“Tu-Tuan Thomas?” Kirana tergagap.
“Mau kemana kamu?” Tanyanya dingin.
Kirana coba melepas cengkraman tangan Thomas. Namun, pria itu malah menahan lengannya lebih kuat.
“Nyonya Melinda sudah mengusirku dan setelah Tuan menceraikanku maka otomatis kontrak pernikahan itu batal,” terang Kirana.
“Kamu pikir aku akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja?” Thomas menarik tubuh Kirana mendekat.
Kedua pupil mata Kirana mendadak melebar. Kini wajah mereka hanya tinggal sejengkal tangan.
“A-apa maksud, Tuan? Jelas-jelas Nyonya Melinda dan Nyonya Vivian sudah tidak menginginkan saya jadi istri kedua Tuan lagi.”
Vivian beruntung.CCTV di halaman belakang ternyata sudah lama rusak karena tersambar petir. Jadi, Thomas tidak memiliki bukti atas pengakuan Vivian yang menuduh Kirana hendak menenggelamkan dirinya di kolam renang.Maka, atas dasar itulah Thomas bersikukuh mempertahankan Kirana.Tentu saja Vivian murka. Dia langsung meraup sebagian baju-bajunya di lemari dan menjejalkan asal-asalan ke dalam koper besar.“Vi, dengarkan aku dulu–”“Jangan berani menyentuhku!” Pipi Vivian sudah basah saat menghalau tangan Thomas. “Jelas-jelas kamu membela wanita itu! Wanita yang baru saja kamu kenal, Thomas! Apa artinya tiga tahun pernikahan kita, kalau kamu bahkan enggak mempercayaiku?!”
“Saya rasa kontrak pernikahan ini batal, kan?” tanya Kirana lirih pada Thomas yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya.Mata Kirana nampak sembab dan gelisah.Thomas menghela napas pendek, lalu bergerak ke arah Kirana yang duduk di pinggir ranjang.“Tidak,” balas Thomas singkat.“Tapi…bagaimana mungkin? Nyonya Vivian sampai pergi dari rumah ini. Apa semua salahku?”Pria itu menggeleng. “Kamu enggak salah apa-apa. Sekarang, keluarkan semua baju-bajumu dari koper. Kamu akan tetap tinggal di sini dan menjadi istriku. Mengerti?”“Baik, Tuan…”Namun seketika
Dret, dret…Ponsel Kirana bergetar-getar di atas nakas. Tubuh perempuan itu menggeliat dari balik selimutnya.Satu tangannya menggapai ke arah nakas. Keningnya mengernyit heran mendapati nama bude-nya muncul di layar ponsel.Kenapa bude-nya menghubunginya di pagi-pagi buta begini?“Ada apa, Bude?” Tanya Kirana cemas.Dari seberang sana, Mirah nampak terisak. “Kirana, i-ibumu…”“Kenapa dengan ibu, Bude??”“Ibumu terkena serangan jantung mendadak.”Kedua pupil mata Kirana sontak melebar. “Ba-bagaimana bisa? Sekarang Ibu ada d
“Tidak seharusnya Tuan melakukan itu, membiayai perawatan ibuku,” ucap Kirana ketika mereka dalam perjalanan pulang ke kediaman Adijaya.“Ada beberapa hal yang perlu kugarisbawahi di sini,” Thomas berujar tanpa menoleh sedikitpun ke arah Kirana. “Pertama, sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan Tuan. Dan yang kedua, aku tidak membiayai perawatan ibumu. Setelah kontrak pernikahan kita selesai, kamu harus melunasinya.”“Terima kasih, Tuan–maksudku Thomas. Aku lebih suka begitu,” balas Kirana.“Karena kamu enggak mau berutang budi padaku, kan?” tebak Thomas.“Begitulah, tapi…bagaimana kamu bisa tahu aku ada di rumah sakit?”“Kamu
