Pintu depan rumah Anisa terhempas terbuka oleh angin malam yang dingin. Di hadapannya berdiri pria asing itu, matanya bersinar gelap di bawah lampu jalan yang redup. Suaranya yang dingin dan mengancam masih terngiang di telinga Anisa, menggetarkan tulang-tulangnya. Tubuh Anisa menegang, naluri untuk bertahan hidup mulai mengambil alih, namun kakinya terpaku di tempat.Pria itu melangkah maju, membuat Anisa mundur beberapa langkah ke dalam rumah. “Aku tanya sekali lagi. Mau ke mana, Anisa?” suaranya lebih lembut sekarang, namun tak kalah mengancam.“Apa yang kalian mau dariku?” Anisa berusaha keras menahan suaranya agar tidak bergetar, meskipun tubuhnya bergetar hebat.Pria itu tersenyum tipis, berjalan lebih dekat. "Aku cuma pembawa pesan. Ada yang ingin bertemu denganmu."“Siapa?” Anisa bertanya, namun di dalam hati, ia sudah bisa menebak. Pikirannya langsung terarah pada Arya. Apakah semua ini adalah bagian dari rahasia gelap yang Arya sembunyikan? Apakah ini ada hubungannya dengan
Anisa berdiri terpaku di depan bangunan tua yang seolah telah dilupakan oleh waktu. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari makna dari semua yang baru saja ia alami. Johan, Arya, rahasia kelam yang selama ini disembunyikan, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.Dengan langkah berat, Anisa memutuskan untuk masuk ke dalam bangunan itu. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendekati pintu depan yang berderit ketika dibuka. Aroma kayu tua dan debu menyeruak, mengingatkannya pada sebuah tempat yang sudah lama ditinggalkan. Suasana di dalam begitu sunyi, hanya suara langkah kaki Anisa yang bergema di sepanjang lorong.Di tengah ruangan, ia melihat meja kayu panjang dengan beberapa kursi yang tampak usang. Di sudut ruangan, cahaya remang-remang dari lampu gantung yang berayun pelan, menambah kesan misterius tempat ini. Anisa merasa bulu kuduknya meremang, tapi ia tahu bahwa di s
Anisa duduk di sofa ruang tamu apartemen Arya, perasaannya campur aduk. Pertemuannya dengan Arya kali ini berbeda, semakin dalam ia mengenal Arya, semakin sulit baginya untuk memahami keputusan yang harus ia ambil. Arya berdiri tak jauh darinya, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tatapan tajam yang selalu mampu menembus hati Anisa.“Anisa, aku tidak ingin kamu salah paham,” ujar Arya, suaranya rendah dan berat, seolah menanggung beban yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Anisa hanya diam, matanya terpaku pada Arya, mencari kejujuran yang mungkin tersembunyi di balik sikap dinginnya. Dalam dirinya, Anisa berjuang antara keinginannya untuk tetap bersama Arya dan kenyataan bahwa pria itu menyembunyikan begitu banyak hal darinya.“Aku tahu, ada banyak hal yang belum kujelaskan padamu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu satu hal...” Arya mendekat, berjalan perlahan menuju Anisa, setiap langkahnya terasa berat dan penuh makna. Saat Arya berdiri di depannya, ia menunduk sedikit, menatap
Anisa menatap ponselnya yang masih bergetar di atas meja. Nama Arya muncul berkali-kali di layar, namun Anisa tidak lagi bergegas untuk mengangkatnya. Hatinya masih berperang, antara hasrat untuk kembali memeluk Arya dan keinginan untuk menyelamatkan dirinya dari hubungan yang semakin tidak sehat.Ia memutar kenangan-kenangan mereka di pikirannya. Ciuman lembut yang pernah membuatnya merasa aman, sentuhan hangat Arya yang dulu membuat dunia seakan berhenti. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa semua itu hanyalah ilusi. Arya mungkin mencintainya, tapi cinta itu terbalut dengan rahasia gelap yang semakin menyesakkan.Anisa mendesah, lalu akhirnya mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk dari Arya. Pesan yang penuh dengan kata-kata manis, meminta maaf atas segala kebohongan dan memohon kesempatan lagi."Haruskah aku kembali padanya?" gumam Anisa pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Ia memikirkan percakapan terakhir mereka. Bagaimana Arya berusaha menjelaskan alasan di balik k
Anisa sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan ketika secara tak sengaja ia melihat sosok yang tak asing. Langkahnya terhenti sejenak saat matanya menangkap pria dengan postur yang dulu begitu ia kenal, namun kini terlihat berbeda. Reza. Mantan kekasihnya itu berdiri di dekat salah satu kios, tapi ada sesuatu yang tak biasa dari penampilannya. Tubuhnya jauh lebih kurus, wajahnya pucat, dan rambutnya tampak berantakan. Anisa mengerutkan kening, merasa iba melihat keadaan Reza yang tampak begitu tidak terurus."Reza?" Anisa bergumam pelan, namun Reza tampak mendengarnya. Ia menoleh, dan begitu melihat Anisa, ekspresinya berubah seketika. Ada campuran keterkejutan dan kelegaan di matanya. Tanpa menunggu lebih lama, Reza melangkah mendekatinya."Anisa... ini benar kamu?" suara Reza terdengar serak, seperti orang yang sudah lama tidak berbicara dengan penuh emosi. Anisa hanya bisa mengangguk, menatap pria yang dulu pernah sangat ia cintai."Reza... apa kabar?" tanya Anisa pelan, meski d
