Awan kelabu menggantung di atas kepala Kirana, sama seperti suasana hatinya yang muram.Kini dirinya bebas, seperti yang dia harapkan sebelumnya. Dia bukan lagi istrinya Thomas, bukan ibunya Al, dan bukan seorang istri kontrak.Masa depan seperti terbentang luas di hadapannya.Dengan uang miliaran, dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan. Yang pasti Kirana akan merawat anaknya ini dengan baik.Namun, separuh hatinya masih terasa hampa.Tangisan Al terus terngiang di telinganya. Suara Thomas serta sentuhan pria itu juga tetap menggema di setiap memori yang ada di otaknya.Dia begitu mencintai Thomas dan entah bagaimana dia bisa melupakan pria itu.Kirana menghela napas yang begitu panjang. Seharusnya dia tidak terjebak dalam kesedihan seperti ini.Semua sudah berakhir. Kehidupan baru menunggunya.Sampai akhirnya, Kirana turun di depan toko roti milik Gian. Wangi roti yang khas langsung menyambutnya begitu Kirana memasuki toko itu.Kirana sengaja mampir ke sini karena dia membutuh
Sebulan kemudian, Thomas dipindakan ke rumah sakit yang berada di Singapura.Vivian ikut mendampingi. Wanita itu tetap setia berada di samping Thomas. Berita Thomas yang terkena siraman air keras sudah beredar luas. Dan Vivian pun langsung sigap menjalankan perannya sebagai istri yang setia.Dia bahkan menulis di sosial medianya bahwa dia akan selalu mendampingi suaminya dalam suka maupun duka yang dibarengi dengan foto pernikahan mereka yang nampak romantis.Unggahan Vivian sontak mendapat perhatian. Banyak pihak yang simpati dan melabelinya dengan julukan wanita kuat, wanita setia, istri yang sempurna.Tentu saja, Vivian senang dengan semua pujian itu. Walaupun di Singapura dia hanya bersantai, belanja dan bahkan sesekali menguji keberuntungannya di kasino.Toh, Thomas setiap saat selalu didampingi oleh perawat.Setelah selesai perawatan rambut di salon, Vivian bergegas kembali ke rumah sakit. Saat dia sampai, Thomas masih terlelap.Vivian merapikan beberapa parsel dari para kerabat
Di dalam mobil Gian, Kirana masih terdiam.Sementara pria itu tetap menyodorkan cincin emas di hadapannya. Ekspresi Gian nampak begitu berharap sekaligus gelisah menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Kirana.Lantas, Kirana menyunggingkan senyumnya.“Maafkan aku, Gian.” Kirana menutup kotak cincin itu. “Aku bukan perempuan yang pantas untukmu. Kurasa kamu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada diriku.”Kedua sudut bibir Gian langsung melengkung ke bawah. “Kamu yang terbaik untukku, Kirana. Aku yakin itu. Sedari dulu, aku selalu mengagumimu.”Kirana menggeleng. “Setelah apa yang kulakukan selama ini, sebaiknya kamu mencari wanita lain saja. Aku tidak pantas mendapatkan hatimu.”“Tidak,” tandas Gian cepat. “Aku mencintaimu. Aku akan menerima segala yang sudah terjadi dalam hidupmu. Jadi, kamu enggak perlu merasa bersalah.”Kirana mengembuskan napas pelan sambil menunduk.“Aku juga akan menerima anak itu sebagai anakku, Kirana…” ujar Gian lagi. “Anakmu pasti butuh so
Ponsel Thomas berdering-dering saat dia sedang fokus mengikuti taksi online yang membawa Kirana.Namun, deringan ponselnya yang terus menerus seolah menandakan ada hal penting yang harus disampaikan.Thomas melirik sekilas ke layar ponselnya. Nama Melinda muncul di sana. Mau tak mau Thomas akhirnya mengangkat telepon itu.“Ya, Ma. Ada apa?” Thomas menaruh ponsel di antara bahu dan telinganya. “Kamu di mana? Cepat pulang, ada yang ingin Mama sampaikan. Penting,” tandas Melinda tanpa basa-basi.“Aku… ada hal penting juga yang harus kuselesaikan, Ma. Setelah itu, aku pulang.”“Tunggu, Thomas. Al sakit. Dia demam.”“Hah? Kok bisa? Tadi pagi dia baik-baik saja.” Thomas terheran. Matanya kini mencari-cari keberadaan taksi itu yang menghilang begitu saja.“Makanya, cepat pulang.”Cit!Tiba-tiba, ban mobil Thomas berdecit keras. Dia memekik seiring dengan tubuhnya yang terantuk ke depan.“Astaga, Thomas! Apa yang terjadi?!” Pekik Melinda dari seberang sana.Thomas menarik napasnya perlahan.
