Alvaro perlahan mulai memahami ritme kehidupan jalanan. Hari-harinya dipenuhi perjuangan untuk bertahan hidup, tetapi ia tidak pernah kehilangan rasa ingin tahu. Dalam setiap langkah, ia memikirkan bagaimana caranya kembali ke kehidupan lamanya dan menemukan siapa yang telah menghancurkan dunianya.
Suatu pagi, Alvaro duduk di sudut gang yang penuh dengan poster usang dan tembok berlumut. Di tangannya, ada roti basi yang dibagi oleh Dika. Meski kecil, persahabatan mereka menjadi salah satu kekuatan terbesar yang membuat Alvaro bertahan. “Apa kau tidak pernah berpikir untuk pergi dari sini?” tanya Alvaro sambil menggigit rotinya. Dika menghela napas panjang. “Ke mana aku pergi? Ini rumahku. Semua orang di sini, meskipun keras, adalah keluargaku.” “Tapi aku tidak bisa tinggal di sini selamanya,” gumam Alvaro. Dika menatapnya dengan tatapan serius. “Kau berbeda, Alvaro. Aku tidak tahu dari mana asalmu, tapi aku bisa melihat kau punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di sini. Mungkin kau benar, tempat ini bukan untukmu.” Perkataan Dika menjadi pemicu bagi Alvaro. Ia merasa semakin yakin bahwa ia harus keluar dari kegelapan ini dan mengambil kembali apa yang telah dirampas darinya. --- Dalam minggu-minggu berikutnya, Alvaro mulai mencoba mencari cara untuk menggali informasi tentang para penculiknya. Ia memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi di kawasan kumuh itu, mencari tanda-tanda yang mungkin menghubungkan mereka dengan peristiwa penculikannya. Suatu hari, saat ia membantu Dika mengumpulkan barang bekas di pasar malam, ia mendengar percakapan antara dua pria paruh baya yang tampak mencurigakan. “Bos bilang kita harus tetap diam. Anak itu sudah dibuang ke tempat yang tepat,” kata salah satu pria dengan suara pelan. “Kalau dia berhasil keluar dari tempat ini, kita yang kena masalah,” jawab pria lainnya. Alvaro merasa jantungnya berdegup kencang. Ia yakin mereka sedang membicarakannya. Tanpa berpikir panjang, ia mengikuti kedua pria itu dari kejauhan. Mereka berjalan menuju sebuah bangunan tua yang tampak seperti gudang. Namun, sebelum Alvaro bisa mendekat, sebuah tangan menariknya dari belakang. “Apa yang kau lakukan?” bisik Dika dengan nada khawatir. “Aku harus tahu siapa mereka,” jawab Alvaro dengan tegas. “Jangan bodoh! Mereka bisa membunuhmu!” Dika menarik Alvaro menjauh, tetapi dalam hati, Alvaro berjanji akan kembali ke tempat itu. Hari berikutnya, Alvaro bertemu kembali dengan Lila di tempat biasa ia membagikan makanan untuk anak-anak jalanan. Wanita muda itu adalah satu-satunya orang dewasa yang Alvaro percaya. “Lila, aku ingin bertanya sesuatu,” kata Alvaro sambil menggenggam kaleng susu bekas yang telah ia isi air. “Apa itu, Nak?” Lila tersenyum lembut, tetapi tatapannya langsung berubah serius saat melihat ekspresi Alvaro yang penuh tekad. “Apa kau tahu ada gudang tua di dekat pasar malam?” Lila tampak bingung. “Ada banyak gudang tua di daerah itu. Tapi kenapa kau menanyakannya?” “Tidak ada alasan khusus,” jawab Alvaro cepat, mencoba menyembunyikan niatnya. Namun, Lila tidak mudah dibodohi. Ia meraih bahu Alvaro dan menatapnya tajam. “Kau tidak sedang berusaha melakukan sesuatu yang berbahaya, kan?” Alvaro menggeleng, tetapi dalam hati, ia tahu bahwa langkah selanjutnya akan semakin berisiko. --- Malam itu, Alvaro kembali ke gudang tua di pasar malam. Ia membawa sebilah pisau kecil yang ia temukan di tumpukan sampah, hanya untuk berjaga-jaga. