Kami saling diam sepanjang perjalanan ke rumah keluarga Nathanael, aku menguap beberapa kali. Tadi malam aku tidak ingat tidur jam berapa, terakhir kali mengobrol dengan teman-teman Roan jam 11 malam. Kemungkinan aku tidur jam satu atau jam dua. Aku lupa. Sekarang aku ingin sekali bisa tidur siang. Aku cukup bersyukur karena Pak Roan meminta istirahat, mungkin saja hari ini aku benar-benar bisa istirahat. Mobil memasuki halaman rumah, luas dengan taman yang terawat. Rumah orang kaya ini sering aku masuki sampai bosan. Hanya dua hari tinggal di sini, semoga saja aku bisa beradaptasi.Sepertinya pikiranku terlalu positif, di rumah keluarga Nathanael. Aku disambut Nyonya Rosa dan Angel. Gadis bermata biru itu blasteran Indonesia-Inggris. Suka dengan Roan sejak dulu, katanya mereka teman masa kecil. "Putraku sudah kembali," ucap Nyonya Rosa cipika-cipiki dengan Roan seolah putranya itu pulang dari luar negeri. "Sudah lama kita nggak ketemu," kata Angel. Memeluk Roan. Dia melirikku semb
Aku menyipitkan mata dengan bibir yang otomatis naik satu, ekspresi nyinyir yang jarang ditunjukkan di depan orang lain apalagi Roan. Roan kembali menoleh, gugup melihatku yang seperti orang marah. "Kenapa? Benar 'kan dari pada bohong mending hamil beneran." "Nggak usah ngadi-ngadi deh, Pak." Aku sudah mulai mengikhlaskan perawanku untuknya, tidak mungkin mau menyerahkan rahimku juga. Apalagi hidupku. Iuhhh.Selama hidup aku belum pernah bahagia, sekarang usahaku tinggal dikit lagi. Sampai aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini, punya apartemen dan tabungan. Aku bercita-cita liburan ke Bali dan makan banyak lobster di pinggir pantai.Aku tidak mau rencanaku kacau karena Pak Roan menitipkan embrio di dalam tubuhku, darahku akan ikut terseret juga dan pasti impianku hancur. Aku akan terjebak hubungan rumit dengan keluarga Nathanael selamanya. Oh no banget.Aku ingin menikah di usia 27 tahun, tapi sebelum itu aku ingin mencoba banyak hal menyenangkan seperti terjun payung, mendaki
Langit dipenuhi taburan bintang dengan bulan bersinar terang, angin berembus menerpa wajah Roan. Dia ada di balkon kamar. Melihat sekitar yang hanya diterangi lampu. Di bawahnya ada kolam renang. Cahayanya memantul menyilaukan. Sekarang sudah pukul sembilan malam, biasanya dia akan membaca buku sebelum tidur. Hangat di ranjang dengan selimut dan AC yang menyala. Sekarang di dalam kamarnya ada Rin. Melihatnya memakai baju tidur akan membuat mereka canggung. Padahal sebelumnya mereka sering dinas keluar negeri bersama. Tapi hubungan profesional tidak ada kecanggungan sama sekali, mereka bekerja seperti atasan dan karyawan seperti biasa. Tidak ada romansa kantor sedikitpun."Pak," panggil Rin. Pada akhirnya Roan menguatkan jantungnya untuk masuk ke dalam. Mereka harus melupakan kecanggungan supaya bisa kembali normal. "Iya," jawabnya sembari membuka pintu kaca. Rin sudah memakai baju tidur, di tangannya ada jas dan perlengkapan kantor."Pak, besok ke kantor mau pakai jas ini atau i
Bola mata Rin begitu bening sampai bisa membuat Roan tenggelam di dalamnya, wajahnya yang polos itu memerah. Dia mengedipkan mata beberapa kali lalu berdehem. Kakinya mundur. "Kamar orang kaya pasti kedap suara," sangkal Rin. "Kamarku emang kedap suara, tapi karena pipa bocor dan kamar mandi sering bermasalah jadi pindah ke sini." Rin pasti ingat bahwa setahun lalu Roan mengeluh karena kamarnya tidak nyaman. Rin sendiri yang menyarankan memakai kamar lain. Rin terlihat salah tingkah, mungkin dia sadar bahwa sudah terjebak dengan permainannya sendiri. Sekarang mau tidak mau mereka harus menjalankan malam panas untuk menutupi kebodohannya."Tinggal buat suara ah ih uh ih 'kan, Pak?" tanya Rin sok santai. Dia berhedem.Roan kembali berdiri dengan benar, kepalanya mengangguk. Matanya melirik ke bawah. Melihat ekspresi Rin. Wanita itu jauh lebih pendek darinya."Tunggu bentar," kata Rin. Dia melesat pergi. Roan menunggu di kamar, menguap memeriksa ponselnya yang diletakkan di atas nak
