Ketika Arya memutuskan untuk membawa Anisa bertemu keluarganya, ia sempat merasa optimis bahwa orang tuanya akan melihat apa yang ia lihat dalam diri Anisa, seseorang yang tulus dan penuh kasih sayang. Anisa menyiapkan diri dengan hati-hati, memilih pakaian sederhana tapi elegan, berharap memberikan kesan baik kepada keluarga Arya.Saat mereka tiba di rumah keluarga Arya, Anisa bisa merasakan atmosfir dingin yang tak terucap dari tatapan ibu Arya. Keluarga Arya tinggal di sebuah rumah besar dengan interior yang menggambarkan kemapanan dan kesuksesan. Begitu mereka masuk, Arya menggenggam tangan Anisa, berusaha memberikan ketenangan. Tapi, tatapan curiga dari ibunya membuat Anisa merasa tidak nyaman.“Ibu, Ayah, ini Anisa,” kata Arya dengan nada lembut. “Kami sudah cukup lama bersama, dan… aku ingin kalian mengenalnya.”Ibu Arya, yang duduk dengan postur yang anggun namun kaku, hanya menatap Anisa dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai setiap detail dirinya. “Oh, jadi ini Anisa,
Anisa semakin merasa terhimpit dengan keadaan. Pertemuan terakhir dengan keluarga Arya meninggalkan kesan yang tak terlupakan, bukan karena hal manis, melainkan karena luka yang mendalam. Kata-kata tajam yang dilontarkan mereka masih bergema di benaknya, dan setiap kali ia mengingatnya, hatinya serasa ditusuk. Arya, meskipun tak henti memberikan dukungan, sering kali terjebak di antara posisinya sebagai anak dan sebagai kekasih. Anisa bisa merasakan konflik batin yang ada pada Arya, dan itu justru membuatnya semakin tersiksa.Suatu malam, Arya memutuskan untuk menjemput Anisa dan mengajaknya berjalan-jalan ke pinggir kota, jauh dari keramaian. Mereka duduk berdua di bawah langit malam yang penuh bintang, mencoba mencari kedamaian di antara kebingungan yang melanda.“Anisa, aku nggak mau kamu merasa tertekan atau terbebani karena keluargaku. Aku tahu mereka keras, tapi aku yakin bisa meluluhkan hati mereka,” ucap Arya sambil menggenggam tangan Anisa.Anisa tersenyum kecil, tetapi senyu
Malam itu, lampu-lampu kota berkelap-kelip dari jendela kamar mereka, menciptakan suasana hangat dan tenang. Anisa duduk di ujung tempat tidur, menatap keluar jendela sambil memikirkan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan Reza, kerumitan hubungannya dengan Arya, serta tuntutan pekerjaannya membuat pikirannya berkelana. Segala yang dialami akhir-akhir ini terasa begitu kompleks dan berat.Arya masuk ke dalam kamar dengan langkah perlahan, memperhatikan Anisa dalam diam. Tanpa berkata apa-apa, Arya duduk di samping Anisa, menggenggam tangannya dengan hangat.“Apa yang kamu pikirkan, Anisa?” tanyanya pelan, suaranya penuh kelembutan dan perhatian. Arya tahu bahwa akhir-akhir ini, Anisa banyak memikirkan hal-hal yang membebaninya. Rasa resah dan kebingungan selalu tampak di matanya, meskipun Anisa berusaha menyembunyikannya.Anisa menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Semua ini terasa berat, Arya. Terkadang aku merasa takut... takut kalau semuan
Satu Minggu kemudian ....Setelah malam yang mereka habiskan bersama, pagi itu terasa berbeda bagi Anisa. Di sela-sela sinar matahari yang perlahan menyusup masuk melalui celah jendela kamar, Anisa bangun dengan perasaan yang campur aduk, rasa bahagia, cemas, dan sedikit gugup menyelimuti pikirannya. Arya masih tertidur di sampingnya, tampak tenang, dan itu sedikit banyak menenangkan kegelisahannya.Anisa mencoba menenangkan hatinya. Baginya, malam itu bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang keputusan besar yang telah ia buat bersama Arya. Perasaan takut dan khawatir muncul di benaknya, memikirkan apakah ini adalah keputusan yang benar. Ia menarik napas panjang dan mengingat kembali bagaimana Arya selalu menjadi tempatnya berbagi segala cerita, suka, duka, dan mimpi-mimpi mereka. Namun, tetap saja, ia tak bisa mengabaikan sedikit rasa takut yang masih bertahan.Ketika Arya membuka matanya, ia menatap Anisa dengan senyum hangat yang membuat semua keraguan Anisa sedikit memudar.
