Home / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 2: Cahaya di Tengah Gelap

Share

Bab 2: Cahaya di Tengah Gelap

Author: Sanada
last update Last Updated: 2025-01-02 16:15:43

Pagi pertama Alvaro di kawasan kumuh dimulai dengan dinginnya angin yang menyapu kulitnya. Ia terbangun di bawah jembatan, dengan tubuh yang masih gemetar karena tidur tanpa selimut. Perutnya kosong, dan rasa lapar mulai menguasai pikirannya.

“Aku di mana? Bagaimana aku bisa pulang?” pikirnya, mencoba menenangkan diri meskipun air matanya terus mengalir.

Lingkungan di sekitarnya tampak seperti dunia yang berbeda. Bangunan-bangunan reyot berdiri miring, dengan dinding penuh coretan dan jalanan yang dipenuhi sampah. Bau anyir dan busuk menusuk hidung, membuat Alvaro mual.

Ia berjalan tanpa tujuan, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan suara berisik. Beberapa anak kecil dengan pakaian compang-camping memandangnya dengan tatapan penasaran, sementara orang dewasa di sekitar hanya melirik tanpa peduli.

Di sebuah sudut pasar, ia melihat seorang wanita tua menjual pisang goreng. Perutnya yang kosong berontak, dan tanpa berpikir panjang, ia mendekati wanita itu. “Bu... bolehkah aku minta satu?” tanyanya dengan suara kecil.

Wanita itu menatapnya dengan curiga. “Bayar dulu, Nak. Tidak ada yang gratis di sini,” jawabnya dingin.

Alvaro hanya terdiam, merasa malu dan putus asa. Ia tahu bahwa kehidupannya yang dulu—di mana segala sesuatu mudah didapat—sudah tidak ada lagi.

Di tengah keputusasaan, Alvaro bertemu dengan seorang anak lelaki yang tampak seumuran dengannya. Anak itu memakai kaos lusuh dan celana pendek yang robek, tetapi wajahnya penuh percaya diri.

“Eh, anak baru? Kau tersesat, ya?” tanya anak itu dengan nada santai.

“Aku... aku tidak tahu di mana aku berada,” jawab Alvaro ragu-ragu.

Anak itu tertawa kecil. “Namaku Dika. Kalau kau tidak punya tempat tinggal, ikut saja denganku.”

Meskipun awalnya ragu, Alvaro akhirnya mengikuti Dika. Mereka berjalan melewati gang-gang hingga tiba di sebuah tempat yang tampak seperti markas anak-anak jalanan. Beberapa anak lain sedang bermain kartu, sementara yang lain mengutak-atik barang-barang bekas.

“Ini tempat kami. Tidak mewah, tapi cukup untuk bertahan hidup,” ujar Dika sambil duduk di sebuah kursi kayu yang hampir patah.

Alvaro merasa canggung. Ia tidak pernah membayangkan hidup seperti ini. Namun, Dika dan teman-temannya tampak menerima kehadirannya tanpa banyak pertanyaan.

---

Hari-hari berikutnya, Alvaro mulai belajar bagaimana bertahan hidup. Dika mengajarinya cara mencari makanan dari sisa-sisa pasar dan cara menghindari preman yang sering memalak anak-anak jalanan.

“Kalau kau tidak cepat belajar, kau tidak akan bertahan lama di sini,” kata Dika suatu hari.

Meskipun berat, Alvaro mencoba menyesuaikan diri. Ia mulai memahami bahwa dunia ini tidak mengenal belas kasihan. Namun, di tengah kerasnya kehidupan, ia menemukan persahabatan dengan Dika dan anak-anak lain.

Suatu malam, saat mereka duduk di sekitar api kecil, Dika bertanya, “Kau dari mana sebenarnya? Cara bicaramu tidak seperti kami.”

Alvaro terdiam sejenak. Ia tidak ingin menceritakan tentang kehidupannya yang dulu, takut dianggap sombong atau diasingkan. “Aku... aku tidak punya rumah. Itu saja,” jawabnya singkat.

Meskipun mulai beradaptasi, Alvaro tidak bisa melupakan keluarganya. Setiap malam, ia memikirkan ibunya yang mungkin sedang menangis mencarinya, dan ayahnya yang pasti marah besar pada para penculik.

