Malam itu, Alvaro duduk di sudut sebuah gedung tua yang menjadi tempat persembunyiannya bersama Dika. Pikiran-pikirannya melayang, mencoba merangkai potongan-potongan kenangan yang pernah ia alami sebelum penculikan.
“Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan,” kata Alvaro, suaranya rendah namun penuh tekanan. Dika yang sedang membersihkan sebuah pisau kecil—senjata darurat mereka—melirik Alvaro dengan cemas. “Kau selalu bilang begitu, tapi apa itu?” “Ketika aku masih kecil, ada seseorang di rumah kami. Seorang pria. Ia sering berbicara dengan Ayah, tapi sikapnya selalu mencurigakan. Aku tidak pernah tahu siapa dia.” Dika menghela napas. “Pria mencurigakan di rumah mewah, penculikan, dan sekarang pengkhianatan. Sepertinya keluargamu lebih rumit dari yang kubayangkan.” Alvaro tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar ulang memori-memori itu. Pria misterius itu mungkin adalah kunci dari semua ini. Namun, ia masih tidak tahu bagaimana cara menemukan jawabannya. --- Keesokan harinya, saat Alvaro dan Dika sedang mengumpulkan barang bekas di pasar malam, mereka dikejutkan oleh kehadiran beberapa pria berpakaian gelap. Mereka tampak seperti preman bayaran, dengan tatapan tajam yang langsung mengarah ke Alvaro. “Dia di sana! Itu anaknya!” teriak salah satu pria, menunjuk ke arah Alvaro. Dika bereaksi cepat, menarik tangan Alvaro dan berlari ke arah gang sempit di belakang pasar. “Mereka tahu tentangmu! Kita harus pergi sekarang!” Alvaro dan Dika berlari secepat mungkin, tetapi para preman itu tidak menyerah begitu saja. Mereka mengejar dengan brutal, menendang kotak-kotak dan sampah yang menghalangi jalan mereka. Dalam keputusasaan, Dika mengambil botol kaca dari tumpukan sampah dan melemparkannya ke arah salah satu pengejar. Botol itu pecah tepat di kaki pria itu, membuatnya tersandung. “Ayo cepat! Jangan berhenti!” teriak Dika. Mereka akhirnya berhasil melarikan diri ke sebuah bangunan kosong yang gelap dan sunyi. Napas mereka terengah-engah, tetapi bahaya belum sepenuhnya berlalu. “Siapa mereka?” tanya Dika dengan nada panik. “Orang-orang Harsono, mungkin,” jawab Alvaro sambil mencoba mengatur napasnya. “Mereka pasti tahu aku masih hidup dan berusaha mencari jawaban.” --- Malam itu, setelah keadaan tenang, Alvaro dan Dika memutuskan untuk kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, mereka tidak menyangka bahwa seseorang telah menunggu mereka di sana. Seorang pria tinggi dengan bekas luka di wajahnya berdiri di depan pintu. Ia tersenyum tipis saat melihat Alvaro. “Sudah lama sekali, Nak,” katanya dengan suara serak. Alvaro mengerutkan kening. “Siapa kau?” “Namaku Burhan. Aku dulu bekerja untuk keluargamu. Tapi sekarang, aku bekerja untuk Harsono.” Alvaro merasa darahnya membeku. “Kenapa kau ada di sini?” “Aku datang untuk memberi peringatan. Berhenti mencari jawaban, atau kau tidak akan selamat.” Dika maju dengan marah. “Apa kau pikir kami akan menyerah begitu saja?!” Burhan hanya tertawa kecil. “Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan, Nak.” Sebelum Alvaro atau Dika bisa merespons, Burhan menghilang ke dalam kegelapan. Kejadian itu meninggalkan banyak pertanyaan di benak Alvaro, tetapi satu hal yang jelas: ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang lama tanpa melawan. --- Setelah pertemuan dengan Burhan, Alvaro mulai mengalami mimpi buruk tentang masa lalunya. Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya berada di dalam ruangan besar dengan dinding putih. Di sana, ia mendengar suara ayahnya berbicara dengan seseorang. “Aku tidak peduli apa yang harus kau lakukan, Harsono. Pastikan semua berjalan sesuai rencana,” kata suara ayahnya. Alvaro terbangun dengan keringat dingin. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Apakah ayahnya terlibat dalam sesuatu yang besar dan berbahaya? Dika yang tidur di dekatnya terbangun karena suara Alvaro. “Apa yang terjadi?” “Aku... tidak yakin. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari ini semua,” jawab Alvaro dengan nada lelah. --- Setelah merenung selama beberapa hari, Alvaro akhirnya memutuskan untuk pergi ke kota. Ia yakin bahwa jawaban dari semua pertanyaannya ada di sana. Namun, perjalanan ke kota bukanlah hal yang mudah. Mereka harus melewati banyak rintangan, termasuk menjaga agar keberadaan mereka tidak diketahui oleh orang-orang Harsono. “Kau yakin ini ide yang bagus?” tanya Dika saat mereka bersiap-siap untuk pergi. “Tidak ada jalan lain. Jika aku tidak melakukannya sekarang, aku mungkin tidak akan pernah tahu kebenarannya,” jawab Alvaro tegas. Mereka akhirnya meninggalkan kawasan kumuh, membawa hanya barang-barang yang diperlukan. Perjalanan mereka penuh dengan bahaya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat