Anisa semakin merasa terhimpit dengan keadaan. Pertemuan terakhir dengan keluarga Arya meninggalkan kesan yang tak terlupakan, bukan karena hal manis, melainkan karena luka yang mendalam. Kata-kata tajam yang dilontarkan mereka masih bergema di benaknya, dan setiap kali ia mengingatnya, hatinya serasa ditusuk. Arya, meskipun tak henti memberikan dukungan, sering kali terjebak di antara posisinya sebagai anak dan sebagai kekasih. Anisa bisa merasakan konflik batin yang ada pada Arya, dan itu justru membuatnya semakin tersiksa.Suatu malam, Arya memutuskan untuk menjemput Anisa dan mengajaknya berjalan-jalan ke pinggir kota, jauh dari keramaian. Mereka duduk berdua di bawah langit malam yang penuh bintang, mencoba mencari kedamaian di antara kebingungan yang melanda.“Anisa, aku nggak mau kamu merasa tertekan atau terbebani karena keluargaku. Aku tahu mereka keras, tapi aku yakin bisa meluluhkan hati mereka,” ucap Arya sambil menggenggam tangan Anisa.Anisa tersenyum kecil, tetapi senyu
Malam itu, lampu-lampu kota berkelap-kelip dari jendela kamar mereka, menciptakan suasana hangat dan tenang. Anisa duduk di ujung tempat tidur, menatap keluar jendela sambil memikirkan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan Reza, kerumitan hubungannya dengan Arya, serta tuntutan pekerjaannya membuat pikirannya berkelana. Segala yang dialami akhir-akhir ini terasa begitu kompleks dan berat.Arya masuk ke dalam kamar dengan langkah perlahan, memperhatikan Anisa dalam diam. Tanpa berkata apa-apa, Arya duduk di samping Anisa, menggenggam tangannya dengan hangat.“Apa yang kamu pikirkan, Anisa?” tanyanya pelan, suaranya penuh kelembutan dan perhatian. Arya tahu bahwa akhir-akhir ini, Anisa banyak memikirkan hal-hal yang membebaninya. Rasa resah dan kebingungan selalu tampak di matanya, meskipun Anisa berusaha menyembunyikannya.Anisa menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Semua ini terasa berat, Arya. Terkadang aku merasa takut... takut kalau semuan
Satu Minggu kemudian ....Setelah malam yang mereka habiskan bersama, pagi itu terasa berbeda bagi Anisa. Di sela-sela sinar matahari yang perlahan menyusup masuk melalui celah jendela kamar, Anisa bangun dengan perasaan yang campur aduk, rasa bahagia, cemas, dan sedikit gugup menyelimuti pikirannya. Arya masih tertidur di sampingnya, tampak tenang, dan itu sedikit banyak menenangkan kegelisahannya.Anisa mencoba menenangkan hatinya. Baginya, malam itu bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang keputusan besar yang telah ia buat bersama Arya. Perasaan takut dan khawatir muncul di benaknya, memikirkan apakah ini adalah keputusan yang benar. Ia menarik napas panjang dan mengingat kembali bagaimana Arya selalu menjadi tempatnya berbagi segala cerita, suka, duka, dan mimpi-mimpi mereka. Namun, tetap saja, ia tak bisa mengabaikan sedikit rasa takut yang masih bertahan.Ketika Arya membuka matanya, ia menatap Anisa dengan senyum hangat yang membuat semua keraguan Anisa sedikit memudar.