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pintu gudang yang terbuka sedikit. Dari celah pintu, ia bisa melihat dua pria yang ia ikuti sebelumnya sedang berbicara dengan seseorang yang wajahnya tertutup bayangan. “Kita tidak perlu khawatir. Anak itu tidak akan bertahan lama di tempat seperti ini,” kata suara itu. “Tapi bagaimana jika keluarga Pratama menemukan jejak kita?” tanya salah satu pria. “Tidak ada yang akan menemukan kita. Ingat, ini bukan hanya rencana Harsono. Ada seseorang dari keluarga mereka sendiri yang membantu kita.” Kata-kata itu membuat tubuh Alvaro membeku. Pengkhianatan dari dalam keluarganya? Siapa yang tega melakukan itu? Namun, sebelum Alvaro bisa mendengar lebih banyak, ia menginjak pecahan kaca yang membuat suara nyaring. Orang-orang di dalam gudang langsung terdiam. “Siapa di luar sana?” bentak salah satu pria. Alvaro dengan cepat berlari menjauh, menghilang ke dalam kegelapan malam. Setelah kejadian di gudang, Alvaro tidak bisa tidur. Kata-kata yang ia dengar terus terngiang di kepalanya. “Seseorang dari keluarga mereka...” Ia mencoba mengingat semua anggota keluarganya. Siapa yang mungkin tega menghancurkan hidupnya? Di sisi lain, Dika mulai curiga dengan sikap Alvaro yang semakin aneh. “Kau menyembunyikan sesuatu dariku, kan?” tanyanya suatu malam saat mereka duduk di bawah jembatan. “Aku tidak bisa memberitahumu, Dika. Tapi aku berjanji, ketika semuanya sudah selesai, kau akan tahu,” jawab Alvaro dengan nada penuh emosi. Meskipun kecewa, Dika memutuskan untuk mendukung Alvaro, apa pun yang sedang ia rencanakan. Hubungan antara Alvaro dan Dika semakin erat, meskipun Dika tidak tahu seluruh kebenaran tentang Alvaro. Suatu hari, saat mereka sedang mencari sisa makanan di pasar, Dika membela Alvaro dari seorang preman yang mencoba mencuri roti mereka. “Kau tidak akan menyentuh temanku!” teriak Dika sambil memukul preman itu dengan sebatang kayu. Meskipun mereka akhirnya harus melarikan diri, kejadian itu membuat Alvaro semakin menghargai Dika. “Terima kasih, Dika. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada.” “Kita adalah keluarga sekarang. Kau akan melakukan hal yang sama untukku, kan?” jawab Dika sambil tersenyum. --- Setelah beberapa hari menyusun rencana, Alvaro memutuskan untuk kembali ke gudang tua, kali ini dengan persiapan lebih baik. Ia membawa Dika bersamanya, meskipun awalnya Dika menolak. “Jika kau ingin tetap hidup, jangan membuat suara apa pun,” bisik Alvaro. Mereka mengendap-endap di sekitar gudang, mendengarkan percakapan dari jendela kecil di atas. Kali ini, mereka mendengar lebih banyak tentang rencana Harsono dan bagaimana ia melibatkan seseorang dari dalam keluarga Pratama. Namun, sebelum mereka bisa kabur, salah satu pria di dalam melihat bayangan mereka. “Hei! Ada orang di sana!” Alvaro dan Dika langsung berlari, tetapi para pria itu mengejar mereka dengan motor. Dalam keputusasaan, Alvaro dan Dika menyelinap ke dalam pasar yang ramai, mencoba menghilang di antara kerumunan. Meski berhasil lolos, Alvaro tahu bahwa waktunya semakin sedikit. Ia harus bertindak cepat jika ingin mengungkap kebenaran dan kembali ke keluarganya.Malam itu, udara di kawasan kumuh terasa lebih dingin dari biasanya. Alvaro duduk di atas atap sebuah bangunan reyot, menatap bulan yang bersinar redup di langit. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan terus berputar. Siapa dari keluarganya yang tega mengkhianatinya? Apakah mereka benar-benar membenci dirinya atau keluarganya? Di sisi lain, Dika duduk di dekat api kecil bersama anak-anak jalanan lainnya. Ia melirik ke arah Alvaro, merasa ada sesuatu yang semakin berat membebani pikiran sahabat barunya itu. “Alvaro, apa kau yakin tidak apa-apa?” tanya Dika saat ia akhirnya bergabung dengan Alvaro di atas atap. “Aku hanya... merasa lelah,” jawab Alvaro singkat, meskipun matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan yang ia sembunyikan. “Kau tidak sendirian. Apa pun yang kau hadapi, aku akan ada untukmu,” kata Dika dengan nada tegas. Kata-kata Dika membuat Alvaro merasa sedikit tenang. Namun, ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang dan penuh bahaya. Keesokan harinya, Alvaro memut
Malam itu, Alvaro duduk di sudut sebuah gedung tua yang menjadi tempat persembunyiannya bersama Dika. Pikiran-pikirannya melayang, mencoba merangkai potongan-potongan kenangan yang pernah ia alami sebelum penculikan. “Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan,” kata Alvaro, suaranya rendah namun penuh tekanan. Dika yang sedang membersihkan sebuah pisau kecil—senjata darurat mereka—melirik Alvaro dengan cemas. “Kau selalu bilang begitu, tapi apa itu?” “Ketika aku masih kecil, ada seseorang di rumah kami. Seorang pria. Ia sering berbicara dengan Ayah, tapi sikapnya selalu mencurigakan. Aku tidak pernah tahu siapa dia.” Dika menghela napas. “Pria mencurigakan di rumah mewah, penculikan, dan sekarang pengkhianatan. Sepertinya keluargamu lebih rumit dari yang kubayangkan.” Alvaro tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar ulang memori-memori itu. Pria misterius itu mungkin adalah kunci dari semua ini. Namun, ia masih tidak tahu bagaimana cara menemukan jawabannya. --- Keesokan ha
Pagi itu, di sebuah penginapan kecil yang tersembunyi di sudut kota, Alvaro duduk di depan jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk. Setelah semua yang ia lalui, ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, tetapi sekaligus semakin jauh dari rasa aman. “Kita butuh rencana konkret,” kata Dika, memecah keheningan. Ia duduk di kursi dekat pintu, memegang secangkir kopi yang mulai dingin. “Pak Aditya adalah kunci. Tapi kita tidak bisa mendekatinya begitu saja,” balas Alvaro. “Bagaimana kalau kita cari tahu lebih banyak tentang dia dulu? Kita butuh informasi tentang kebiasaannya, rutinitasnya, dan... siapa yang mungkin mengawasinya,” usul Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Kalau orang-orang Harsono tahu kita mengincar Aditya, itu bisa jadi akhir bagi kita.” --- Malam itu, Alvaro dan Dika mulai bergerak. Mereka mendatangi kantor Aditya yang terletak di pusat kota. Gedung itu tidak terlalu besar, tetapi terlihat megah dengan arsitektur modern. Mereka menyelinap ke area s
Setelah melarikan diri dari rumah Johan yang dijaga ketat, Alvaro dan Dika kembali ke penginapan mereka. Wajah keduanya dipenuhi kecemasan, tetapi mata Alvaro memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita butuh cara untuk masuk ke sana tanpa ketahuan,” kata Alvaro sambil memandang peta kecil yang ia dapatkan dari Pak Hasan. “Masalahnya bukan cuma masuk, tapi juga keluar dengan selamat. Penjaga-penjaga itu jelas bukan orang sembarangan,” balas Dika. Alvaro mengangguk. “Aku tahu. Tapi kalau kita tidak bertindak sekarang, mereka mungkin akan memindahkan bukti-bukti itu. Kita harus bertaruh.” Dika menatap sahabatnya dengan ragu. “Aku ikut karena aku percaya padamu, Al. Tapi kita harus punya rencana yang matang. Kita tidak bisa terus-menerus kabur seperti tadi.” “Kalau begitu, kita perlu perlengkapan,” kata Alvaro. “Aku akan pergi menemui Pak Hasan lagi. Dia mungkin punya sesuatu yang bisa membantu kita.” --- Pak Hasan menyambut mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Setelah m