Hari itu terasa begitu tenang, tetapi hati Anisa justru sebaliknya. Ia sudah bertemu dengan Reza beberapa kali dalam minggu terakhir. Reza semakin sering menghubunginya, meminta bertemu hanya untuk sekadar mengobrol. Awalnya, Anisa berpikir bahwa ia hanya ingin memastikan Reza baik-baik saja. Meskipun ia telah menolak permintaan Reza untuk kembali, ia tak mampu sepenuhnya memutuskan hubungan baik mereka sebagai teman. Namun, semakin lama, Reza mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia belum menyerah.Anisa duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, menunggu kedatangan Reza. Sesekali, ia mengecek ponselnya, memikirkan alasan yang bisa ia berikan pada Arya. Selama ini, Anisa merahasiakan pertemuannya dengan Reza dari Arya. Ia tahu Arya tak akan menyukainya dan pasti salah paham. Arya orang yang mudah cemburu, dan di balik semua rahasianya, ia memiliki kontrol yang sangat kuat terhadap kehidupan Anisa.Reza tiba beberapa menit kemudian, dengan senyumnya yang familiar. Wajahnya memang masih t
Anisa duduk di kamarnya dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya kusut, tidak tahu harus melangkah ke mana. Sejak pertemuan terakhir dengan Reza, semuanya semakin kacau. Ia ingin segala sesuatunya kembali seperti dulu, tapi kenyataan malah semakin rumit. Di satu sisi, Arya semakin posesif dan sering kali tidak bisa mengendalikan emosinya, sementara di sisi lain, Reza muncul lagi dengan segala penyesalannya. Reza, meski sudah tak lagi bekerja dan hidupnya tampak berantakan, masih terus berusaha untuk mendapatkan perhatian Anisa. Hari itu, Reza datang lagi ke kafe tempat mereka sering bertemu, tanpa undangan, tanpa peringatan. "Anisa, tolong beri aku kesempatan sekali lagi," pinta Reza, suaranya terdengar lirih namun mendesak. Anisa menghela napas panjang, menatap Reza yang terlihat lelah dan kehilangan arah. "Reza, kita sudah membicarakan ini. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku sudah bersama Arya sekarang," jawab Anisa dengan nada tegas, meskipun hatinya sedikit berget
Anisa duduk termenung di atas kasurnya, menatap ponsel yang terus bergetar. Nama Arya muncul di layar, tetapi jari-jarinya tak bergerak untuk menjawab. Ia tak sanggup. Setelah kejadian kemarin, kepalanya penuh dengan pertanyaan, kebingungan, dan rasa sakit yang menghimpit dada.Sementara itu, pikiran tentang Reza juga terus membayanginya. Wajahnya yang kurus, matanya yang tampak letih dan penuh penyesalan. Anisa tak bisa mengabaikan fakta bahwa ia merasa kasihan pada Reza, meski tahu dirinya tak boleh terlalu terlibat. Tapi, bagaimana mungkin ia tak peduli? Reza adalah bagian dari masa lalunya yang pernah ia cintai sepenuh hati.“Aku nggak mungkin kembali ke dia,” Anisa berbisik pelan pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. Namun, kenangan masa lalu mereka berdua terus membayang. Semua yang pernah mereka lalui bersama, kebahagiaan, kesedihan, dan cinta yang pernah ia rasakan untuk Reza. Anisa meremas bantalnya, seolah berharap bantal itu bisa meredam perasaannya yang bercamp
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Rumah mereka yang biasanya penuh kehangatan kini terasa sunyi dan hampa. Arya duduk di ruang tamu, memandangi cangkir kopi yang hampir habis diminumnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia mencintai Anisa, tetapi akhir-akhir ini ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Tentu saja, ia masih ingin menjaga pernikahannya, tetapi tekanan yang datang dari berbagai arah, terutama dari orang tuanya, menyebabkan semuanya semakin sulit. Anisa sudah beberapa kali meminta penjelasan dari Arya tentang sikapnya yang semakin menjauh. Namun, Arya lebih sering diam, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang begitu sulit dijawab. Sikapnya yang dingin membuat Anisa semakin merasa tidak dihargai. Mereka masih bersama, tapi rasanya seperti dua orang yang terjebak dalam hubungan yang hampa. Setiap percakapan mereka semakin terasa seperti perdebatan tanpa akhir yang tak kunjung menemukan jalan keluar.