Gian nampak terkesiap begitu melihat kedatangan Thomas di toko rotinya.Penampilan pria itu sontak mengalihkan beberapa pengunjung. Tubuh Thomas menjulang. Kedua matanya bersembunyi dari balik kacamata hitamnya.Bergegas Gian menghampiri pria tersebut. Gian tahu Thomas datang ke sini bukan untuk membeli rotinya.Saat Gian berdiri di depan Thomas, pria itu langsung membuka kacamata hitamnya. Dan kini tatapan mereka saling bersirobok.“Apa yang membawamu kemari?” Tanya Gian tanpa basa-basi.Thomas pun mengedarkan pandangannya ke toko roti itu.“Mencari Kirana?” tukas Gian lagi.“Aku yakin kamu tahu di mana keberadaan wanita itu kan?” Thomas memandang Gian dengan tajam.“Apa urusannya denganmu?” Gian mendengus pelan. Lantas Gian bersedekap sambil mendongakkan dagunya. “Aku sudah mengetahui semuanya. Kirana sendiri yang menceritakannya padaku.”Rahang Thomas nampak mengeras.“Kamu menjadikannya alat untuk melahirkan keturunan bagi keluargamu, iya kan?”“Aku tidak pernah memaksakan hal itu
Kirana bisa merasakan gerakan tubuh Thomas yang mendekat ke arahnya.Lalu kedua tangan Thomas menyentuh pundak Kirana.Kirana bergeming, membiarkan sentuhan hangat itu membuka kembali memorinya bersama Thomas.“Aku akan menceraikan Vivian dan kembali padamu,” desis Thomas dari balik punggungnya.Kirana menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya memutar tubuhnya, menatap binar lembut yang terpancar dari mata Thomas.“Tidak. Itu enggak adil bagi Vivian. Teruskan hidupmu bersamanya, Thomas. Jaga anak kita.”“Aku enggak pernah mencintai Vivian, kamu tahu itu.”“Tetap saja, dia wanita yang setia. Kamu enggak boleh melukai hatinya.”Kirana hendak pergi menjauh, namun dengan sigap Thomas menarik tangan Kirana.“Aku mencintaimu dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu,” suara Thomas terdengar tegas dan dalam.Sebenarnya, Kirana juga ingin menghabiskan hidupnya bersama Thomas, tapi cinta mereka terasa begitu mustahil.“Kalau kamu memilihku, kamu akan kehilangan segalanya, Thomas, b
Bulan purnama penuh menggantung di langit yang gelap, menyinari malam yang kelam.Angin dingin berembus, menggerakkan helaian rambut Vivian.Berkali-kali, wanita itu merapatkan mantel tebalnya, menghalau udara dingin yang menyergap. Dalam cahaya yang minim, dia sedang menunggu seseorang.Suara derap langkah yang mendekat terdengar. Bayangan besar itu pun muncul, membuat Vivian menegakkan punggungnya dengan siaga.“Viona…” Suara serak pria bertubuh besar itu terdengar. “Benar kan?”Vivian mengangguk. “Kamu bisa melakukannya kan?”Pria itu tertawa kecil. “Aku sudah berkecimpung di bisnis gelap ini selama puluhan tahun. Jadi, kamu enggak perlu meragukan kemampuanku. Mana uangnya?”“Ta-tapi… aku benar-benar bisa mempercayaimu kan?” Suara Vivian nampak gemetar. Ini kali pertamanya dia berhadapan dengan seorang pembunuh bayaran.Pria itu menghela napas berat. “Tentu. Sembilan dari sepuluh targetku pasti mati.”Lalu Vivian menyerahkan sebuah amplop coklat. “Itu targetnya.”Tangan besar pria
