Dua Hari setelah dia bertemu kembali dengan Jackob, Shanara merasa tidak nyaman dia meminta keluar dari rumah sakit secepat mungkin, tapi dokter Edward selalu menahannya dengan alasan masih ada beberapa pemeriksaan yang harus ia jalani.
Tapi hari ini dengan wajah memelas Shanara berhasil mendapatkan ijin dokter Edward untuk meninggalkan rumah sakit.
Shanara berada disana lebih dari satu minggu dan dia juga tidak membawa ponselnya, sahabatnya pasti mengkhawatirkannya. Dengan sedikit terburu-buru Shanara keluar dari rumah sakit dan memanggil taxi, duduk di kursi penumpang dia menyebutkan alamat apartement nya. Satu jam kemudian taxi berhenti di depan sebuah apartement di daerah D kota Adelite, kawasan ini adalah area kelas bawah dan apartemen di daerah D masih sangat terjangkau oleh karyawan swasta sepertinya ini.Dari jarak sekitar 20 meter sebuah mobil BMW hitam terparkir di pinggir jalan, sepasang mata menatap tajam kearah wanita yang baru memasuki bangunan tua di seberang jalan itu. Senyum merekah di bibir laki-laki itu, Tenyata selama ini gadis yang dia cari selama empat tahun itu berada disini.
Shanara yang tidak menyadari dirinya di perhatikan sepasang mata dari seberang jalan itu membuka pintu apartemen mungilnya, rasa lega pun menyelimuti hatinya, dia menghempaskan diri di sofa yang berwarna hijau itu, meski tidak begitu empuk, semua perabotan dalam apartemen nya yang hanya memiliki satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur berukuran kecil itu dia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Shanara merasa bangga pada dirinya yang berhasil melewati berbagai cobaan hingga bisa berada di posisi saat ini. Tapi wajahnya tiba-tiba muram keberadaannya di kota Adelite ini tidak mungkin bisa tenang, sekarang dua orang yang paling dia benci mengetahuinya, rasa tidak nyaman menyelimuti hatinya. Shanara kemudian teringat sesuatu, dia telah menghilang lebih dari satu minggu dan saat itu keluar rumah dia tidak membawa apa-apa selain uang dan kunci apartemen nya. Dia bangkit dari sofa lalu berjalan ke dalam kamar tidurnya yang hanya berukuran 4x4 itu. Tangannya mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas meja samping ranjangnya itu, tentu saja ponsel tersebut dalam keadaan mati karena tanpa daya selama beberapa hari. Shanara kemudian menyambungkan kabel charger, sambil menunggu ponsel itu menyala dia berfikir tentang sahabatnya yang sudah pasti sangat mengkhawatirkan dirinya. Beberapa menit kemudian ponsel Shanara pun menyala dan otomatis ponsel itu berbunyi tanpa henti, diliriknya kelayar, pesan-pesan bermunculan, sekitar 20 pesan dan panggilan tak terjawab dari Clara sahabatnya, beberapa pesan dan panggilan lain dari nomor tidak di kenal dan nomor Bar tempatnya bekerja. Selama dua tahun bekerja di The Heaven Bar dia tidak pernah bolos apalagi menghilang selama itu tanpa memberitahu. Shanara memencet tombol panggil dan mendekatkan kepalanya ke ponsel yang masih terhubung dengan kabel itu. ''Shanara !!! Pekik suara dari seberang telepon membuat Shanara spontan menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Belum sempat mengucapkan kata ''Halo'' suara Clara yang melengking itu lansung menyemprotnya. ''Kemana saja kamu?" aku hampir saja mati karena kawatir! kamu tidak di apartemen dan tidak menjawab telepon hampir dua minggu Nara.'' Clara yang merupakan sahabat dekatnya itu mengomel tanpa mengambil nafas. ''Heeyy..! hey.. ! Sabar biar aku jelaskan dulu.'' Dengan nada lembut Shanara mencoba menenangkan sahabatnya yang terdengar sangat panik itu. Shanara lalu menceritakan semua yang terjadi tanpa memberi Clara kesempatan untuk mengomelinya. ''Kecelakaan?'' Sekarang bagaimana? apa kamu tidak apa-apa?!'' Clara masih terdengar kawatir. ''Sudah tidak apa.'' Oh ya, selama aku tidak ada bagaimana di Heaven apakah Danniel marah dan mungkin telah memecat ku? Shanara tampak kawatir ''Marah?! Iya dia marah, karena kamu menghilang tanpa berita, tapi dia mana bisa memecatmu yang menjadi penghasil terbesar bisnis nya itu. Ucap Clara yang berpura-pura kesal karena mereka bekerja di tempat yang sama tapi berbeda profesi, Clara yang merupakan seorang Waitress itu bertugas di luar bar, membersihkan meja dan mengantarkan minuman.Sedangkan Shanara yang memiliki keterampilan di bidang mencampur minuman itu bertugas di belakang bar sebagai Bartender dan dia merupakan satu-satunya bartender wanita di sana, ketrampilanya melebihi para bartender lain yang berjumlah enam orang itu. Minuman-minuman yang di buat Shanara adalah pilihan utama para pelanggan bar.