Arya dan Anisa kembali menghadapi ujian dalam hubungan mereka yang tampaknya semakin rumit. Hari itu, Arya sibuk dengan pekerjaannya, dan Anisa mulai merasa bahwa perhatian Arya mulai berkurang. Sementara Arya mengira Anisa memahami kondisi pekerjaannya yang tengah menumpuk, Anisa merasa sedikit terabaikan, seolah-olah dirinya tidak lagi menjadi prioritas Arya. Perasaan ini membesar, dan tanpa sadar, ia mulai menyimpan sedikit kecemasan di hatinya.Suatu sore, ketika Arya mengirimkan pesan singkat, “Aku harus lembur hari ini. Mungkin akan pulang larut, sayang,” Anisa membalas dengan senyuman. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa kecewa. Bukan hanya karena Arya sering lembur, tapi karena ia takut kehilangan kebersamaan yang dulu mereka miliki.Saat itu, Anisa merasa bahwa ini adalah momen di mana kepercayaannya pada Arya diuji. Di sisi lain, Arya sebenarnya berusaha keras untuk memenuhi semua kebutuhan mereka agar masa depan mereka lebih terjamin. Namun, tanpa komunikasi yang baik,
Setelah pertemuan mereka yang penuh emosi, Arya tampak lebih berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ia mulai meluangkan waktu lebih banyak bersama Anisa dan mencoba lebih perhatian. Anisa merasa lega, namun di sisi lain, hatinya tak sepenuhnya tenang. Masih ada kekosongan dan rasa was-was yang sulit ia hapus.Sementara itu, pertemuan tak terduga Anisa dengan Malik terus menghantui pikirannya. Meskipun ia masih mencintai Arya, kehadiran Malik menawarkan semacam kenyamanan yang berbeda, sesuatu yang tidak ia dapatkan dari Arya akhir-akhir ini. Malik yang dulu adalah teman masa kecilnya kini menjelma menjadi pria dewasa yang perhatian, pendengar yang baik, dan selalu mendukung setiap langkah Anisa.Suatu hari, Anisa kebetulan bertemu dengan Malik di sebuah kafe dekat kantor. Mereka saling tersenyum, dan tanpa rencana, akhirnya mereka duduk bersama, mengobrol panjang. Malik bercerita tentang hidupnya dan pekerjaannya, sementara Anisa juga terbuka tentang masalah-masalah yang ia hadapi. Bukan
Anisa duduk diam di kamar, pandangannya menerawang, dan sesekali meremas tangannya sendiri. Sudah hampir dua minggu ia telat datang bulan. Pikirannya bercampur aduk, mulai dari rasa cemas hingga berbagai spekulasi yang berkecamuk di kepalanya. Dalam hatinya, ia masih berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin ini hanya karena stres atau kelelahan.Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin pikirannya tidak bisa berhenti mengingat semua momen kebersamaannya dengan Arya. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan kepada siapa harus berbagi kecemasan ini.Di sisi lain, Arya tampak tak kalah bingung. Dia sudah mendengar kabar dari Anisa soal keterlambatan itu, dan hal itu menjadi beban besar di pikirannya. Meski perasaan sayangnya pada Anisa begitu dalam, tekanan dari orang tuanya yang tidak menyetujui hubungan mereka tak bisa ia abaikan. Hubungannya dengan Anisa seolah berada di ujung tanduk; antara harus memperjuangkan cintanya atau melepaskan demi menyelamatkan hati masing-masing.Arya
Hari-hari Anisa kini terasa berbeda sejak kehadiran Malik di hidupnya. Keadaan yang semula membuatnya resah menjadi sedikit lebih tenang saat bersamanya. Malik tidak pernah membuatnya merasa kecil atau dipertanyakan; tidak ada tekanan yang datang dari pandangan atau kata-kata yang ia lontarkan. Setiap kali Anisa bertemu Malik, ia seolah menemukan sudut dunia yang teduh, jauh dari semua keruwetan.Suatu siang, Anisa selesai bekerja lebih awal dan secara tak sengaja bertemu dengan Malik di lobi kantor. Dengan senyuman lembut, Malik menghampirinya dan menyapa hangat, "Anisa, nggak biasa nih kamu pulang sepagi ini."Anisa hanya tersenyum dan mengangguk. "Iya nih, hari ini kebetulan ada waktu luang. Kamu sendiri gimana?"Malik membalas senyumannya. "Sama, lagi ada jadwal santai. Mungkin takdir, ya?" ucapnya sedikit bercanda, membuat Anisa tertawa kecil.Tak lama setelah itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah kafe kecil dekat kantor. Anisa menikmati percakapan yang menga