Malam itu, Alvaro dan Dika berhasil melarikan diri dari pengejaran polisi dan orang-orang Harsono. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian.“Ini semakin sulit,” kata Dika sambil mengusap peluh di dahinya. “Mereka tahu setiap gerakan kita.”Alvaro duduk di sudut ruangan, memeriksa kamera kecil yang mereka gunakan untuk merekam bukti. “Tapi kita punya ini. Ini satu-satunya kartu kita.”Dika mengangguk, meskipun wajahnya tetap tegang. “Lalu apa rencanamu sekarang? Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi.”“Kita harus menemui Aditya lagi,” jawab Alvaro. “Dia orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan dan menggunakan bukti ini dengan benar. Tapi kali ini, kita harus berhati-hati. Mereka pasti sudah mengawasi setiap langkah kita.”---Dengan perlengkapan seadanya, Alvaro dan Dika meninggalkan persembunyian mereka dini hari. Mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kendaraan umum, khawatir wajah mereka sudah tersebar sebagai buronan.Perjal
Karin duduk di ruang tamu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Mata Alvaro tidak pernah lepas darinya, memastikan tidak ada tanda-tanda kebohongan. Dika berdiri di sudut ruangan, mengawasi pintu dan jendela untuk memastikan tidak ada ancaman dari luar.“Kau yakin bisa melakukannya?” tanya Alvaro dengan nada dingin.Karin mengangguk ragu. “Aku masih punya akses ke beberapa informasi Johan, tapi aku harus berhati-hati. Jika mereka mencurigai aku, aku bisa hilang begitu saja.”Alvaro terdiam sejenak, memikirkan risiko yang harus mereka ambil. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, ini saatnya.”Karin menundukkan kepala, merasa malu atas pengkhianatannya. “Baiklah. Aku akan mencoba mendekati salah satu tangan kanannya. Dia sering berbicara padaku tentang urusan Johan.”Dika mendekat dan menyela, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dia, Al. Kita butuh rencana cadangan.”“Setuju,” balas Alvaro. “Kita akan menunggu di lokasi terpisah. Kalau
Malam itu, di tempat persembunyian mereka, Alvaro, Dika, dan Karin duduk di sekitar meja kecil, membahas langkah selanjutnya. Di depan mereka, dokumen-dokumen yang berhasil dicuri dari gudang Johan tersebar, memperlihatkan bukti kuat tentang operasi ilegal yang dijalankan keluarga Harsono.“Aku sudah menghubungi seorang jurnalis,” kata Karin dengan nada hati-hati. “Namanya Aryo. Dia bekerja di salah satu media paling besar di negara ini. Dia bisa membantu kita menyebarkan semua ini.”“Bagaimana kau bisa yakin dia bisa dipercaya?” tanya Dika tajam.“Aryo adalah teman lama. Dia orang yang berintegritas,” jawab Karin tegas. “Jika ada yang bisa membantu kita membawa kasus ini ke publik, itu dia.”Alvaro terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita akan temui dia. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Johan tahu apa yang kita rencanakan, dia tidak akan segan-segan membunuh kita.”Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke lokasi yang disepakati untuk bertemu Aryo, sebuah kafe kecil di da