''Sudahlah, kamu tidak perlu kawatir, Nanti aku akan menjelaskan semuanya pada Danniel, Daniel yang merupakan pemilik The Heaven itu adalah laki-laki berusia awal 30 an dia sangat baik kepada semua karyawannya terutama Shanara, Awalnya banyak yang iri pada Shanara yang selalu mendapat perhatian khusus dari boss mereka itu tapi setelah mereka mengetahui dampak yang di bawa Shanara membuat mereka mengerti kenapa Danniel begitu mengutamakan gadis itu. Shanara adalah gadis yang lincah, periang dan ramah pada semua orang di tambah ketrampilan nya meracik minuman membawa nama The Heaven semakin banyak di kenal. 2 Tahun Lalu saat pertama Shanara mulai bekerja disana Bar itu sangat sepi pengunjung, dan suasananya terlihat mati. Kehadiran Shanara telah merubah semuanya di The Heaven itu, selain tempat itu selalu ramai setiap malam tempat itu juga menjadi tempat pavorite para penikmat hiburan malam. ''Terimakasih Clara, aku akan kembali bekerja mulai besok.'' Ucap Shanara merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Clara. ''Kamu yakin sudah bisa mulai bekerja?'' Suara Clara masih terdengar sedikit kawatir. ''Yakin! Jawab Shanara singkat. ''Ok kalau begitu, sampai bertemu besok.'' Clara yang saat ini medapat shift siang itu menutup telepon dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Selama seminggu ini Bar sedikit sepi, Clara tau penyebabnya, Kehadiran Shanara di tempat itu sangat berpengaruh. Gadis itu bisa membuat suasana menjadi hidup. Memikirkan sahabatnya baru tekena musibah itu hati Clara merasa sedih, dia tau penderitaan Shanara dari pertama kali mereka bertemu 4 tahun lalu tapi Shanara adalah tipe wanita tegar dia tidak mudah menyerah. Dia berhasil menyesaikan kuliah nya tahun lalu dengan hasil jerih payahnya sendiri. Shanara yang baru saja memutuskan sambungan teleponnya dengan Clara tampak termenung. Setelah berfikir panjang dia bertekad kali ini tidak akan lari lagi, dia tidak akan membiarkan mantanya yang brengsek dan kakak tiri yang tidak tau malu itu menghancurkan kehidupannya di sini. Kota Adelite adalah rumahnya dia tidak akan membiarkan siapapun mengusik ketenangannya disini. Ketika dia baru beranjak dari ranjang dan hendak pergi mandi ponselnya kembali berdering. Nomor tidak di kenal muncul di layar dia lalu menekan tombol jawab. ''Halo" Ucap nya pelan ''Halo! Ini Shanara?'' Suara seorang wanita dari seberang telepon"Iya.'' Maaf dengan siapa ini?'' Tanya Shanara lembut dan sopan
''Shanara! Ini oma, tadi kerumah sakit tapi dokter Edward mengatakan kamu sudah keluar. Suara di seberang telepon terdengar kawatir.<span Shanara berfikir sejenak lalu berkata ''Oma'' Maaf, Saya memang meminta keluar lebih awal karena saya merasa tidak perlu di rawat lagi. Ucap nya merasa bersalah karena tidak menunggu kunjungan dari Nyonya Elisabeth itu. ''Tidak apa-apa, yang penting kamu memang sudah benar-benar pulih, Oma tidak kawatir. ''Oh ya! Oma saat ini sedang lewat tempat kecelakaan itu.'' Bukan kah kamu tinggal di dekat sini?! Ucap nyonya Elisabeth yang sedikit berbohong, saat dari rumah sakit dia lansung meminta sopir nya lewat jalan ini agar bisa bertemu gadis itu. ''Apa?'' Oma berada dekat sini?! Shanara tampak terkejut, wanita tua itu saat ini ada di area tempat kecelakan itu terjadi, hanya beberapa meter saja dari apartemen nya. ''Iya! Oma berfikir, karena sudah disini, kenapa tidak mampir dan minum teh. Ucap wanita itu