Sandra merasakan darahnya mengalir begitu deras. Dirinya masih mematung di depan meja Robert.‘Di-Dia sudah menemukan anaknya?’ Batin Sandra panik.“Bagaimana… bagaimana bisa anakmu masih hidup, Robert?” Suara Sandra terdengar begitu parau. Robert mengembuskan napas berat. “Aku menemukan keberadaan Ratna.”“A-Anakmu?” Tanya Sandra lagi. “Ka-Kamu sudah menemukannya?”Robert menggeleng lemah. “Ratna bilang dia tidak tahu apa-apa soal malam itu. Kesaksiannya masih sama.”‘Astaga…’ Batin Sandra lega.Lututnya sudah lemas dan hampir saja Sandra ambruk di lantai.“Jadi, kamu akan menghentikan pencarianmu?” Sandra kini berujar dengan tenang.“Ya. Mungkin aku akan mati tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam itu…” tukas Robert lirih. “Semua pintu kemungkinan untuk mengetahui nasib putriku yang hilang sudah tertutup.”Sandra bergerak ke samping Robert dan mengusap pelan pundak lelaki tua yang sakit-sakitan itu.“Sudahlah, Robert. Kamu harus ikhlaskan semuanya. Mungkin, memang benar ke
Kirana memandangi pantulan dirinya di depan cermin.Gaun putih berekor panjang itu nampak berkilau diterpa cahaya matahari yang menerobos melalui jendela.“Cantik sekali…” ucap Melinda, muncul dari balik punggung Kirana.Leher jenjang Kirana terlihat jelas karena rambutnya digelung ke atas. Lantas, Melinda mengaitkan liontin emas di leher Kirana.Setelah mengetahui semuanya, Melinda dan Sutono merasa begitu malu serta bersalah.Perempuan yang dulu mereka rendahkan itu ternyata anak seorang konglomerat. Saat Thomas mengutarakan untuk menikahi Kirana setelah resmi bercerai dengan Vivian, Melinda dan Sutono akhirnya meminta maaf dengan tulus pada Kirana.Dan sekarang rasa bangga menyelimuti hati Melinda. Kirana nampak begitu anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar walau gaunnya tidak terlalu mewah seperti pernikahan Vivian.“Ma!” Seketika Al muncul dengan langkah mungilnya, bergerak ke arah Kirana.“Sayang!” Senyum Kirana langsung merekah.Kedua tangan Al menggapai ke atas, pertanda
Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela kaca kafe yang besar itu.Di meja yang berada di sudut kafe, Kirana dan Vivian duduk berhadapan.Selama beberapa saat kecanggungan menguar di udara. Vivian nampak tertunduk dalam. “Maafkan aku…” Akhirnya Vivian berani mengutarakan niatnya. Suaranya terdengar bergetar dan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kirana. Aku sudah memperlakukanmu begitu buruk.”Senyum tipis terukir di wajah Kirana. Helaian rambut wanita itu bergerak pelan. “Tidak, seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku paham kenapa kamu membenciku. Itu karena aku telah merebut Thomas darimu. Aku tahu, kamu begitu mencintai Thomas. Jadi, maafkan aku.”Vivian mendongak. Kedua bola matanya kini nampak sayu, tidak seperti dulu yang penuh ambisi dan terkadang berkilat penuh amarah juga kesombongan.“Kamu enggak perlu minta maaf padaku. Kalian saling mencintai dan Thomas memang berhak mendapatkan wanita seperti dirimu, Kirana. Aku enggak layak untuk Thomas…” Lantas, kedua tangan