“Aku akan menemukan mereka. Aku akan membuat mereka membayar,” gumamnya dalam hati.

Dika yang mendengarnya hanya menatap dengan bingung. “Apa maksudmu?”

“Tidak ada,” jawab Alvaro cepat, menyembunyikan kemarahan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Di sisi lain, kehidupan di vila keluarga Pratama penuh dengan ketegangan. Veronica tidak berhenti menangis, sementara Gunawan sibuk mengoordinasikan penyelidikan dengan polisi dan detektif swasta. Namun, setiap upaya yang mereka lakukan selalu berujung buntu.

“Apa mungkin ini ulah Harsono?” tanya Veronica dengan suara bergetar.

“Mungkin saja. Tapi aku curiga ada seseorang di dalam keluarga kita yang membantu mereka,” jawab Gunawan dengan nada penuh kecurigaan.

---

Suatu hari, saat Alvaro sedang membantu Dika mencari barang bekas di tumpukan sampah, seorang preman besar tiba-tiba datang dan meminta uang perlindungan.

“Kalian pikir bisa tinggal di sini gratis? Bayar, atau kalian tidak aman!” bentak preman itu.

Dika mencoba melawan, tetapi satu pukulan dari preman itu membuatnya terjatuh. Alvaro, yang tidak terbiasa dengan kekerasan, hanya bisa berdiri membeku.

“Kau juga! Beri aku apa yang kau punya!” Preman itu menarik kerah baju Alvaro.

Namun, untuk pertama kalinya, Alvaro merasa kemarahannya lebih besar daripada rasa takutnya. Ia menggenggam batu kecil di tangannya dan memukul kepala preman itu sekuat tenaga. Preman itu terhuyung, tetapi tidak jatuh. Sebaliknya, ia semakin marah.

Dika dengan cepat menarik Alvaro dan berlari secepat mungkin. Mereka berdua bersembunyi di balik tumpukan barang bekas, napas mereka terengah-engah.

“Kau gila! Kau tidak tahu siapa dia?” seru Dika setelah mereka merasa aman.

“Aku tidak peduli. Aku tidak akan biarkan dia memperlakukan kita seperti itu,” jawab Alvaro dengan nada tegas.

Malam itu, Alvaro merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi hanya anak yang lemah dan takut. Ia mulai belajar untuk melawan.

---

Beberapa minggu kemudian, Alvaro mulai mendapatkan rasa hormat dari anak-anak jalanan. Mereka melihatnya sebagai seseorang yang berani, meskipun berasal dari tempat yang berbeda. Bahkan Dika mulai mengakui keberaniannya.

Namun, di tengah proses adaptasinya, Alvaro tetap menyimpan rahasia tentang identitas aslinya. Ia tahu bahwa jika kebenaran terungkap, hidupnya bisa menjadi lebih berbahaya.

Di sisi lain, Harsono Wiratmaja dan komplotannya mulai merasa puas dengan kehancuran yang mereka timbulkan. Namun, mereka tidak tahu bahwa salah satu anggota mereka, pria berjas hitam, mulai meragukan tujuan rencana tersebut.

“Anak itu hanya anak kecil. Mengapa kita harus menyeretnya ke dalam dendam ini?” tanyanya kepada Harsono.

“Karena dia adalah kunci untuk menghancurkan Gunawan. Jika anak itu hancur, Gunawan juga akan hancur,” jawab Harsono dengan nada dingin.

Di tengah kekacauan itu, Alvaro mulai melihat harapan kecil. Ia bertemu dengan seorang wanita muda bernama Lila, yang bekerja sebagai relawan untuk anak-anak jalanan. Lila adalah sosok yang lembut dan penuh kasih, sesuatu yang sangat dirindukan Alvaro.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak?” tanya Lila suatu hari saat ia memberikan makanan kepada Alvaro.

“Aku tidak punya tempat lain,” jawab Alvaro.

Lila menatapnya dengan penuh perhatian. Meskipun Alvaro tidak mengatakan apa-apa, Lila bisa merasakan bahwa anak ini memiliki cerita yang jauh lebih dalam.

Perlahan, hubungan antara Alvaro dan Lila menjadi semakin dekat. Lila mulai mengajarinya membaca dan menulis, sesuatu yang membantu Alvaro mengingat kembali kehidupannya yang dulu.

