Home / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 4: Luka Lama yang Terbuka

Share

Bab 4: Luka Lama yang Terbuka

Author: Sanada
last update Last Updated: 2025-01-02 16:16:15

Malam itu, udara di kawasan kumuh terasa lebih dingin dari biasanya. Alvaro duduk di atas atap sebuah bangunan reyot, menatap bulan yang bersinar redup di langit. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan terus berputar. Siapa dari keluarganya yang tega mengkhianatinya? Apakah mereka benar-benar membenci dirinya atau keluarganya?

Di sisi lain, Dika duduk di dekat api kecil bersama anak-anak jalanan lainnya. Ia melirik ke arah Alvaro, merasa ada sesuatu yang semakin berat membebani pikiran sahabat barunya itu.

“Alvaro, apa kau yakin tidak apa-apa?” tanya Dika saat ia akhirnya bergabung dengan Alvaro di atas atap.

“Aku hanya... merasa lelah,” jawab Alvaro singkat, meskipun matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan yang ia sembunyikan.

“Kau tidak sendirian. Apa pun yang kau hadapi, aku akan ada untukmu,” kata Dika dengan nada tegas.

Kata-kata Dika membuat Alvaro merasa sedikit tenang. Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang dan penuh bahaya.

Keesokan harinya, Alvaro memutuskan untuk kembali ke gudang tua itu, meskipun Dika menentangnya.

“Kau gila! Mereka sudah tahu kita pernah ada di sana. Kalau kau tertangkap, kau bisa mati!” seru Dika dengan nada marah.

“Tapi ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban. Aku tidak bisa berhenti sekarang,” jawab Alvaro dengan penuh tekad.

Akhirnya, setelah perdebatan panjang, Dika memutuskan untuk ikut lagi, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan.

Mereka menyelinap ke sekitar gudang dengan lebih hati-hati. Kali ini, mereka melihat lebih banyak orang berkumpul di dalam. Ada sebuah pertemuan yang tampaknya penting.

Dari celah jendela, mereka mendengar salah satu pria berkata, “Kita harus segera menyelesaikan rencana ini sebelum mereka menemukan jejak kita. Harsono sudah kehilangan kesabaran.”

“Bagaimana dengan anak itu?” tanya pria lain.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama dia tetap di tempat itu, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.”

Alvaro mengepalkan tangan. Ia tahu bahwa mereka sedang membicarakannya.

Namun, sebelum mereka bisa mendengar lebih banyak, salah satu pria di dalam gudang mendekati jendela, membuat Alvaro dan Dika segera mundur dan melarikan diri.

---

Setelah berhasil kabur, Alvaro dan Dika beristirahat di sebuah taman kecil yang terlantar. Napas mereka terengah-engah, tetapi pikiran Alvaro dipenuhi dengan kemarahan dan kekecewaan.

“Mereka tahu siapa aku. Mereka sengaja meninggalkanku di sini untuk memastikan aku tidak pernah kembali,” gumam Alvaro.

“Siapa sebenarnya mereka? Dan kenapa kau menjadi target mereka?” tanya Dika, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

Akhirnya, Alvaro menceritakan segalanya kepada Dika. Tentang kehidupannya sebagai anak keluarga kaya, tentang penculikan itu, dan tentang kecurigaannya terhadap pengkhianatan dari dalam keluarganya sendiri.

“Aku tidak tahu siapa di keluargaku yang tega melakukan ini, tapi aku akan menemukan mereka. Aku tidak peduli seberapa jauh aku harus pergi,” ujar Alvaro dengan mata yang berkilat penuh tekad.

Dika hanya terdiam, mencoba mencerna semua informasi itu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sahabatnya yang kini hidup di jalanan sebenarnya adalah anak dari keluarga kaya raya.

Setelah mendengar cerita Alvaro, Dika mulai merasa canggung. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, Alvaro bisa merasakan ada jarak yang mulai tumbuh di antara mereka.

“Aku tahu ini banyak untuk kau cerna. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman,” kata Alvaro suatu malam.

“Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus bersikap,” jawab Dika jujur. “Aku tidak pernah membayangkan bahwa kau berasal dari dunia yang begitu berbeda.”

Namun, meskipun ada ketegangan di antara mereka, Dika tetap mendukung Alvaro. Mereka tahu bahwa mereka hanya memiliki satu sama lain di tengah kehidupan yang keras ini.

---

Beberapa hari kemudian, saat Alvaro dan Dika sedang mencari makanan di pasar, mereka bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Surya. Pria itu adalah pedagang kecil yang sering membantu anak-anak jalanan dengan memberi mereka makanan atau tempat berlindung.