Samar-samar Vivian menangkap suara alat detak jantung yang berirama.Kedua kelopak matanya terasa begitu berat untuk membuka. Saat akhirnya di berhasil, cahaya putih seakan menusuk pandangannya.Kepalanya lantas berdenyut nyeri.Vivian merasa tubuhnya kaku. Selang melintang di wajahnya. Dia mencoba untuk mengerang, namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.“Errgh…” erang Vivian pada akhirnya.Beribu pertanyaan menyerbu benaknya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang begitu dingin.Seketika seorang perawat datang, mengecek keadaan Vivian. Wanita itu tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perawat itu pada rekannya.Sampai seorang dokter yang mengenakan jas putih datang mendekat.Dokter itu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivian, membuka lebar kedua kelopak matanya sambil menyinarinya dengan senter yang terang.Lalu, dia berujar tepat di telinga Vivian. “Ini keajaiban. Kamu selamat, Vivian. Kamu telah sadar dari tidurmu
Seharusnya, Kirana tidak merasa gelisah seperti ini. Namun, entah kenapa, tangannya tetap gemetar saat membuka amplop yang berisi hasil tes DNA antara dirinya dengan Robert Winarta.Robert, yang duduk di seberang Kirana, nampak tersenyum lega saat melihat hasilnya.Kirana memang benar anak kandungnya. Dia sudah yakin soal itu.Pengacara Robert lantas menyerahkan beberapa lembar dokumen di hadapan Kirana.“Sekarang, kamu adalah Kirana Winarta,” tukas pengacara itu. “Walau masih butuh proses untuk mengganti namamu di setiap dokumen.”Kirana menatap lembaran kertas ini. Keningnya agak mengernyit.“Tanda tanganilah, Nak. Itu hakmu. Aku akan mewariskan setengah hartaku untuk dirimu,” ucap Robert.“Tapi…”“Aku akan sangat marah kalau kamu menolak untuk menandatanganinya,” ancam Robert dengan nada bercanda.Dengan sedikit keraguan, Kirana akhirnya membubuhkan tanda tangannya.“Kamu sah menjadi pemegang saham terbesar di Winarta Holdings. Selamat, Kirana.” Pengacara Robert menjabat tangan Kir
Sambil mendekap dokumen adopsinya, Vivian melangkah masuk ke dalam panti asuhan itu, tempat di mana ibu kandungnya yang tidak bertanggung jawab menyerahkan dirinya sewaktu bayi.Berkat donasi Robert setiap tahunnya, fasilitas di panti asuhan itu cukup mumpuni.Mata Vivian berkeliling, memandangi para penghuni panti.Sampai akhirnya, Vivian berhadapan dengan pengurus panti yang mungkin berusia lima puluh tahunan awal.Wajah wanita itu sangat ramah saat menyambut kedatangan Vivian.“Aku ingin mengetahui soal ibuku,” ucap Vivian tanpa basa-basi sambil menyerahkan dokumen adopsinya.Wanita itu mengeceknya dengan seksama. “Ah, kamu…” Wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar. Sorot matanya begitu bahagia. “Aku ingat betul, ibu kandungmu datang berpuluh-puluh tahun lalu dan menyerahkanmu ke sini. Sekarang, kamu sudah tumbuh jadi wanita yang cantik…”“Di mana dia?” Tanya Vivian dingin.Pengurus panti itu lalu beranjak ke sebuah lemari besar, mencari-cari sesuatu.Setelah beberapa saat, dia
Napas Robert tertahan, begitu pula dengan Thomas.Mereka mengira Vivian sudah terlelap. Namun siapa sangka, perempuan itu kini bergerak mendekat ke arah mereka.Wajahnya diselimuti rasa penasaran yang mendalam.“Rahasia apa yang Papa dan Mama sembunyikan selama ini?” Desak Vivian lagi. “Dan hal penting apa yang ingin Papa sampaikan padaku?”Robert menelan ludahnya dalam-dalam. Dia menarik napas sejenak. Sepertinya dia memang harus memberi tahu apa yang terjadi secepatnya. “Duduklah,” pinta Robert pada akhirnya. “Aku akan menceritakan semuanya padamu.”Jantung Vivian jadi berdetak cepat. Dia merasa apa yang akan dikatakan Robert adalah sesuatu yang buruk. Apalagi dia sempat mendengar Robert memanggil Sandra dengan sebutan wanita sialan.Seumur hidupnya, Vivian selalu menyaksikan keharmonisan kedua orangtuanya. Apa mereka selama ini hanya berpura-pura? Pikiran Vivian pun terus berkecamuk.Sadar diri, Thomas beranjak, membiarkan Vivian dan Robert berdua saja.Tetapi, secara mengejutkan
