Selama ini Roan diberikan yang terbaik, dari mulai makanan hingga pendidikan. Sebagai anak konglomerat, Roan tidak pernah merasakan yang namanya tidak punya uang.
Ia tinggal tunjuk dan keinginannya akan terpenuhi. Dia dibesarkan dengan segala kemewahan."Apa ini yang kau sebut tampat tinggal?" tanya Roan ketika sampai di apartemen Rin.Roan menendang dan terlihat jijik dengan perabotan yang masih berserakan. Baginya kandang sapi jauh lebih baik dari apartemen Rin yang akan ia tempati selama dua hari ini.Wanita itu berusaha bersabar melihat hinaan bos yang baru saja jadi suaminya. Menunduk menyingkirkan kardus yang ditendang Roan."Pak, ini karena aku baru pindahan. Belum selesai, aku kan sibuk."Roan menoleh, dia mengerutkan kening dengan ekspresi jijik. Tidak menerima kejorokan Rin."Kau hidup di tempat banyak kuman dan kotor."Rin terlihat menahan diri untuk tidak memaki, ia mengangguk. Berusaha tersenyum dengan elegan."Silakan istirahat, Pak." Rin mempersilakan Roan duduk di lantai."Kau menyuruhku duduk di tempat kotor itu?" tanya Roan. Tidak percaya Rin menyuruhnya mengotori celana."Itu ada tikar, Pak. Bersih." Rin menunjuk tikar yang dia gelar untuk pengganti sofa.Roan memicingkan matanya, protes lewat tatapan mata. "Ambil kursi." Perintahnya. Menolak duduk di lantai.Rin memalingkan wajah, dia mengubah ekspresi wajah dan memaki. Lalu kembali lagi tersenyum. "Baik, Pak."Apartemen ini sangat sempit di mata Roan, hanya ada satu tempat tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Ia heran Rin bisa tinggal di tempat seperti ini.Terlebih belum ada perabotan, semuanya masih acak-acakan. Kursi saja tidak ada.Tak lama kemudian Rin membawa kursi kayu, Roan segera duduk di sana tanpa rasa bersalah karena membuat Rin repot."Oh ya, Pak. Soal mahar pernikahan kemarin, apa benar itu buat aku?" tanya Rin ragu-ragu."Iyalah, kan kamu sendiri yang minta mahar emas 50 gram.""Sungguh itu bukan dipotong dari gaji atau upah nikah kontrak?""Kau pikir aku apa? Walaupun ini pernikahan kontrak, tapi tetap sah di mata hukum dan agama. Mahar itu hakmu."Rin menutup mulutnya sendiri, terlihat begitu senang hanya karena emas 50 gram atau senilai 45 juta rupiah. Itu tidak seberapa bagi Roan, malah ia heran kenapa Rin hanya minta mahar sedikit.Kalau Rin minta mahar lebih mahal melebihi upah nikah kontrak, Roan pasti akan memberikan karena gengsi. Bagaimana pun juga dia mempersunting seorang gadis, putri seseorang, memenuhi mahar sama saja menghormati Rin dan keluarganya.Papa selalu mengajarkan untuk menghormati wanita, karena itu sama saja dia menghormati mama. Jadi, tak masalah bagi Roan mengeluarkan uang untuk Rin yang sudah bersedia menikah kontrak dengannya.Apalagi dia sudah mengambil kesucian Rin."Kapan kau pindah rumah?" tanya Roan melihat barang-barang yang berserakan."Dua hari lalu, Pak. Hehe, alhamdulillah bisa beli apartemen ini berkat upah nikah kontrak.""Memang selama ini kamu tinggal di mana?"Sudah 4 tahun bekerjasama, tapi Roan tidak tahu tempat tinggal Rin. Padahal Rin sering sekali kerumahnya bahkan masuk kamarnya."Aku ngekos di Jakarta Timur, Pak.""Apa barangmu yang lainnya belum dipindah ke sini?""Ini udah semua kok, Pak.""Kamu nggak punya sofa, kulkas dan perabot penting lainnya?"Rin menggeleng. "Aku kan jarang di kosan, lebih banyak ngabisin waktu di kantor, berangkat pagi pulang lembur. Di kosan cuma numpang tidur bentar."Ah, Roan jadi ingat umpatan Rin semalam. Katanya dia bos yang tidak pengertian karena memberikan pekerjaan sampai Rin tersiksa.Kalau diingat lagi memang benar, Rin selalu kerja lembur dan berangkat sangat pagi. Sebelum dia sampai kantor Rin sudah menyusulnya ke rumah, membacakan rincian jadwal sehingga Roan tidak perlu ke kantor dulu sebelum rapat dengan klien.Padahal jarak Jakarta Timur dengan rumahnya