Ganti rugi duit terlalu ringan, bahkan Roan pikir itu tidak sebanding sama sekali. Rin harus melakukan yang lebih dari itu. Sebenarnya ia ingin mengulangi malam panas mereka, tapi rasanya malu mengatakannya dan seperti dia pria kurang ajar. "Ambil simpati Mama aja," jawab Roan. "Cuma itu?" Roan mengerutkan keningnya. Ia tahu bagaimana Mamanya sangat membenci Rin hingga mendatangkan Angel ke rumah ini. Dan sekarang dengan entengnya Rin bilang 'cuma'? "Aku nggak yakin kamu sanggup.""Itu gampang, Pak. Tapi hari ini kita beneran harus pergi dari sini. Aku beberes dulu." Rin mengambil tas, dia memasukkan baju-bajunya. Lalu menyuruh Roan tetap di kamar dan menyusulnya 10 menit kemudian. "Aku tugas dulu, Pak. Tunggu di situ." "Sebenarnya kamu mau ngapain?" Rin tak menjawab dan malah keluar dari kamar, karena penasaran Roan mengikuti dari belakang. Rupaya Rin mendatangi Mamanya dan berlutut di sana, Roan belum bisa mendengar ucapan Rin. Dia pun semakin mendekat. "Apa yang kamu lak
Roan tidak mengenal keluarga Rin, dulu ketika dia menanyakan apakah Rin memiliki wali nikah, Rin bilang tidak punya karena Bapaknya menghilang sejak dia baru masuk SMA. Keluarga dari bapaknya tidak jelas karena tidak pernah bertemu. Hanya nenek kakek dari ibunya yang pernah merawatnya dari SD sampai SMP. Saat itu Roan abai dan menganggap keluarga Rin tidak penting, malah kalau tidak ada mertua lebih baik. Saat mereka bercerai tidak perlu merisaukan apapun. "Pak, gimana?" tanya Rin lirih. Telepon belum ditutup."Aku akan bicara dengan kakekmu." Roan menepikan mobilnya, mengambil ponsel Rin. "Hallo, Mbah. Saya Roan, suaminya Rin." "Kamu suaminya Rina?" "Benar, Mbah." "Kamu sama sekali ndak punya unggah-ungguh alias sopan santun. Nikahin anak gadis orang tapi ndak izin keluarganya, kamu anggap kami ini apa?"Roan tampak gugup, dia menelan saliva. Benar yang dikatakan Mbah, walaupun nikah kontrak tapi Rin sungguh menjadi istrinya. Apalagi dia juga mengambil kesucian Rin. Tidak sopan
Bagiku, pernikahan ini adalah ladang uang. Aku memeluk erat sampai membawa tidur kartu kredit yang Roan berikan. Jaminan hidupku, jalanku menuju korupsi sebagai istri. Aku membeli kebutuhan sehari-hari termasuk baju baru dan make up dengan uang itu, tadinya aku pikir Roan akan protes, tapi ketika aku mengatakannya dia cuek saja. Aku tidak tahu alasan dia tiba-tiba cuek padaku, hubungan kami berubah canggung lagi. Tapi aku tidak peduli. Tetap melakukan kegiatanku dengan ceria. Selama ada kartu kredit ini, aku tidak lagi risau membeli apapun. Yang penting aku tidak menghabiskan ratusan juta dan tahu batas supaya Roan tidak marah. 10 atau 20 juta sebulan, itu masih wajar. Pengeluaran Roan sebulan saja 100 jutaan. Itu kalau dia tidak membeli baju dan lainnya. Hanya biaya makan di restoran dan jajan.Kalau Roan membeli baju satu biji saja, pengeluaran bulanannya bisa ratusan juta hingga miliaran. Dia selalu memakai barang branded. Kaosnya seharga 120 juta. Belum sepatu dan baju. Dia se
Sebenarnya, Roan mau ke kampungku saja sudah aneh. Dia orang yang kaya raya sejak janin, aku yakin tidak pernah menginjakkan kaki di kampung. Sekolah internasional, sampai pergaulan yang internasional, dia tidak punya kampung halaman seperti orang asli Indonesia. Kampung halamannya ya Jakarta. Sebentar, aku jelaskan asal usul Roan. Ibu Roan adalah anak tunggal pemilik perusahaan periwisata terbesar di Indonesia, memiliki ratusan resort dan hotel. Kekayaan dan kekuasaannya sangat banyak.Sementara ayahnya Roan hanyalah orang genius tanpa modal usaha, dia mendirikan Nathanael Grup dengan bantuan modal Nyonya Rosa. Bisa dibilang sebenarnya Nyonya Rosa merebut suami ibunya Jexeon, uang memang segalanya. Itu juga yang membuat Jexeon merebut tunangannya Roan, Yua. Biasalah, balas dendam. Keluarga mereka memang rumit. (Novel : aku, kamu dan buku nikah)Tapi yang pasti sekarang ayahnya Roan memimpin perusahaan nyonya Rosa karena kakek Roan sudah meninggal. Beberapa tahun lalu ayahnya memint
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le