penuh harap. Shanara tidak tega tidak mengundang wanita itu untuk mampir. ''Baiklah, Oma tunggu disana, Saya akan keluar menjemput. Ucapnya tanpa menunggu jawaban dia lalu memutuskan sambungan telepon lalu bergegas keluar. Dua menit kemudian Shanara tampak celingak celinguk di jalan tempat kejadian, di pinggir jalan terparkir mobil mewah berwarna putih. Mobil itu bergerak menghampirinya lalu berhenti di depannya. ''Oma, kenapa repot-repot datang kemari?'' Shanara merasa tidak enak, berhadapan dengan seorang wanita yang berpakaian serba mewah dan turun dari mobil mewah di tempat seperti ini.Nyonya Elisabeth tersenyum lembut sambil menyodorkan keranjang buah berbungkus cantik yang di bawa nya itu ke tangan Shanara.
''Tidak apa-apa, Oma kebetulan lewat sini dan teringat kalau kamu tinggal di sekitar sini, karena itu Oma menelpon mu. ''Oh begitu, Ya sudah, Ayo masuk dulu oma.'' di luar sini panas sekali. Shanara mempersilahkan Nyonya Elisabeth yang hanya datang bersama sopir nya itu masuk sambil memeluk keranjang buah yang di beri oma kepadanya. ''Maaf oma tempat saya tidak begitu besar.'' Ucap Shanara merasa malu, melihat wanita tua itu lansung duduk santai di sofa nya yang keras tanpa menunggu perintah, Shanara sedikit kaget melihat sikap wanita kaya itu. ''Tidak perlu begitu sopan, Oma senang bisa mampir kesini dan melihat tempat tinggalmu. Ucap nyonya Elisabeth tersenyum sambil memandang sekeliling ruangan yang sederhana itu. ''Kamu disini tinggal sendiri?'' Tanya nya pada Shanara yang tampak salah tingkah dihadapannya itu. ''Ayo sini duduk.'' Kenapa berdiri saja. Tambahnya menepuk-nepuk sofa di sampingnya. ''Err.. Iya oma! Shanara buru-buru duduk di sofa samping wanita tua itu. ''Iya Oma, disini saya tinggal sendiri, dan selama tinggal disini oma adalah orang kedua mampir kesini.'' Ucapnya jujur, Karena memang selama ini hanya Clara satu-satunya orang yang tau tempat tinggal nya ini. ''Oh! kenapa bisa begitu? apa kamu tidak mempunyai teman? Tanya nyonya Elisabeth tampak tertarik, dia tau dari dokter Edward, Shanara tidak memiliki keluarga. ''Hanya ada satu teman yang tau tempat tinggal saya oma. Shanara menjawab dengan jujur. Dia memang tidak suka tempat tinggalnya di ketahui banyak orang, dia masih merasa di kejar-kerjar oleh masa lalunya. Melihat raut sedih menyelimuti wajah gadis di hadapannya itu Nyonya Elisabeth tampak tidak enak. Mungkin pertanyaannya tadi telah mengingatkan gadis itu pada hal yang tidak menyenangkan. "Maaf, Oma tidak bermaksud.. Ucapan nya di hentikan Shanara. ''Tidak apa-apa oma'' Oh ya oma.'' Mau minum teh atau kopi? Shanara tiba-tiba teringat dia belum menawarkan wanita itu minum. ''Teh saja boleh.'' Oma kembali tersenyum lalu bersandar di sofa dengan santai, sambil meninggalkan wanita itu Shanara bergegas ke dapur untuk membuatkan teh, dari arah dapur dia dapan melihat Nyonya Elisabeth tampak nyaman di ruang tamunya yang berukuran kecil itu, walau dia adalah wanita dari kalangan atas wanita itu tampak tidak memeperdulikan kondisi apartemen nya yang sempit ini. Lima menit kemudian Shanara kembali dengan nampan berisi dua cangkir teh manis dan sepiring biskuit. Hanya itu yang dia miliki di rumah. ''Silahkan di minum oma, Maaf seadanya! Shanara tertunduk malu. ''Haha.. Shanara kamu tidak perlu sungkan begitu, Oma yang seharusnya minta maaf datang kesini tanpa membuat rencana terlebih dahulu. Ucap nyonya Elisabeth