Dika terbaring lemah di sofa, bahunya dibalut perban tebal yang mulai berwarna merah karena darah yang merembes. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya mencoba menghilangkan kecemasan yang meliputi ruangan. Karin, yang biasanya kuat, terlihat hancur. Ia memandang Alvaro dengan tatapan putus asa.“Alvaro, kita tidak bisa membiarkan Dika seperti ini,” suaranya hampir seperti bisikan, tetapi penuh desakan.“Kita tidak punya pilihan, Karin,” jawab Alvaro sambil mempererat ikatan perban di bahu Dika. “Jika kita pergi ke rumah sakit sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri. Johan pasti sudah menyebar orang-orangnya di sana.”Karin memalingkan wajahnya, air mata mulai menetes di pipinya. “Ini salahku... Kalau aku tidak terjebak dalam skema mereka...”Alvaro menghentikan pekerjaannya sejenak dan memandang Karin. “Ini bukan salahmu. Kita semua tahu risikonya sejak awal. Dan aku tahu kau tidak akan pernah benar-benar mengkhianati kami.”Dika yang setengah sadar menyeringai lemah. “Berhenti menyalahk
Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk
Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat
Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb
Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya
Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata
Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe
Ricardo memacu truk di jalanan bersalju yang mulai tertutup kabut. Roda-roda besar kendaraan itu sesekali tergelincir di atas permukaan licin, tetapi dia tetap mengendalikannya dengan tenang. Di belakang mereka, dua mobil hitam dengan sirene pelan mulai mengejar.“Konstantin pasti tahu kita kabur dengan truk ini,” kata Selena sambil mengamati jalan di belakang melalui jendela kecil di ruang kargo. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Carlos duduk di atas salah satu peti amunisi sambil merakit senapan serbu. “Bagus. Itu artinya kita bisa menyerang sebelum mereka sempat menyusun rencana baru.”Alvaro yang berdiri di sampingnya mendesah. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?”Carlos menyeringai. “Bukankah
Van tua yang dikendarai Carlos melaju dengan kecepatan penuh, membelah jalanan Moskow yang masih sepi di pagi buta. Di belakang mereka, dua SUV hitam dengan logo organisasi Konstantin terpampang jelas di sisi pintunya terus mengejar, disertai suara sirene polisi yang seolah menggema dari segala arah.Ricardo memeriksa peluru di magazinnya. "Kita tidak akan bisa kabur hanya dengan kecepatan. Mereka punya kendaraan yang lebih baik!"Selena sudah membuka jendela samping, mengangkat senapan serbunya. "Maka kita harus membuatnya lebih adil."BRAK!Tembakan pertama dari musuh menghantam bagian belakang van, membuat kaca pecah dan serpihan logam beterbangan ke dalam."Kita tidak bisa hanya menghindar!" ujar Alvaro, yang mulai bersiap dengan pistol di tan
Truk yang mereka tumpangi melaju melewati jalanan Moskow yang dingin. Dari sela-sela peti kargo, Alvaro mengintip keluar. Lampu-lampu jalan berpendar di malam yang gelap, dan sesekali mobil patroli melintas, membuat mereka semua semakin waspada.“Kita akan kemana sekarang?” bisik Selena.Carlos, yang duduk di sebelahnya, menatap peta yang telah direkam dalam ingatannya. “Kita harus menemukan transportasi lain. Truk ini hanya membawa kita keluar dari bandara, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi di dalamnya.”Ricardo, yang duduk di dekat pintu belakang, melirik arlojinya. “Kita bisa lompat keluar saat truk ini berhenti di lampu merah atau perbatasan distrik.”Benar saja, setelah beberapa menit, truk mulai melambat di sebuah persimpangan. Ricardo mengisyaratkan kepada yang lain, dan tanpa suara mereka menyelinap keluar, menyelinap ke gang sempit di dekatnya.Namun, mereka tidak menyadari satu hal—mereka telah diawasi sejak awal.Seorang pria berjas hitam di seberang jalan mengangkat t