pada kebenaran. --- Setibanya di kota, Alvaro dan Dika merasa seperti ikan kecil di tengah lautan. Gedung-gedung tinggi dan keramaian membuat mereka merasa asing dan kecil. Namun, Alvaro tidak kehilangan fokus. Ia mulai mencari tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama keluarganya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membawanya lebih dekat ke rumahnya. Mereka akhirnya tiba di sebuah kafe kecil yang terlihat familiar bagi Alvaro. “Aku ingat tempat ini. Ayah sering membawaku ke sini,” katanya. Di kafe itu, mereka bertemu dengan seorang pelayan tua yang tampaknya mengenali Alvaro. “Tuan Muda? Apa itu benar-benar kau?” tanya pelayan itu dengan nada penuh keterkejutan. Alvaro mengangguk pelan. “Kau mengenalku?” “Tentu saja! Aku pernah bekerja di rumah keluargamu. Tapi setelah kau hilang, semuanya berubah. Rumah itu tidak pernah sama lagi.” --- Dari pelayan itu, Alvaro mendapatkan informasi penting. Ia mengetahui bahwa setelah penculikannya, keluarganya mengalami perpecahan besar. Ada banyak desas-desus tentang siapa yang mungkin terlibat dalam penculikan itu, tetapi tidak ada yang berani berbicara secara terbuka. “Ada satu orang yang mungkin bisa membantumu,” kata pelayan itu. “Dia adalah pengacara keluarga. Namanya Pak Aditya. Dia tahu banyak tentang apa yang terjadi.” Alvaro merasa ini adalah petunjuk besar. Namun, ia juga tahu bahwa mendekati Pak Aditya bukanlah hal yang mudah. --- Malam itu, saat mereka kembali ke penginapan kecil tempat mereka bersembunyi, Alvaro dan Dika merasa bahwa mereka sedang diawasi. “Apakah kau merasa ada yang aneh?” bisik Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus lebih berhati-hati. Mereka mungkin sudah tahu kita ada di sini.” Namun, sebelum mereka bisa bertindak, pintu kamar mereka tiba-tiba didobrak. Sekelompok pria bersenjata masuk, membuat Alvaro dan Dika harus melarikan diri lagi.Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s
Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m
Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal
Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau
Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da
Dika terbaring lemah di sofa, bahunya dibalut perban tebal yang mulai berwarna merah karena darah yang merembes. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya mencoba menghilangkan kecemasan yang meliputi ruangan. Karin, yang biasanya kuat, terlihat hancur. Ia memandang Alvaro dengan tatapan putus asa.“Alvaro, kita tidak bisa membiarkan Dika seperti ini,” suaranya hampir seperti bisikan, tetapi penuh desakan.“Kita tidak punya pilihan, Karin,” jawab Alvaro sambil mempererat ikatan perban di bahu Dika. “Jika kita pergi ke rumah sakit sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Johan pasti sudah menyebar orang-orangnya di sana.”Karin memalingkan wajahnya, air mata mulai menetes di pipinya. “Ini salahku... Kalau aku tidak terjebak dalam skema mereka...”Alvaro menghentikan pekerjaannya sejenak dan memandang Karin. “Ini bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar mengkhianati kami.”Dika yang setengah sadar menyeringai lemah. “Berhenti menyalahk
Alvaro memandangi dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya penuh dengan keraguan dan amarah. Karin duduk di sudut ruangan, kaki yang terluka dibalut dengan perban sementara, namun matanya tetap tajam mengamati gerak-gerik Alvaro.“Kita punya cukup bukti untuk menjatuhkan mereka,” ujar Victor dengan nada serius. “Tapi langkah berikutnya sangat berisiko. Jika mereka tahu dokumen ini ada di tangan kita, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan kita.”Alvaro mengepalkan tangan. “Aku tidak peduli seberapa besar risikonya. Ini tentang membalas keluargaku. Tentang mengembalikan kehormatan mereka yang sudah diinjak-injak.”Karin menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau bicara soal kehormatan, tapi apa kau yakin ini tidak akan mengorbankan kita semua? Aku dan Dika sudah kehilangan cukup banyak, Alvaro. Jangan sampai ini menjadi akhir bagi kita.”Alvaro mengalihkan pandangannya. Ia tahu Karin benar, tetapi ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.“Kita tidak akan mundur,” gumamnya