mengambil sepotong biskuit dan menyeruput teh yang menyegarkan rongga hidung itu. ''Teh ini enak sekali! Nyonya Elisabeth mengecap-ngecap bibir tampak terkejut memandang cangkir teh di tangan nya itu, aroma teh yang wangi itu terasa sangat pas di lidahnya. ''Benarkah oma? Shanara tersenyum melihat Nyonya Elisabeth yang tampak menyukai teh buatannya itu. ''Dari mana asal teh ini dan apa merk nya?'' Oma ingin membeli yang sama untuk di rumah. Ucap Elisabeth tampak seperti telah menemukan harta karun, dia yang merupakan nyonya besar dari keluarga yang mampu mengguling langit itu tentu telah mencoba berbagai merk teh dari segala penjuru dunia tapi baru kali ini dia menemukan teh senikmat ini. ''Err..itu..itu.'' teh buatan saya sendiri oma.'' Shanara tampak malu-malu sambil menggaruk kepala yang tidak gatal itu. Mendengar Ucapan Shanara, nyonya Elisabeth tampak tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, teh yang dia minum ini adalah buatan nya sendiri?'' ''Oma jangan kaget.'' Saya bekerja di sebuah bar dan pekerjaan saya sehari-hari adalah meracik minuman, jadi saya sering berkreasi sendiri. Ucap Shanara menjelaskan. ''Kalau begitu kamu sangat berbakat Shanara.'' Setua ini baru pertama kali Oma minum teh senikmat ini. Puji nyonya Elisabeth dengan tulus.''Ah oma bisa saja! Saya memang punya sedikit keterampilan di bidang meracik minuman oma, tapi.. saya sangat buruk dalam memasak,,! Shanara mengakui dia kurang pandai dalam hal memasak itu mengerucutkan bibirnya.
Nyonya Elisabeth terkekeh sambil berkata ''Oh itu tidak masalah, asalkan kamu membuat teh seperti ini setiap hari untuk oma maka sebagai gantinya oma akan mengajarimu memasak sampai pintar. Dalam hati dia berharap bisa lebih dekat dengan Shanara. Dan jika gadis ini mau belajar memasak darinya itu akan sangat menyenangkan, Karena dia Elisabeth sangat suka memasak, Walau di rumah sudah memiliki beberapa pengurus rumah dan koki terkenal dan dia juga sudah jarang berada di dapur tapi hanya untuk sekedar menghibur diri yang sedang jenuh dia akan memasak. Walau usianya sudah tidak muda lagi tapi dia selalu membiasakan diri selalu aktive. Memasak adalah terapi baginya. Dia akan sangat senang jika Shanara tertarik. ''Wah benarkah oma,,? Mata Shanara tampak berbinar penuh semangat, dia sangat ingin bisa memasak, karena walau dia ahli dalam meracik minuman, tapi dalam hal makanan dia benar-benar payah. "Tentu saja! Di rumah Oma sering merasa kesepian dan bosan, Akan sangat menyenangkan jika kamu mau menemani Oma disana. Nyonya Elisabeth tampak sangat senang.Mendengar ucapan Nyonya Elisabeth Shanara merasa gembira sekaligus kasihan, dia pikir mungkin begitulah nasib kebanyakan orang tua, walau kekayaan berlimpah, anak cucu jika sudah besar maka akan jarang bersama mereka. Shanara dapat mengerti perasaan Oma saat itu, selain dia memang sangat ingin belajar memasak dia juga berfikir menemani Oma akan membantu wanita tua itu sedikit bahagia, entah kenapa dalam hati muncul perasaan perduli pada wanita ini. "Oma, kalau begitu Shanara akan berkunjung pada hari libur." "Hem, itu bagus, Oma akan menyuruh sopir menjemput mu. "Ah, Shanara rasa itu tidak perlu Oma, tidak mau merepotkan." Shanara bisa naik bis saja. Ucapnya menolak "Akan lebih baik jika di jemput sopir, nanti kamu tidak akan kerepotan mencari alamat Oma. Pinta nyonya Elisabeth berharap gadis itu tidak menolak permintaannya.
