Bagaimana dengan apartemenku? Aku melakukan pernikahan kontrak ini demi mendapatkan apartemen itu. Bagaimana bisa tidak aku ditempati? Apalagi sekarang aku masih sayang-sayangnya.
"Kita kan bisa tinggal terpisah, Pak. Yang paling penting tidak ketahuan, iya 'kan?" "Apa kamu bisa menjamin tidak ketahuan? Apa kamu ingat kalau ketahuan berarti kamu harus mengembalikan uang yang sudah diterima?" Tidak mau! Uang itu sudah menjadi apartemen, tidak mungkin aku menjual apartemenku kembali. Setiap hari aku memimpikan memiliki apartemen itu. Saat pertemuan pertama dengan apartemen, jantungku berdebar kencang seperti jatuh cinta. Aku tidak rela berpisah dengannya."Baiklah, Pak." Aku ingin menangis, meninggalkan apartemen hampir seperti meninggalkan belahan jiwa. Sabarlah apartemenku sayang, hanya 6 bulan. Setelah itu aku akan pulang dan bersamamu selamanya. Hiks. "Apa kita akan tinggal di rumah keluarga Nathanael?" "Tidak, kita akan tinggal di penthouse." "Penthouse yang belum lama anda beli dari kakak anda?" "Iya," jawabnya. Beberapa waktu lalu Jexeon menjual penthouse, hunian mewah yang berada paling atas sebuah gedung apartemen. Kemarin aku yang mengurus proses pembeliannya. Sebenarnya Jexeon tidak mau dibayar, katanya kalau Roan suka Penthouse itu maka untuk hadiah pernikahan Roan saja. Tapi Roan menolak, dia membeli itu karena Jexeon ada masalah keuangan.Katanya Jexeon menolak warisan dari ayah mereka dan hidup sederhana, tapi istrinya, Yua adalah putri konglomerat. Mungkin ada kesenjangan di antara mereka, aku tidak paham urusan orang kaya. "Saya akan melihat lokasi dan mempersiapkan perabotannya terlebih dulu," kataku. "Pilih kualitas terbaik, buang saja perabot lama di penthouse itu." "Baik, Pak. Dalam waktu tiga hari semua akan siap." "Sehari harus jadi." "Eh, sulit untuk mendapatkan semua perabot dan memasangnya hanya dalam waktu sehari, saya juga harus melihat lokasi untuk memesan ukuran perabot." Padahal untuk apartemenku sendiri saja belum diapa-apakan, sekarang aku harus sibuk mengurus apartemen orang. "Terus, selama kamu mempersiapkan penthouse. Kita tinggal di mana?" tanya Roan. Meninggikan alis. Kenapa dia menanyakan hal yang sudah pasti? Tentu saja di rumah masing-masing. "Saya tinggal di apartemen saya, lalu anda tinggal di rumah anda dengan nyaman. Setelah semua siap, kita bisa pindah.""Kau sudah tidak waras! Pengantin baru tinggal terpisah bisa membuat orang curiga." "Kalau tetap di hotel saja gimana?" "Lebih baik kita tinggal sementara di rumah keluarga Nathanael," katanya. Sepertinya dia yang sudah gila, aku tidak bisa tinggal di rumahnya. Apa dia lupa hari ketika kami meminta restu ke Mamanya? Aku disiram segelas air sembari diumpat dengan kalimat kasar. Bahkan teriakan Nyonya Rosa masih terngiang sampai sekarang."Berani-beraninya kamu menggoda anak saya!" Teriak Nyonya Rosa kala itu. "Ma! Rin nggak pernah menggodaku!" Aku mengelap wajahku yang basah dengan tangan, sudah pasti eyeliner dan make up murahku luntur. "Pasti kamu diguna-guna wanita miskin ini, 'kan? Sadar Roan! Dia cuma ngincer uang kamu." Benar, aku hanya mengincar uang Roan supaya bisa membeli apartemen impian. Aku mau menikah karena uang. Nyonya Rosa seperti peramal. "Rin mencintaiku dengan tulus, kami saling mencintai. Kalau Mama nggak mau merestui pernikahan kami, lebih baik aku melajang seumur hidup!" Drama konglomerat, aku hanya diam di antara mereka yang berdebat. Nyonya Rosa memegang keningnya, dia tampak kacau dengan wajah memerah karena marah. Ini saatnya aku melakukan pekerjaanku supaya bisa beli apartemen. Aku berdiri dan berlutut di depannya. Membuat dua orang yang sedang bertengkar itu berhenti."Saya tulus mencintai Pak Roan! Kalau kami nggak menikah bagaimana nasib...." Aku mengelus perutku yang rata sembari menunduk. Pura-pura terisak. Mataku memelas seperti kucing malang.Nyonya Rosa mengalihkan pandangannya ke Roan dengan tatapan shock, dia memegang kepalanya hingga tubuhnya oleng hampir jatuhPadahal aku sudah menggunakan jurus