Arya dan Anisa kembali menghadapi ujian dalam hubungan mereka yang tampaknya semakin rumit. Hari itu, Arya sibuk dengan pekerjaannya, dan Anisa mulai merasa bahwa perhatian Arya mulai berkurang. Sementara Arya mengira Anisa memahami kondisi pekerjaannya yang tengah menumpuk, Anisa merasa sedikit terabaikan, seolah-olah dirinya tidak lagi menjadi prioritas Arya. Perasaan ini membesar, dan tanpa sadar, ia mulai menyimpan sedikit kecemasan di hatinya.Suatu sore, ketika Arya mengirimkan pesan singkat, “Aku harus lembur hari ini. Mungkin akan pulang larut, sayang,” Anisa membalas dengan senyuman. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa kecewa. Bukan hanya karena Arya sering lembur, tapi karena ia takut kehilangan kebersamaan yang dulu mereka miliki.Saat itu, Anisa merasa bahwa ini adalah momen di mana kepercayaannya pada Arya diuji. Di sisi lain, Arya sebenarnya berusaha keras untuk memenuhi semua kebutuhan mereka agar masa depan mereka lebih terjamin. Namun, tanpa komunikasi yang baik,
Setelah pertemuan mereka yang penuh emosi, Arya tampak lebih berusaha untuk memperbaiki keadaan. Ia mulai meluangkan waktu lebih banyak bersama Anisa dan mencoba lebih perhatian. Anisa merasa lega, namun di sisi lain, hatinya tak sepenuhnya tenang. Masih ada kekosongan dan rasa was-was yang sulit ia hapus.Sementara itu, pertemuan tak terduga Anisa dengan Malik terus menghantui pikirannya. Meskipun ia masih mencintai Arya, kehadiran Malik menawarkan semacam kenyamanan yang berbeda, sesuatu yang tidak ia dapatkan dari Arya akhir-akhir ini. Malik yang dulu adalah teman masa kecilnya kini menjelma menjadi pria dewasa yang perhatian, pendengar yang baik, dan selalu mendukung setiap langkah Anisa.Suatu hari, Anisa kebetulan bertemu dengan Malik di sebuah kafe dekat kantor. Mereka saling tersenyum, dan tanpa rencana, akhirnya mereka duduk bersama, mengobrol panjang. Malik bercerita tentang hidupnya dan pekerjaannya, sementara Anisa juga terbuka tentang masalah-masalah yang ia hadapi. Bukan
Anisa duduk diam di kamar, pandangannya menerawang, dan sesekali meremas tangannya sendiri. Sudah hampir dua minggu ia telat datang bulan. Pikirannya bercampur aduk, mulai dari rasa cemas hingga berbagai spekulasi yang berkecamuk di kepalanya. Dalam hatinya, ia masih berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin ini hanya karena stres atau kelelahan.Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin pikirannya tidak bisa berhenti mengingat semua momen kebersamaannya dengan Arya. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan kepada siapa harus berbagi kecemasan ini.Di sisi lain, Arya tampak tak kalah bingung. Dia sudah mendengar kabar dari Anisa soal keterlambatan itu, dan hal itu menjadi beban besar di pikirannya. Meski perasaan sayangnya pada Anisa begitu dalam, tekanan dari orang tuanya yang tidak menyetujui hubungan mereka tak bisa ia abaikan. Hubungannya dengan Anisa seolah berada di ujung tanduk; antara harus memperjuangkan cintanya atau melepaskan demi menyelamatkan hati masing-masing.Arya
Hari-hari Anisa kini terasa berbeda sejak kehadiran Malik di hidupnya. Keadaan yang semula membuatnya resah menjadi sedikit lebih tenang saat bersamanya. Malik tidak pernah membuatnya merasa kecil atau dipertanyakan; tidak ada tekanan yang datang dari pandangan atau kata-kata yang ia lontarkan. Setiap kali Anisa bertemu Malik, ia seolah menemukan sudut dunia yang teduh, jauh dari semua keruwetan.Suatu siang, Anisa selesai bekerja lebih awal dan secara tak sengaja bertemu dengan Malik di lobi kantor. Dengan senyuman lembut, Malik menghampirinya dan menyapa hangat, "Anisa, nggak biasa nih kamu pulang sepagi ini."Anisa hanya tersenyum dan mengangguk. "Iya nih, hari ini kebetulan ada waktu luang. Kamu sendiri gimana?"Malik membalas senyumannya. "Sama, lagi ada jadwal santai. Mungkin takdir, ya?" ucapnya sedikit bercanda, membuat Anisa tertawa kecil.Tak lama setelah itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah kafe kecil dekat kantor. Anisa menikmati percakapan yang menga
