Sarah menggerakkan sepasang matanya dengan tak beraturan ke kiri dan kanan. Gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut sepertinya tengah mempertimbangkan penawaran yang diberikan oleh Ammar. “Kamu bisa memikirkannya matang-matang terlebih dulu. Akan kukirimkan link web yang bisa kamu akses, untuk mendapat informasi yang jauh lebih lengkap. Silakan pelajari baik-baik. Siapa tahu kamu tertarik.” Ammar tersenyum kalem setelah berkata demikian. Dia dapat memastikan bahwa sebenarnya Sarah sudah mulai terpengaruh kata-katanya. Ammar berharap gadis itu setuju untuk bergabung ke dalam perusahaan yang disebutkan tadi. “Tidak ada salahnya kamu pertimbangkan, Nak. Pak Ammar bermaksud membantu kita dengan tulus,” ucap Abizar ikut mempengaruhi pemikiran Sarah yang masih ragu mengambil keputusan. “Saya hanya merasa khawatir, jika potensi yang dimiliki Sarah tidak disalurkan dengan baik, Pak Abizar. Kesempatan tidak datang dua kali,” timpal Ammar meyakinkan. “Ya, Anda benar sekali,” balas Abiza
Theo terdiam tak menanggapi perkataan Andaru. Pikiran pria itu malah seperti sedang tidak berada di sana. Andaru yang memperhatikannya sejak tadi, merasa heran sekaligus penasaran. "Anda kenapa, Sir?" tanyanya hati-hati. "Ah, itu … tidak apa-apa," jawab Theo tergagap. “Jadi, dari mana Abizar mengenal dia?" Pria asal Inggris tersebut mengalihkan pembicaraan, seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan. Tatap matanya menerawang ke luar jendela. "Entahlah, Sir. Ammar sendiri merupakan putra jutawan yang terkenal aktif dalam berbagai acara charity. Dia mempunyai banyak yayasan dan badan amal, serta mengepalai beberapa lembaga filantropi. Ammar juga memiliki channel youtube sendiri. Dia sering menyiarkan siaran langsung di kanal pribadinya, tentang segala hal yang berkaitan dengan program kemanusiaan dari lembaga milik ayahnya tadi,” jelas Andaru lagi."Hm, begitu ya?” Theo mengangguk, lalu berbalik menghadap Andaru. "Abizar hanya orang biasa. Dia tidak mungkin bisa masuk dengan begit
“Selamat malam, Sarah?” sapa pria yang tidak lain adalah Ammar. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Pak Ammar? Anda di sini?” tanya Sarah kebingungan. “Pak Ammar sengaja datang kemari untuk menemuimu, Nak,” ucap Abizar ikut berkomentar. “Oh.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Sarah. “Kenapa cuma ‘oh’?” Abizar tertawa pelan. Dia menarik pelan lengan Sarah, lalu mengarahkannya agar duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat Ammar berada. “Pak Ammar mengatakan ingin meminta kejelasan darimu, Nak.” “Kejelasan tentang apa?” tanya Sarah. Dia seperti tidak sedang fokus pada perbincangan itu. Ammar tertawa pelan melihat sikap Sarah yang terlihat serba salah. “Harap dimaklumi, Pak Ammar. Putri saya tidak pernah dikunjungi laki-laki manapun ke rumah. Jadi, sepertinya Sarah grogi,” jelas Abizar diiringi senyum ramah. Ammar terdiam sejenak mendengar ucapan Abizar. Dia menatap Sarah yang terlihat begitu polos, dengan tampilan apa adanya dalam balutan baju tid
“Inggris?” ulang Andaru. “Dalam rangka apa kamu pergi ke sana?” tanya asisten kepercayaan Theo tersebut. “Aku … aku ditawari bekerja di salah satu perusahaan pengolahan kayu,” jawab Sarah. “Apa? Maksudku, kenapa harus ke Inggris?” Nada pertanyaan Andaru menyiratkan rasa keberatan yang tidak dia ungkapkan. “Aku juga tidak tahu kenapa. Namun, ini seperti kesempatan emas yang sayang sekali jika kulewatkan begitu saja,” ujar Sarah. Gadis itu terdiam beberapa saat, karena Andaru tak menanggapi ucapannya. “Doakan aku, Andaru. Aku ingin membantu Papa melunasi uang yang telah dipinjamnya.”Andaru hanya mengembuskan napas berat. Pria itu lagi-lagi tak menanggapi. Andaru bahkan terdengar bicara dengan seseorang. Sarah sendiri tahu betul siapa si pemilik suara yang tengah berbincang dengan Andaru. Gadis itu ikut terdiam untuk beberapa saat, sampai asisten Theo tersebut kembali menyapanya. “Hallo, Sarah.” “Ah, i-iya.” Tiba-tiba, Sarah menjadi gugup setelah mendengar suara Theo. Perasaannya k