Pukul tiga keesokan harinya Shanara memasuki The Heaven bar lewat pintu karyawan setelah berada di dalam dia di sambut ramah oleh rekan kerja yang hampir tiga minggu ini tidak dilihatnya. "Shanara.." Akhirnya kamu kembali juga! Bar mulai sepi tanpa kamu. Ucap Vivian yang sudah bekerja disana lebih lama dari Shanara. "Maaf.. Aku.. Ucapannya segera di potong oleh Vivian "Kami semua sudah tau dari Clara." Katanya kamu habis kecelakanan." Bagaimana keadaan mu? Tanya Vivian tampak kawatir. Walau tidak sedekat Clara, Vivian adalah gadis yang baik dan ramah, Shanara tersenyum lalu berkata "Aku sudah tidak apa-apa." Tidak ada yang serius. Ucapnya "Oh syukurlah kalau begitu! Karena kalau kamu libur lebih lama lagi aku takut Daniel akan gulung tikar. Ucapnya sembari terkekeh. "Ahh ya! dia ada di ruangannya." Sana gih temui dia
"Silangkan kalau kalian mau mencoba." Tapi jangan lupa aku sudah mengingatkan kalian." Ucap Brad Masih tetap sibuk di belakang bar Shanara hanya mendengarkan komentar para pelanggan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Cocktail Tomb Rider yang ia ciptakan itu memang memiliki kemampuan membuat orang yang minum lemas secara perlahan. Karena rasa yang enak dan naiknya perlahan membuat orang terus memesan tanpa mendapat effek yang cepat. Tapi setiap alcohol pasti memabukan jika di konsumsi berlebihan. Saat sudah hampir pukul 10 keadaan bar sedikit santai. "Matt, Jordan." Aku tinggal sebentar." Ucapnya segera menuju kekamar mandi. Tiga menit kemudian dia keluar setelah mencuci tangan dan merapikan diri dia berniat kembali ke belakang bar, tinggal satu jam lagi dia sudah bisa pulang, hari pertama cukup melelahkan pikirnya.
Melihat adegan itu spontan semua menatap tajam ke arah Shanara terutama para wanita kesal sekaligus iri bisa berada dalam dekapan pria setampan itu. "Hey..!!! Bu..bukan kah dia..dia itu Gillian..?" Pekik salah satu wanita dari kerumunan orang. "Maksud mu?" Gillian Anderson?" Jerit wanita di samping wanita tadi. "Benar! Aku yakin sekali itu dia." Walau tidak seratus persen karena laki-laki itu sangat jarang muncul di media tapi laki-laki itu pernah muncul dalam sebuah interview ekslusive beberapa tahun lalu saat dia mengambil Alih kendali perusahaan raksasa milik keluarganya. Di kota Adelite siapa yang tidak kenal dengan keluarga Anderson, keluarga yang paling mendominasi dan merupakan keluarga terkaya nomor satu disana. Berita mengenai pengalihan hak kuasa Anderson Corp pada putra tunggal mereka Gillian Anderson itu cukup menggemparkan beberapa tahun lalu
Di balik tembok dekat pintu keluar Hellen menyentuh bagian dadanya, hatinya terasa sakit, saat keluar dari ruangan VIP The Heaven tadi dia tidak secara lansung meninggalkan tempat itu, dengan bersandar di tembok ruang VIP yang tidak kedap suara itu dia dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Hellen baru menyadari selama ini dirinya hanya di manfaatkan oleh mereka, Dia merasa sangat kecewa karena selama ini orang-orang yang dia anggap teman itu tidak pernah tulus padanya. Hellen melangkah keluar The Heaven dengan wajah tertunduk dan hati yang penuh emosi. Di tempat lain di sebuah Villa mewah kawasan A, Gillian duduk di ruang kerjanya menghadapi setumpuk dokumen namun pikiran laki-laki itu tidak berada di sana, sepasang mata nya yang tajam menatap jari-jari tangan nya, dia kembali teringat insiden di bar tadi, dia begitu dekat dengan gadis itu hingga menyentuh pinggang dan lengan nya, Tapi yang membuat Gillian merasa