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Rumah mereka yang biasanya penuh kehangatan kini terasa sunyi dan hampa. Arya duduk di ruang tamu, memandangi cangkir kopi yang hampir habis diminumnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia mencintai Anisa, tetapi akhir-akhir ini ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Tentu saja, ia masih ingin menjaga pernikahannya, tetapi tekanan yang datang dari berbagai arah, terutama dari orang tuanya, menyebabkan semuanya semakin sulit.Anisa sudah beberapa kali meminta penjelasan dari Arya tentang sikapnya yang semakin menjauh. Namun, Arya lebih sering diam, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang begitu sulit dijawab. Sikapnya yang dingin membuat Anisa semakin merasa tidak dihargai.Mereka masih bersama, tapi rasanya seperti dua orang yang terjebak dalam hubungan yang hampa. Setiap percakapan mereka semakin terasa seperti perdebatan tanpa akhir yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Se
Pagi itu, Anisa bangun dengan perasaan berat. Sudah beberapa hari terakhir, Arya hampir tidak berbicara dengannya, dan keheningan di antara mereka semakin terasa menyesakkan. Di sisi lain, ibu Arya terus-menerus mendesaknya melalui telepon, mencoba menanamkan pikiran-pikiran buruk tentang Anisa di kepala Arya."Perempuan itu nggak pantas untuk kamu, Arya," suara ibunya bergema di kepala Arya setiap kali ia melihat Anisa. "Dia cuma beban. Kamu lihat sendiri, anak kalian nggak bertahan, dan sekarang hidupmu malah semakin berantakan."Arya mulai merasa terpengaruh. Meski hatinya masih menyimpan cinta untuk Anisa, ia mulai meragukan apakah pernikahan mereka adalah keputusan yang tepat.Hari itu, Anisa mencoba berbicara dengan Arya di meja makan. Ia sudah menyiapkan sarapan favorit Arya, berharap bisa mencairkan suasana."Arya, ayo makan dulu. Aku masak nasi goreng seperti yang kamu suka," kata Anisa dengan senyum kecil.Namun, Arya hanya melirik sepiring nasi goreng itu tanpa minat. "Aku
Waktu terus berlalu, tetapi luka di hati Anisa semakin menganga. Sikap Arya yang semakin dingin, ditambah tekanan dari ibu mertuanya, membuat Anisa merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. Hubungannya dengan Arya seperti berada di ujung tanduk, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memperbaikinya.Suatu malam, ketika Anisa mencoba menyiapkan makan malam spesial untuk Arya, lelaki itu pulang dengan wajah muram. Anisa menyambutnya dengan senyuman kecil, meskipun dalam hati ia penuh kekhawatiran."Kamu pulang tepat waktu malam ini. Aku masak makanan kesukaanmu," ujar Anisa, berusaha terdengar ceria.Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Aku nggak lapar," jawabnya singkat, lalu langsung menuju kamar tanpa menghiraukan Anisa yang berdiri terpaku di ruang makan.Anisa mengepalkan tangannya di sisi meja, berusaha menahan air mata. Ia telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat makan malam itu, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka, tetapi usahanya kembali sia-sia.Setelah m
Hari-hari berlalu, dan Anisa mulai menyadari bahwa Arya semakin berbeda. Sikapnya yang dulu penuh perhatian kini terasa dingin dan berjarak. Tidak ada lagi canda ringan di pagi hari atau pelukan hangat sebelum tidur. Sebaliknya, Arya lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, entah dengan alasan pekerjaan atau sekadar "butuh udara segar."Anisa mencoba mencari penjelasan, meskipun hatinya merasa takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Di meja makan suatu malam, Anisa mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Arya, akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan nada hati-hati.Arya mendongak dari piringnya, lalu menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.“Tapi aku merasa kamu semakin jauh,” ujar Anisa, suaranya sedikit bergetar.Arya menaruh sendoknya dengan sedikit kasar di atas meja. "Aku cuma butuh waktu, Anisa. Jangan terlalu menekan aku," ucapnya tegas, membuat Anisa
Anisa terbaring lemah di rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang terasa sunyi. Kabar kegugurannya begitu menghantamnya dengan keras, membuat hatinya hancur dan tubuhnya terasa lelah. Sementara itu, Arya berdiri di sampingnya, namun sikapnya terlihat dingin. Tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan datar yang seolah-olah menyalahkan Anisa atas apa yang terjadi. Ketika ibunya datang, bukannya memberi dukungan, justru cemoohan yang keluar dari mulutnya. "Kamu ini perempuan macam apa, sampai nggak bisa menjaga kandungan sendiri," ucapnya dengan nada penuh kemarahan. "Bagaimana Arya bisa punya masa depan dengan istri seperti kamu?" Anisa hanya bisa diam. Hatinya teriris mendengar kata-kata kasar itu, terlebih di saat ia merasa sangat rapuh dan membutuhkan dukungan. Ia mencoba menahan air matanya, namun tidak bisa. Rasa sakit yang ia alami, baik fisik maupun batin, begitu menyesakkan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud seperti i