Robert Winarta akhirnya kembali ke kediamannya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya turun dan masuk ke dalam rumahnya.Dadanya berdebar kencang, sedikit gelisah bercampur dengan amarah. Sebentar lagi, dia akan melihat Sandra, istrinya, yang selama ini menyimpan rahasia yang begitu kelam.Bagaimana mungkin Sandra bisa sejahat ini terhadapnya? Apa jangan-jangan Sandra yang membuatnya mabuk malam itu sehingga mereka akhirnya berhubungan di kamar hotel?Semua itu sebentar lagi akan terjawab.“Al!” Vivian melambaikan tangannya pada Al yang baru keluar dari kamarnya bersama seorang pengasuh. “Kakek sudah pulang. Ayo, beri kakek pelukan.”Pengasuh itu menyerahkan Al pada Vivian.Dan saat memeluk Al, Robert merasa seharusnya anaknya Kirana-lah yang berhak ada di rumah ini.Setelah itu, Al bermain di taman belakang. Sementara Robert duduk di ruang tengah bersama Thomas yang baru saja tiba.“Panggil Mamamu, Vi,” titah Robert. “Aku harus bicara padanya. Dan ada hal penting juga yang i
Derap langkah Vivian menggema di sepanjang selasar rumah sakit.Rambut wanita itu nampak berkibar-kibar karena jalannya yang cukup tergesa. Wajahnya nampak masam dengan tatapan tajam.Sampai akhirnya langkah Vivian terhenti tepat di depan kursi roda Kirana.Kedua mata mereka pun beradu. Vivian melempar tatapan nyalang, sementara Kirana hanya menatap datar perempuan di hadapannya ini.Lalu Vivian menatap Thomas yang berdiri di belakang Kirana, juga Mirah yang ikut mendampingi Kirana. Wanita itu mengembuskan napas kasar.“Kuharap kamu enggak lupa, Thomas, kalau kamu masih jadi suamiku. Tapi dirimu malah sibuk mengurusi wanita culas itu. Kamu bahkan melupakan Al, anakmu sendiri,” sindir Vivian.“Di mana Papaku? Seharusnya dia datang untuk mengambil sampel kan?” Kemudian Vivian mengedarkan pandangannya ke sekitar.“Papamu ada di dalam ruangan itu,” dagu Thomas mengarah ke ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Sampelnya sedang diambil. Kirana sudah melakukannya dan setelah i
Mirah menatap Kirana dengan iba karena wajah perempuan itu terlihat sangat sendu.Rasa bersalah juga terus menghantui Mirah karena selama ini dia menutupi kebenarannya.“Maafkan Bude…” ujar Mirah untuk yang kesekian kalinya. Kirana mengalihkan tatapannya dari luar jendela, menatap budenya. Wajah Mirah nampak begitu lesu.Kirana pun mencoba untuk tersenyum. “Semua bukan salah, Bude. Aku… aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.”Mirah lantas beranjak ke pinggir ranjang Kirana. “Bude enggak tahu kalau Ratna ternyata bersekongkol untuk menutupi kejahatan di malam itu. Bude enggak habis pikir Ratna bisa berbuat seperti itu. Mungkin dia sudah putus asa ingin punya anak…”Kirana menghela napas pelan.“Tapi, walau bagaimanapun juga, aku akan selalu menganggap ibu sebagai ibuku. Ibu yang membesarkanku dengan susah payah. Dan sepanjang hidupku, aku merasakan kasih sayang dari Ibu. Aku enggak menyalahkan Ibu, Bude…”Mirah jadi terharu. Dia mengusap rambut Kirana. “Kamu memang anak yang