Shanara memandang sambungan telepon yang telah terputus itu sambil geleng-geleng kepala, Begitulah hubungannya dengan Clara mereka tidak akan memperdulikan waktu jika ada hal yang cukup mendesak. Shanara meletakkan ponsel itu di meja samping ranjangnyanya, kemudian mematikan lampu, Beberapa saat kemudian dia pun terlelap dan bermimpi. Dalam mimpinya itu Shanara melihat seorang bocah laki-laki yang di dorong seseorang dari atas jembatan, bocah itu tercebur ke dalam sungai, Shanara mencoba mengenali kedua pria yang mendorong anak itu tapi pandangannya itu kabur dan kedua orang itu menghilang dengan cepat. Shanara berlari ketepi sungai untuk melihat bocah laki-laki tadi, entah kenapa saat ini tubuhnya tiba-tiba mengecil. Dia kembali ke saat usianya masih lima tahun. Melihat bocah laki-laki itu menggapai-gapai dan hampir tenggelam Shanara menjadi panik, tanpa berfikir panjang dia terjun kesungai u
lain yang lebih baik dari Jackob maka dia tidak terlalu keberatan melepaskan laki-laki itu walau dia nanti akan memilih kembali pada Shanara. Maggie teringat kejadian di The Heaven Bar minggu lalu, "Gillian" bisiknya, senyum merekah dibibir merahnya. Jika dia bisa mendapatkan pria itu maka dia tidak akan berfikir dua kali untuk mencampakan Jackob." Dan jika dia kembali pada Shanara maka perempuan sial itu akan mendapat bekas nya. Senyum di bibir Maggie semakin melebar. Dia menyusun rencana untuk tinggal beberapa saat di kota Adelite dan akan lebih baik jika dia bisa membuat sedikit masalah dengan Jackob, dia bisa menjadikan itu sebuah alasan untuk meminta waktu sendiri pikirnya. Maggie mengambil ponsel dari dalam tasnya dan segera menelpon sahabatnya Nancy. "Nan." Aku mau berlibur di kota Adelite untuk beberapa minggu." Uca
Saat dia memasuki ruang tamu dia terkejut melihat siapa yang kini sedang duduk bersama kedua orang tuanya. "Maggie !!" Apa yang kamu lakukan disini?" Jackob kaget melihat Maggie yang tengah duduk santai mengobrol bersama kedua orang tua Jackob Tuan dan Nyonya Persley. "Jack! Kebetulan kamu kembali, Papa baru saja mau menelpon mu. Ucap Jarrot Persley yang lansung menghampiri dan merangkul pundak Jackob "Jack ! Kenapa tidak bilang papa dan mama kalau kamu di luar sana sudah memiliki kekasih dan sudah memberi kami cucu." Clarrise Persley menimpali seraya menuntun Jackob untuk duduk di tengah-tengah mereka. Mendengar kedua ucapan papa dan mamanya wajah Jackob seketika berubah, sepasang mata tajamnya menatap Maggie penuh tanda tanya dan kemarahan, tatapannya itu membuat bulu kuduk Maggie merinding. "Sebentar ma, pa ! Jackob ingin bicara pribadi deng
Shanara dapat merasakan nafas mint laki-laki itu yang membuat jantung nya berdegup tak beraturan. Memang benar yang dia ucap kan, ini yang kedua kalinya mereka bertemu dan selalu saja saat dia akan terjatuh dan berakhir dalam pelukan pria itu. "Eeh maaf.'' Ucap Shanara gugup sembari kembali berdiri. Kamu tidak apa-apakan? Tanya laki-laki itu dengan sikap yang amat lembut sambil memperhatikan Shanara dari atas ke bawah untuk memastikan kulit gadis itu tidak terkena kuah panas tadi. " Tidak aku tidak apa-apa.'' Terimakasih! Ucap Shanara sedikit bergetar karena gugup. Untung saja dia tadi bergerak cepat melempar mangkuk itu kesamping karena kalau tidak, tubuh dan wajahnya pasti terkena kuah panas itu. "Sha..'' Kamu tidak apa-apa?" Tanya Oma menghampiri seraya memandang Shanara dari atas ke bawah memeriksa keadaan gadis itu dengan raut panik masih melekat di wajahnya yang mulai keriput. "Ahh..eeh Oma.. Iya.. Maaf telah membuat mu kawatir, tadi Saya terpel