pura-pura hamil seperti di drama Korea, tapi Nyonya Rosa masih tetap tidak merestui pernikahan kami. Dia menemuiku seminggu kemudian. Mengulurkan uang segepok. "Lahirkan bayi itu lalu tinggalkan putraku," katanya. Wajahnya tampak galak seperti nyonya konglomerat kebanyakan, bibirnya tebal berwarna merah. Tubuhnya langsing karena sedot lemak, rambutnya disanggul. Perhiasan dari atas sampai bawah bernilai milyaran. Anting yang dikenakan saja berharga 2,4 milyar. Beliau membelinya di Paris bulan lalu. Pak Roan yang memintaku mengurus keberangkatannya hingga mengurus bea cukai anting itu. Kalungnya adalah hadiah dari Nyonya Sharmila, beliau meminta rekomendasi dariku. Aku menyarankan kalung dari brand perhiasan Van Cleef & Arpels seharga 1 Milyar 197 juta. Kalung yang juga dipakai Syahrini. Nyonya Rosa sering meniru fashion Syahrini. "Maaf Nyonya, saya nggak bisa. Kami sudah berjanji akan menikah," jawabku. Ada segelas air di depannya, pasti untuk
Wajah Rin tampak lucu saat Roan mengatakan tinggal bersama, pipinya yang sedikit chubby itu memerah, matanya berkedip beberapa kali seolah tidak ingin memercayai ucapan Roan. "Kenapa? Apa kau keberatan mematuhi peraturan kontrak?""Nggak gitu, Pak. Tapi tinggal bersama walaupun kita udah itu agak...." Bicaranya yang berputar-putar terlihat lucu di mata Roan. Dulu di mata Roan, Rin hanyalah sekretaris yang kompeten. Meskipun dia menerima Rin magang di perusahaannya karena teman Yua, tapi ia tidak menduga Rin mampu mengimbanginya, padahal saat itu usia Rin baru 20 tahun dan lulusan S1 termuda di angkatannya. Rin adalah sosok yang pekerja keras, memiliki kebanggaan bergabung dengan Nathanael Grup, membuat Roan mengangkat Rin menjadi sekretaris tetap setelah selesai S2. Hampir semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik, cara Rin mengimbanginya juga cerdas, walaupun masih ada kekurangan karena Rin bukan lulusan luar negeri. "Kau, lanjutlah kuliah S2. Bahasa asingmu sangat buruk,"
Roan hanya mengikuti naluri dan emosi. Jantungnya berdebar kencang ketika berhasil menembus dinding yang gadis itu jaga. Ada rasa bersalah, takut dan khawatir. Namun, Roan tidak bisa berhenti. Sudah terlanjur tidak bisa mundur.Setelah malam yang panjang, Roan baru sadar bahwa ini tindakan yang salah. Dia menjambak rambutnya sendiri, Rin memang mabuk tapi dia sadar sepenuhnya. Dia seperti Bos brengsek yang memanfaatkan karyawan yang mabuk untuk one night stand. Roan sering mendengar cerita seperti itu dari teman-temannya. Tidur dengan karyawan yang cantik dan seksi. "Apa yang udah aku lakuin ke Rin?" Roan menutup wajahnya dengan punggung tangan. Menghalangi cahaya lampu gantung yang berada di atasnya. Sementara Rin sudah tertidur pulas di sampingnya. "Akh! Aku benar-benar sudah gila!" Roan menyesal. Hubungannya dan Rin pasti akan canggung setelah ini, bisa jadi mempengaruhi pekerjaan.Lalu, bagaimana jika Rin membencinya? Dia sudah merenggut kesucian Rin. Ia malu untuk bertatapan
Selama ini Roan diberikan yang terbaik, dari mulai makanan hingga pendidikan. Sebagai anak konglomerat, Roan tidak pernah merasakan yang namanya tidak punya uang. Ia tinggal tunjuk dan keinginannya akan terpenuhi. Dia dibesarkan dengan segala kemewahan. "Apa ini yang kau sebut tampat tinggal?" tanya Roan ketika sampai di apartemen Rin. Roan menendang dan terlihat jijik dengan perabotan yang masih berserakan. Baginya kandang sapi jauh lebih baik dari apartemen Rin yang akan ia tempati selama dua hari ini.Wanita itu berusaha bersabar melihat hinaan bos yang baru saja jadi suaminya. Menunduk menyingkirkan kardus yang ditendang Roan."Pak, ini karena aku baru pindahan. Belum selesai, aku kan sibuk." Roan menoleh, dia mengerutkan kening dengan ekspresi jijik. Tidak menerima kejorokan Rin."Kau hidup di tempat banyak kuman dan kotor." Rin terlihat menahan diri untuk tidak memaki, ia mengangguk. Berusaha tersenyum dengan elegan."Silakan istirahat, Pak." Rin mempersilakan Roan duduk di