Pak Surya menatap Alvaro dengan tajam. “Kau bukan anak biasa di sini, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Alvaro terkejut, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Kenapa Bapak bilang begitu?”

“Aku sudah lama hidup di sini. Aku bisa melihat dari caramu bicara, caramu berjalan. Kau bukan berasal dari tempat ini,” jawab Pak Surya sambil tersenyum tipis.

Meskipun awalnya ragu, Alvaro akhirnya menceritakan sebagian kisahnya kepada Pak Surya. Pria tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Kalau kau ingin kembali ke duniamu, kau harus pintar. Dunia ini keras, tapi dunia di atas sana jauh lebih berbahaya.”

Pak Surya kemudian memberikan Alvaro sebuah alamat. “Datangi tempat ini. Mungkin mereka bisa membantumu.”

---

Alamat yang diberikan Pak Surya mengarah ke sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Alvaro dan Dika pergi ke sana dengan penuh harapan, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui.

Di rumah itu, mereka bertemu dengan seorang wanita bernama Bu Mira, yang ternyata adalah mantan karyawan keluarga Pratama.

“Aku mengenal keluargamu, Alvaro. Aku bekerja untuk mereka selama bertahun-tahun sebelum aku dipecat karena tuduhan yang tidak pernah aku lakukan,” kata Bu Mira dengan nada pahit.

Alvaro terkejut. “Tuduhan apa?”

“Mereka bilang aku mencuri perhiasan Nyonya Veronica. Padahal, aku tahu itu adalah ulah seseorang di dalam keluarga yang ingin menjatuhkanku.”

Kata-kata Bu Mira membuat Alvaro semakin yakin bahwa ada pengkhianat di keluarganya.

Setelah mendengar cerita Bu Mira, Alvaro merasa bahwa ia harus kembali ke kota untuk menyelidiki lebih jauh. Namun, ia tahu bahwa ia membutuhkan lebih banyak kekuatan dan informasi sebelum menghadapi keluarganya.

Dika, meskipun awalnya enggan, akhirnya setuju untuk membantu Alvaro. “Kau tidak bisa melakukannya sendirian. Aku akan mendukungmu, apa pun yang terjadi,” katanya.

Mereka mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya, termasuk bagaimana cara mendapatkan informasi lebih lanjut tentang Harsono dan hubungannya dengan keluarga Pratama.

Namun, di tengah persiapan mereka, bahaya semakin dekat. Orang-orang yang bekerja untuk Harsono mulai menyadari bahwa Alvaro masih hidup dan berusaha mengungkap kebenaran.

Related chapters

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 5: Dalam Bayangan Pengkhianatan

    Malam itu, Alvaro duduk di sudut sebuah gedung tua yang menjadi tempat persembunyiannya bersama Dika. Pikiran-pikirannya melayang, mencoba merangkai potongan-potongan kenangan yang pernah ia alami sebelum penculikan. “Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan,” kata Alvaro, suaranya rendah namun penuh tekanan. Dika yang sedang membersihkan sebuah pisau kecil—senjata darurat mereka—melirik Alvaro dengan cemas. “Kau selalu bilang begitu, tapi apa itu?” “Ketika aku masih kecil, ada seseorang di rumah kami. Seorang pria. Ia sering berbicara dengan Ayah, tapi sikapnya selalu mencurigakan. Aku tidak pernah tahu siapa dia.” Dika menghela napas. “Pria mencurigakan di rumah mewah, penculikan, dan sekarang pengkhianatan. Sepertinya keluargamu lebih rumit dari yang kubayangkan.” Alvaro tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar ulang memori-memori itu. Pria misterius itu mungkin adalah kunci dari semua ini. Namun, ia masih tidak tahu bagaimana cara menemukan jawabannya. --- Keesokan ha

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 6: Jejak di Balik Bayangan

    Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 7: Rumah Rahasia di Pinggiran Kota

    Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 8: Jejak yang Mengabur

    Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 9: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 10: Perang Dimulai

    Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 11: Di Ambang Kehancuran

    Dika terbaring lemah di sofa, bahunya dibalut perban tebal yang mulai berwarna merah karena darah yang merembes. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya mencoba menghilangkan kecemasan yang meliputi ruangan. Karin, yang biasanya kuat, terlihat hancur. Ia memandang Alvaro dengan tatapan putus asa.“Alvaro, kita tidak bisa membiarkan Dika seperti ini,” suaranya hampir seperti bisikan, tetapi penuh desakan.“Kita tidak punya pilihan, Karin,” jawab Alvaro sambil mempererat ikatan perban di bahu Dika. “Jika kita pergi ke rumah sakit sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Johan pasti sudah menyebar orang-orangnya di sana.”Karin memalingkan wajahnya, air mata mulai menetes di pipinya. “Ini salahku... Kalau aku tidak terjebak dalam skema mereka...”Alvaro menghentikan pekerjaannya sejenak dan memandang Karin. “Ini bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar mengkhianati kami.”Dika yang setengah sadar menyeringai lemah. “Berhenti menyalahk