sangat jauh, belum lagi Rin harus ke kantor dulu. Dia menyuruh Rin seperti itu untuk menghemat waktunya, tapi tidak memikirkan bahwa ia telah mengambil waktu Rin."Ehem, sebagai bos kayaknya aku belum memberi hadiah untuk rumah barumu.""Nggak usah repot-repot, Pak. Kan aku jadi bersyukur banget kalau diberi.""Bagaimana kalau hadiahnya perabotan?""Beneran nggak usah repot-repot, Pak. Kulkas, TV, sofa, AC, mesin cuci, kompor eh kompor aku udah punya. Gorden. Lemari piring. Bapak mau beliin yang mana?"Roan memutar bola matanya jengah, selalu saja Rin basa basi tapi mau. Dia hafal sekali soal Rin kalau tentang duit."Beli saja semuanya, tagihannya masukkan ke pengeluaranku bulan ini.""Bapak nggak bercanda, 'kan?"Roan menoleh, sedikit mendongak karena Rin berdiri di sampingnya."Apa aku pernah bercanda?"Rin menggeleng, tak bisa menyembunyikan wajah senangnya. Kalau sedang sendirian mungkin Rin akan loncat-loncat. Padahal hanya perabot untuk apartemen kecil seperti ini. Tapi wanita itu sudah senang."Aku udah masukin semua perabot yang pingin aku beli di keranjang Nathashopee, tapi belum gajian jadi belum check out."Rin mengambil ponsel, dia langsung membuka aplikasi belanja Nathashope. Memesan semua perabot yang tadi disebutkan, ia juga menambahkan alat pembersih, wajan dan lemari buku.Setelah dicek, totalnya 27 juta termasuk ongkir dan pemasangan. Dia terlihat ragu untuk memencet pesanan selesai."Kenapa?" tanya Roan.Rin memperlihatkan jumlah pesanannya pada Roan."Nggak papa nih, Pak? Jumlahnya setara sama tiga bulan gajiku tapi nggak termasuk tunjangan.""Cepat check out atau aku berubah pikiran.""Nggak dipotong gaji, 'kan, Pak? Beneran?"Hanya dibalas sipitan mata oleh Roan, tidak mau menjawab dua kali. Akhirnya Rin memesannya, dia terlihat malu-malu bahagia."Udah, Pak. Aku minta pengiriman hari ini karena dari toko kita sendiri. Aku bakal pastiin sebelum makan malam sudah sampai.""Hmm.""Sebentar, aku bersihin kamar dulu biar bapak bisa istirahat."Rin berjalan ke kamarnya, cara jalan Rin terlihat tidak nyaman. Roan tahu alasannya, tapi tidak membahas kejadian semalam karena Rin sendiri bungkam.Bisa jadi Rin malu, kalau ia jadi Rin memang lebih baik tidak membahas dan pura-pura lupa. Mengingat betapa Rin melecehkannya dan mengumpat.Kalau Rin ingat betapa gilanya dia semalam, pasti wanita itu tidak mungkin terlihat bahagia hanya karena dibelikan kulkas. Bisa jadi Rin akan menceburkan diri ke sumur."Silakan istirahat, Pak."Rin selesai membersihkan kamarnya. Membuka pintunya lebar hingga terlihat cat kuning dan boneka Pikachu.Roan berdiri, berniat masuk ke kamar Rin dan melihat-lihat."Pak, maaf aku tinggal ya. Aku mau ke penthouse, harus survei sama desainer ruangan sebelum ngisi perabot. Silakan Bapak istirahat.""Rin, tunggu...." Roan refleks menarik tangan Rin, membuat wanita itu menoleh.Roan ingin mengatakan supaya Rin istirahat saja, sekujur tubuh Rin pasti nyeri. Tapi wanita itu terlihat biasa saja dan tetap ingin bekerja di hari pertama pernikahan."Iya, Pak. Kenapa?"Roan diam sejenak, membasahi bibirnya. Ia tidak ingin menjadi pengecut, tapi untuk mengatakan kejadian semalam terasa begitu sulit. Ia juga ingin mengatakan bahwa ia khawatir dengan kondisi Rin sekarang."Itu... semalam....""Hmm, apa Pak? Nggak denger."Roan meneguk ludah, dia berusaha untuk membuka mulutnya lebih lebar.Kalian tahu apa yang paling aku benci dari Pak Roan? Dia adalah orang narsis yang sok bersih. Padahal yang sering membereskan kamarnya adalah aku. Kadang sampai bingung apakah aku sekretaris atau babunya. Dan sekarang dia berkomentar tentang apartemenku yang dihasilkan dengan banting tulang? Sungguh, aku ingin mematahkan bibirnya yang limis itu. "Semalam kita... sibuk resepsi. Benar, kemarin dari pagi sampai malam kita sibuk acara, jadi hari ini kamu libur saja."Roan menghentikanku yang akan pergi ke Penthouse. Dia melepaskan tanganku. Terlihat gugup dan pandangannya mengarah ke tempat lain."Kenapa, Pak? Tumben, biasanya kalau kita dinas ke luar negeri juga nggak pernah dikasih libur.""Itu beda, pokoknya turuti saja. Kalau sampai kau sakit, aku yang repot."Tubuhku memang sakit, tapi kalau tidak dikerjakan sekarang maka dua hari tidak akan selesai. Belum lagi nanti sore perabotanku datang. Kalau cuma sakit seperti ini mah tidak apa-apa, aku pernah demam tinggi tapi tetap masuk k