Kalian tahu apa yang paling aku benci dari Pak Roan? Dia adalah orang narsis yang sok bersih. Padahal yang sering membereskan kamarnya adalah aku. Kadang sampai bingung apakah aku sekretaris atau babunya. Dan sekarang dia berkomentar tentang apartemenku yang dihasilkan dengan banting tulang? Sungguh, aku ingin mematahkan bibirnya yang limis itu. "Semalam kita... sibuk resepsi. Benar, kemarin dari pagi sampai malam kita sibuk acara, jadi hari ini kamu libur saja."Roan menghentikanku yang akan pergi ke Penthouse. Dia melepaskan tanganku. Terlihat gugup dan pandangannya mengarah ke tempat lain."Kenapa, Pak? Tumben, biasanya kalau kita dinas ke luar negeri juga nggak pernah dikasih libur.""Itu beda, pokoknya turuti saja. Kalau sampai kau sakit, aku yang repot."Tubuhku memang sakit, tapi kalau tidak dikerjakan sekarang maka dua hari tidak akan selesai. Belum lagi nanti sore perabotanku datang. Kalau cuma sakit seperti ini mah tidak apa-apa, aku pernah demam tinggi tapi tetap masuk k
"Aku mau lihat kamarmu," katanya langsung berdiri."Oh iya, Pak. Silakan." Aku segera mengikutinya masuk ke kamarku, dia melihat-lihat kamar yang tidak terlalu besar itu. Ada ranjang, lemari pakaian dan meja rias. Boneka Pikachu kesayangan ada di pojok ranjang. Roan duduk di ranjang, mencoba keempukan kasur apakah sudah sesuai standarnya. Mungkin, karena aku terlalu sering melihat standar Roan. Ketika memilih barang, aku jadi pemilih juga. "Ini kasur mahal, Pak. Garansinya 5 tahun." Aku ikut duduk di ranjang, bersebelahan dengannya. Mencoba ranjang yang baru aku tempati sekali. "Hmm... lumayan juga," jawabnya setuju. Dia menoleh, tak sengaja bertatapan denganku. Tiba-tiba ingatan semalam muncul kembali. Di ranjang kami.... melakukan itu. Jantungku mendadak berdebar kencang. Aku jadi ingat cerita teman sekantor, katanya saat dia menjadi pengantin baru, tidak peduli baru pecah perawan, pagi harinya sudah tancap gas lagi. Jujur aku akui rasanya memang enak, kalau kami tancap gas l
Kami saling diam sepanjang perjalanan ke rumah keluarga Nathanael, aku menguap beberapa kali. Tadi malam aku tidak ingat tidur jam berapa, terakhir kali mengobrol dengan teman-teman Roan jam 11 malam. Kemungkinan aku tidur jam satu atau jam dua. Aku lupa. Sekarang aku ingin sekali bisa tidur siang. Aku cukup bersyukur karena Pak Roan meminta istirahat, mungkin saja hari ini aku benar-benar bisa istirahat. Mobil memasuki halaman rumah, luas dengan taman yang terawat. Rumah orang kaya ini sering aku masuki sampai bosan. Hanya dua hari tinggal di sini, semoga saja aku bisa beradaptasi.Sepertinya pikiranku terlalu positif, di rumah keluarga Nathanael. Aku disambut Nyonya Rosa dan Angel. Gadis bermata biru itu blasteran Indonesia-Inggris. Suka dengan Roan sejak dulu, katanya mereka teman masa kecil. "Putraku sudah kembali," ucap Nyonya Rosa cipika-cipiki dengan Roan seolah putranya itu pulang dari luar negeri. "Sudah lama kita nggak ketemu," kata Angel. Memeluk Roan. Dia melirikku semb
Aku menyipitkan mata dengan bibir yang otomatis naik satu, ekspresi nyinyir yang jarang ditunjukkan di depan orang lain apalagi Roan. Roan kembali menoleh, gugup melihatku yang seperti orang marah. "Kenapa? Benar 'kan dari pada bohong mending hamil beneran." "Nggak usah ngadi-ngadi deh, Pak." Aku sudah mulai mengikhlaskan perawanku untuknya, tidak mungkin mau menyerahkan rahimku juga. Apalagi hidupku. Iuhhh.Selama hidup aku belum pernah bahagia, sekarang usahaku tinggal dikit lagi. Sampai aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini, punya apartemen dan tabungan. Aku bercita-cita liburan ke Bali dan makan banyak lobster di pinggir pantai.Aku tidak mau rencanaku kacau karena Pak Roan menitipkan embrio di dalam tubuhku, darahku akan ikut terseret juga dan pasti impianku hancur. Aku akan terjebak hubungan rumit dengan keluarga Nathanael selamanya. Oh no banget.Aku ingin menikah di usia 27 tahun, tapi sebelum itu aku ingin mencoba banyak hal menyenangkan seperti terjun payung, mendaki
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le