"Sha.." Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Elizabeth ketika dia melihat wajah murung Shanara setelah menatap lekat pada lukisan di ruang tamunya itu. "Aah Oma." Iya Saya tidak apa-apa." Jawab Shanara sedikit gugup. Elizabeth menatap lekat wajah Shanara yang tiba-tiba berubah murung itu. "Apa kamu yakin Sha.?" Tanya Elizabeth untuk memastikan. "Iya oma, maaf sudah membuat oma kawatir, tadi saya hanya teringat masa lalu. Ucapnya menjelaskan. "Oh baiklah kalau begitu kita duduk dan minum dulu.'' Ajak Elizabeth sembari menuntun Shanara menuju Sofa. Sepertinya lukisan itu telah mengingatkan Shanara pada masa lalunya yang sepertinya bukanlah hal yang menyenangkan pikir Elizabeth. Dan dia pun tidak ingin memperpanjang masalah itu. Apa sebenarnya yang di alami gadis ini sehingga dia jadi tampak begitu sedih. Mungkin sebaiknya aku menyelidiki latar belakang Shanara. Pikir Elizabeth, walau status dan latar belakang keluarga tidak begitu penting baginya dan keluarga Ander
Sementara itu di kediaman nyonya Anderson suasana terlihat kembali tenang para pelayan telah selesai mengerjakan tugas-tugas yang di berikan oleh kepala pelayan. "Apa kamu tidak kangen sama Oma?! Sudah hampir dua minggu kamu tidak menjenguk Oma loh! Suara berat Elizabeth terdengar memelas sambil menempelkan handphone ke telinganya. "Pokoknya Oma tidak mau tau, hari ini kamu harus datang menjenguk Oma! Titik!! Elizabeth menggunakan nada sedikit tinggi. Di seberang telepon Gillian tampak kehabisan alasan dia memijit keningnya, dia tau betul jika Oma sudah ngotot maka tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menuruti kehendak beliau, walau saat ini pekerjaan nya menumpuk. Gillian menghela nafas menyerah, dia lalu berkata " Baiklah oma." Nanti Gillian akan mengunjungi Oma. Mendengar cucu semata wayang nya itu telah se
"Tuan Ryan maaf aku permisi dulu." Jika ada kesempatan kita mengobrol lagi lain kali ucap Danniel memohon diri. Walau dalam hati Ray masih ingin bersama gadis cantik itu tapi dia tau Danniel adalah atasan Shanara dan urusan mereka pasti bersangkutan dengan pekerjaan. "Oh ya, silahkan, aku akan sering berkunjung nanti. Ray mengangguk Shanara menarik lengan Clara yang masih bengong memandang wajah Ray. Ketiga orang itu berjalan menuju area dalam restoran. Pandangan Ray terus tertuju pada punggung Shanara, pikiran dan hatinya di penuhi oleh bayangan gadis itu. Dia pikir baru kali ini ada gadis yang tidak terpana oleh ketampan yang dimiliki Seorang Ryan. Di dalam restoran Danniel mengajak Shanara dan Clara masuk dalam restoran di lantai utama, ruangan itu berukuran sangat luas. "Sha." Sekarang Seaview telah resmi di buk
Teressa tampak mencoba mengingat-ingat ucapan Ray tadi malam, memang benar laki-laki itu tidak memaksa nya, tidak menjanjikan apa-apa padanya dan dia juga berterus-terang dari awal padanya. Tapi dia tidak dapat menerima kenyataan itu, dia ingin dapat menaklukan hati Ray tapi melihat sifat laki-laki playboy itu, apakah dia mampu bersabar dan terus menerus menelan sakit hati. Tapi demi perubahan status dia pikir dia harus berusaha menaklukan sang playboy itu. Saat ini di kota Adelite pria-pria luar biasa yang termasuk golongan top 10 tidak banyak lagi yang tersisa, selain Ray ada dua lagi pria lainnya, dia adalah Jimmy Lewis dan Zander Smith. Keluarga Smith termasuk keluarga kaya top sepuluh, sedang kan keluarga Lewis tidak ada yang tau jelas karena Jimmy Lewis tidak lagi memiliki keluarga. Kabar mengatakan kedua orang tua Jimmy meninggal dalam sebuah kecelakaan dan dia di paksa mengambil