"Aku mau lihat kamarmu," katanya langsung berdiri."Oh iya, Pak. Silakan." Aku segera mengikutinya masuk ke kamarku, dia melihat-lihat kamar yang tidak terlalu besar itu. Ada ranjang, lemari pakaian dan meja rias. Boneka Pikachu kesayangan ada di pojok ranjang. Roan duduk di ranjang, mencoba keempukan kasur apakah sudah sesuai standarnya. Mungkin, karena aku terlalu sering melihat standar Roan. Ketika memilih barang, aku jadi pemilih juga. "Ini kasur mahal, Pak. Garansinya 5 tahun." Aku ikut duduk di ranjang, bersebelahan dengannya. Mencoba ranjang yang baru aku tempati sekali. "Hmm... lumayan juga," jawabnya setuju. Dia menoleh, tak sengaja bertatapan denganku. Tiba-tiba ingatan semalam muncul kembali. Di ranjang kami.... melakukan itu. Jantungku mendadak berdebar kencang. Aku jadi ingat cerita teman sekantor, katanya saat dia menjadi pengantin baru, tidak peduli baru pecah perawan, pagi harinya sudah tancap gas lagi. Jujur aku akui rasanya memang enak, kalau kami tancap gas l
Kami saling diam sepanjang perjalanan ke rumah keluarga Nathanael, aku menguap beberapa kali. Tadi malam aku tidak ingat tidur jam berapa, terakhir kali mengobrol dengan teman-teman Roan jam 11 malam. Kemungkinan aku tidur jam satu atau jam dua. Aku lupa. Sekarang aku ingin sekali bisa tidur siang. Aku cukup bersyukur karena Pak Roan meminta istirahat, mungkin saja hari ini aku benar-benar bisa istirahat. Mobil memasuki halaman rumah, luas dengan taman yang terawat. Rumah orang kaya ini sering aku masuki sampai bosan. Hanya dua hari tinggal di sini, semoga saja aku bisa beradaptasi.Sepertinya pikiranku terlalu positif, di rumah keluarga Nathanael. Aku disambut Nyonya Rosa dan Angel. Gadis bermata biru itu blasteran Indonesia-Inggris. Suka dengan Roan sejak dulu, katanya mereka teman masa kecil. "Putraku sudah kembali," ucap Nyonya Rosa cipika-cipiki dengan Roan seolah putranya itu pulang dari luar negeri. "Sudah lama kita nggak ketemu," kata Angel. Memeluk Roan. Dia melirikku semb
Aku menyipitkan mata dengan bibir yang otomatis naik satu, ekspresi nyinyir yang jarang ditunjukkan di depan orang lain apalagi Roan. Roan kembali menoleh, gugup melihatku yang seperti orang marah. "Kenapa? Benar 'kan dari pada bohong mending hamil beneran." "Nggak usah ngadi-ngadi deh, Pak." Aku sudah mulai mengikhlaskan perawanku untuknya, tidak mungkin mau menyerahkan rahimku juga. Apalagi hidupku. Iuhhh.Selama hidup aku belum pernah bahagia, sekarang usahaku tinggal dikit lagi. Sampai aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini, punya apartemen dan tabungan. Aku bercita-cita liburan ke Bali dan makan banyak lobster di pinggir pantai.Aku tidak mau rencanaku kacau karena Pak Roan menitipkan embrio di dalam tubuhku, darahku akan ikut terseret juga dan pasti impianku hancur. Aku akan terjebak hubungan rumit dengan keluarga Nathanael selamanya. Oh no banget.Aku ingin menikah di usia 27 tahun, tapi sebelum itu aku ingin mencoba banyak hal menyenangkan seperti terjun payung, mendaki