Pagi itu, Anisa bangun dengan perasaan berat. Sudah beberapa hari terakhir, Arya hampir tidak berbicara dengannya, dan keheningan di antara mereka semakin terasa menyesakkan. Di sisi lain, ibu Arya terus-menerus mendesaknya melalui telepon, mencoba menanamkan pikiran-pikiran buruk tentang Anisa di kepala Arya."Perempuan itu nggak pantas untuk kamu, Arya," suara ibunya bergema di kepala Arya setiap kali ia melihat Anisa. "Dia cuma beban. Kamu lihat sendiri, anak kalian nggak bertahan, dan sekarang hidupmu malah semakin berantakan."Arya mulai merasa terpengaruh. Meski hatinya masih menyimpan cinta untuk Anisa, ia mulai meragukan apakah pernikahan mereka adalah keputusan yang tepat.Hari itu, Anisa mencoba berbicara dengan Arya di meja makan. Ia sudah menyiapkan sarapan favorit Arya, berharap bisa mencairkan suasana."Arya, ayo makan dulu. Aku masak nasi goreng seperti yang kamu suka," kata Anisa dengan senyum kecil.Namun, Arya hanya melirik sepiring nasi goreng itu tanpa minat. "Aku
Waktu terus berlalu, tetapi luka di hati Anisa semakin menganga. Sikap Arya yang semakin dingin, ditambah tekanan dari ibu mertuanya, membuat Anisa merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. Hubungannya dengan Arya seperti berada di ujung tanduk, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memperbaikinya.Suatu malam, ketika Anisa mencoba menyiapkan makan malam spesial untuk Arya, lelaki itu pulang dengan wajah muram. Anisa menyambutnya dengan senyuman kecil, meskipun dalam hati ia penuh kekhawatiran."Kamu pulang tepat waktu malam ini. Aku masak makanan kesukaanmu," ujar Anisa, berusaha terdengar ceria.Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Aku nggak lapar," jawabnya singkat, lalu langsung menuju kamar tanpa menghiraukan Anisa yang berdiri terpaku di ruang makan.Anisa mengepalkan tangannya di sisi meja, berusaha menahan air mata. Ia telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat makan malam itu, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka, tetapi usahanya kembali sia-sia.Setelah m
Hari-hari berlalu, dan Anisa mulai menyadari bahwa Arya semakin berbeda. Sikapnya yang dulu penuh perhatian kini terasa dingin dan berjarak. Tidak ada lagi canda ringan di pagi hari atau pelukan hangat sebelum tidur. Sebaliknya, Arya lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, entah dengan alasan pekerjaan atau sekadar "butuh udara segar."Anisa mencoba mencari penjelasan, meskipun hatinya merasa takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Di meja makan suatu malam, Anisa mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Arya, akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan nada hati-hati.Arya mendongak dari piringnya, lalu menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.“Tapi aku merasa kamu semakin jauh,” ujar Anisa, suaranya sedikit bergetar.Arya menaruh sendoknya dengan sedikit kasar di atas meja. "Aku cuma butuh waktu, Anisa. Jangan terlalu menekan aku," ucapnya tegas, membuat Anisa
Anisa terbaring lemah di rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang terasa sunyi. Kabar kegugurannya begitu menghantamnya dengan keras, membuat hatinya hancur dan tubuhnya terasa lelah. Sementara itu, Arya berdiri di sampingnya, namun sikapnya terlihat dingin. Tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan datar yang seolah-olah menyalahkan Anisa atas apa yang terjadi. Ketika ibunya datang, bukannya memberi dukungan, justru cemoohan yang keluar dari mulutnya. "Kamu ini perempuan macam apa, sampai nggak bisa menjaga kandungan sendiri," ucapnya dengan nada penuh kemarahan. "Bagaimana Arya bisa punya masa depan dengan istri seperti kamu?" Anisa hanya bisa diam. Hatinya teriris mendengar kata-kata kasar itu, terlebih di saat ia merasa sangat rapuh dan membutuhkan dukungan. Ia mencoba menahan air matanya, namun tidak bisa. Rasa sakit yang ia alami, baik fisik maupun batin, begitu menyesakkan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud seperti i