Pagi itu, sinar matahari menyelusup melalui celah-celah tirai kamar. Anisa membuka matanya dengan perasaan yang sedikit lega setelah hari-hari yang melelahkan. Semalam ia memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran dan mulai mengisi harinya dengan harapan baru. Arya masih tertidur di sampingnya, dengan wajah yang tampak damai. Anisa tersenyum, menyadari betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Arya yang selalu ada di sisinya, walau banyak cobaan yang menghampiri.Setelah berdiam sejenak, Anisa memutuskan untuk bangkit lebih dulu. Ia melangkah perlahan ke dapur, menyiapkan sarapan kecil untuk mereka. Saat ia sedang menggoreng telur, Arya tiba-tiba muncul dari belakang dan memeluknya. Kehangatan pelukan Arya seolah memberinya energi tambahan."Selamat pagi, Sayang," Arya membisikkan dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi juga," jawab Anisa sambil tersenyum. "Kamu tidur nyenyak?"Arya mengangguk. "Lebih nyenyak setelah melewati hari kemarin denga
Pagi itu, Anisa terbangun dengan perasaan lebih lega setelah dukungan Arya malam sebelumnya. Namun, bayangan tentang tekanan yang ia alami dari keluarga Arya tetap menghantuinya. Apalagi saat mengingat peristiwa pendarahan yang hampir saja merenggut kebahagiaannya menjadi calon ibu.Anisa memandang keluar jendela, melihat sinar matahari yang perlahan menerangi kota. Ia sadar, dirinya tak bisa terus-menerus terpuruk. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat demi bayi yang dikandungnya, meski dukungan dari keluarga Arya terasa berat untuk didapatkan.Di sisi lain, Arya sedang menyiapkan sarapan di dapur. Ia ingin memberikan perhatian ekstra pada Anisa, terlebih setelah kejadian-kejadian terakhir yang menimpa mereka. Ia ingin Anisa merasa diperhatikan dan dicintai, agar semangatnya kembali pulih.Ketika Anisa melangkah masuk ke dapur, Arya tersenyum lebar. “Selamat pagi, sayang. Sarapan spesial untuk istri tercinta hari ini,” ujarnya sambil menyiapkan secangkir teh hangat untuk A
Beberapa minggu setelah peristiwa yang mengguncang hubungan Anisa dengan ibu Arya, keadaan mulai sedikit tenang. Arya, yang terus berada di sisi Anisa, mengupayakan segala hal untuk membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, masih ada perasaan bersalah dalam dirinya karena ia belum bisa sepenuhnya menenangkan Anisa dari tekanan keluarganya, terutama ibunya yang selalu memandang sinis dan menyalahkan Anisa atas kondisi kesehatan yang dialaminya selama kehamilan.Sejak kejadian pendarahan itu, Anisa banyak menghabiskan waktu di rumah dan terpaksa meninggalkan beberapa pekerjaan sampingan yang dulu sering ia lakukan. Ia kini lebih fokus menjaga kehamilannya, meskipun terkadang ia merasa kehilangan kegiatan yang dulu mengisi harinya. Arya selalu berusaha menghiburnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi mereka semakin terasa sulit dan melelahkan.Pada suatu sore, ketika Arya tengah menyiapkan makanan untuk Anisa di dapur, ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari ibunya."Arya, kamu
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pernikahan mereka. Anisa dan Arya kini memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari mudah. Kehidupan pernikahan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, kini menghadapi tantangan baru yang tak terduga. Meskipun demikian, mereka berdua terus berusaha untuk mempertahankan cinta mereka dan menjaga kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.Kehamilan Anisa semakin berkembang, dan tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang semakin jelas. Ia merasakan sedikit kelelahan, tetapi di sisi lain, ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan saat memikirkan bahwa ia akan segera menjadi ibu. Arya selalu ada di sisinya, membantu mengurus segala kebutuhan, dan memberikan dukungan penuh. Meskipun keluarganya, terutama ibunya, masih menentang pernikahan mereka, Arya tidak pernah ragu untuk mempertahankan Anisa dan anak yang sedang dikandungnya.Suatu sore, saat Arya pulang kerja, ia melihat Anisa duduk di s