Clara sangat mengagumi kegigihan Shanara dalam bekerja, dia sama sekali tidak tertarik mengunakan penampilan nya untuk menggaet pria kaya demi status dan harta. "Ra! Bagaimana menurutmu?" Tanya Shanara pada Clara yang tampak sedang melamun. Clara sedikit gugup, lalu memperhatikan Shanara dari atas kebawah, Shanara yang kini mengenakan dress motif bunga tanpa lengan sebatas lutut itu tampak jauh lebih muda dari usianya. "Kamu benar-benar cantik Sha." Aku jadi makin iri! Puji Clara yang tampak sangat kagum. "Kamu bisa aja! Sahut Shanara malu-malu. Dia memang jarang mengenakan pakaian-pakaian seperti saat ini, dia lebih senang bercelana pendek dan kaos sedikit longgar. "Bener Sha, kamu terlihat sangat anggun dengan dress itu. Ucap Clara tulus. Shanara memandang dirinya di dalam cermin dia terlihat sep
Saat dia memasuki ruang tamu dia terkejut melihat siapa yang kini sedang duduk bersama kedua orang tuanya. "Maggie !!" Apa yang kamu lakukan disini?" Jackob kaget melihat Maggie yang tengah duduk santai mengobrol bersama kedua orang tua Jackob Tuan dan Nyonya Persley. "Jack! Kebetulan kamu kembali, Papa baru saja mau menelpon mu. Ucap Jarrot Persley yang lansung menghampiri dan merangkul pundak Jackob "Jack ! Kenapa tidak bilang papa dan mama kalau kamu di luar sana sudah memiliki kekasih dan sudah memberi kami cucu." Clarrise Persley menimpali seraya menuntun Jackob untuk duduk di tengah-tengah mereka. Mendengar kedua ucapan papa dan mamanya wajah Jackob seketika berubah, sepasang mata tajamnya menatap Maggie penuh tanda tanya dan kemarahan, tatapannya itu membuat bulu kuduk Maggie merinding. "Sebentar ma, pa ! Jackob ingin bicara pribadi deng
lain yang lebih baik dari Jackob maka dia tidak terlalu keberatan melepaskan laki-laki itu walau dia nanti akan memilih kembali pada Shanara. Maggie teringat kejadian di The Heaven Bar minggu lalu, "Gillian" bisiknya, senyum merekah dibibir merahnya. Jika dia bisa mendapatkan pria itu maka dia tidak akan berfikir dua kali untuk mencampakan Jackob." Dan jika dia kembali pada Shanara maka perempuan sial itu akan mendapat bekas nya. Senyum di bibir Maggie semakin melebar. Dia menyusun rencana untuk tinggal beberapa saat di kota Adelite dan akan lebih baik jika dia bisa membuat sedikit masalah dengan Jackob, dia bisa menjadikan itu sebuah alasan untuk meminta waktu sendiri pikirnya. Maggie mengambil ponsel dari dalam tasnya dan segera menelpon sahabatnya Nancy. "Nan." Aku mau berlibur di kota Adelite untuk beberapa minggu." Uca
Shanara memandang sambungan telepon yang telah terputus itu sambil geleng-geleng kepala, Begitulah hubungannya dengan Clara mereka tidak akan memperdulikan waktu jika ada hal yang cukup mendesak. Shanara meletakkan ponsel itu di meja samping ranjangnyanya, kemudian mematikan lampu, Beberapa saat kemudian dia pun terlelap dan bermimpi. Dalam mimpinya itu Shanara melihat seorang bocah laki-laki yang di dorong seseorang dari atas jembatan, bocah itu tercebur ke dalam sungai, Shanara mencoba mengenali kedua pria yang mendorong anak itu tapi pandangannya itu kabur dan kedua orang itu menghilang dengan cepat. Shanara berlari ketepi sungai untuk melihat bocah laki-laki tadi, entah kenapa saat ini tubuhnya tiba-tiba mengecil. Dia kembali ke saat usianya masih lima tahun. Melihat bocah laki-laki itu menggapai-gapai dan hampir tenggelam Shanara menjadi panik, tanpa berfikir panjang dia terjun kesungai u