Related chapters

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 3: Jejak Luka dan Langkah Pertama

    Alvaro perlahan mulai memahami ritme kehidupan jalanan. Hari-harinya dipenuhi perjuangan untuk bertahan hidup, tetapi ia tidak pernah kehilangan rasa ingin tahu. Dalam setiap langkah, ia memikirkan bagaimana caranya kembali ke kehidupan lamanya dan menemukan siapa yang telah menghancurkan dunianya. Suatu pagi, Alvaro duduk di sudut gang yang penuh dengan poster usang dan tembok berlumut. Di tangannya, ada roti basi yang dibagi oleh Dika. Meski kecil, persahabatan mereka menjadi salah satu kekuatan terbesar yang membuat Alvaro bertahan. “Apa kau tidak pernah berpikir untuk pergi dari sini?” tanya Alvaro sambil menggigit rotinya. Dika menghela napas panjang. “Ke mana aku pergi? Ini rumahku. Semua orang di sini, meskipun keras, adalah keluargaku.” “Tapi aku tidak bisa tinggal di sini selamanya,” gumam Alvaro. Dika menatapnya dengan tatapan serius. “Kau berbeda, Alvaro. Aku tidak tahu dari mana asalmu, tapi aku bisa melihat kau punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di sini. Mu

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 4: Luka Lama yang Terbuka

    Malam itu, udara di kawasan kumuh terasa lebih dingin dari biasanya. Alvaro duduk di atas atap sebuah bangunan reyot, menatap bulan yang bersinar redup di langit. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan terus berputar. Siapa dari keluarganya yang tega mengkhianatinya? Apakah mereka benar-benar membenci dirinya atau keluarganya? Di sisi lain, Dika duduk di dekat api kecil bersama anak-anak jalanan lainnya. Ia melirik ke arah Alvaro, merasa ada sesuatu yang semakin berat membebani pikiran sahabat barunya itu. “Alvaro, apa kau yakin tidak apa-apa?” tanya Dika saat ia akhirnya bergabung dengan Alvaro di atas atap. “Aku hanya... merasa lelah,” jawab Alvaro singkat, meskipun matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan yang ia sembunyikan. “Kau tidak sendirian. Apa pun yang kau hadapi, aku akan ada untukmu,” kata Dika dengan nada tegas. Kata-kata Dika membuat Alvaro merasa sedikit tenang. Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang dan penuh bahaya. Keesokan harinya, Alvaro memut

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 5: Dalam Bayangan Pengkhianatan

    Malam itu, Alvaro duduk di sudut sebuah gedung tua yang menjadi tempat persembunyiannya bersama Dika. Pikiran-pikirannya melayang, mencoba merangkai potongan-potongan kenangan yang pernah ia alami sebelum penculikan. “Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan,” kata Alvaro, suaranya rendah namun penuh tekanan. Dika yang sedang membersihkan sebuah pisau kecil—senjata darurat mereka—melirik Alvaro dengan cemas. “Kau selalu bilang begitu, tapi apa itu?” “Ketika aku masih kecil, ada seseorang di rumah kami. Seorang pria. Ia sering berbicara dengan Ayah, tapi sikapnya selalu mencurigakan. Aku tidak pernah tahu siapa dia.” Dika menghela napas. “Pria mencurigakan di rumah mewah, penculikan, dan sekarang pengkhianatan. Sepertinya keluargamu lebih rumit dari yang kubayangkan.” Alvaro tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar ulang memori-memori itu. Pria misterius itu mungkin adalah kunci dari semua ini. Namun, ia masih tidak tahu bagaimana cara menemukan jawabannya. --- Keesokan ha

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 6: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 7: Rumah Rahasia di Pinggiran Kota

    Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 8: Jejak yang Mengabur

    Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 9: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 10: Perang Dimulai

    Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da

    Last Updated : 2025-01-02

Latest chapter

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 14: Pertemuan di Ujung Takdir