“Jangan mendekat! Keluar sekarang juga dari kamarku!” ancam Vivian. “Santai, Vi…”“Santai katamu?! Keluar!”“Ini enggak seperti yang kamu pikirkan,” Alex berujar santai.Vivian berdecak keras. “Bagaimana bisa kamu masuk kamarku, hah? Apa yang sudah kamu lakukan padaku?!”“Aku enggak melakukan apa-apa,” Alex mengedikkan bahunya. “Semalam kamu mabuk berat. Aku enggak mungkin meninggalkanmu begitu saja. Kamu bahkan hampir pingsan di selasar hotel. Aku menemukan kunci kamarmu di dalam tasmu. Itu saja.”Mata Vivian memicing tidak percaya.“Lihat saja, kamu masih memakai gaun yang semalam, bukan?” tandas Alex lagi.Cepat-cepat, Vivian menyibakkan selimutnya. Dan dia bernapas lega karena dirinya tidak telanjang. Gaunnya masih melekat di badannya.Lantas, Alex menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di sudut kamar, mendengus pelan.“Kenapa kamu masih berada di kamarku?” desak Vivian.“Aku tidur semalaman di sofa ini, menjagamu.”“Kamu enggak perlu melakukan itu, Alex,” ucap Vivian sinis. “La
Semilir angin sore menyapu wajah Vivian dan Sandra. Dua gelas teh hangat terhidang di antara mereka.Sejak pengakuan mengejutkan putrinya, Sandra belum mengatakan apa-apa.“Mama,” Vivian meremas tangan Sandra yang dingin. “Aku tahu pasti Mama kecewa karena aku enggak bisa memberikan keturunan bagi keluarga kita.”Sandra menghela napas berat. Dirinya masih syok mendengar putrinya yang mandul, pernikahan kontrak yang dilakukan Thomas, serta kehamilan palsu Vivian yang sudah disiapkan demi menutupi kemandulannya dari publik.“Kamu yakin dirimu mandul?” Sandra akhirnya buka suara juga.“Iya, Ma. Thomas dan aku sudah mengeceknya ke dokter kandungan.”Sandra memejamkan matanya sejenak. Ini seperti deja vu baginya. “Lantas, kamu mau bercerai dari Thomas?”Vivian menggeleng. “Aku enggak akan melepasnya, Ma. Aku hanya sedikit kesal saja karena…jujur, ternyata berat bagiku menerima Thomas menikah dan menghamili wanita lain. Yah, walau itu atas persetujuanku juga. Jadi, aku butuh waktu untuk meny
“Maafkan aku,” ucap Thomas lirih. “Aku janji enggak akan menyembunyikan apapun lagi darimu.”Thomas menjulurkan sebuket bunga lily di hadapan istri pertamanya.Sedari tadi, Vivian memasang tampang datar. Namun pada akhirnya dia luluh juga dengan wajah Thomas yang nampak nelangsa.Tersirat rasa penyesalan yang dalam di raut Thomas, Vivian tahu itu.Lantas Vivian menghela napas pelan, menerima bunga itu dan tersenyum tipis. Thomas menggandeng tangan wanita itu, mengajaknya kembali pulang ke kediaman Adijaya.Malamnya, Vivian sudah berbaring di ranjang dengan lingerie merah menerawang, menunggu Thomas yang masih di kamar mandi.Jemari Vivian mengetikkan sesuatu di ponselnya. Lantas, dia tersenyum sinis.Wangi semerbak menyeruak saat Thomas keluar dari kamar mandi, hanya dengan berbalut handuk yang melingkar di pinggangnya.Dada bidang pria itu nampak masih sedikit basah. Dia langsung mendapati istri pertamanya melempar senyum menggoda sambil memilin-milin rambut.Perlahan Vivian bangkit,
“Kamu ingat tujuanmu berada di sini, kan?” Suara Vivian terdengar tajam, memecah keheningan kamar.Kirana, yang sedang duduk sambil memandangi foto USG di tangannya, mendongak dan mengangguk.Meskipun dia memahami perannya, tetap saja ada semacam perasaan yang tidak bisa diabaikan–perasaan antara ibu dan calon bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.“Dan foto USG ini,” Vivian menyambar foto itu dari genggaman Kirana, “adalah milikku. Dia anakku. Akulah yang akan membesarkannya, lebih tepatnya Thomas dan aku.”Vivian tersenyum dingin.Kirana tahu benar apa yang harus dia lakukan–diam, tunduk dan menerima semuanya.Hati Kirana semak