Anisa duduk diam di kamar, pandangannya menerawang, dan sesekali meremas tangannya sendiri. Sudah hampir dua minggu ia telat datang bulan. Pikirannya bercampur aduk, mulai dari rasa cemas hingga berbagai spekulasi yang berkecamuk di kepalanya. Dalam hatinya, ia masih berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin ini hanya karena stres atau kelelahan.Namun, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin pikirannya tidak bisa berhenti mengingat semua momen kebersamaannya dengan Arya. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan kepada siapa harus berbagi kecemasan ini.Di sisi lain, Arya tampak tak kalah bingung. Dia sudah mendengar kabar dari Anisa soal keterlambatan itu, dan hal itu menjadi beban besar di pikirannya. Meski perasaan sayangnya pada Anisa begitu dalam, tekanan dari orang tuanya yang tidak menyetujui hubungan mereka tak bisa ia abaikan. Hubungannya dengan Anisa seolah berada di ujung tanduk; antara harus memperjuangkan cintanya atau melepaskan demi menyelamatkan hati masing-masing.Arya
Hari-hari Anisa kini terasa berbeda sejak kehadiran Malik di hidupnya. Keadaan yang semula membuatnya resah menjadi sedikit lebih tenang saat bersamanya. Malik tidak pernah membuatnya merasa kecil atau dipertanyakan; tidak ada tekanan yang datang dari pandangan atau kata-kata yang ia lontarkan. Setiap kali Anisa bertemu Malik, ia seolah menemukan sudut dunia yang teduh, jauh dari semua keruwetan.Suatu siang, Anisa selesai bekerja lebih awal dan secara tak sengaja bertemu dengan Malik di lobi kantor. Dengan senyuman lembut, Malik menghampirinya dan menyapa hangat, "Anisa, nggak biasa nih kamu pulang sepagi ini."Anisa hanya tersenyum dan mengangguk. "Iya nih, hari ini kebetulan ada waktu luang. Kamu sendiri gimana?"Malik membalas senyumannya. "Sama, lagi ada jadwal santai. Mungkin takdir, ya?" ucapnya sedikit bercanda, membuat Anisa tertawa kecil.Tak lama setelah itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah kafe kecil dekat kantor. Anisa menikmati percakapan yang menga
Anisa masih terguncang dengan perasaannya. Pertemuan dengan Malik membuatnya semakin bingung. Sementara Arya adalah cinta yang telah lama ia jalani, sosok Malik membawa kenyamanan baru yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Namun, kesetiaan yang selama ini ia pegang membuat Anisa sulit untuk memutuskan ke arah mana ia ingin melangkah.Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Malik, Anisa kembali larut dalam aktivitasnya untuk menenangkan pikiran. Pekerjaan di kafe, yang kini menjadi rutinitas, memberinya kesempatan untuk berpikir dalam-dalam. Meskipun lelah, pikiran tentang Arya dan Malik terus menghantui.Di suatu sore, Arya tiba-tiba datang ke kafe tempat Anisa bekerja. Kehadiran Arya membuat suasana hatinya bercampur aduk. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak terakhir kali Arya memperkenalkannya kepada keluarganya, dan penolakan dari keluarga Arya masih membekas dalam hati Anisa. Namun, senyum Arya yang meneduhkan selalu berhasil membuat Anisa melupakan luka-luka kecil yang pe
Setelah perbincangan terakhirnya dengan Arya, Anisa merasa seolah berada di persimpangan jalan yang tak berujung. Hatinya masih terpecah antara perasaan cinta yang ia miliki untuk Arya dan kenyamanan yang ia rasakan bersama Malik. Malam-malamnya terasa panjang dan penuh kecemasan, memikirkan keputusan yang harus ia ambil.Di sela-sela kebimbangan itu, Anisa tetap menjalani rutinitas hariannya. Pekerjaan di kafe, yang awalnya memberinya sedikit ketenangan, kini justru sering membuatnya gelisah. Setiap kali Malik datang, hatinya dipenuhi perasaan hangat, namun rasa bersalah juga menggerogotinya karena ia merasa tak adil pada Arya. Di sisi lain, setiap kali Arya menunjukkan perhatiannya, Anisa merasa terbebani oleh tekanan dari keluarganya.Suatu sore, setelah mengakhiri shift di kafe, Anisa duduk sendirian di bangku taman dekat tempat kerjanya. Ia memikirkan percakapannya dengan Arya beberapa hari lalu, juga kenangan indah yang pernah ia bagi dengan Malik. Pikirannya mengembara, mencari
Hari-hari Anisa diwarnai dengan kebimbangan yang semakin mendalam. Setelah pertemuannya dengan Arya dan perhatian yang diberikan Malik, ia merasakan ada perubahan dalam dirinya. Rasanya sulit untuk menentukan jalan yang harus ia ambil. Malik selalu ada di saat-saat yang membingungkan ini, memberikan kenyamanan yang berbeda dari yang Arya tawarkan. Namun, kenangan akan Arya juga masih menguasai sebagian besar hatinya, menciptakan ruang yang penuh dengan keraguan.Pekerjaannya di kafe membantu Anisa mengalihkan pikiran untuk sementara, tetapi begitu ia selesai, semua emosi itu kembali muncul. Setiap kali ia menutup mata di malam hari, wajah Arya dan Malik bergantian hadir di pikirannya, membuatnya sulit untuk tidur.Suatu sore, ketika Anisa sedang membereskan kafe sebelum pulang, Malik datang dengan senyuman khasnya yang menenangkan. Ia menawarkan untuk mengantarnya pulang, dan Anisa, yang merasa lelah, menerima tawarannya tanpa ragu.Di perjalanan, suasana terasa hening, namun bukan ka