Anisa masih terguncang dengan perasaannya. Pertemuan dengan Malik membuatnya semakin bingung. Sementara Arya adalah cinta yang telah lama ia jalani, sosok Malik membawa kenyamanan baru yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Namun, kesetiaan yang selama ini ia pegang membuat Anisa sulit untuk memutuskan ke arah mana ia ingin melangkah.Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Malik, Anisa kembali larut dalam aktivitasnya untuk menenangkan pikiran. Pekerjaan di kafe, yang kini menjadi rutinitas, memberinya kesempatan untuk berpikir dalam-dalam. Meskipun lelah, pikiran tentang Arya dan Malik terus menghantui.Di suatu sore, Arya tiba-tiba datang ke kafe tempat Anisa bekerja. Kehadiran Arya membuat suasana hatinya bercampur aduk. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak terakhir kali Arya memperkenalkannya kepada keluarganya, dan penolakan dari keluarga Arya masih membekas dalam hati Anisa. Namun, senyum Arya yang meneduhkan selalu berhasil membuat Anisa melupakan luka-luka kecil yang pe
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,
Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih
Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?
Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t
Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be
Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de
Anisa menatap ke luar jendela kamar apartemennya yang kecil. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam bertiup pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ini adalah tempat tinggal barunya, jauh dari tempat lama yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Sudah dua minggu sejak dia menjual rumah peninggalan orang tuanya. Rumah yang dulu penuh dengan canda tawa, berubah menjadi tempat yang hanya membuatnya terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Anisa tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali dari nol.Dia kini bekerja di sebuah restoran asing yang cukup terkenal. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi setidaknya membuatnya sibuk dan tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu. Ia mengisi harinya dengan memasak, melayani pelanggan, dan berbincang dengan rekan kerja barunya.Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak siang tadi, ia merasa seperti a
Setelah beberapa bulan berlalu sejak kepindahannya ke kota baru, Anisa mulai terbiasa dengan ritme kehidupannya yang sekarang. Ia sudah tidak lagi merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan pekerjaannya di restoran asing membuatnya semakin sibuk hingga perlahan-lahan bisa melupakan luka-luka masa lalunya. Meskipun kadang-kadang kenangan tentang Roy masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi.Namun suatu hari, Anisa mengalami sesuatu yang membuatnya kembali mempertanyakan kehidupannya. Hari itu, restoran tempatnya bekerja sedang ramai karena ada acara perayaan ulang tahun dari pelanggan tetap mereka. Anisa yang bertugas di bagian pelayanan sibuk bolak-balik mengantar pesanan makanan dan memastikan semua pelanggan mendapatkan pelayanan terbaik.Saat ia sedang mengambil pesanan dari meja pelanggan, seorang pria memasuki restoran. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat rapi dan elegan. Anisa tidak terlalu memperh
Waktu berjalan semakin cepat, dan Anisa merasa hidupnya seperti berputar dalam lingkaran tanpa akhir. Meski hubungan dengan Roy tampak menyenangkan di awal, semakin lama ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Meskipun Roy selalu memberikan perhatian yang penuh, Anisa merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Kadang, ada hal-hal kecil yang membuatnya curiga, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.Hari itu, seperti biasa, Roy menjemput Anisa di rumahnya untuk makan malam bersama. Anisa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Roy selalu berusaha menyenangkan hati Anisa dengan cara-cara sederhana, tetapi yang terkadang membuatnya merasa aneh adalah cara Roy selalu menghindari topik-topik pribadi. Ia tidak pernah membahas keluarga, masa lalunya, atau apapun yang bersifat pribadi. Ketika Anisa menanyakan sesuatu tentang dirinya, Roy selalu mengubah topik dengan alasan yang terkesan canggung.“Roy, aku sudah lama ingin tahu lebih banyak tentangmu,” ujar Anisa suatu malam saat mereka duduk di r