekali," gumam Sarah.Terlintas dalam benak gadis cantik itu untuk keluar dari ruangan peti kemas dan mencari angin sebentar. Ragu-ragu, Sarah berjalan ke arah pintu keluar dan membukanya. Namun, sayang sekali karena ternyata Theo telah mengunci pintu itu rapat-rapat."Ya, ampun," Sarah berdecak pelan, lalu berbalik ke arah ranjang dan mengempaskan tubuhnya. Dia membaringkan diri dalam posisi telentang. Teringat oleh Sarah telepon genggam yang menjadi satu-satunya harta yang tersisa, harus direbut secara paksa oleh Ammar."Papa," benak Sarah berpindah pada sang ayah. Entah bagaimana kabar Abizar saat ini, Sarah hanya bisa berdoa semoga ayahnya berada dalam keadaan baik-baik saja.Namun, sepertinya d
Gerombolan pria tinggi besar tersebut melepaskan pegangannya dari Abizar. Mereka langsung bersikap waspada sambil menyapu pandangan ke segala arah. Orang-orang itu langsung berpencar mencari arah datangnya tembakan. Sedangkan Abizar memilih berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci serta mengganjal pintunya menggunakan kursi.Salah seorang pria tinggi besar bermaksud mengejar Abizar sampai ke dalam kamar. Dia menaiki tangga menuju lantai dua dengan tergesa-gesa. Di anak tangga terakhir, langkahnya terhenti ketika sosok seorang pria tiba-tiba berdiri menghadang. "Siapa kamu! Minggir!" sentak pria tinggi besar itu.Sosok itu sama sekali tak gentar. Dia malah tersenyum meremehkan. "Kamu yang minggir," ujarnya santai."Kurang ajar!" Pria bertubuh kekar itu tak ragu mencabut senjata api yang terselip di balik pinggang, lalu mengarahkannya pada sosok yang tak lain adalah Andaru. Dia sama sekali tak mengira bahwa Andaru sanggup mematahkan serangannya dengan begitu mudah. Sebelum si pria sem
Sarah terbangun ketika mendengar suara pintu masuk kontainer terbuka. "Kenapa lama sekali? Aku sampai tertidur menunggumu," gerutunya seraya beringsut turun dari ranjang. "Apa kau suka masakan Italia?" Theo menyodorkan beberapa kotak makanan pada Sarah. "Makanlah," ucapnya lembut sambil melayangkan senyuman nakal. "Kenapa?" Sarah tetap merengut. "Kau tidak lupa membelikanku baju, 'kan?" "Iya," jawab Theo singkat. Pria tampan berambut sedikit gondrong itu melewati Sarah begitu saja, lalu menuju sebuah lemari besi yang berada di sudut ruangan. Dia memutar kuncinya hati-hati dan membukanya lebar-lebar. "Apa maksud dari kata 'iya'?" kejar Sarah. "Aku lupa membelikanmu baju," Theo tersenyum lebar. Suatu hal yang tak pernah dilihat oleh Sarah sejak dirinya bertemu dengan pria asli Inggris itu. "Lalu, kau akan membiarkanku memakai kemejamu terus-terusan?" protes Sarah seraya berkacak pinggang. "Aku lebih menyukai kau memakai kemejaku, karena akan lebih mudah bagiku untuk melepasnya,"
"Apa?" seru Sarah dan pria paruh baya itu secara bersamaan."Sarah, perkenalkan. Dia ayahku. Dia bernama Austin Dawson," ujar Theo yang tak mempedulikan keterkejutan dua orang tersebut."Siapa namamu, Young Lady?" pria bernama Austin itu terlihat sangat berwibawa. Dia menatap lembut seraya mengulurkan tangan."My name is Sarah Delila Ramdhan," Sarah menelan ludah sebelum membalas uluran tangan Austin."Darimana asalmu?" tanya Austin lagi."Um ...." Sarah yang kebingungan, menoleh pada Theo."Kami bertemu di Bali. Dia yang berhasil mengeluarkanku dari tempurung," kelakar Theo sambil terbahak."Ibumu harus diberitahu," Austin buru-buru berbalik dan meraih gagang telepon antik yang terpajang di atas meja kerja. "Theo ...." Sarah semakin was-was menatap pria rupawan di sampingnya. Berdasarkan pengamatan, jelas sudah bahwa Theo bukanlah pria biasa-biasa. Mansion dan sosok sang ayah cukup menjadi bahan penilaian Sarah bahwa mereka berasal dari keluarga kelas atas. Sementara dirinya hanyalah
"Kami tidak pernah mengusirmu, Jonathan. Kau sendiri yang memilih untuk menjauh," sanggah Austin. Pria yang masih terlihat gagah di usianya yang tak lagi muda itu melipat kedua tangannya di dada sambil sesekali melirik ke arah Sarah. "Duduk dulu, Nak. Kita cari tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol," Charlotte meraih tangan Sarah dan mengajaknya ke teras berukuran luas yang terletak di samping mansion. Sementara anggota keluarga yang lain mengikuti langkah Charlotte. Ibunda Theo itu mendudukkan Sarah di atas kursi rotan berbantal busa yang empuk."Oh, ya. Di sini gerah sekali. Kurasa kau harus melepas dulu mantelmu," saran Charlotte."Um," setitik keringat dingin mengalir di dahi Sarah. Dia menoleh pada Theo seolah hendak meminta pertolongan."Justru itu dia kubawa kemari, Bu. Aku ingin meminjam beberapa helai pakaian untuknya," sahut Theo."Apa maksudmu?" Charlotte mengernyit tak mengerti."Begini ...." Theo kebingungan merangkai kata. Dia sempat menggaruk-garuk pelipisnya yang t