    Awal Jejak KebenaranPagi itu, matahari baru saja terbit ketika Alvaro membuka kembali dokumen yang mereka curi dari markas Johan. Karin duduk di sampingnya, mengawasi setiap gerakan pria itu. Dalam ruangan kecil dengan pencahayaan seadanya, keheningan terasa menekan.“Aku masih tidak percaya,” gumam Alvaro, membaca nama-nama dalam daftar itu. “Rodrigo... Dia tidak hanya menjual informasi keluarga kita, tapi juga... merencanakan semuanya sejak awal.”“Sejak kapan dia mengkhianati keluargamu?” tanya Karin, mencoba memahami situasi.Alvaro tidak menjawab langsung. Kilasan ingatan masa kecilnya muncul, ketika Rodrigo sering membawa hadiah dan tersenyum ramah. Ternyata di balik semua itu, ada niat jahat yang ia sembunyikan.“Mungkin sejak keluargaku menjadi ancaman bagi ambisinya,” jawab Alvaro dengan suara berat.Karin menyentuh lengannya, mencoba menenangkan. “Kita ti

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 13: Kebenaran yang Menyakitkan

    Titik Terang dalam KegelapanMalam terasa semakin dingin di tempat persembunyian mereka yang baru. Alvaro duduk sendirian di ruang tamu, menatap peta besar yang tersebar di atas meja. Jejak yang mereka kumpulkan sejauh ini mulai membentuk pola, tetapi kebenaran tetap berada di luar jangkauannya.Karin masuk ke dalam ruangan, membawa dua cangkir teh. "Kau belum tidur lagi?" tanyanya lembut.Alvaro menggeleng. "Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa ada sesuatu yang kita lewatkan."Karin meletakkan teh di hadapan Alvaro dan duduk di sampingnya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita sudah sejauh ini, dan itu karena kau.""Tapi ini belum cukup," jawab Alvaro. "Aku belum tahu siapa yang menghancurkan keluargaku dari dalam. Jika aku tidak menemukan mereka, semua ini sia-sia."Karin menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tidak sendirian, Alvaro. Kau punya aku, Dika, Victor... Kita ada di sini untukmu."Alvaro tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Terima k

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 12: Jejak Terakhir

    Alvaro memandangi dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya penuh dengan keraguan dan amarah. Karin duduk di sudut ruangan, kaki yang terluka dibalut dengan perban sementara, namun matanya tetap tajam mengamati gerak-gerik Alvaro.“Kita punya cukup bukti untuk menjatuhkan mereka,” ujar Victor dengan nada serius. “Tapi langkah berikutnya sangat berisiko. Jika mereka tahu dokumen ini ada di tangan kita, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan kita.”Alvaro mengepalkan tangan. “Aku tidak peduli seberapa besar risikonya. Ini tentang membalas keluargaku. Tentang mengembalikan kehormatan mereka yang sudah diinjak-injak.”Karin menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau bicara soal kehormatan, tapi apa kau yakin ini tidak akan mengorbankan kita semua? Aku dan Dika sudah kehilangan cukup banyak, Alvaro. Jangan sampai ini menjadi akhir bagi kita.”Alvaro mengalihkan pandangannya. Ia tahu Karin benar, tetapi ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.“Kita tidak akan mundur,” gumamnya

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 11: Di Ambang Kehancuran

    Dika terbaring lemah di sofa, bahunya dibalut perban tebal yang mulai berwarna merah karena darah yang merembes. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya mencoba menghilangkan kecemasan yang meliputi ruangan. Karin, yang biasanya kuat, terlihat hancur. Ia memandang Alvaro dengan tatapan putus asa.“Alvaro, kita tidak bisa membiarkan Dika seperti ini,” suaranya hampir seperti bisikan, tetapi penuh desakan.“Kita tidak punya pilihan, Karin,” jawab Alvaro sambil mempererat ikatan perban di bahu Dika. “Jika kita pergi ke rumah sakit sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Johan pasti sudah menyebar orang-orangnya di sana.”Karin memalingkan wajahnya, air mata mulai menetes di pipinya. “Ini salahku... Kalau aku tidak terjebak dalam skema mereka...”Alvaro menghentikan pekerjaannya sejenak dan memandang Karin. “Ini bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar mengkhianati kami.”Dika yang setengah sadar menyeringai lemah. “Berhenti menyalahk

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 10: Perang Dimulai

    Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 9: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 8: Jejak yang Mengabur

    Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 7: Rumah Rahasia di Pinggiran Kota

    Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 6: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status