"Apa ... kau meminta alamat tempat tinggalnya selama di Inggris?" tanya Theo ragu-ragu. "Tidak, Sir. Sarah hanya mengatakan akan bekerja di perusahaan pengolahan kayu yang berpusat di Birmingham," jelas Andaru. "Apa?" Theo mencengkeram kemudi erat-erat. "Apa kau yakin?" desisnya pelan. "Seperti itulah yang Sarah katakan pada saya, Sir. Apakah ada masalah?" Andaru menoleh pada majikannya dengan raut penuh tanda tanya. "Hampir seluruh hidup kuhabiskan di Inggris. Tak sekalipun aku tahu bahwa ada pabrik pengolahan kayu di sana," gumam Theo. Giliran Andaru yang memucat. Dia mengalihkan pandangan pada Theo dengan sorot was-was. "Haruskah kita khawatir?" tanyanya. Dalam hati Andaru berharap supaya dapat ikut pergi bersama Theo ke Inggris. Namun dia segera sadar bahwa hal itu tidaklah mungkin. Sang majikan mempercayakan bisnisnya di Indonesia pada Andaru selama pria itu pulang ke negaranya. "Tenang saja. Selama berada di London, aku akan mencoba mencari informasi tentang Sarah," sahut
"Apa maksudnya?" Sarah mengernyit tak mengerti. "Aku hanya akan bekerja di perusahaan kayu, bukan berangkat perang?"."I-iya." Pradnya mengangguk, sambil memaksakan senyum. "Cepatlah mandi. Kita tidak boleh terlambat," ujarnya kemudian."Oke." Dengan sorot spada, Sarah meninggalkan Pradnya sendiri. Dia menghabiskan kurang dari setengah jam untuk membersihkan tubuh di kamar mandi. Setelah berganti pakaian dan mengoleskan make up sederhana, Sarah melingkarkan tali tas selempang kecil. Gadis itu kemudian mendekat kepada Pradnya. "Aku sudah siap," ucap Sarah seraya mengangguk. Dia sempat mencari tahu melalui telepon genggamnya, bahwa perjalanan dari London menuju Birmingham akan memakan waktu kurang lebih dua jam. Namun, betapa terkejutnya Sarah, ketika Pradnya membawa dia ke sebuah gedung yang berjarak tak jauh dari hotel. Pradnya lalu mengajak Sarah masuk ke kamar berukuran tidak terlalu luas, yang mirip dengan ruang praktik dokter."Bukannya kita akan ke stasiun kereta? Kalau ke Birmi
Ammar berdiri tenang. Sorot matanya terlihat lain, dari sosok pria yang Sarah kenal beberapa waktu lalu. Kali ini, Ammar tak seramah biasanya. Senyum serta raut wajah pria itu tampak sangat aneh. Terlebih, ketika dia memperhatikan tubuh Sarah yang hanya ditutupi bantal. “Pak Ammar? Apa-apaan ini?” tanya Sarah dengan intonasi tinggi. "Tenanglah, Sarah. Sebentar lagi kamu akan naik panggung," jawab Ammar tenang. Dia mendekat sambil menyunggingkan senyuman yang semakin aneh. Ammar bahkan sempat melihat kaki jenjang serta bagian atas tubuh Sarah dengan tatapan nakal. Dia bermaksud menyentuh dagu Sarah. Namun, dengan segera Sarah memalingkan wajahnya. Dia tak akan sudi disentuh seseorang seperti Ammar, yang ternyata merupakan pria brengsek. "Laki-laki sialan! Kamu sudah menipuku! Kembalikan aku ke Indonesia, Brengsek!” umpat Sarah. “Ow, tidak bisa. “ Ammar menggerak-gerakkan jari telunjuknya. “ Ingat, Sarah. Papa kamu berutang tiga milyar. Dia tidak tahu bahwa ini adalah cara untuk men
Theo menggeleng tak percaya, ketika melihat Sarah berada di panggung. Padahal, menurut Andaru gadis itu pergi ke Inggris untuk bekerja di perusahaan kayu yang terletak di Birmingham. Namun, kenyataannya Sarah justru berada di tempat pelelangan. Theo sudah hampir naik ke panggung. Namun, seorang MC mendahului geraknya."Inilah puncak acara malam ini. Seorang perawan dalam kondisi dan kualitas sempurna akan menjadi penutup lelang. Dibuka dengan harga lima ratus ribu Euro!" seru si pembawa acara antusias.Sontak orang-orang di sekitar Theo mengangkat papan putih sebagai penanda bahwa mereka tengah menawar. Orang-orang itu berebut menyebut harga tertinggi, hingga berhenti di harga dua juta Euro."Dua juta seratus. Adakah yang berani menawar dua juta seratus? Jika tidak ada, maka nona cantik jelita ini akan jatuh ke tangan Tuan Campbell." MC tadi mengarahkan telunjuk, bersamaan dengan lampu sorot yang tertuju pada pada pria tua berpenampilan parlente. Pria itu terlihat sangat kaya dan somb