Sejak beberapa minggu terakhir, Anisa merasa ada yang berbeda dalam tubuhnya. Rasa mual yang datang hampir setiap pagi, kelelahan yang tidak biasa, dan perubahan suasana hati yang terasa makin intens membuatnya curiga. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berharap itu hanya akibat dari kelelahan atau perubahan hormon sementara. Namun, semakin lama, semakin yakin bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.Akhirnya, Anisa memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan. Kalau waktu itu Anisa tes ditemani Arya, maka kali ini dia akan mengetes sendiri. Pagi itu, ia menunggu dengan gugup sambil memegang alat tes yang menunjukkan dua garis merah. Perasaan campur aduk menyelimutinya antara bahagia, khawatir, dan takut. Ia tahu, hidupnya akan berubah drastis setelah ini.Malam itu, Anisa menelepon Arya dan memintanya untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang biasanya mereka datangi. Arya, yang tidak tahu alasan di balik permintaan mendadak itu, menyetujui dengan suara yang terdengar agak p
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pernikahan mereka. Anisa dan Arya kini memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari mudah. Kehidupan pernikahan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, kini menghadapi tantangan baru yang tak terduga. Meskipun demikian, mereka berdua terus berusaha untuk mempertahankan cinta mereka dan menjaga kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.Kehamilan Anisa semakin berkembang, dan tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang semakin jelas. Ia merasakan sedikit kelelahan, tetapi di sisi lain, ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan saat memikirkan bahwa ia akan segera menjadi ibu. Arya selalu ada di sisinya, membantu mengurus segala kebutuhan, dan memberikan dukungan penuh. Meskipun keluarganya, terutama ibunya, masih menentang pernikahan mereka, Arya tidak pernah ragu untuk mempertahankan Anisa dan anak yang sedang dikandungnya.Suatu sore, saat Arya pulang kerja, ia melihat Anisa duduk di s
Beberapa minggu setelah peristiwa yang mengguncang hubungan Anisa dengan ibu Arya, keadaan mulai sedikit tenang. Arya, yang terus berada di sisi Anisa, mengupayakan segala hal untuk membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, masih ada perasaan bersalah dalam dirinya karena ia belum bisa sepenuhnya menenangkan Anisa dari tekanan keluarganya, terutama ibunya yang selalu memandang sinis dan menyalahkan Anisa atas kondisi kesehatan yang dialaminya selama kehamilan.Sejak kejadian pendarahan itu, Anisa banyak menghabiskan waktu di rumah dan terpaksa meninggalkan beberapa pekerjaan sampingan yang dulu sering ia lakukan. Ia kini lebih fokus menjaga kehamilannya, meskipun terkadang ia merasa kehilangan kegiatan yang dulu mengisi harinya. Arya selalu berusaha menghiburnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi mereka semakin terasa sulit dan melelahkan.Pada suatu sore, ketika Arya tengah menyiapkan makanan untuk Anisa di dapur, ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari ibunya."Arya, kamu
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Ruang sidang terasa sunyi, meskipun di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Anisa duduk di salah satu bangku, menunduk dengan wajah yang sulit ditebak. Tangannya gemetar ringan, menggenggam map berisi dokumen perceraian yang akan segera disahkan. Di seberangnya, Arya duduk dengan wajah datar, namun mata yang kosong mengisyaratkan perasaan tertekan.Ini adalah hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang. Pernikahan yang dimulai dengan cinta yang besar kini harus diakhiri di ruang sidang ini. Sebuah keputusan yang berat, tetapi tak terhindarkan.“Sidang akan dimulai,” suara hakim memecah keheningan.Anisa mengangkat wajahnya, memaksakan diri untuk terlihat tegar. Ia merasa seperti batu besar sedang menekan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Di sampingnya, pengacaranya memberikan tatapan menenangkan, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, Anisa tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dalam s