Sebenarnya, Roan mau ke kampungku saja sudah aneh. Dia orang yang kaya raya sejak janin, aku yakin tidak pernah menginjakkan kaki di kampung. Sekolah internasional, sampai pergaulan yang internasional, dia tidak punya kampung halaman seperti orang asli Indonesia. Kampung halamannya ya Jakarta. Sebentar, aku jelaskan asal usul Roan. Ibu Roan adalah anak tunggal pemilik perusahaan periwisata terbesar di Indonesia, memiliki ratusan resort dan hotel. Kekayaan dan kekuasaannya sangat banyak.Sementara ayahnya Roan hanyalah orang genius tanpa modal usaha, dia mendirikan Nathanael Grup dengan bantuan modal Nyonya Rosa. Bisa dibilang sebenarnya Nyonya Rosa merebut suami ibunya Jexeon, uang memang segalanya. Itu juga yang membuat Jexeon merebut tunangannya Roan, Yua. Biasalah, balas dendam. Keluarga mereka memang rumit. (Novel : aku, kamu dan buku nikah)Tapi yang pasti sekarang ayahnya Roan memimpin perusahaan nyonya Rosa karena kakek Roan sudah meninggal. Beberapa tahun lalu ayahnya memint
Aku tidak bisa diremehkan seperti ini, dia menggoda hingga membuat pipiku merah bagai tomat. Aku balas menatap matanya. Mendekatkan wajah kami seolah berani. Jemariku meraba dadanya yang basah, kuku panjang karena malas dipotong itu pasti menimbulkan sensasi merinding."Bukankah Bapak juga sudah pernah menggigitku?" tanyaku dengan bibir menyeringai. Mata kami bertatapan begitu dekat, aku belum pernah melewati batas seperti ini. Tangannya memegang kedua pundakku. Lembut lalu tiba-tiba kuat. Setahuku, Roan memang pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita, dia digosipkan pacaran dengan model papan atas dan putri konglomerat. Aku selalu disuruh membereskan tanpa tahu apakah itu benar atau tidak. Hampir semua masalah yang terjadi pada Roan selalu aku yang mengatasi.Pernah dia menabrak tiang listrik, malang sekali tiang listrik itu hingga menyebabkan satu kecamatan mati lampu. Aku yang membereskan dengan mengganti pengemudinya. Roan dirawat di rumah sakit tanpa ada yang tahu, be
Pagi harinya aku terbangun setelah mendengar suara kokok ayam, suasana desa memang istimewa. Aku mengeluap sembari duduk, mengucek mata yang masih lengket. "Astaghfirullah!" Teriakku ketika mendapati Pak Roan yang duduk dan tangannya terlipat di depan dada. Matanya setajam elang, pipinya merah bekas tangan. Apa ada orang yang memukulnya? "Bapak kenapa?" "Apa kamu nggak lihat ini?" Dia menunjuk pipinya. "Siapa yang memukul Bapak?" Jari telunjuk Roan mengarah padaku, raut wajahnya marah. Ha? Maksudnya aku yang memukul Roan? Mana mungkin! "Aku nggak pukul Bapak kok." "Kamu mau mengelak?" Roan mengambil tangan kiriku, ditempelkan di pipinya. Cap tanganku jelas di sana. "Sudah lihat? Kebiasaan tidurmu mengerikan," katanya kesal. Ah, ternyata aku tidak sengaja memukulnya ketika tidur. Pipi Roan halus, aku mengusapnya tanpa sadar. Dia terdiam, mata kami bertatapan di antara sinar matahari yang hampir muncul. "Kalian shalat subuh dulu." Suara Nenek membuat kami menjaga jarak, ak
Roan adalah pria sejati, dia tidak akan menyentuh wanita sembarangan. Apalagi sudah pernah membuat kesalahan di malam pengantin. Tidak mungkin ia mengulangi hal yang sama. Hanya saja Rin yang tidak peka menyulitkannya, bisa-bisanya memakai baju basah dan menggodanya. Kalau Roan tidak menahan diri, sudah pasti ia akan jadi pria brengsek untuk kedua kalinya. Kalau seumpama Rin mengangguk setuju, maka berkah untuknya. Sayangnya Rin tidak setuju, tidak mungkin Roan memaksa.Hubungan profesional yang mereka jalin selama 4 tahun tidak boleh rusak hanya karena nafsu, Roan merasa tidak ada sekretaris yang cocok dengannya selain Rin. Wanita itu tahu semua tentangnya, tidak disuruh pun Rin selalu siap siaga. Roan tidak bisa kehilangan Rin sebagai rekan kerja."Selamat, istri anda hamil," kata Pak Mantri. Tersenyum lebar.Sejenak Roan linglung, dia yang dijuluki genius mendadak tidak bisa mencerna ucapan Pak Mantri. Keningnya berkerut. "Hamil?" "Iya, sebentar lagi anda akan jadi seorang aya