    Last Updated : 2025-01-08
  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 12: Jejak Terakhir

    Alvaro memandangi dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya penuh dengan keraguan dan amarah. Karin duduk di sudut ruangan, kaki yang terluka dibalut dengan perban sementara, namun matanya tetap tajam mengamati gerak-gerik Alvaro.“Kita punya cukup bukti untuk menjatuhkan mereka,” ujar Victor dengan nada serius. “Tapi langkah berikutnya sangat berisiko. Jika mereka tahu dokumen ini ada di tangan kita, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan kita.”Alvaro mengepalkan tangan. “Aku tidak peduli seberapa besar risikonya. Ini tentang membalas keluargaku. Tentang mengembalikan kehormatan mereka yang sudah diinjak-injak.”Karin menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau bicara soal kehormatan, tapi apa kau yakin ini tidak akan mengorbankan kita semua? Aku dan Dika sudah kehilangan cukup banyak, Alvaro. Jangan sampai ini menjadi akhir bagi kita.”Alvaro mengalihkan pandangannya. Ia tahu Karin benar, tetapi ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.“Kita tidak akan mundur,” gumamnya

    Last Updated : 2025-01-10

Latest chapter

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 42: Bayangan Balas Dendam

    Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 41: Kebenaran yang Tersembunyi

    Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 40: Serangan Balik di Jalur Es

    Ricardo memacu truk di jalanan bersalju yang mulai tertutup kabut. Roda-roda besar kendaraan itu sesekali tergelincir di atas permukaan licin, tetapi dia tetap mengendalikannya dengan tenang. Di belakang mereka, dua mobil hitam dengan sirene pelan mulai mengejar.“Konstantin pasti tahu kita kabur dengan truk ini,” kata Selena sambil mengamati jalan di belakang melalui jendela kecil di ruang kargo. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Carlos duduk di atas salah satu peti amunisi sambil merakit senapan serbu. “Bagus. Itu artinya kita bisa menyerang sebelum mereka sempat menyusun rencana baru.”Alvaro yang berdiri di sampingnya mendesah. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?”Carlos menyeringai. “Bukankah

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 39: Neraka di Jalanan Moskow

    Van tua yang dikendarai Carlos melaju dengan kecepatan penuh, membelah jalanan Moskow yang masih sepi di pagi buta. Di belakang mereka, dua SUV hitam dengan logo organisasi Konstantin terpampang jelas di sisi pintunya terus mengejar, disertai suara sirene polisi yang seolah menggema dari segala arah.Ricardo memeriksa peluru di magazinnya. "Kita tidak akan bisa kabur hanya dengan kecepatan. Mereka punya kendaraan yang lebih baik!"Selena sudah membuka jendela samping, mengangkat senapan serbunya. "Maka kita harus membuatnya lebih adil."BRAK!Tembakan pertama dari musuh menghantam bagian belakang van, membuat kaca pecah dan serpihan logam beterbangan ke dalam."Kita tidak bisa hanya menghindar!" ujar Alvaro, yang mulai bersiap dengan pistol di tan

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 38: Musuh dalam Bayangan

    Truk yang mereka tumpangi melaju melewati jalanan Moskow yang dingin. Dari sela-sela peti kargo, Alvaro mengintip keluar. Lampu-lampu jalan berpendar di malam yang gelap, dan sesekali mobil patroli melintas, membuat mereka semua semakin waspada.“Kita akan kemana sekarang?” bisik Selena.Carlos, yang duduk di sebelahnya, menatap peta yang telah direkam dalam ingatannya. “Kita harus menemukan transportasi lain. Truk ini hanya membawa kita keluar dari bandara, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi di dalamnya.”Ricardo, yang duduk di dekat pintu belakang, melirik arlojinya. “Kita bisa lompat keluar saat truk ini berhenti di lampu merah atau perbatasan distrik.”Benar saja, setelah beberapa menit, truk mulai melambat di sebuah persimpangan. Ricardo mengisyaratkan kepada yang lain, dan tanpa suara mereka menyelinap keluar, menyelinap ke gang sempit di dekatnya.Namun, mereka tidak menyadari satu hal—mereka telah diawasi sejak awal.Seorang pria berjas hitam di seberang jalan mengangkat t