Pagi itu, sinar matahari menyelusup melalui celah-celah tirai kamar. Anisa membuka matanya dengan perasaan yang sedikit lega setelah hari-hari yang melelahkan. Semalam ia memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran dan mulai mengisi harinya dengan harapan baru. Arya masih tertidur di sampingnya, dengan wajah yang tampak damai. Anisa tersenyum, menyadari betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Arya yang selalu ada di sisinya, walau banyak cobaan yang menghampiri.Setelah berdiam sejenak, Anisa memutuskan untuk bangkit lebih dulu. Ia melangkah perlahan ke dapur, menyiapkan sarapan kecil untuk mereka. Saat ia sedang menggoreng telur, Arya tiba-tiba muncul dari belakang dan memeluknya. Kehangatan pelukan Arya seolah memberinya energi tambahan."Selamat pagi, Sayang," Arya membisikkan dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi juga," jawab Anisa sambil tersenyum. "Kamu tidur nyenyak?"Arya mengangguk. "Lebih nyenyak setelah melewati hari kemarin denga
Pagi itu, Anisa terbangun dengan perasaan lebih lega setelah dukungan Arya malam sebelumnya. Namun, bayangan tentang tekanan yang ia alami dari keluarga Arya tetap menghantuinya. Apalagi saat mengingat peristiwa pendarahan yang hampir saja merenggut kebahagiaannya menjadi calon ibu.Anisa memandang keluar jendela, melihat sinar matahari yang perlahan menerangi kota. Ia sadar, dirinya tak bisa terus-menerus terpuruk. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat demi bayi yang dikandungnya, meski dukungan dari keluarga Arya terasa berat untuk didapatkan.Di sisi lain, Arya sedang menyiapkan sarapan di dapur. Ia ingin memberikan perhatian ekstra pada Anisa, terlebih setelah kejadian-kejadian terakhir yang menimpa mereka. Ia ingin Anisa merasa diperhatikan dan dicintai, agar semangatnya kembali pulih.Ketika Anisa melangkah masuk ke dapur, Arya tersenyum lebar. “Selamat pagi, sayang. Sarapan spesial untuk istri tercinta hari ini,” ujarnya sambil menyiapkan secangkir teh hangat untuk A
Beberapa minggu setelah peristiwa yang mengguncang hubungan Anisa dengan ibu Arya, keadaan mulai sedikit tenang. Arya, yang terus berada di sisi Anisa, mengupayakan segala hal untuk membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, masih ada perasaan bersalah dalam dirinya karena ia belum bisa sepenuhnya menenangkan Anisa dari tekanan keluarganya, terutama ibunya yang selalu memandang sinis dan menyalahkan Anisa atas kondisi kesehatan yang dialaminya selama kehamilan.Sejak kejadian pendarahan itu, Anisa banyak menghabiskan waktu di rumah dan terpaksa meninggalkan beberapa pekerjaan sampingan yang dulu sering ia lakukan. Ia kini lebih fokus menjaga kehamilannya, meskipun terkadang ia merasa kehilangan kegiatan yang dulu mengisi harinya. Arya selalu berusaha menghiburnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi mereka semakin terasa sulit dan melelahkan.Pada suatu sore, ketika Arya tengah menyiapkan makanan untuk Anisa di dapur, ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari ibunya."Arya, kamu
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pernikahan mereka. Anisa dan Arya kini memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari mudah. Kehidupan pernikahan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, kini menghadapi tantangan baru yang tak terduga. Meskipun demikian, mereka berdua terus berusaha untuk mempertahankan cinta mereka dan menjaga kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.Kehamilan Anisa semakin berkembang, dan tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang semakin jelas. Ia merasakan sedikit kelelahan, tetapi di sisi lain, ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan saat memikirkan bahwa ia akan segera menjadi ibu. Arya selalu ada di sisinya, membantu mengurus segala kebutuhan, dan memberikan dukungan penuh. Meskipun keluarganya, terutama ibunya, masih menentang pernikahan mereka, Arya tidak pernah ragu untuk mempertahankan Anisa dan anak yang sedang dikandungnya.Suatu sore, saat Arya pulang kerja, ia melihat Anisa duduk di s