Tadi malam Roan sudah bertemu Pakde Jumio. Beliau adalah anak adiknya Mbah. Bisa dibilang sepupu ibunya Rin. Orang yang selama ini Rin percaya dititipi uang. Beliau lebih amanah dibanding saudara yang lain, dulu juga sering membantu Rin saat susah. Ketika Rin dibawa bapaknya, hanya Pakde Jumio yang khawatir dan mencari keberadaan Rin. Tapi pada akhirnya Pakde bersyukur setelah tahu Rin bisa melanjutkan SMA walaupun sembari bekerja. Pasalnya Mbah sudah kebingungan ketika Rin ingin lanjut sekolah tapi tidak ada biaya."Kalian hati-hati di jalan, kalau libur jangan lupa pulang ke sini." "Iya, Mbah. Sekitar enam bulan lagi aku pulang." Rin menjawab dengan penuh keyakinan. Tempat pulang Rin hanya ke sini, sebagian besar uangnya juga masuk ke kantung Mbah, ia tidak tega melihat wajah tua renta itu masih bekerja. Pakde Jumio hanyalah ponakan Mbah, tidak kaya. Jadi tidak bisa membantu banyak. Yang selama ini diandalan Mbah untuk biaya makan sehari-hari hanyalah kiriman uang dari Rin. Tap
Siang itu Rosa ke mall untuk mengambil tas impor dari Inggris bersama dua pelayannya. Ia juga melihat-lihat katalog promo edisi terbatas. Bibirnya yang merah dengan kulit wajah putih terlihat seperti wanita usia 40 an. Padahal tahun ini usianya menginjak kepala lima. Semua orang memuji kecantikannya, mengatakan bahwa Rosa adalah vampir karena tidak menua, wajar saja dari Korea hingga Thailand ia mendatangi dokter ahli plastik. Melakukan perawatan setiap minggu hingga tak boleh ada kerutan sedikit pun. Rahasia yang selama ini dijaga adalah dia penggemar K-Pop. Ia mengoleksi album BTS dan sering keluar negeri menonton konser. Beralasan ini itu demi haha hihi bersama teman-teman Army (fans BTS). Ia mengganti nama dan menyamar seperti anak muda, hingga tidak ada yang tahu bahwa Rosa sebenarnya sebentar lagi menjadi nenek.Rosa selalu mendapatkan segala keinginan. Dibesarkan seperti tuan Putri. Ia anak tunggal Presdir RoseGreen. Sayangnya, ayahnya Roan tidak suka K-Pop dan bisa marah be
Saat ini Roan masih belum tahu cara memberitahu Rin tentang kehamilannya, kalau dipikir-pikir ini salah Rin yang berbohong pada Mama. Bisa jadi malaikat lewat dan mengamini perkataan Rin. Wanita itu dari dulu memang selalu memiliki ide gila, pura-pura hamil tidak ada di rencana mereka. Rin spontan melakukannya, sama seperti saat malam pertama. Sekarang itu semua menjadi boomerang, Rin hamil sungguhan! Rencana mereka kacau. "Rin," panggil Roan. Ia masuk ke kamar Rin. Rin yang sedang memasukkan baju-bajunya ke koper menoleh, senyuman polos dan terlihat sangat bahagia.Gigi depan sebesar biji jagung, berkilau dengan kilatan kebersihan. Ia pernah memergoki Rin membersihkan karang giginya memakai benang. Dia tidak mau keluar uang untuk ke dokter gigi. "Iya, Pak. Ada apa?" "Sebenarnya...." Roan ingin memberitahu Rin tapi bibirnya tercekat. Takut merusak kebahagiaan Rin dan mempengaruhi kesehatan bayi mereka. Bisa jadi wanita otak uang itu menggugurkan janinnya setelah ditawar Mama sa
Beberapa hari ini aku merasa ada yang salah dengan tubuhku, dari mulai mual sampai pingsan. Mencium bau bawang saja tidak bisa. Ditambah aku sudah telat datang bulan. Walaupun ini pemikiran yang ingin aku hindari, tapi kemungkinan aku hamil sangat besar. Ingatan tentang malam panas itu menunjukkan betapa gagahnya si pangeran emas. Kalau dia menanam benih di rahimku kemungkinan besar jadi zigot.Apalagi Roan bersikeras tidak mau memberitahu penyakitku. Bilang hanya kelelahan. Dia tidak bisa berbohong, apa dia lupa beban kerja yang diberikan melebihi apapun.Aku memegang erat tespek di antara lipatan baju, tadi aku membelinya ketika istirahat makan siang. Sekarang mataku bertatapan dengan Roan, dia membicarakan hal aneh tentang perpanjangan kontrak dan kehamilan. Kecurigaanku semakin besar, aku menggodanya untuk menyembunyikan kegugupan. Jantungku berdetak kencang. Kalau benar aku hamil, bagaimana nasib anak ini? Kami hanya nikah kontrak. "Kamu mikir apa sih?" Kening Roan berkerut,
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le