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 37: Batas Antara Kepercayaan dan Pengkhianatan

    Mobil yang dikendarai Ricardo melaju dengan kecepatan penuh di jalan pegunungan yang berliku-liku. Di belakang mereka, suara sirene dan deru kendaraan pengejar semakin mendekat. Helikopter hitam berputar di langit, sorot lampunya berusaha menembus kegelapan malam."Mereka tidak akan berhenti!" seru Selena sambil mengisi ulang magazin senjatanya. "Konstantin pasti sudah memerintahkan mereka untuk menangkap kita hidup atau mati."Carlos, yang duduk di sebelah Alvaro di kursi belakang, menatap lurus ke depan. "Aku sudah mengkhianati Konstantin. Sekarang aku tidak punya pilihan lain selain melawan."Alvaro masih ragu. "Dan bagaimana kalau ini semua jebakan? Bagaimana kalau kau hanya berpura-pura berpihak pada kita?"Carlos tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jala

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 36: Menghadapi Bayangan Masa Lalu

    Malam itu, Alvaro tidak bisa tidur. Di dalam gudang tua yang menjadi tempat persembunyian mereka, suara deburan ombak terus menggema di kejauhan. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi yang lebih menusuk adalah perasaan di dalam hatinya.Carlos masih hidup.Bukan hanya hidup, tetapi juga bekerja untuk Konstantin.Alvaro mengepalkan tangannya. Dulu, Carlos adalah pahlawan baginya. Kakaknya adalah seseorang yang ia idolakan sejak kecil—seseorang yang mengajarinya bertarung, berpikir strategis, dan berani menghadapi ketidakadilan. Tapi sekarang, Carlos berdiri di pihak musuh.Selena duduk di sudut ruangan, memperhatikan Alvaro. “Kau belum tidur?” tanyanya pelan.Alvaro menggeleng. “Bagaimana aku bisa tidur

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 35: Kebenaran yang Terkubur

    Malam di Laut Hitam terasa lebih dingin dari biasanya. Di atas kapal kecil yang melaju perlahan di perairan gelap, Alvaro dan timnya menatap cakrawala tempat sebuah kapal besar milik Konstantin sedang berlabuh.“Kapal itu bukan sekadar alat transportasi,” kata Ricardo sambil melihat peta digital yang ditampilkan di tablet-nya. “Ini adalah laboratorium terapung. Ada sesuatu yang mereka kembangkan di sana.”Selena menatap Alvaro. “Ini mungkin kesempatan kita untuk mendapatkan informasi langsung dari sumbernya.”Alvaro mengangguk. “Kita menyusup, mengumpulkan bukti, dan jika memungkinkan… kita hancurkan fasilitas itu.”Menggunakan perlengkapan selam, mereka berenang menuju kapal dengan hati-hati. Ricardo memandu dari jauh, mengawasi kamera keamanan dan memberi tahu mereka jalur yang paling aman.Setelah berhasil naik ke dek bawah kapal, mereka bergerak cepat. Kapal itu memiliki keamanan ketat, dengan penjaga patroli bersenjata dan kamera pengawas di setiap sudut.Selena membuka peta stru

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 34: Bayangan Sang Arsitek

    Beberapa hari setelah penangkapan Viktor Ivanov, Alvaro duduk di ruang interogasi, memandangi pria itu dengan tatapan tajam. Meskipun Viktor kini terbelenggu, keberadaannya masih memberikan aura ancaman yang nyata.“Aku sudah memberimu nama,” kata Viktor dengan suara serak. “Apa lagi yang kau inginkan dariku?”Alvaro menggenggam meja di depannya dengan erat. “Aku ingin tahu semua. Bagaimana Konstantin Dragovich terlibat, apa motivasinya, dan bagaimana aku bisa menghancurkan dia.”Viktor tersenyum kecil. “Kau benar-benar berpikir bisa menghancurkan dia? Konstantin tidak seperti aku. Dia adalah sosok yang ada di setiap sudut dunia ini, mengendalikan semuanya tanpa kau sadari.”Alvaro terdiam sejenak. Di dalam hatinya, dia tahu Viktor tidak sedang bercanda. Jika Konstantin benar-benar sekuat itu, maka pertempuran ini belum mencapai puncaknya—ini baru permulaan.Setelah interogasi, Alvaro kembali ke ruang briefing bersama Selena dan Ricardo. Di atas meja, peta dunia terbentang dengan bebe

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status