Titik Terang dalam KegelapanMalam terasa semakin dingin di tempat persembunyian mereka yang baru. Alvaro duduk sendirian di ruang tamu, menatap peta besar yang tersebar di atas meja. Jejak yang mereka kumpulkan sejauh ini mulai membentuk pola, tetapi kebenaran tetap berada di luar jangkauannya.Karin masuk ke dalam ruangan, membawa dua cangkir teh. "Kau belum tidur lagi?" tanyanya lembut.Alvaro menggeleng. "Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa ada sesuatu yang kita lewatkan."Karin meletakkan teh di hadapan Alvaro dan duduk di sampingnya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita sudah sejauh ini, dan itu karena kau.""Tapi ini belum cukup," jawab Alvaro. "Aku belum tahu siapa yang menghancurkan keluargaku dari dalam. Jika aku tidak menemukan mereka, semua ini sia-sia."Karin menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tidak sendirian, Alvaro. Kau punya aku, Dika, Victor... Kita ada di sini untukmu."Alvaro tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Terima k
Awal Jejak KebenaranPagi itu, matahari baru saja terbit ketika Alvaro membuka kembali dokumen yang mereka curi dari markas Johan. Karin duduk di sampingnya, mengawasi setiap gerakan pria itu. Dalam ruangan kecil dengan pencahayaan seadanya, keheningan terasa menekan.“Aku masih tidak percaya,” gumam Alvaro, membaca nama-nama dalam daftar itu. “Rodrigo... Dia tidak hanya menjual informasi keluarga kita, tapi juga... merencanakan semuanya sejak awal.”“Sejak kapan dia mengkhianati keluargamu?” tanya Karin, mencoba memahami situasi.Alvaro tidak menjawab langsung. Kilasan ingatan masa kecilnya muncul, ketika Rodrigo sering membawa hadiah dan tersenyum ramah. Ternyata di balik semua itu, ada niat jahat yang ia sembunyikan.“Mungkin sejak keluargaku menjadi ancaman bagi ambisinya,” jawab Alvaro dengan suara berat.Karin menyentuh lengannya, mencoba menenangkan. “Kita ti
Titik Terang dalam KegelapanMalam terasa semakin dingin di tempat persembunyian mereka yang baru. Alvaro duduk sendirian di ruang tamu, menatap peta besar yang tersebar di atas meja. Jejak yang mereka kumpulkan sejauh ini mulai membentuk pola, tetapi kebenaran tetap berada di luar jangkauannya.Karin masuk ke dalam ruangan, membawa dua cangkir teh. "Kau belum tidur lagi?" tanyanya lembut.Alvaro menggeleng. "Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa ada sesuatu yang kita lewatkan."Karin meletakkan teh di hadapan Alvaro dan duduk di sampingnya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita sudah sejauh ini, dan itu karena kau.""Tapi ini belum cukup," jawab Alvaro. "Aku belum tahu siapa yang menghancurkan keluargaku dari dalam. Jika aku tidak menemukan mereka, semua ini sia-sia."Karin menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tidak sendirian, Alvaro. Kau punya aku, Dika, Victor... Kita ada di sini untukmu."Alvaro tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Terima k
Alvaro memandangi dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya penuh dengan keraguan dan amarah. Karin duduk di sudut ruangan, kaki yang terluka dibalut dengan perban sementara, namun matanya tetap tajam mengamati gerak-gerik Alvaro.“Kita punya cukup bukti untuk menjatuhkan mereka,” ujar Victor dengan nada serius. “Tapi langkah berikutnya sangat berisiko. Jika mereka tahu dokumen ini ada di tangan kita, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan kita.”Alvaro mengepalkan tangan. “Aku tidak peduli seberapa besar risikonya. Ini tentang membalas keluargaku. Tentang mengembalikan kehormatan mereka yang sudah diinjak-injak.”Karin menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau bicara soal kehormatan, tapi apa kau yakin ini tidak akan mengorbankan kita semua? Aku dan Dika sudah kehilangan cukup banyak, Alvaro. Jangan sampai ini menjadi akhir bagi kita.”Alvaro mengalihkan pandangannya. Ia tahu Karin benar, tetapi ia juga tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.“Kita tidak akan mundur,” gumamnya
Dika terbaring lemah di sofa, bahunya dibalut perban tebal yang mulai berwarna merah karena darah yang merembes. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya mencoba menghilangkan kecemasan yang meliputi ruangan. Karin, yang biasanya kuat, terlihat hancur. Ia memandang Alvaro dengan tatapan putus asa.“Alvaro, kita tidak bisa membiarkan Dika seperti ini,” suaranya hampir seperti bisikan, tetapi penuh desakan.“Kita tidak punya pilihan, Karin,” jawab Alvaro sambil mempererat ikatan perban di bahu Dika. “Jika kita pergi ke rumah sakit sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Johan pasti sudah menyebar orang-orangnya di sana.”Karin memalingkan wajahnya, air mata mulai menetes di pipinya. “Ini salahku... Kalau aku tidak terjebak dalam skema mereka...”Alvaro menghentikan pekerjaannya sejenak dan memandang Karin. “Ini bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar mengkhianati kami.”Dika yang setengah sadar menyeringai lemah. “Berhenti menyalahk
Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da
Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau
Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal
Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m
Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s