Langit dipenuhi taburan bintang dengan bulan bersinar terang, angin berembus menerpa wajah Roan. Dia ada di balkon kamar. Melihat sekitar yang hanya diterangi lampu. Di bawahnya ada kolam renang. Cahayanya memantul menyilaukan. Sekarang sudah pukul sembilan malam, biasanya dia akan membaca buku sebelum tidur. Hangat di ranjang dengan selimut dan AC yang menyala. Sekarang di dalam kamarnya ada Rin. Melihatnya memakai baju tidur akan membuat mereka canggung. Padahal sebelumnya mereka sering dinas keluar negeri bersama. Tapi hubungan profesional tidak ada kecanggungan sama sekali, mereka bekerja seperti atasan dan karyawan seperti biasa. Tidak ada romansa kantor sedikitpun."Pak," panggil Rin. Pada akhirnya Roan menguatkan jantungnya untuk masuk ke dalam. Mereka harus melupakan kecanggungan supaya bisa kembali normal. "Iya," jawabnya sembari membuka pintu kaca. Rin sudah memakai baju tidur, di tangannya ada jas dan perlengkapan kantor."Pak, besok ke kantor mau pakai jas ini atau i
Bola mata Rin begitu bening sampai bisa membuat Roan tenggelam di dalamnya, wajahnya yang polos itu memerah. Dia mengedipkan mata beberapa kali lalu berdehem. Kakinya mundur. "Kamar orang kaya pasti kedap suara," sangkal Rin. "Kamarku emang kedap suara, tapi karena pipa bocor dan kamar mandi sering bermasalah jadi pindah ke sini." Rin pasti ingat bahwa setahun lalu Roan mengeluh karena kamarnya tidak nyaman. Rin sendiri yang menyarankan memakai kamar lain. Rin terlihat salah tingkah, mungkin dia sadar bahwa sudah terjebak dengan permainannya sendiri. Sekarang mau tidak mau mereka harus menjalankan malam panas untuk menutupi kebodohannya."Tinggal buat suara ah ih uh ih 'kan, Pak?" tanya Rin sok santai. Dia berhedem.Roan kembali berdiri dengan benar, kepalanya mengangguk. Matanya melirik ke bawah. Melihat ekspresi Rin. Wanita itu jauh lebih pendek darinya."Tunggu bentar," kata Rin. Dia melesat pergi. Roan menunggu di kamar, menguap memeriksa ponselnya yang diletakkan di atas nak
Ganti rugi duit terlalu ringan, bahkan Roan pikir itu tidak sebanding sama sekali. Rin harus melakukan yang lebih dari itu. Sebenarnya ia ingin mengulangi malam panas mereka, tapi rasanya malu mengatakannya dan seperti dia pria kurang ajar. "Ambil simpati Mama aja," jawab Roan. "Cuma itu?" Roan mengerutkan keningnya. Ia tahu bagaimana Mamanya sangat membenci Rin hingga mendatangkan Angel ke rumah ini. Dan sekarang dengan entengnya Rin bilang 'cuma'? "Aku nggak yakin kamu sanggup.""Itu gampang, Pak. Tapi hari ini kita beneran harus pergi dari sini. Aku beberes dulu." Rin mengambil tas, dia memasukkan baju-bajunya. Lalu menyuruh Roan tetap di kamar dan menyusulnya 10 menit kemudian. "Aku tugas dulu, Pak. Tunggu di situ." "Sebenarnya kamu mau ngapain?" Rin tak menjawab dan malah keluar dari kamar, karena penasaran Roan mengikuti dari belakang. Rupaya Rin mendatangi Mamanya dan berlutut di sana, Roan belum bisa mendengar ucapan Rin. Dia pun semakin mendekat. "Apa yang kamu lak
Roan tidak mengenal keluarga Rin, dulu ketika dia menanyakan apakah Rin memiliki wali nikah, Rin bilang tidak punya karena Bapaknya menghilang sejak dia baru masuk SMA. Keluarga dari bapaknya tidak jelas karena tidak pernah bertemu. Hanya nenek kakek dari ibunya yang pernah merawatnya dari SD sampai SMP. Saat itu Roan abai dan menganggap keluarga Rin tidak penting, malah kalau tidak ada mertua lebih baik. Saat mereka bercerai tidak perlu merisaukan apapun. "Pak, gimana?" tanya Rin lirih. Telepon belum ditutup."Aku akan bicara dengan kakekmu." Roan menepikan mobilnya, mengambil ponsel Rin. "Hallo, Mbah. Saya Roan, suaminya Rin." "Kamu suaminya Rina?" "Benar, Mbah." "Kamu sama sekali ndak punya unggah-ungguh alias sopan santun. Nikahin anak gadis orang tapi ndak izin keluarganya, kamu anggap kami ini apa?"Roan tampak gugup, dia menelan saliva. Benar yang dikatakan Mbah, walaupun nikah kontrak tapi Rin sungguh menjadi istrinya. Apalagi dia juga mengambil kesucian Rin. Tidak sopan
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le